Hari demi hari berlalu, hanya Nick yang menemani Natale.
Sementara Nicco tidak ada kabar sama
sekali. Pagi itu, Nick sedang berenang sendirian. Lalu datanglah Natale dan
duduk di kursi samping kolam renang. Setelah capai bolak-balik berenang, ia pun
mendekati Natale dan duduk disampingnya.
“pagi, Nick”
“selamat pagi, sayang” sapa Nick sambil mengambil handuknya.
“kuharap kau tidak mengucapkan hal itu kalau ada suamiku”
“tentu saja, aku tidak mau dihajar dia lagi. Sakit”
Natale hanya tertawa geli mendengar itu semua.
“aku sudah bilang kepada pelayan agar menyiapkan sarapan
kita disini”
“trimakasih, aku sudah lapar sekali”
Seorang pelayan segera membawakan sarapan mereka.
“kapan jadwalmu ke dokter lagi?”
“masih lama, mengapa?”
“aku akan mengantarmu. Tapi sepertinya tidak bisa lagi ya.
Karena begitu suamimu pulang, aku akan segera pulang juga ke Belanda”
“aku pasti akan merindukanmu, Nick”
“aku juga, kau bisa menelponku”
“tentu”
“kau harus makan yang banyak, Natale. Demi anakmu”
“thanx. Oya, kau sudah menelpon Angela?”
Nick menghentikan makannya dan tersenyum.
“mengapa kau tanyakan itu?”
“tidak ada apa-apa. Hanya saja… mungkin dengan bersamanya,
kau bisa melupakan semuanya”
“itu sudah lama sekali. Jauh sebelum aku mengenal Julia. Aku
pun tak tahu apakah aku masih suka padanya atau tidak. Aku juga tidak tahu
apakah dia sudah punya suami atau tidak”
“makanya, telponlah”
“ya, aku pasti akan memberitahumu. Untuk sekarang, jangan
bicarakan Angela dulu ya”
“as your wish”
Suatu pagi, iring-iringan mobil memasuki gerbang rumah besar
bak istana itu. Semua penumpangnya turun. Salah satunya Nicco.
“Luigi, dimana istriku?”
“mungkin masih di kamar, tuan”
“kalau Nick?”
“kalau tuan Nick sejak pagi sudah keluar. Tapi, maaf. Saya
tidak tahu kemana”
Nicco melepas kacamata hitamnya dan naik ke kamarnya. Ia
melihat Natale duduk di balkon membelakanginya. Masih mengenakan kimono dengan
rambut yang masih basah sehabis keramas. Nicco mendekatinya. Ternyata Natale
tertidur. Nicco jongkok di depan Natale dan mengambil selembar kertas yang
dipegang Natale. Mengamati dan membacanya.
“surat apa ini? Surat keterangan dokter? Positif hamil? Apa Natale
sekarang hamil?”
Nicco mengembalikan surat itu ke tangan Natale lagi dan
mencium kening Natale. Ia pun segera mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia turun karena melihat
Natale masih tertidur di kursinya. Ia menemui Pablo.
“kau yakin kalau kali ini kita tidak akan bisa disentuh
carabinierri?”
“tentu, tenang saja boss. Kemarin kita bertindak dengan
sangat hati-hati dan sempurna. Tak akan ada yang menyangka kalau kitalah yang
melakukannya”
“yakin?”
“hei, ada apa denganmu, boss? Tidak biasanya kau khawatir seperti
ini?”
“ah, entahlah”
“kau tidak apa-apa? Kau seperti orang bingung, kurasa”
Nicco tidak menjawab pertanyaan Pablo. Ia segera ke atas
lagi, ke kamarnya. Ia melihat Natale sudah bangun.
“selamat pagi, sayang”
“Nicco? Kapan kamu pulang?”
“baru saja. Apa kabar?”
“baik”
“hei, ada apa denganmu? Kamu masih marah?”
“tidak, aku hanya kaget saja. Kau datang tanpa
pemberitahuan”
“ya, maaf. Urusanku sudah selesai semuanya”
“urusan apa?”
“kau tak perlu tahu. Nick belum juga pulang ya?”
“mengapa? Sepertinya kau menginginkan agar dia cepat-cepat
pergi dari sini. Atau memang itu tujuanmu?”
“bukan begitu. Ah, sudahlah… kau sudah sarapan?”
“ya, sudah. Kalau kau belum sarapan, aku akan menyiapkannya
untukmu”
“tidak perlu,kau harus lebih banyak beristirahat”
“kenapa?”
“ok, ok. Baiklah, tolong siapkan sarapan untukku”
Setelah mengganti kimono dengan bajunya, Natale segera ke
bawah menyiapkan sarapan untuk Nicco. Mereka berdua duduk di ruang makan.
Natale hanya diam saja menunggu Nicco selesai makan. Ia hanya minum secangkir
coklat panas.
“kau tidak sarapan lagi, sayang?”
“tidak, aku sudah kenyang”
“tak biasanya kau diam seperti itu, ada apa?”
“aku tidak apa-apa, Nicco. Sungguh”
“nanti sore aku ingin mengajakmu keluar, kamu mau?”
“kemana?”
“nanti kau akan mengetahuinya sendiri. Kalau kuberitahu,
bukan kejutan namanya. Bagaimana?”
“baiklah”
Disaat itulah, datang Nick.
“Nicco? Sudah pulang kau rupanya”
“ya, baru saja. Kau sudah sarapan?”
“sudah, dengan temanku. Baru saja. Berarti besok aku sudah
bisa kembali ke Belanda kan?”
“tentu saja, trimakasih sudah menjaga istriku”
“ya, sama-sama. Aku ke kamarku dulu”
Nick segera masuk ke kamarnya.
“kau betul baik-baik saja? Wajahmu kelihatan pucat. Kalau
kau sedang tidak enak badan, bisa kita tunda acara kita nanti sore”
“emmm… a-aku tidak apa-apa, sungguh”
“atau ada yang ingin kau sampaikan kepadaku?”
“tidak ada”
Buru-buru Natale membereskan makan Nicco dan meninggalkan Nicco
sendirian di ruang makan itu.
“mengapa dia tidak juga memberitahuku kalau dia sedang
hamil?”
“Nicco, aku akan ke kamar. Kalau kau memerlukanku, aku ada
disana”
“ya, beristirahatlah. Terus terang aku khawatir dengan
keadaanmu”
Natale segera ke kamarnya. Sedangkan Nicco ke kamar Nick dan
mengetuk pintunya.
“ya, masuklah. Nicco, ada apa?”
“aku tak tahu apa yang terjadi dengan Natale. Tapi
tingkahnya aneh sekali. Ataukah kau mengetahui sesuatu?”
“aneh? Kemarin dia baik-baik saja. Tidak ada yang aneh pada
dirinya”
“tadi sewaktu aku datang, dia sedang tertidur sambil
memegang surat dari dokter. Surat pernyataan kalau dia positif hamil. Apa itu
benar?”
“ya, dia hamil. Dia mengandung anakmu, Nicco”
“kenapa dia tidak memberitahukannya kepadaku?”
“mungkin dia menunggu saat yang tepat untuk
memberitahukannya kepadamu. Beberapa hari yang lalu, aku mengantarnya ke
dokter. Kata dokter, kandungannya lemah, rentan keguguran. Makanya aku
mengundur jadwal kepulanganku untuk menjaganya”
“thanx”
“kau harus menjaga istrimu, setelah tahu apa yang dikatakan
oleh dokter”
“tentu, nanti malam aku ingin mengajak istriku keluar.
Apakah kau mau ikut?”
“tidak, trimakasih. Tapi, aku sudah ada janji dengan Mike.
Pergilah kalian berdua”
“baiklah, trimakasih ya atas semuanya”
Nicco kembali ke kamarnya yang ada diatas lagi. Ia mendapati
Natale sudah tidur lagi di kursi kesayangannya. Ia kaget ketika Nicco
mendekatinya.
“maaf, kalau aku membuatmu kaget”
“tidak apa-apa. Aku ketiduran lagi ya rupanya”
“kamu sedang tidak enak badan?”
“tidak, aku baik-baik saja kok”
“kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Katakanlah. Atau…
kau ingin aku menebaknya?”
“apa?”
Nicco duduk disamping Natale. Keduanya diam sejenak.
Sayup-sayup terdengar lagu The Last Waltz dari Engelbert Humperdinck yang
diputar Natale di kamarnya. Itu merupakan penyanyi favorit Natale. Nicco
menggenggam tangan Natale dan menatapnya.
“apakah benar kalau kau… sedang hamil, sayang?”
Natale langsung menatap Nick.
“darimana kamu tahu?”
“jadi, benar ya?”
“aku bertanya kepadamu”
“tadi pagi sewaktu aku pulang,kau tertidur disini sambil
menggenggam surat dari dokter kalau kau positif hamil. Di surat itu tertera
namamu. Namamu masih Natale del Pierro Auletta Rossa, kan?”
Natale hanya menunduk.
“kenapa? Kau tidak bahagia dengan ini semua?”
“tentu saja aku bahagia. Aku hanya tidak tahu bagaimana
menyampaikannya kepadamu. Tapi, kalau kau sudah tahu, itu akan lebih baik”
“kalau begitu, kita undur saja acara kita nanti malam.
Kulihat kau sedang tidak sehat”
“aku tidak apa-apa, sungguh”
“yakin?”
Natale mengangguk. Nicco pun memeluknya.
“trimakasih, Natale. Kau tahu? Aku sangat senang sekali
mengetahui kamu hamil lagi. Tapi, mengapa kau tidak menelponku sewaktu aku
sedang pergi?”
“aku tak mau mengganggu urusanmu. Aku tak mau kamu khawatir.
Lagipula ada Nick, juga para anak buahmu yang kau tugaskan untuk menjagaku itu”
“ya, kau benar. Tidurlah kau di tempat tidur sana”
“tidak perlu, disini saja. Kamu mau pergi lagi?”
“tidak, aku mau menemanimu disini saja”
Natale merebahkan kepalanya di pangkuan Nicco.
Senja itu, Nicco dan Nick sedang ngobrol di ruang tengah.
Nicco sedang menunggu Natale untuk kencan mereka.
“begitulah wanita, lama sekali kalau berdandan”
Nick hanya tersenyum.
“jadi, besok jam berapa kamu pulang?”
“jam 02:50 siang”
“pakai Luftansa?”
“ya, agar sampai di Schipol tidak terlalu malam. Aku sudah
telpon mama agar menjemputku”
“salam saja untuk mama. Kapan-kapan aku pasti kesana. Aku
belum pernah ke Belanda”
“tentu, mama pasti senang sekali”
“benar, kau tidak mau ikut kami?”
“iya, aku masih ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan
sebelum aku pulang besok. Pergilah kalian”
Tak lama kemudian, nampak Natale menuruni tangga. Ia memakai
gaun mini hitam diatas lutut favoritnya dan menyanggul rambut gelapnya keatas.
Nick dan Nicco segera berdiri.
“ya Tuhan, kau cantik sekali, Natale”
Nicco menatap Nick.
“eh, mmm… maaf, maksudku….”
“tidak apa-apa. Dia memang cantik sekali”
“ya, istrimu memang cantik sekali, Nicco”
Natale mendekati kedua pria kembar itu.
“kita berangkat sekarang?”
“tentu, aku sudah menunggumu dari tadi. Kami pergi dulu Nick”
“ya, tentu”
Setelah memakai mantelnya, Natale mengikuti Nicco ke lobi.
“kau di rumah saja, Luigi. Aku sendiri yang mengemudikannya.
Mungkin kami pulangnya besok pagi”
“baik, tuan”
Nicco membukakan pintu untuk Natale, sebentar saja mereka
sudah berada di jalanan ibukota yang sudah mulai gelap.
“kita mau kemana?”
“kau tahu La Pergola?”
“aku pernah mendengar namanya. Tapi belum pernah kesana.
Bukannya itu restoran mahal?”
“tentu, untuk kamu yang special. Juga merayakan kehamilanmu”
“kamu pernah kesana ya?”
“hei, jangan curiga lagi, sayang”
“tidak, aku hanya bertanya kepadamu”
“pernah, sekali. Tempatnya indah. Ada di lantai paling atas
Rome Cavalieri. Koleksi gelas hand-made dari Emile Gallé, di tengah-tengah
ruangan ada vas dari abad ke-17, dari sana kita juga bisa melihat pemandangan
Dome of St Peter's”
Natale hanya menatap Nicco.
“ada apa?”
“aku tak pernah melihatmu seperti ini. Kau seperti guide.
Tahu tentang restoran itu”
“dulu waktu aku kesana,aku sempat bertanya tentang semuanya dengan
chef Heinz Beck”
Nicco mengarahkan mobilnya ke Via Alberto Cadlolo 101. Tak
lama kemudian mereka sudah sampai di Rome Cavalieri dan langsung menuju La
Pergola. Seorang pelayan melayani mereka. Membantu memilihkan menu unggulan
mereka untuk Nicco dan Natale. Setelah memesan semuanya, pelayan tersebut
segera berlalu dari Natale dan Nick.
“kau benar, indah sekali pemandangan dari sini. Lihatlah,
kubah St. Peter seperti dekat sekali dari sini”
“kau suka?”
“tentu, thanx. Aku bahagia sekali malam ini”
“itu tujuanku, Natale. Membahagiakanmu”
Mereka menghabiskan malam itu sampai hampir tengah malam di
La Pergola.
![]() |
kubah St. Peters dikejauhan |
Sedangkan Nick? Apa kabar, Nick? Dia menghabiskan malam itu
dengan mengendarai mobilnya menyusuri jalanan kota Roma yang mulai ramai. Ia
berhenti di salah satu kedai kopi yang lumayan ramai. Ia duduk dan segera
memesan secangkir kopi. Ia mengedarkan pandangannya. Orang-orang berdatangan
dengan pasangan atau teman mereka. Tapi Nick? Dia sendirian. Seorang pelayan
perempuan dengan berpakaian kasual membawakannya secangkir kopi. Berambut
pirang dan diikat natural ke belakang.
“trimakasih. Eh, maaf. Tunggu sebentar”
![]() |
Angela |
“ya, ada apa?”
“sepertinya aku mengenalmu”
“oya?”
“apakah kau… Angela?”
“ya, benar. Kau siapa ya? Maaf kalau aku lupa”
Nick hanya tersenyum karena tebakannya benar.
“dulu kita satu kampus. Aku Nick, Nick Auletta Rossa”
“mmm… sebentar. Sepertinya aku ingat. Kau yang mengajakku
dinner itu ya?”
“benar sekali, Angela”
“owh, senang bertemu denganmu, Nick”
“bisa kita ngobrol?”
“tapi, sekarang aku masih kerja. Kita bisa bertemu setelah
aku selesai kerja. Atau besok kalau kau terlalu lama menungguku”
“malam ini saja. Aku akan menunggumu disini. Silakan kau
bekerja kembali”
Angela tersenyum dan meninggalkan Nick sendirian. Dia pun
sibuk, tenggelam dalam pekerjaannya. Dengan sabar Nick menunggunya sampai Angela
selesai kerja. Ia sampai habis 3 cangkir kopi.
“hai, lama ya nunggu aku”
“begitulah, aku sampai habis tiga cangkir kopi”
“kita bisa mengobrol di bangku itu saja”
Mereka menuju bangku yang ada di dekat taman kota.
“sudah lama kau kerja disitu?”
“belum, baru beberapa bulan. Sebelumnya aku bekerja di
sebuah perusahaan yang lumayan besar. Tapi, karena sesuatu hal, aku memilih
keluar. Dan ternyata, aku malah nyaman kerja sebagai pelayan di kedai kopi itu.
Kau sendiri?”
“aku ada usaha di Belanda sana, usaha keluarga”
“iya ya, aku sampai lupa. Kau kan bukan orang sini. Sudah
menikah?”
Nick hanya tersenyum.
“kenapa kau malah tersenyum begitu? Lucu ya?”
“kau masih seperti yang dulu. Lincah dan menyenangkan.
Apakah kau sudah menikah?”
“belum, kemarin aku terlalu sibuk mengejar karir sampai
tidak ada waktu untuk memikirkan menikah. Hei, kau belum menjawab pertanyaanku”
“belum bertemu denganmu. Jadi aku juga belum menikah”
Angela hanya tertawa.
“kurasa semua pria sama saja”
“hei, aku bukan pria seperti itu”
“kau kesini untuk liburan atau ada suatu urusan?”
“aku ada keluarga disini. Dan besok siang, aku sudah harus
kembali ke Belanda”
“sayang sekali, kita baru saja bertemu”
“lain kali kita bisa bertemu lagi. Atau kau bisa menelponku.
Kau masih ingat dengan Mike, sahabatku?”
“tentu saja, bagaimana kabar dia?”
“dia baik, beberapa hari yang lalu kami bertemu. Dia bekerja
disini. Tapi istrinya tinggal di Belanda”
“beberapa waktu yang lalu, sewaktu aku hampir lulus kuliah,
kudengar kekasihmu meninggal, ya?”
“ya, itu sudah lama sekali”
“aku turut prihatin, Nick”
“trimakasih”
“kau sudah mendapatkan penggantinya?”
Nick hanya tersenyum,”belum”
“kenapa? Hei, kau kan tampan. Dulu sepertinya banyak
gadis-gadis yang mencoba mendekatimu di kampus. Iya, kan?”
“itu hanya pandangan kalian saja para gadis”
“enggak, banyak kok yang cerita seperti itu”
“ok, trimakasih. Karena ternyata banyak yang mengidolakan
aku. Tapi sayangnya, sampai sekarang aku belum ada pasangan”
“aku yakin, sebentar lagi kau akan menikah, dalam waktu
dekat. Percayalah!”
“dengan siapa? Dengan
kamu?”
Angela tertawa terbahak-bahak sambil meninju lengan Nick.
“kau lucu juga ya”
“dimana kamu tinggal?”
“hanya beberapa blok dari sini”
“kuantar kau pulang nanti”
“thanx, biasanya aku jalan kaki, atau terkadang naik taksi
kalau aku kelelahan. Berarti malam yang special malam ini buatku. Bisa diantar
pulang oleh pria yang dulu dijadikan idola para gadis-gadis di kampus”
“sudahlah, Angela”
“hei, lihat! Wajahmu memerah, aku suka itu”
“sudahlah, tidak perlu membicarakan masa lalu. Sekarang
sudah tidak ada yang mengidolakan aku”
“hmmm… kau saja yang tidak merasa. Karena kau orangnya
tertutup, pendiam, kurang bisa mengekspresikan apa keinginanmu”
“kau benar, aku lebih sering menyendiri. Beberapa waktu yang
lalu aku bertemu adikmu, Claudia”
“oya? Dimana? Aku malah jarang bertemu dengannya”
“di sebuah supermarket. Kau agak mirip dengannya, kukira
waktu itu dia adalah kamu”
“ya bedalah, Nick. Masih cantik aku”
Nick tertawa lepas. Baru kali ini Nick bisa bercanda lepas
dengan seorang gadis.
“iya, iya. Percaya. Masih cantik kamu kok”
Angela hanya tersenyum.
“kuantar kau pulang sekarang. Ini sudah lewat tengah malam.
Kau harus istirahat”
“kau baik sekali, Nick. Masih seperti yang dulu, tidak
berubah. Ayolah”
Angela menggelayut manja di lengan Nick. Nick menatapnya,
sedangkan Angela hanya tersenyum.
“kenapa? Tidak boleh? Mmm… aku tahu. Kamu pasti takut kalau
aku dikira orang pacar kamu, kan”
“oh, e-bukan begitu”
“trus kenapa? Ya sudah, ayo, kita segera ke mobilmu”
Dengan masih agak kikuk, mereka menuju mobil Nick. Mereka
segera meninggalkan tempat itu menuju apartemen Angela. Nick mengantar Angela
sampai di pintu depan apartemen Angela yang ada di lantai dua.
“kau mau masuk dulu?”
“tidak, lain kali saja kalau aku ke Roma lagi. Sudah malam.
Kuharap kita bisa bertemu lagi”
“tentu saja. Semoga perjalananmu besok menyenangkan”
“thanx, aku pulang dulu, Angela. Bye!”
“bye!”
Angela segera masuk ke apartemennya begitu Nick sudah
berlalu dari tempat itu. Nick menuju mobilnya.
“Angela, akhirnya kita bertemu lagi. Tapi, entahlah. Apakah
rasa itu masih ada untukmu? Kejadian itu sudah lama sekali. Tapi, terus terang.
Aku merasa nyaman di dekatnya”
Nick segera menjalankan mobilnya untuk pulang. Waktu itu
sudah lewat tengah malam. Ia melihat Luigi masih ada di posnya.
“selamat malam, tuan”
“Nicco belum pulang?”
“kata tuan Nicco, mereka pulangnya besok pagi”
“baiklah, aku masuk dulu”
Sementara itu, Nicco dan Natale juga sudah meninggalkan La
Pergola. Mereka menuju rumah mereka yang terletak di tepi danau yang sepi itu.
“kau kedinginan?”
“ya, udara malam ini dingin sekali. Padahal aku sudah
memakai mantelku”
Nicco mengecilkan AC mobilnya.
“istirahatlah sebentar, sayang. Kalau sudah sampai,
kubangunkan kau”
Kurang lebih 40 menit, mereka sampai di rumah mereka.
“sudah lama rasanya kita tidak kesini”
“ya, kau benar, Nicco”
Natale segera duduk di sofa ruang tengah. Nicco menyalakan
perapian dan membuatkan Natale secangkir minuman hangat.
“thanx”
Nicco duduk disamping Natale dan merengkuh bahu Natale.
Natale pun menyandarkan kepalanya di dada Nicco.
Pagi itu, Nick sarapan sendirian sewaktu telpon genggamnya
bordering.
“ya, hallo”
“hai, Nick. Kau jadi pulang hari ini?”
“tentu, nanti sore. Ada apa?”
“nanti sore aku tidak bisa mengantarmu ke bandara. Salam
saja untuk semuanya”
“ya, tak masalah. Oya, tadi malam aku bertemu Angela. Kau
masih ingat dengannya?”
“Angela? Angela Anthony Gerrardo?”
“ya”
“tentu saja aku masih ingat. Dulu kau selalu memuja-muja
dia. Bagaimana kabarnya?”
“dia belum menikah. Dia masih cantik serti dulu”
“kau masih mengidolakan kakak kelas kita itu, ya?”
Nick hanya tersenyum.
“itu dulu, Mike”
“sekarang?”
“entah, biarkan waktu yang akan menjawabnya”
“kau masih terlalu terbayang-bayang dengan Natale. Pergilah
pulang, lupakan Natale, dan belajarlah mencintai gadis lain, ok? Baiklah,
sekarang aku harus pergi. Selamat jalan, ya. Hati-hati”
“trimakasih, Mike”
Nick menutup telponnya dan memasukkannya kembali ke saku
celananya.
Nicco mendekati Natale yang masih bersembunyi di balik
selimut tebalnya.
“Natale, bangun, sayang. Kita harus segera pulang. Natale…”
Masih dengan agak malas dan mengantuk, Natale menyingkirkan
selimut yang menutupi kepalanya.
“ada apa? Jam berapa ini?”
“ini sudah jam 9 pagi. Kita harus pulang. Bukankah kita akan
mengantar Nick ke bandara?”
“oh, shit! Kau sudah mandi, ya? Mengapa tidak membangunkan
aku dari tadi?”
“semalam kita tidur terlalu larut. Aku kasihan kepadamu
kalau harus kubangunkan pagi-pagi sekali”
Natale duduk di ujung ranjang.
“segera pakailah pakaianmu. Aku akan menyiapkan mobil kita.
Dan ini, kubuatkan susu coklat hangat kesukaanmu”
“trimakasih. Jika aku mau mandi, apakah kau mau menungguku?”
“tentu saja, asal jangan lama sekali seperti biasanya”
Natale hanya tersenyum. Setelah mencium Natale, Niccco
segera ke garasi untuk menyiapkan mobil mereka. Tak lama kemudian, Natale juga
sudah menyusul ke garasi. Dengan celana panjang dan blus, Natale terlihat
santai.
“hai, aku sudah siap”
“cepat sekali”
“bukannya kau yang menyuruhku agar cepat?”
“iya, iya. Sebentar, aku kunci dulu pintunya”
Natale masuk ke mobil sambil memutar lagu favoritnya, After
The Lovin’, menunggu Nicco.
“sudah?”
“iya”
Mereka segera meninggalkan tempat itu menuju rumah yang di
kota. Setibanya di lobi, mereka melihat Luigi sedang memasukkan barang-barang Nick
ke bagasi. Tak lama kemudian, Nick sudah muncul.
“hai, selamat pagi. Kupikir kalian tidak akan pulang”
“tentu saja kami pulang. Kami akan mengantarmu sampai
bandara. Iya kan, Nicco?”
“tentu saja. Sudah siap semuanya?”
“ya, tinggal berangkat saja”
“kau naik ke mobilku saja. Biar Luigi yang membawa bagasimu”
“baiklah”
Nick duduk di belakang. Segera dua mobil itu menuju bandara
Fiumicino. Karena waktu sudah mendekati jam terbang, begitu tiba di bandara dan
memparkir mobil, mereka segera berpamitan. Natale dan Nicco hanya mengantar
sampai di gate.
“salam saja untuk mama dan mmm… siapa adikmu? Eh, maksudku
adik kita”
“Wima”
“ya, salam untuk Wilma. Kapan-kapan kami pasti kesana. Iya
kan, Natale? Atau kalau kau kemari lagi, sekalian bawa Wilma. Aku belum pernah
bertemu dengannya”
“tentu, akan kusampaikan. Pasti Wilma nantinya senang
bertemu denganmu, dan juga punya dua kakak”
Nick memeluk Nicco lalu berpaling ke Natale.
“Natale, jaga diri baik-baik, ya. Ingat dengan kandunganmu
itu”
“tentu, trimakasih atas semuanya. Sekarang sudah ada Nicco.
Jadi, kau tak perlu khawatir”
“ya, tentu. Nicco pasti menjagamu dengan baik. Iya kan, Nicco?”
“tentu saja”
Nick memeluk Natale dan berbisik di telinga Natale.
“aku pergi dulu, sayang. Aku mencintaimu”
Nick lalu segera berlalu dari hadapan Nicco dan Natale
sambil melambaikan tangannya. Natale masih agak bingung dengan sikap Nick baru
saja. Ia menatap Nicco yang sedang menatap Nick. Ia yakin, Nicco tidak
mendengar apa yang baru saja dikatakan Nick kepadanya. Tentulah terjadi
keributan jika Nicco mendengarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar