Pagi
itu, Emily datang ke kantor agak terlambat. Setelah meletakkan tasnya di
mejanya, ia segera ke kantor Yamada. Ia melihat Yamada sudah berada di mejanya.
Ia masih saja berdiri mematung di hadapan Yamada. Yamada menghentikan
aktivitasnya.
“ada
apa, Ms. Grey? Duduklah”
“trimakasih,
Yamada-san”
Setelah
duduk…
“aku
ingin menyerahkan ini”
“apa
ini?”
Yamada
mengamati selembar kertas yang ada di atas mejanya.
“surat
pengunduran diriku. Aku bermaksud ingin mengundurkan diri. Aku ingin meneruskan
sekolahku”
“sekolah?”
“ya”
“hanya
karena alasan itu?”
“i-iya”
“hhh…
baiklah. Aku akan menandatanganinya. Setelah ini, serahkan surat ini ke HRD.
Dan kamu sudah tahu kan tentang peraturan di perusahaan ini? Bahwa surat
pengunduran diri berlaku 1 bulan setelah surat ini aku setujui. Jadi, selama
sebulan ke depan kau masih bekerja disini”
“jadi…
kau langsung menyetujuinya?” Emily seakan tak percaya.
“ya,
kenapa? Itu hak kamu, Ms. Grey”
“ya,
aku mengerti”
Setelah
surat itu di tanda tangani Yamada, Emily segera mengambil surat itu lagi.
“trimakasih,
Yamada-san”
Sepeninggal
Emily, Yamada lebih banyak melamun. Pekerjaan yang harus ia selesaikan hanya ia
pandangi saja. Ia lalu meraih ponselnya.
“ada
apa, Kei-chan?”
“ehm…
aku hanya ingin mengabarkan kepada papa kalau aku belum bisa kesana dalam waktu
dekat ini”
“mengapa?
Apakah ada pekerjaan yang lebih penting?”
“sebenarnya…
y-ya, seperti itulah. Aku akan pergi ke kantor cabang yang ada di Wellington.
Mungkin untuk seminggu. Tapi nanti kalau masih ada waktu, aku akan sekalian
mampir ke Tokyo”
“ah…
ya, kau benar. Selama ini aku juga jarang sekali kesana”
“iya,
pa”
“baiklah,
tidak apa-apa. Kalau ada waktu saja kau kesini”
“trimakasih,
pa”
Setelah
dari HRD, Emily bermaksud kembali ke lantai atas. Namun ia bertemu Ryunosuke di
koridor.
“selamat
pagi, Emily? Dari mana?”
“dari
HRD”
“ada
perlu apa kau kesana?”
“hhh…
aku bermaksud untuk mengundurkan diri. Aku ingin kembali ke sekolah
menyelesaikan kuliahku yang tertunda”
“kau?
Apakah Yamada menyetujuinya?”
“ya,
dia langsung menandatanganinya. Makanya langsung kubawa kesini”
“bagaimana
bisa Yamada langsung menyetujuinya? Bukankah…”
“ada
apa, Ryunosuke?”
“ah…
tidak, tidak. Tapi mengapa, Emily? Posisimu sudah bagus di perusahaan ini. Ini adalah
pekerjaan impianmu, kan?”
“aku
sudah cukup puas dengan semua ini. Aku tidak bisa bekerja di perusahaan ini
lagi, Ryunosuke. Disini aku tidak punya waktu lagi untukku sendiri dan juga
keluargaku. Aku membutuhkan kehidupanku yang dulu. Aku pergi dulu, Ryunosuke.
Yamada sudah menungguku”
Emily
buru-buru masuk ke lift yang ada di depannya.
“apa?!
Ke Wellington? Seminggu? Tidak, tidak. Aku tidak bisa ikut!”
“mengapa?
Surat pengunduran dirimu berlaku mulai bulan depan. Jadi bulan ini kau tetap
harus mendampingi aku kemana pun aku pergi dalam rangka tugas. Kau mengerti,
Ms. Grey?”
Emily
hanya terduduk pasrah di kursinya.
“semua
akomodasi sudah disiapkan semuanya. Seminggu lagi kita berangkat”
Yamada
segera meninggalkan Emily yang masih terduduk di kursi ruang kerjanya.
“disaat
aku ingin melupakan segalanya, kau malah mengajakku ke Wellington untuk
seminggu dan hanya kita berdua saja? Brengsek kau, Yamada!” umpat Emily.
“apa
yang kau tunggu, Ms. Grey?” seru Yamada dari luar kantornya.
Dengan
tergesa-gesa, Emily keluar dan mengikuti langkah Yamada menuju ruang meeting.
Malam
itu Emily masih berbaring di tempat tidurnya. Ia hanya mendengarkan saja Anna
yang nyerocos tanpa bisa dihentikan.
“sebenarnya
apa yang kau inginkan, Emily? Ha?! Kau sudah mempunyai segalanya. Kau sudah
mempunyai calon suami yang baik seperti Ryunosuke. Kau sudah punya pekerjaan
yang mapan dan posisi bagus di perusahaan itu. Sekarang? Ryunosuke pergi. Kau
juga malah akan meninggalkan pekerjaanmu. Menurutku, hidupmu sudah benar-benar
sempurna, Emily!”
“karena
kau bukan aku, Anna” jawab Emily santai.
“selain
karena ingin sekolah lagi, apakah ada alasan yang lainnya mengapa kau berniat
keluar?”
“ya,
aku ingin melupakan Yamada. Berat sekali untukku, Anna”
“di
saat kalian sudah sama-sama sendiri, mengapa kau malah akan melupakannya. Kalau
kau menyukainya, mengapa kau malah ingin menghindarinya?”
“dia
sudah tahu kalau aku mencintainya. Tapi… tidak ada kata-kata yang tegas darinya
untukku. Aku bingung, ragu. Aku juga butuh kejelasan, Anna. Tapi itu semua
tidak kudapatkan darinya. Jadi kupikir… lebih baik aku menghindar saja. Mungkin
ini langkah yang terbaik untukku. Sudahlah, jangan membicarakan Ryunosuke
ataupun Yamada lagi! Aku lelah, Anna!”
“Emily,
sebenarnya ada sesuatu hal yang ingin kuberitahu kepadamu”
“apa?”
“sebenarnya…
Ryunosuke sudah tahu hubunganmu dengan Yamada. Itulah mengapa ia memilih pindah
ke London”
“hubungan?
Hubungan apa? Kami tidak ada hubungan apa-apa, Anna!”
“malam
itu, ia melihatmu sedang berpelukan dengan Yamada di taman itu. Hatinya hancur,
ia sedih sekali, Emily. Dia bingung harus berbuat apa. Dan akhirnya ia
menelponku”
Emily
bangkit dari tidurnya dengan mulut yang ternganga.
“jadi…?”
“ya,
sebenarnya dia sendiri yang meminta untuk pindah ke London. Ia ingin memberimu
kesempatan untuk membina hubungan dengan Yamada. Tapi mengapa kau malah
mengundurkan diri, Emily?”
“jadi…
ia melihatku dengan Yamada? How come?”
“Ryunosuke
telah banyak berkorban untukmu, Emily. Dia sangat baik sekali. Dia tidak pantas
mendapatkan perlakuan seperti ini. Hhh… tapi semuanya sudah terlambat. Dia akan
segera pindah ke London dan surat pengunduran dirimu sudah di tanda tangani
oleh Yamada. Bukankah seharusnya Yamada merasa berat untuk melepasmu kalau dia
benar-benar menyukaimu? Tetapi, mengapa dia dengan mudahnya menyetujui
pengunduran dirimu?”
Emily
hanya bisa terdiam sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya.
Tibalah
hari dimana Emily harus melakukan perjalanan jauh ke Wellington. Mereka naik
Qantas yang dari John F. Kennedy jam 18:45 dan harus transit di Sydney sebelum
melanjutkan perjalanan lagi menuju Wellington. Mereka akan sampai di tujuan jam
14:35 waktu setempat. Yamada hanya membawa tas ranselnya yang tak terlalu
besar. Sedangkan Emily? Membawa sekoper besar penuh dengan pakaiannya.
“kau
hanya membawa tas itu?”
“mengapa?”
“tapi
bukankah kita akan berada disana selama seminggu?”
“tak
masalah untukku. Disana juga ada toko pakaian, kan?”
Emily
hanya mendengus kesal.
Disaat
yang bersamaan, Ryunosuke juga sedang ada di bandara yang sama dengan mereka
untuk pergi menuju London. Ia memakai pesawat US Airways jam 18:35 yang direct
dan tiba di London Heathrow jam 06:30 waktu setempat.
Selepas
tengah hari, sampailah mereka di bandara Wellington. Ada seorang sopir dan
seorang perwakilan dari kantor cabang yang menjemput mereka.
“selamat
datang di Wellington, Yamada-san, Ms. Grey. Perkenalkan, namaku Nishida,
sekretaris Mr. Roberts. Maafkan karena bukan Mr. Roberts sendiri yang menjemput
karena Mr. Roberts sedang berada di Auckland”
“tidak
apa-apa, trimakasih”
Mereka
segera membawakan beberapa barang yang dibawa Yamada dan Emily. Emily yang
memang belum pernah ke Wellington sangat takjup dengan pemandangan indah yang
mereka lalui. Mereka melewati Evans Bay, Alexandra Park, Basin Reserve dan sampailah
mereka di Thorndon. Mereka menginap di Bolton Hotel dan kamar mereka
bersebelahan.
Setelah
mempersilahkan Yamada dan Emily beristirahat, Nishida dan sopirnya meninggalkan
hotel itu. Emily hanya menghempaskan tubuhnya di tempat tidurnya. Tak percaya
kalau saat itu ia sedang berada di Selandia Baru. Tak terasa ia pun tertidur
sampai hari menjelang gelap. Ia terbangun ketika pintunya diketuk seseorang
dari luar. Dengan malas ia membukanya.
“oh,
kau. Ada apa?”
“ini
sudah waktunya makan malam, Ms. Grey”
“hhh…
baiklah, tunggu sebentar. Atau kalau tidak, kau bisa berangkat dulu. Nanti aku
akan menyusulmu”
“itu
kurang baik, Ms. Grey. Aku akan menunggumu”
Dengan
terburu-buru, Emily segera mandi dan berpakaian. Tak lama kemudian, ia dan
Yamada sudah berada di restoran yang ada di hotel itu untuk makan malam.
Ternyata disana sudah ada Nishida. Mereka makan malam sambil mengobrol.
“sudah
berapa lama kau disini, Nishida-san?” Emily bertanya.
“sudah
10 tahun aku ditugaskan di kantor cabang sini oleh Yamada Yasuo”
“sudah
lama sekali. Apakah kau tidak bosan?”
“tidak,
disini pemandangannya sangat indah. Itulah mengapa aku betah disini”
“kalau
aku memerlukanmu untuk bekerja di kantor Manhattan, apakah kau mau?”
“waaahh…
tentu saja aku mau. Kapan pun anda memerlukanku, aku siap, Yamada-san”
“kemungkinan
bulan depan. Aku memerlukan sekretaris baru. Itu karena Ms. Grey memutuskan
untuk mengundurkan diri dari perusahaan ini”
“oya?
Sayang sekali, Ms. Grey”
“eh…
itu karena aku ingin melanjutkan sekolahku yang sempat tertunda, Nishida-san”
“oya,
mungkin Mr. Roberts baru pulang 2 hari lagi. Kami sudah menyiapkan mobil
berikut sopirnya untuk mengantar kemanapun anda ingin pergi, Yamada-san.
Sementara menunggu Mr. Roberts pulang dari Auckland”
“ya,
trimakasih. Sudah lama aku tidak kesini”
“ya,
anda kesini terakhir kali 5 tahun yang lalu. Itu sudah lama sekali”
“apakah
aku bisa membawa sendiri mobilku? Maksudku… aku tidak memerlukan sopir”
“boleh,
boleh. Tapi, bagaimana kalau kalian tersesat?”
“mudah
saja. Aku bisa telpon kamu, kan?”
“ah…
ya. Boleh, boleh. Atau kalau tidak, mobilnya aku tinggal sekarang saja. Aku
akan menyuruh seseorang menjemputku”
“trimakasih,
Nishida-san”
Setelah
makan malam selesai, Nishida segera pamit.
“maaf,
aku sepertinya juga akan langsung masuk ke kamarku, Yamada”
“hari
belum terlalu larut, Ms. Grey”
“sepertinya
aku harus istirahat sekarang, maaf”
“ya,
silakan”
Emily
naik ke kamarnya. Sedangkan Yamada malah menuju lobi dan pergi meninggalkan
hotel itu dengan mobil Nishida.
Malam
itu kota Wellington agak ramai. Ia mengarahkan mobilnya menuju Jervois Quay.
Ternyata ia hanya menuju pelabuhan di Clyde Quay Wharf Wellington. Banyak
kapal-kapal kecil yang bersandar disana.
Setelah memparkir mobilnya, ia hanya
berdiri di tepi pagar pembatas. Seseorang menepuk bahunya. Yamada terkejut dan
menoleh.
“ya?”
Seorang
perempuan cantik dan berambut pirang berumur sebayanya tersenyum manis.
“kau
sudah lupa denganku?”
“siapa,
ya? Maaf, aku lupa”
“kau
Yamada, kan?”
“ya,
siapa kau?”
“pantas
kalau kau sudah lupa. Terakhir kali kamu kesini mungkin sekitar 5 tahun yang
lalu. Aku Abby Roberts. Apakah kau sudah ingat?”
“apakah…
kau putri Mr. Roberts?”
“akhirnya
kau ingat juga. Apa kabar?”
“baik.
Bagaimana juga dengan kabarmu?”
“seperti
yang kau lihat. Ada acara apa kau kemari?”
“hanya
kunjungan biasa”
“ah,
iya. Maaf, aku lupa kalau sekarang kau adalah pimpinan tertinggi dari Yamada
Group”
“sudahlah,
Abby. Mengapa malam-malam seperti ini kau disini seorang diri?”
“kalau
aku sedang suntuk, aku pasti datang ke tempat ini”
“berarti
saat ini kau sedang suntuk, ya?”
“begitulah.
Tapi sepertinya suntukku sudah terobati. Aku bertemu denganmu. Iya, kan?”
Yamada
hanya tersenyum dan salah tingkah.
“berhubung
kau sudah disini, mengapa kita tidak berlayar saja? Kapalku masih ada di
sebelah sana”
“eh,
sepertinya… tidak, trimakasih”
“mengapa?”
“ini
sudah agak malam”
“ayolah,
Yamada”
Tanpa
menunggu persetujuan dari Yamada, Abby menyeret tangan Yamada menuju kapalnya
yang berada di ujung dermaga. Yamada sampai terkejut dan hampir terjatuh. Abby
memerintahkan kepada nahkoda kapalnya agar menjalankan kapal miliknya itu.
“ada
apa?”
“tapi
ini sudah malam, nona”
“kalau
kau takut, aku nanti yang akan bertanggung jawab kepada papaku”
“i-iya”
Mereka
hanya berlayar mengelilingi Lambton Harbour. Angin malam menyibakkan rambut
mereka. Mereka berdiri di atas dek kapal.
“indah
sekali, kan? Aku tahu kau pasti sangat menyukainya, Yamada. Aku masih ingat
kalau kau selalu suka akan laut dan kapal. Atau… kesukaanmu itu sudah berubah
begitu kau tinggal di Manhattan sana?”
“tidak,
aku masih menyukai laut dan kapal. Aku masih sering melakukan kegiatan yang aku
suka disana”
“bukankah
kalau sudah menjadi seorang pimpinan maka pekerjaanmu akan banyak sekali?”
“aku
ke laut tidak setiap hari juga, kan?”
“hahaha…
kau benar. Kau sudah berubah banyak, Yamada”
Abby
meninju lengan Yamada.
“aku?
Aku merasa tidak berubah sama sekali. Apanya yang berubah?”
“sikapmu.
Kau lebih banyak diam sekarang. Atau… ini semua karena pekerjaanmu yang bisa
mengubahmu?”
“tidak
juga”
“oya,
dengan siapa kau kemari? Pastinya tidak sendirian, kan?”
“ya,
aku tidak sendiri. Aku dengan sekretarisku”
“pasti
perempuan. Cantik, ya?”
“tentu
saja. Dan kami juga berasal dari rumpun yang sama”
“kau
pasti menyukainya, ya? Hahaha…”
“kau
benar, aku sangat menyukainya. Hei… kenapa?”
Abby
duduk di kursinya dan menyerahkan segelas minuman untuk Yamada.
“maaf,
aku tidak minum”
“hanya
untuk malam ini saja, ayolah! Sedikit juga boleh”
Yamada
hanya tersenyum kecil, meraih gelas dari tangan Abby dan duduk di samping Abby.
“berapa
lama kau akan tinggal disini?”
“hanya
semimggu. Setelah itu aku akan ke Tokyo baru pulang ke Manhattan”
“berarti
besok kita bisa jalan-jalan bersama. Iya, kan? Aku akan membawamu ke
tempat-tempat yang dulu biasa kita kunjungi. Wellington sudah berubah banyak,
Yamada”
“eh…
maaf, tapi aku besok sudah ada acara”
“acara
apa? Papaku datangnya masih lusa”
“itu…”
“ayolah,
aku akan menjemputmu di hotelmu. Jam 10 kau sudah harus siap, oke?”
Abby
berdiri lagi dan bersandar di tepi kapal. Yamada hanya bisa menatap punggung
Abby. Yamada juga ikut berdiri di samping Abby.
“hai,
Yamada. Kudegar kau sudah menikah, ya? Mengapa kau tak mengundangku?”
“maaf
kalau aku tidak mengundangmu. Tapi… istriku sudah meninggal beberapa bulan yang
lalu”
“oh,
maafkan aku. Aku tidak tahu. Tapi mengapa? Apakah dia sakit?”
“bagaimana
kalau sebaiknya tidak membicarakan hal itu? Bagaimana denganmu?”
“aku?
Menikah?”
“mengapa?”
“sebenarnya
aku baru marah dengan David”
“kekasihmu
itu?”
“ya”
“ada
masalah apa diantara kalian?”
“ini
masalah intern, Yamada. Kau tak perlu tahu!”
Yamada
lagi-lagi hanya tersenyum melihat tingkah Abby yang masih kekanak-kanakan.
“mengapa
kau tak mencari pendamping hidup lagi?”
“sudah
ada”
“ada?
Siapa? Bolehkah aku tahu?”
“ini
masih rahasia”
“hmmm…
sekarang kau berlagak rahasia di depanku. Ayolah…”
“tidak
sekarang, Abby. Suatu saat aku pasti akan memberitahumu”
“dan
aku akan sangat marah sekali kalau kau menikah tetapi tidak mengundangku lagi”
“aku
berpikir, kalau kau hadir apa tidak terlalu jauh?”
“tidak,
lagipula aku belum pernah kesana. Tapi… kau akan menikah di Amerika ataukah di
Jepang?”
“aku
belum berpikir sejauh itu, Abby. Tapi kalau sudah pasti, kau pasti kuundang.
Jangan khawatir”
Mereka
berkeliling Lambton Harbour sampai hari menjelang tengah malam.
“kita
harus pulang sekarang, Abby”
“tapi
aku masih ingin disini bersamamu”
“ini
sudah hampir tengah malam. Naik apa kau tadi kesini?”
“naik
taksi. Kau tahu? Sampai sekarang aku masih belum boleh membawa kendaraanku
sendiri oleh papa! Mengapa sedari tadi kau hanya tersenyum terus…?!”
“aku
tidak menyalahkan papamu. Aku masih ingat betul, Abby. Sewaktu kau mengendarai
mobilmu…”
“…
sudah, sudah, sudah! Aku tak mau membicarakan hal itu lagi, Yamada! Ayo, kita
pulang sekarang!”
Yamada
hanya tersenyum geli melihat tingkah Abby. Kapal kembali merapat ke dermaga.
Yamada mengantar Abby pulang yang rumahnya tak terlalu jauh dari dermaga.
“apakah
kau akan mampir sebentar?”
“tidak,
trimakasih. Ini sudah malam. Lain kali saja”
“kau
bisa menghubungiku kalau kau ada perlu sesuatu”
“thanx.
Selamat malam, Abby”
Setelah
Abby masuk ke rumahnya, Yamada juga meninggalkan tempat itu menuju hotelnya. Ia
melewati kamar Emily. Ia berhenti dan bermaksud mengetuk pintu kamarnya. Namun
ia mengurungkan niatnya. Ia lalu menuju kamarnya, istirahat.
Setelah
sarapan…
“aku
ingin mengajakmu berkeliling negri ini, Ms. Grey. Bukankah kau belum pernah
berkunjung kemari”
“ya,
tentu. Pastinya akan sangat menyenangkan sekali. Negri ini terlalu indah”
“dari
buku yang pernah kubaca, New Zealand adalah negara terindah di dunia kedua
setelah Switzerland”
“I
can see that. Oya, bisakah kita pergi sekarang? Karena ini sudah agak siang”
“baiklah,
aku akan menunggumu di lobi”
Emily
segera kembali ke kamarnya dan mengambil tas besarnya yang berisi
dokumen-dokumen yang akan diserahkan kepada Mr. Roberts. Setelah itu, bergegas
ia menuju lobi untuk menemui Yamada.
“aku
sudah siap, Yamada”
“apa
yang kau bawa itu?”
“bukankah
dokumen-dokumen ini nantinya akan diserahkan kepada Mr. Roberts?”
“siapa
yang bilang kalau hari ini kita akan bertemu dengannya?”
“tapi,
bukankah...”
“...
hari ini aku ingin mengajakmu mengelilingi Wellington saja. Aku sudah
membatalkan janjiku dengannya”
“mengapa
kau tidak memberitahuku?”
“sekarang
kau sudah tahu, kan? Titipkan saja barang-barangmu di resepsionis disana itu”
“baiklah,
tunggu sebentar”
Dengan
agak dongkol, Emily menitipkan tasnya yang besar ke resepsion lalu menuju ke
tempat dimana Yamada menunggunya. Namun ia terkejut sewaktu Yamada sudah ada di
depan lobi dengan mengendarai sebuah motor!
“kita...
mengapa...?”
“ada
apa lagi? Naiklah!”
“tapi...
mengapa kita tidak naik mobil yang kemarin saja? Mengapa harus naik motor?”
“aku
sedang ingin naik motor. Kau keberatan?”
“hhh...
baiklah, tunggu sebentar. Aku harus mengganti bajuku”
“tidak
perlu”
“what?!
Apa kau tidak melihat kalau aku sekarang mengenakan blazer dan rok pendek?”
“trus?
Ada masalah dengan itu? Ayo, naiklah!”
Dengan
masih merasa kesal, Emily naik ke atas motor di belakang Yamada. Ia terpaksa
menarik rok pendeknya lebih ke atas lagi walau sebenarnya ia merasa risih
dengan itu semua. Ia berusaha untuk duduk dengan nyaman walaupun tidak bisa.
Yamada hanya tersenyum geli.
“kau
tidak perlu tertawa, Yamada!”
“oke...
oke...”
Yamada
segera menjalankan motornya perlahan karena berada di dalam kota. Ia
mengarahkan motornya ke Mt. Victoria. Dari sana jalan mulai berkelok-kelok dan
menanjak. Namun Yamada mengendarai motornya dengan kecepatan diatas rata-rata.
Mau tak mau Emily berpegangan erat di pinggang Yamada.
![]() |
Mt. Victoria |
“Yamada,
bisakah kau pelan-pelan saja?!”
Yamada
tak menggubris teriakan Emily. Ia malah semakin menambah kecepatan motornya.
Emily memukuli punggung Yamada.
“hentikan,
Yamada! Hentikan motor ini! Aku mau turun sekarang!”
Karena
Emily memukuli punggungnya terus, Yamada menurunkan kecepatan laju motornya
lalu perlahan berhenti di pinggir jalan yang sepi. Hanya ada beberapa mobil
saja yang lewat. Buru-buru Emily turun dari motor Yamada dan membereskan rambut
sebahunya yang kusut berantakan.
“ada
apa?”
“kalau
kau mau mati, silahkan! Aku tak mau ikut denganmu, Yamada!”
“lalu...
bagaimana kau akan pulang?”
“aku
akan menumpang mobil yang lewat. Mereka pasti mau memberiku tumpangan. Atau aku
bisa jalan kaki dari sini”
Yamada
tertawa tertahan.
“jalan
kaki? Are you kidding?”
Emily
semakin sewot dibuatnya.
“lihatlah
dirimu, Ms. Grey. Rambut yang selama ini kau banggakan jadi kusut seperti itu”
“dari
dulu kau memang brengsek, Kei!” teriak Emily sambil melangkah meninggalkan
Yamada yang masih berada di atas motornya. Ia berjalan sambil menenteng
sepatunya yang high heels. Yamada mengiringi langkah Emily sambil masih terus
di atas motornya.
“ayo,
naiklah!”
“tidak!”
Yamada
melintangkan motornya di depan Emily hingga Emily menghentikan langkahnya.
“naiklah,
Emily” Yamada merendahkan suaranya,”please...”
Emily
hanya menatap Yamada. Karena tidak biasanya Yamada memanggilnya seperti itu.
“ayolah.
Aku akan membawamu ke tempat yang indah lagi. Dan aku janji, aku tidak akan
ngebut lagi. Kau mau, kan?”
Lagi-lagi
Emily hanya terpana dengan Yamada. Yamada yang biasanya brengsek menurutnya dan
tidak mau kalah, sekarang mencoba membujuk Emily. Perlahan Emily kembali naik
ke motor Yamada. Dan benar saja, perlahan Yamada menjalankan motornya lagi
menyusuri jalan-jalan pegunungan yang berbelok-belok itu. Dari sana mereka bisa
melihat Oriental Bay. Sangat indah.
Tak
lama kemudian mereka sudah sampai di puncaknya, di Charles Plimmer Park. Sepi
karena memang bukan hari libur. Emily lalu duduk di sebuah bangku sedangkan
Yamada hanya berdiri sambil masih menatap Oriental Bay.
![]() |
Charles Plimmer Park |
“benar
apa kataku, kan? Hei... beritahukan kepadaku kalau kau menyukai tempat ini,
Emily”
“eh,
ehm... a-aku... y-ya, aku menyukainya. Trimakasih sudah membawaku kesini”
Yamada
lalu duduk di samping Emily.
“ada
apa denganmu?”
“aku?
A-aku tidak apa-apa. Mengapa?”
“sepertinya
kau gugup. Apakah aku benar?”
“eh...
itu hanya perasaanmu saja. Sudahlah!”
“oya,
aku dengar kau sudah putus dari kekasihmu itu”
Emily
hanya menatap Yamada.
“kau?
Dari mana kau bisa tahu?”
“dinding
pun punya telinga, Ms. Grey. Itulah mengapa aku mengajakmu ke Wellington.
Jadi... dia lebih memilih untuk pindah ke kantor cabang London daripada
memilihmu? Berarti, dia yang lebih brengsek daripada aku. Iya, kan?”
“kau
tak perlu tahu segala urusanku, Yamada. Ini hidupku. Untuk apa kau sibuk-sibuk
ikut mengurusnya?”
“katakan
kepadaku, Ms. Grey. Sebenarnya apa yang kau harapkan dari seorang pria?”
“kepastian
suatu hubungan”
“hanya
itu?”
“kalau
itu sudah bisa dipegang, maka untuk hubungan ke depannya akan lebih mudah”
“apakah
kau tidak mendapatkan itu semua dari Ryunosuke?”
“aku
mendapatkannya. Namun sayangnya ia lebih memilih pergi ke London”
“dengar
aku, Ms. Grey. Bagaimana kalau aku menawarkan kepadamu sebuah kepastian tentang
hubungan?”
“apa
yang kau maksud, Yamada?”
“sepertinya
sudah sangat jelas sekali. Aku menawarkan tentang kepastian hubungan kepadamu.
Apakah kau mau menerimanya?”
“aku
tidak mau kamu bercanda”
“apakah
kau pernah melihatku bercanda? Sekarang, katakan kepadaku. Apa jawabanmu?”
Emily
berdiri dari duduknya.
“sewaktu
di parkiran tadi, bukankah kau akan mengajakku ke tempat yang indah? Kau bilang
dari sana kita bisa melihat Oriental Bay”
“ya,
masih ada diatas sana”
“kalau
begitu, mengapa kau tidak membawaku kesana sekarang?”
“kau
jangan mengalihkan pembicaraan, Ms. Grey. Kau belum menjawab pertanyaanku”
Emily
terdiam. Dengan perlahan, ia mencium bibir Yamada beberapa saat lamanya.
“apakah
itu sudah menjadi jawaban bagimu?”
“belum”
Emily
kembali mencium bibir Yamada dengan lebih berani. Kali ini Yamada membalasnya.
“apakah
itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi sebuah jawaban untukmu, Kei?”
“kalau
kau mau menerima cincin ini terpasang di jarimu, aku baru akan menganggap itu
sebuah jawaban”
Yamada
mengeluarkan cincin indah dari dalam kotaknya dan meraih tangan Emily.
“maukah
kau menikah denganku, Emily Grey?”
Emily
menutup mulutnya yang ternganga lebar, seakan masih belum percaya.
“apakah
kau serius?”
“seperti
yang kukatakan. Aku tidak pernah bercanda. Will you marry me?”
“kau
tahu, Kei? Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah memikirkanmu, sejak kita
berpisah waktu itu. Tapi setelah tahu kalau kita akhirnya satu sekolah, aku
tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku hanya bisa mencintaimu dalam diam. Pun
sewaktu kau menikah kemarin. Aku tetap mencintaimu, Kei”
“jadi...?”
“yes,
I do”
Gantian
Yamada yang mencium Emily.
“apakah
kita akan pulang sekarang?”
“tidak,
aku akan membawamu ke tempat yang indah lagi. Dari sana kita bisa melihat
Oriental Bay lebih jelas”
Emily
mengulurkan tangannya. Dengan bergandengan tangan, mereka menuju tempat yang
dimaksud Yamada. Setelah sampai...
“bagaimana?”
“dari
mana kau tahu ada tempat-tempat indah seperti ini?”
“karena
aku pernah ke tempat-tempat itu”
“hei,
Yamada. Aku ingin tahu tentang sesuatu. Sejak kapan kau mulai mencintaiku?”
“sejak
kita masih tinggal di Tokyo”
“apakah
selama itu kau pernah jatuh cinta lagi kepada perempuan lain? Maksudku...
sebelum kita bertemu lagi di Manhattan”
“tidak.
Aku tidak pernah bisa mencintai perempuan lain. Menyedihkan, ya?”
“lalu,
istrimu...”
“aku
menikah dengannya karena mengikuti tradisi keluarga Yamada”
“jadi...
kalau istrimu masih hidup, kau...”
“...
ya, aku akan tetap menjadi suaminya sampai sekarang”
“sebegitu
besarnya penghormatanmu pada keluargamu sehingga kau mengorbankan kebahagiaan
dirimu sendiri?”
“ya”
Emily
menatap jauh ke depan.
“bukan
tidak mungkin mereka akan mencarikan jodoh untukmu lagi. Dan kalau itu terjadi,
apa yang akan kau lakukan?”
“aku
tidak bisa menjawabnya. Tolong kau mengerti”
Emily
menundukkan kepalanya.
“Emily...?”
Yamada
membungkukkan badannya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Emily. Ia melihat
ada air mata di wajah Emily. Dengan jemarinya, Yamada menghapus air mata itu.
“hei,
mengapa kau menangis?”
“aku
mencintaimu, Kei. Sangat” bisik Emily.
Yamada
menatap Emily dan memegang pipi Emily dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara ponselnya yang berbunyi. Ia
mengambilnya dari sakunya.
“ya,
Nishida-san? Ada apa?”
“sepertinya
nanti malam Mr. Roberts ingin mengajakmu untuk makan malam di rumahnya,
Yamada-san. Apakah kau akan menghadirinya?”
“tentu.
Aku dan Ms. Grey pasti akan menghadirinya. Trimakasih, Nishida-san”
“ada
apa?”
“Mr.
Roberts mengundang kita untuk makan malam di rumahnya. Dan sebaiknya kita juga
kembali ke hotel sekarang”
“mengapa?”
“hari
sudah siang sekali, Ms. Grey”
“tapi
aku masih ingin disini saja bersamamu. Apakah boleh?”
“sebenarnya
aku pun masih ingin disini. Tapi sayangnya, jadwalku mengatakan tidak”
“jadwal?
Apakah kita ada jadwal untuk sore ini? Karena sepengetahuanku, tidak ada jadwal
apapun untuk hari ini”
“ehm...
itu... aku harus menemui seseorang. Aku sudah berjanji”
“siapa?”
“hhh...
baiklah. Namanya Abby. Dia putri dari Mr. Roberts”
“apakah...
kalian...?”
“...
kau jangan berpikiran yang macam-macam tentang kami. Dia teman lamaku, karena
aku dulu pernah tinggal disini beberapa lama”
“aku
percaya kepadamu. Kau tidak pernah main-main dengan suatu hubungan”
“tentu”
Yamada
membelai rambut Emily.
“jadi,
bisakah kita pulang sekarang?”
Emily
hanya tersenyum dan mengangguk. Ia naik kembali ke motor Yamada. Namun kali ini
ia naik dengan perasaan nyaman sambil terus memeluk Yamada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar