Kamis, 10 Desember 2015

MY SAKURA (bagian 18)



Pagi itu, Emily datang ke kantor agak terlambat. Setelah meletakkan tasnya di mejanya, ia segera ke kantor Yamada. Ia melihat Yamada sudah berada di mejanya. Ia masih saja berdiri mematung di hadapan Yamada. Yamada menghentikan aktivitasnya.
“ada apa, Ms. Grey? Duduklah”
“trimakasih, Yamada-san”
Setelah duduk…
“aku ingin menyerahkan ini”
“apa ini?”
Yamada mengamati selembar kertas yang ada di atas mejanya.
“surat pengunduran diriku. Aku bermaksud ingin mengundurkan diri. Aku ingin meneruskan sekolahku”
“sekolah?”
“ya”
“hanya karena alasan itu?”
“i-iya”
“hhh… baiklah. Aku akan menandatanganinya. Setelah ini, serahkan surat ini ke HRD. Dan kamu sudah tahu kan tentang peraturan di perusahaan ini? Bahwa surat pengunduran diri berlaku 1 bulan setelah surat ini aku setujui. Jadi, selama sebulan ke depan kau masih bekerja disini”
“jadi… kau langsung menyetujuinya?” Emily seakan tak percaya.
“ya, kenapa? Itu hak kamu, Ms. Grey”
“ya, aku mengerti”
Setelah surat itu di tanda tangani Yamada, Emily segera mengambil surat itu lagi.
“trimakasih, Yamada-san”
Sepeninggal Emily, Yamada lebih banyak melamun. Pekerjaan yang harus ia selesaikan hanya ia pandangi saja. Ia lalu meraih ponselnya.
“ada apa, Kei-chan?”
“ehm… aku hanya ingin mengabarkan kepada papa kalau aku belum bisa kesana dalam waktu dekat ini”
“mengapa? Apakah ada pekerjaan yang lebih penting?”
“sebenarnya… y-ya, seperti itulah. Aku akan pergi ke kantor cabang yang ada di Wellington. Mungkin untuk seminggu. Tapi nanti kalau masih ada waktu, aku akan sekalian mampir ke Tokyo”
“ah… ya, kau benar. Selama ini aku juga jarang sekali kesana”
“iya, pa”
“baiklah, tidak apa-apa. Kalau ada waktu saja kau kesini”
“trimakasih, pa”
Setelah dari HRD, Emily bermaksud kembali ke lantai atas. Namun ia bertemu Ryunosuke di koridor.
“selamat pagi, Emily? Dari mana?”
“dari HRD”
“ada perlu apa kau kesana?”
“hhh… aku bermaksud untuk mengundurkan diri. Aku ingin kembali ke sekolah menyelesaikan kuliahku yang tertunda”
“kau? Apakah Yamada menyetujuinya?”
“ya, dia langsung menandatanganinya. Makanya langsung kubawa kesini”
“bagaimana bisa Yamada langsung menyetujuinya? Bukankah…”
“ada apa, Ryunosuke?”
“ah… tidak, tidak. Tapi mengapa, Emily? Posisimu sudah bagus di perusahaan ini. Ini adalah pekerjaan impianmu, kan?”
“aku sudah cukup puas dengan semua ini. Aku tidak bisa bekerja di perusahaan ini lagi, Ryunosuke. Disini aku tidak punya waktu lagi untukku sendiri dan juga keluargaku. Aku membutuhkan kehidupanku yang dulu. Aku pergi dulu, Ryunosuke. Yamada sudah menungguku”
Emily buru-buru masuk ke lift yang ada di depannya.

“apa?! Ke Wellington? Seminggu? Tidak, tidak. Aku tidak bisa ikut!”
“mengapa? Surat pengunduran dirimu berlaku mulai bulan depan. Jadi bulan ini kau tetap harus mendampingi aku kemana pun aku pergi dalam rangka tugas. Kau mengerti, Ms. Grey?”
Emily hanya terduduk pasrah di kursinya.
“semua akomodasi sudah disiapkan semuanya. Seminggu lagi kita berangkat”
Yamada segera meninggalkan Emily yang masih terduduk di kursi ruang kerjanya.
“disaat aku ingin melupakan segalanya, kau malah mengajakku ke Wellington untuk seminggu dan hanya kita berdua saja? Brengsek kau, Yamada!” umpat Emily.
“apa yang kau tunggu, Ms. Grey?” seru Yamada dari luar kantornya.
Dengan tergesa-gesa, Emily keluar dan mengikuti langkah Yamada menuju ruang meeting.

Malam itu Emily masih berbaring di tempat tidurnya. Ia hanya mendengarkan saja Anna yang nyerocos tanpa bisa dihentikan.
“sebenarnya apa yang kau inginkan, Emily? Ha?! Kau sudah mempunyai segalanya. Kau sudah mempunyai calon suami yang baik seperti Ryunosuke. Kau sudah punya pekerjaan yang mapan dan posisi bagus di perusahaan itu. Sekarang? Ryunosuke pergi. Kau juga malah akan meninggalkan pekerjaanmu. Menurutku, hidupmu sudah benar-benar sempurna, Emily!”
“karena kau bukan aku, Anna” jawab Emily santai.
“selain karena ingin sekolah lagi, apakah ada alasan yang lainnya mengapa kau berniat keluar?”
“ya, aku ingin melupakan Yamada. Berat sekali untukku, Anna”
“di saat kalian sudah sama-sama sendiri, mengapa kau malah akan melupakannya. Kalau kau menyukainya, mengapa kau malah ingin menghindarinya?”
“dia sudah tahu kalau aku mencintainya. Tapi… tidak ada kata-kata yang tegas darinya untukku. Aku bingung, ragu. Aku juga butuh kejelasan, Anna. Tapi itu semua tidak kudapatkan darinya. Jadi kupikir… lebih baik aku menghindar saja. Mungkin ini langkah yang terbaik untukku. Sudahlah, jangan membicarakan Ryunosuke ataupun Yamada lagi! Aku lelah, Anna!”
“Emily, sebenarnya ada sesuatu hal yang ingin kuberitahu kepadamu”
“apa?”
“sebenarnya… Ryunosuke sudah tahu hubunganmu dengan Yamada. Itulah mengapa ia memilih pindah ke London”
“hubungan? Hubungan apa? Kami tidak ada hubungan apa-apa, Anna!”
“malam itu, ia melihatmu sedang berpelukan dengan Yamada di taman itu. Hatinya hancur, ia sedih sekali, Emily. Dia bingung harus berbuat apa. Dan akhirnya ia menelponku”
Emily bangkit dari tidurnya dengan mulut yang ternganga.
“jadi…?”
“ya, sebenarnya dia sendiri yang meminta untuk pindah ke London. Ia ingin memberimu kesempatan untuk membina hubungan dengan Yamada. Tapi mengapa kau malah mengundurkan diri, Emily?”
“jadi… ia melihatku dengan Yamada? How come?”
“Ryunosuke telah banyak berkorban untukmu, Emily. Dia sangat baik sekali. Dia tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Hhh… tapi semuanya sudah terlambat. Dia akan segera pindah ke London dan surat pengunduran dirimu sudah di tanda tangani oleh Yamada. Bukankah seharusnya Yamada merasa berat untuk melepasmu kalau dia benar-benar menyukaimu? Tetapi, mengapa dia dengan mudahnya menyetujui pengunduran dirimu?”
Emily hanya bisa terdiam sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.

Tibalah hari dimana Emily harus melakukan perjalanan jauh ke Wellington. Mereka naik Qantas yang dari John F. Kennedy jam 18:45 dan harus transit di Sydney sebelum melanjutkan perjalanan lagi menuju Wellington. Mereka akan sampai di tujuan jam 14:35 waktu setempat. Yamada hanya membawa tas ranselnya yang tak terlalu besar. Sedangkan Emily? Membawa sekoper besar penuh dengan pakaiannya.
“kau hanya membawa tas itu?”
“mengapa?”
“tapi bukankah kita akan berada disana selama seminggu?”
“tak masalah untukku. Disana juga ada toko pakaian, kan?”
Emily hanya mendengus kesal.
Disaat yang bersamaan, Ryunosuke juga sedang ada di bandara yang sama dengan mereka untuk pergi menuju London. Ia memakai pesawat US Airways jam 18:35 yang direct dan tiba di London Heathrow jam 06:30 waktu setempat.



Selepas tengah hari, sampailah mereka di bandara Wellington. Ada seorang sopir dan seorang perwakilan dari kantor cabang yang menjemput mereka.
“selamat datang di Wellington, Yamada-san, Ms. Grey. Perkenalkan, namaku Nishida, sekretaris Mr. Roberts. Maafkan karena bukan Mr. Roberts sendiri yang menjemput karena Mr. Roberts sedang berada di Auckland”
“tidak apa-apa, trimakasih”
Mereka segera membawakan beberapa barang yang dibawa Yamada dan Emily. Emily yang memang belum pernah ke Wellington sangat takjup dengan pemandangan indah yang mereka lalui. Mereka melewati Evans Bay, Alexandra Park, Basin Reserve dan sampailah mereka di Thorndon. Mereka menginap di Bolton Hotel dan kamar mereka bersebelahan.
Setelah mempersilahkan Yamada dan Emily beristirahat, Nishida dan sopirnya meninggalkan hotel itu. Emily hanya menghempaskan tubuhnya di tempat tidurnya. Tak percaya kalau saat itu ia sedang berada di Selandia Baru. Tak terasa ia pun tertidur sampai hari menjelang gelap. Ia terbangun ketika pintunya diketuk seseorang dari luar. Dengan malas ia membukanya.
“oh, kau. Ada apa?”
“ini sudah waktunya makan malam, Ms. Grey”
“hhh… baiklah, tunggu sebentar. Atau kalau tidak, kau bisa berangkat dulu. Nanti aku akan menyusulmu”
“itu kurang baik, Ms. Grey. Aku akan menunggumu”
Dengan terburu-buru, Emily segera mandi dan berpakaian. Tak lama kemudian, ia dan Yamada sudah berada di restoran yang ada di hotel itu untuk makan malam. Ternyata disana sudah ada Nishida. Mereka makan malam sambil mengobrol.
“sudah berapa lama kau disini, Nishida-san?” Emily bertanya.
“sudah 10 tahun aku ditugaskan di kantor cabang sini oleh Yamada Yasuo”
“sudah lama sekali. Apakah kau tidak bosan?”
“tidak, disini pemandangannya sangat indah. Itulah mengapa aku betah disini”
“kalau aku memerlukanmu untuk bekerja di kantor Manhattan, apakah kau mau?”
“waaahh… tentu saja aku mau. Kapan pun anda memerlukanku, aku siap, Yamada-san”
“kemungkinan bulan depan. Aku memerlukan sekretaris baru. Itu karena Ms. Grey memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan ini”
“oya? Sayang sekali, Ms. Grey”
“eh… itu karena aku ingin melanjutkan sekolahku yang sempat tertunda, Nishida-san”
“oya, mungkin Mr. Roberts baru pulang 2 hari lagi. Kami sudah menyiapkan mobil berikut sopirnya untuk mengantar kemanapun anda ingin pergi, Yamada-san. Sementara menunggu Mr. Roberts pulang dari Auckland”
“ya, trimakasih. Sudah lama aku tidak kesini”
“ya, anda kesini terakhir kali 5 tahun yang lalu. Itu sudah lama sekali”
“apakah aku bisa membawa sendiri mobilku? Maksudku… aku tidak memerlukan sopir”
“boleh, boleh. Tapi, bagaimana kalau kalian tersesat?”
“mudah saja. Aku bisa telpon kamu, kan?”
“ah… ya. Boleh, boleh. Atau kalau tidak, mobilnya aku tinggal sekarang saja. Aku akan menyuruh seseorang menjemputku”
“trimakasih, Nishida-san”
 
Bolton Hotel, Wellington


Setelah makan malam selesai, Nishida segera pamit.
“maaf, aku sepertinya juga akan langsung masuk ke kamarku, Yamada”
“hari belum terlalu larut, Ms. Grey”
“sepertinya aku harus istirahat sekarang, maaf”
“ya, silakan”
Emily naik ke kamarnya. Sedangkan Yamada malah menuju lobi dan pergi meninggalkan hotel itu dengan mobil Nishida.
Malam itu kota Wellington agak ramai. Ia mengarahkan mobilnya menuju Jervois Quay. Ternyata ia hanya menuju pelabuhan di Clyde Quay Wharf Wellington. Banyak kapal-kapal kecil yang bersandar disana. 
 
Clyde Quay Wharf Wellington
Setelah memparkir mobilnya, ia hanya berdiri di tepi pagar pembatas. Seseorang menepuk bahunya. Yamada terkejut dan menoleh.
“ya?”
Seorang perempuan cantik dan berambut pirang berumur sebayanya tersenyum manis.
“kau sudah lupa denganku?”
“siapa, ya? Maaf, aku lupa”
“kau Yamada, kan?”
“ya, siapa kau?”
“pantas kalau kau sudah lupa. Terakhir kali kamu kesini mungkin sekitar 5 tahun yang lalu. Aku Abby Roberts. Apakah kau sudah ingat?”
“apakah… kau putri Mr. Roberts?”
“akhirnya kau ingat juga. Apa kabar?”
“baik. Bagaimana juga dengan kabarmu?”
“seperti yang kau lihat. Ada acara apa kau kemari?”
“hanya kunjungan biasa”
“ah, iya. Maaf, aku lupa kalau sekarang kau adalah pimpinan tertinggi dari Yamada Group”
“sudahlah, Abby. Mengapa malam-malam seperti ini kau disini seorang diri?”
“kalau aku sedang suntuk, aku pasti datang ke tempat ini”
“berarti saat ini kau sedang suntuk, ya?”                                                                
“begitulah. Tapi sepertinya suntukku sudah terobati. Aku bertemu denganmu. Iya, kan?”
Yamada hanya tersenyum dan salah tingkah.
“berhubung kau sudah disini, mengapa kita tidak berlayar saja? Kapalku masih ada di sebelah sana”
“eh, sepertinya… tidak, trimakasih”
“mengapa?”
“ini sudah agak malam”
“ayolah, Yamada”
Tanpa menunggu persetujuan dari Yamada, Abby menyeret tangan Yamada menuju kapalnya yang berada di ujung dermaga. Yamada sampai terkejut dan hampir terjatuh. Abby memerintahkan kepada nahkoda kapalnya agar menjalankan kapal miliknya itu.
“ada apa?”
“tapi ini sudah malam, nona”
“kalau kau takut, aku nanti yang akan bertanggung jawab kepada papaku”
“i-iya”
Mereka hanya berlayar mengelilingi Lambton Harbour. Angin malam menyibakkan rambut mereka. Mereka berdiri di atas dek kapal.
“indah sekali, kan? Aku tahu kau pasti sangat menyukainya, Yamada. Aku masih ingat kalau kau selalu suka akan laut dan kapal. Atau… kesukaanmu itu sudah berubah begitu kau tinggal di Manhattan sana?”
“tidak, aku masih menyukai laut dan kapal. Aku masih sering melakukan kegiatan yang aku suka disana”
“bukankah kalau sudah menjadi seorang pimpinan maka pekerjaanmu akan banyak sekali?”
“aku ke laut tidak setiap hari juga, kan?”
“hahaha… kau benar. Kau sudah berubah banyak, Yamada”
Abby meninju lengan Yamada.
“aku? Aku merasa tidak berubah sama sekali. Apanya yang berubah?”
“sikapmu. Kau lebih banyak diam sekarang. Atau… ini semua karena pekerjaanmu yang bisa mengubahmu?”
“tidak juga”
“oya, dengan siapa kau kemari? Pastinya tidak sendirian, kan?”
“ya, aku tidak sendiri. Aku dengan sekretarisku”
“pasti perempuan. Cantik, ya?”
“tentu saja. Dan kami juga berasal dari rumpun yang sama”
“kau pasti menyukainya, ya? Hahaha…”
“kau benar, aku sangat menyukainya. Hei… kenapa?”
Abby duduk di kursinya dan menyerahkan segelas minuman untuk Yamada.
“maaf, aku tidak minum”
“hanya untuk malam ini saja, ayolah! Sedikit juga boleh”
Yamada hanya tersenyum kecil, meraih gelas dari tangan Abby dan duduk di samping Abby.
“berapa lama kau akan tinggal disini?”
“hanya semimggu. Setelah itu aku akan ke Tokyo baru pulang ke Manhattan”
“berarti besok kita bisa jalan-jalan bersama. Iya, kan? Aku akan membawamu ke tempat-tempat yang dulu biasa kita kunjungi. Wellington sudah berubah banyak, Yamada”
“eh… maaf, tapi aku besok sudah ada acara”
“acara apa? Papaku datangnya masih lusa”
“itu…”
“ayolah, aku akan menjemputmu di hotelmu. Jam 10 kau sudah harus siap, oke?”
Abby berdiri lagi dan bersandar di tepi kapal. Yamada hanya bisa menatap punggung Abby. Yamada juga ikut berdiri di samping Abby.
“hai, Yamada. Kudegar kau sudah menikah, ya? Mengapa kau tak mengundangku?”
“maaf kalau aku tidak mengundangmu. Tapi… istriku sudah meninggal beberapa bulan yang lalu”
“oh, maafkan aku. Aku tidak tahu. Tapi mengapa? Apakah dia sakit?”
“bagaimana kalau sebaiknya tidak membicarakan hal itu? Bagaimana denganmu?”
“aku? Menikah?”
“mengapa?”
“sebenarnya aku baru marah dengan David”
“kekasihmu itu?”
“ya”
“ada masalah apa diantara kalian?”
“ini masalah intern, Yamada. Kau tak perlu tahu!”
Yamada lagi-lagi hanya tersenyum melihat tingkah Abby yang masih kekanak-kanakan.
“mengapa kau tak mencari pendamping hidup lagi?”
“sudah ada”
“ada? Siapa? Bolehkah aku tahu?”
“ini masih rahasia”
“hmmm… sekarang kau berlagak rahasia di depanku. Ayolah…”
“tidak sekarang, Abby. Suatu saat aku pasti akan memberitahumu”
“dan aku akan sangat marah sekali kalau kau menikah tetapi tidak mengundangku lagi”
“aku berpikir, kalau kau hadir apa tidak terlalu jauh?”
“tidak, lagipula aku belum pernah kesana. Tapi… kau akan menikah di Amerika ataukah di Jepang?”
“aku belum berpikir sejauh itu, Abby. Tapi kalau sudah pasti, kau pasti kuundang. Jangan khawatir”
Mereka berkeliling Lambton Harbour sampai hari menjelang tengah malam.
“kita harus pulang sekarang, Abby”
“tapi aku masih ingin disini bersamamu”
“ini sudah hampir tengah malam. Naik apa kau tadi kesini?”
“naik taksi. Kau tahu? Sampai sekarang aku masih belum boleh membawa kendaraanku sendiri oleh papa! Mengapa sedari tadi kau hanya tersenyum terus…?!”
“aku tidak menyalahkan papamu. Aku masih ingat betul, Abby. Sewaktu kau mengendarai mobilmu…”
“… sudah, sudah, sudah! Aku tak mau membicarakan hal itu lagi, Yamada! Ayo, kita pulang sekarang!”
Yamada hanya tersenyum geli melihat tingkah Abby. Kapal kembali merapat ke dermaga. Yamada mengantar Abby pulang yang rumahnya tak terlalu jauh dari dermaga.
“apakah kau akan mampir sebentar?”
“tidak, trimakasih. Ini sudah malam. Lain kali saja”
“kau bisa menghubungiku kalau kau ada perlu sesuatu”
“thanx. Selamat malam, Abby”
Setelah Abby masuk ke rumahnya, Yamada juga meninggalkan tempat itu menuju hotelnya. Ia melewati kamar Emily. Ia berhenti dan bermaksud mengetuk pintu kamarnya. Namun ia mengurungkan niatnya. Ia lalu menuju kamarnya, istirahat.

Setelah sarapan…
“aku ingin mengajakmu berkeliling negri ini, Ms. Grey. Bukankah kau belum pernah berkunjung kemari”
“ya, tentu. Pastinya akan sangat menyenangkan sekali. Negri ini terlalu indah”
“dari buku yang pernah kubaca, New Zealand adalah negara terindah di dunia kedua setelah Switzerland”
“I can see that. Oya, bisakah kita pergi sekarang? Karena ini sudah agak siang”
“baiklah, aku akan menunggumu di lobi”
Emily segera kembali ke kamarnya dan mengambil tas besarnya yang berisi dokumen-dokumen yang akan diserahkan kepada Mr. Roberts. Setelah itu, bergegas ia menuju lobi untuk menemui Yamada.
“aku sudah siap, Yamada”
“apa yang kau bawa itu?”
“bukankah dokumen-dokumen ini nantinya akan diserahkan kepada Mr. Roberts?”
“siapa yang bilang kalau hari ini kita akan bertemu dengannya?”
“tapi, bukankah...”
“... hari ini aku ingin mengajakmu mengelilingi Wellington saja. Aku sudah membatalkan janjiku dengannya”
“mengapa kau tidak memberitahuku?”
“sekarang kau sudah tahu, kan? Titipkan saja barang-barangmu di resepsionis disana itu”
“baiklah, tunggu sebentar”
Dengan agak dongkol, Emily menitipkan tasnya yang besar ke resepsion lalu menuju ke tempat dimana Yamada menunggunya. Namun ia terkejut sewaktu Yamada sudah ada di depan lobi dengan mengendarai sebuah motor!
“kita... mengapa...?”
“ada apa lagi? Naiklah!”
“tapi... mengapa kita tidak naik mobil yang kemarin saja? Mengapa harus naik motor?”
“aku sedang ingin naik motor. Kau keberatan?”
“hhh... baiklah, tunggu sebentar. Aku harus mengganti bajuku”
“tidak perlu”
“what?! Apa kau tidak melihat kalau aku sekarang mengenakan blazer dan rok pendek?”
“trus? Ada masalah dengan itu? Ayo, naiklah!”
Dengan masih merasa kesal, Emily naik ke atas motor di belakang Yamada. Ia terpaksa menarik rok pendeknya lebih ke atas lagi walau sebenarnya ia merasa risih dengan itu semua. Ia berusaha untuk duduk dengan nyaman walaupun tidak bisa. Yamada hanya tersenyum geli.
“kau tidak perlu tertawa, Yamada!”
“oke... oke...”
Yamada segera menjalankan motornya perlahan karena berada di dalam kota. Ia mengarahkan motornya ke Mt. Victoria. Dari sana jalan mulai berkelok-kelok dan menanjak. Namun Yamada mengendarai motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Mau tak mau Emily berpegangan erat di pinggang Yamada.

Mt. Victoria

“Yamada, bisakah kau pelan-pelan saja?!”
Yamada tak menggubris teriakan Emily. Ia malah semakin menambah kecepatan motornya. Emily memukuli punggung Yamada.
“hentikan, Yamada! Hentikan motor ini! Aku mau turun sekarang!”
Karena Emily memukuli punggungnya terus, Yamada menurunkan kecepatan laju motornya lalu perlahan berhenti di pinggir jalan yang sepi. Hanya ada beberapa mobil saja yang lewat. Buru-buru Emily turun dari motor Yamada dan membereskan rambut sebahunya yang kusut berantakan.
“ada apa?”
“kalau kau mau mati, silahkan! Aku tak mau ikut denganmu, Yamada!”
“lalu... bagaimana kau akan pulang?”
“aku akan menumpang mobil yang lewat. Mereka pasti mau memberiku tumpangan. Atau aku bisa jalan kaki dari sini”
Yamada tertawa tertahan.
“jalan kaki? Are you kidding?”
Emily semakin sewot dibuatnya.
“lihatlah dirimu, Ms. Grey. Rambut yang selama ini kau banggakan jadi kusut seperti itu”
“dari dulu kau memang brengsek, Kei!” teriak Emily sambil melangkah meninggalkan Yamada yang masih berada di atas motornya. Ia berjalan sambil menenteng sepatunya yang high heels. Yamada mengiringi langkah Emily sambil masih terus di atas motornya.
“ayo, naiklah!”
“tidak!”
Yamada melintangkan motornya di depan Emily hingga Emily menghentikan langkahnya.
“naiklah, Emily” Yamada merendahkan suaranya,”please...”
Emily hanya menatap Yamada. Karena tidak biasanya Yamada memanggilnya seperti itu.
“ayolah. Aku akan membawamu ke tempat yang indah lagi. Dan aku janji, aku tidak akan ngebut lagi. Kau mau, kan?”
Lagi-lagi Emily hanya terpana dengan Yamada. Yamada yang biasanya brengsek menurutnya dan tidak mau kalah, sekarang mencoba membujuk Emily. Perlahan Emily kembali naik ke motor Yamada. Dan benar saja, perlahan Yamada menjalankan motornya lagi menyusuri jalan-jalan pegunungan yang berbelok-belok itu. Dari sana mereka bisa melihat Oriental Bay. Sangat indah.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai di puncaknya, di Charles Plimmer Park. Sepi karena memang bukan hari libur. Emily lalu duduk di sebuah bangku sedangkan Yamada hanya berdiri sambil masih menatap Oriental Bay.

Charles Plimmer Park
 
Charles Plimmer Park

“benar apa kataku, kan? Hei... beritahukan kepadaku kalau kau menyukai tempat ini, Emily”
“eh, ehm... a-aku... y-ya, aku menyukainya. Trimakasih sudah membawaku kesini”
Yamada lalu duduk di samping Emily.
“ada apa denganmu?”
“aku? A-aku tidak apa-apa. Mengapa?”
“sepertinya kau gugup. Apakah aku benar?”
“eh... itu hanya perasaanmu saja. Sudahlah!”
“oya, aku dengar kau sudah putus dari kekasihmu itu”
Emily hanya menatap Yamada.
“kau? Dari mana kau bisa tahu?”
“dinding pun punya telinga, Ms. Grey. Itulah mengapa aku mengajakmu ke Wellington. Jadi... dia lebih memilih untuk pindah ke kantor cabang London daripada memilihmu? Berarti, dia yang lebih brengsek daripada aku. Iya, kan?”
“kau tak perlu tahu segala urusanku, Yamada. Ini hidupku. Untuk apa kau sibuk-sibuk ikut mengurusnya?”
“katakan kepadaku, Ms. Grey. Sebenarnya apa yang kau harapkan dari seorang pria?”
“kepastian suatu hubungan”
“hanya itu?”
“kalau itu sudah bisa dipegang, maka untuk hubungan ke depannya akan lebih mudah”
“apakah kau tidak mendapatkan itu semua dari Ryunosuke?”
“aku mendapatkannya. Namun sayangnya ia lebih memilih pergi ke London”
“dengar aku, Ms. Grey. Bagaimana kalau aku menawarkan kepadamu sebuah kepastian tentang hubungan?”
“apa yang kau maksud, Yamada?”
“sepertinya sudah sangat jelas sekali. Aku menawarkan tentang kepastian hubungan kepadamu. Apakah kau mau menerimanya?”
“aku tidak mau kamu bercanda”
“apakah kau pernah melihatku bercanda? Sekarang, katakan kepadaku. Apa jawabanmu?”
Emily berdiri dari duduknya.
“sewaktu di parkiran tadi, bukankah kau akan mengajakku ke tempat yang indah? Kau bilang dari sana kita bisa melihat Oriental Bay”
“ya, masih ada diatas sana”
“kalau begitu, mengapa kau tidak membawaku kesana sekarang?”
“kau jangan mengalihkan pembicaraan, Ms. Grey. Kau belum menjawab pertanyaanku”
Emily terdiam. Dengan perlahan, ia mencium bibir Yamada beberapa saat lamanya.
“apakah itu sudah menjadi jawaban bagimu?”
“belum”
Emily kembali mencium bibir Yamada dengan lebih berani. Kali ini Yamada membalasnya.
“apakah itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi sebuah jawaban untukmu, Kei?”
“kalau kau mau menerima cincin ini terpasang di jarimu, aku baru akan menganggap itu sebuah jawaban”
Yamada mengeluarkan cincin indah dari dalam kotaknya dan meraih tangan Emily.
“maukah kau menikah denganku, Emily Grey?”
Emily menutup mulutnya yang ternganga lebar, seakan masih belum percaya.
“apakah kau serius?”
“seperti yang kukatakan. Aku tidak pernah bercanda. Will you marry me?”
“kau tahu, Kei? Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah memikirkanmu, sejak kita berpisah waktu itu. Tapi setelah tahu kalau kita akhirnya satu sekolah, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku hanya bisa mencintaimu dalam diam. Pun sewaktu kau menikah kemarin. Aku tetap mencintaimu, Kei”
“jadi...?”
“yes, I do”
Gantian Yamada yang mencium Emily.
“apakah kita akan pulang sekarang?”
“tidak, aku akan membawamu ke tempat yang indah lagi. Dari sana kita bisa melihat Oriental Bay lebih jelas”
Emily mengulurkan tangannya. Dengan bergandengan tangan, mereka menuju tempat yang dimaksud Yamada. Setelah sampai...
“bagaimana?”
“dari mana kau tahu ada tempat-tempat indah seperti ini?”
“karena aku pernah ke tempat-tempat itu”
“hei, Yamada. Aku ingin tahu tentang sesuatu. Sejak kapan kau mulai mencintaiku?”
“sejak kita masih tinggal di Tokyo”
“apakah selama itu kau pernah jatuh cinta lagi kepada perempuan lain? Maksudku... sebelum kita bertemu lagi di Manhattan”
“tidak. Aku tidak pernah bisa mencintai perempuan lain. Menyedihkan, ya?”
“lalu, istrimu...”
“aku menikah dengannya karena mengikuti tradisi keluarga Yamada”
“jadi... kalau istrimu masih hidup, kau...”
“... ya, aku akan tetap menjadi suaminya sampai sekarang”
“sebegitu besarnya penghormatanmu pada keluargamu sehingga kau mengorbankan kebahagiaan dirimu sendiri?”
“ya”
Emily menatap jauh ke depan.
“bukan tidak mungkin mereka akan mencarikan jodoh untukmu lagi. Dan kalau itu terjadi, apa yang akan kau lakukan?”
“aku tidak bisa menjawabnya. Tolong kau mengerti”
Emily menundukkan kepalanya.
“Emily...?”
Yamada membungkukkan badannya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Emily. Ia melihat ada air mata di wajah Emily. Dengan jemarinya, Yamada menghapus air mata itu.
“hei, mengapa kau menangis?”
“aku mencintaimu, Kei. Sangat” bisik Emily.
Yamada menatap Emily dan memegang pipi Emily dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara ponselnya yang berbunyi. Ia mengambilnya dari sakunya.
“ya, Nishida-san? Ada apa?”
“sepertinya nanti malam Mr. Roberts ingin mengajakmu untuk makan malam di rumahnya, Yamada-san. Apakah kau akan menghadirinya?”
“tentu. Aku dan Ms. Grey pasti akan menghadirinya. Trimakasih, Nishida-san”
“ada apa?”
“Mr. Roberts mengundang kita untuk makan malam di rumahnya. Dan sebaiknya kita juga kembali ke hotel sekarang”
“mengapa?”
“hari sudah siang sekali, Ms. Grey”
“tapi aku masih ingin disini saja bersamamu. Apakah boleh?”
“sebenarnya aku pun masih ingin disini. Tapi sayangnya, jadwalku mengatakan tidak”
“jadwal? Apakah kita ada jadwal untuk sore ini? Karena sepengetahuanku, tidak ada jadwal apapun untuk hari ini”
“ehm... itu... aku harus menemui seseorang. Aku sudah berjanji”
“siapa?”
“hhh... baiklah. Namanya Abby. Dia putri dari Mr. Roberts”
“apakah... kalian...?”
“... kau jangan berpikiran yang macam-macam tentang kami. Dia teman lamaku, karena aku dulu pernah tinggal disini beberapa lama”
“aku percaya kepadamu. Kau tidak pernah main-main dengan suatu hubungan”
“tentu”
Yamada membelai rambut Emily.
“jadi, bisakah kita pulang sekarang?”
Emily hanya tersenyum dan mengangguk. Ia naik kembali ke motor Yamada. Namun kali ini ia naik dengan perasaan nyaman sambil terus memeluk Yamada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar