Kamis, 10 Desember 2015

MY SAKURA (bagian 17)



Sementara itu di Jepang, tepatnya di daerah yang agak terpencil. Di kaki gunung Daisen, Tateyama, Chiba, dekat dengan Tateyama Bay. Seorang pemuda dan seorang perempuan setengah baya sedang berada di pinggir laut, tepatnya di dekat Sunosaki Lighthouse.
“hari sudah hampir malam, bu. Bisakah kita pulang sekarang?”
“tunggu sebentar, siapa tahu ada kapal yang merapat dan kau bisa segera bertemu ayahmu”
“hhh… dia tidak akan datang hari ini, bu. Besok kita bisa kesini lagi. Siapa tahu besok dia datang”
“kau yakin, Shin?”
“tentu. Kau percaya padaku, kan?”
“ya, aku percaya”
“bisa kita pulang sekarang?”
“ya”
Shin Koyamada segera membawa ibunya pergi dari dekat lampu mercu suar itu. Dengan berjalan kaki mereka meninggalkan tempat itu karena rumah mereka memang tidak terlalu jauh dari mercu suar tersebut.

Sunosaki Lighthouse

Sesampainya di rumah…
“kau mau kemana?”
“aku akan keluar sebentar, janji”
Shin Koyamada segera keluar rumah dengan membawa pedang panjangnya. Rupanya ia hanya duduk di depan rumahnya. Menikmati kesunyian malam seorang diri sambil mengamati pedang panjang kesayangannya tersebut.
“Yamada Yasuo… Yamada Kei… bukan, tapi Kimura Kei…aku akan menghancurkan kalian! Kalian yang telah membuat ibuku seperti ini! Dan tak ada yang dapat menghalangiku sekarang ini!”

Malam menjelang, tapi Yamada belum keluar juga dari kantornya. Ia masih sibuk dengan komputernya. Ia mendongak begitu Emily berdiri di depannya.
“ya, ada apa?”
“ehm… pekerjaanku sudah selesai. Bisakah aku pulang sekarang? Kalau kau sudah tidak membutuhkanku, tentu saja”
“dengan siapa kau akan pulang?”
“aku bisa pulang sendiri”
“tunggu aku sebentar lagi, aku akan mengantarmu pulang”
“tapi…”
“… aku akan mengantarmu pulang, Ms. Grey”
“baiklah, trimakasih. Aku akan menunggumu diluar”
Emily segera keluar dari kantor Yamada. Ia hanya berdiam diri di mejanya. Tak lama kemudian, Yamada sudah keluar dari kantornya.
“ayo”
Sambil menggulung lengan kemeja putihnya, Yamada berjalan cepat menuju lift. Emily berlari kecil di belakangnya.
“maaf kalau kau harus pulang malam setiap hari”
“tidak apa-apa”
“perusahaan ini semakin maju. Sepertinya aku butuh bantuan orang lain lagi untuk menjalankan perusahaan ini. Karena kalau tidak, yah… beginilah. Kita pulang terlambat terus”
“bukankah masih ada Mr. Malkovich?”
“dia mengurusi hal yang lainnya. Dan sepertinya aku harus ke Jepang dalam waktu dekat”
Tak butuh waktu lama, mereka sudah ada di depan rumah Emily.
“trimakasih kau sudah mengantarku. Selamat malam, Yamada”
“ya, selamat malam, Ms. Grey”

Pagi itu, Emily sudah ada di mejanya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia segera mengambil dari dalam tasnya. Ia kaget begitu tahu yang menelpon adalah Yamada.
“hallo”
“Ms. Grey, aku hanya akan memberitahumu kalau hari ini aku tidak datang ke kantor. Jadi tolong nanti  sepulang kerja, bawakan beberapa dokumen yang sudah ku email kepadamu semalam ke rumahku. Aku… ada beberapa hal yang harus kuselesaikan”
“ah, ya. Tentu saja. Apakah ada yang lainnya?”
“sementara itu dulu. Trimakasih, Ms. Grey”
Emily segera membuka komputernya. Memeriksa beberapa email yang masuk, yang salah satunya dikirim oleh Yamada semalam. Ia mencatatnya di kertas dan segera mempersiapkan beberapa dokumen yang dikehendaki Yamada.
“selamat pagi, Ms. Grey”
Emily kaget dan mendongak.
“kau? Ryunosuke?”
“mengapa? Kau mengira yang menyapamu Yamada, ya?”
“hhh… mengapa kau ikut-ikutan memanggilku dengan nama itu?”
“nothing, aku hanya heran saja mengapa dia memanggilmu dengan nama itu?”
“kita tidak usah terlalu pusing memikirkan yang bukan urusan kita. Yang penting ia memanggil masih dengan namaku. Grey juga namaku, kan?”
”iya, iya. Bagaimana kalau nanti sehabis kerja kita pergi bersama?”
“maafkan aku, Ryunosuke. Tapi sepulang kerja nanti aku harus ke rumah Yamada. Ia tidak masuk kantor hari ini, entah mengapa. Dia memesan beberapa dokumen untuk aku bawa kepadanya nanti”
“hhh… selalu saja dia, dia dan dia”
“lalu apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa menolaknya juga, kan?”
“bagaimana hubunganmu dengannya?”
“maksudmu?”
“maksudku… kau tahu sendiri, kan? Dulu kau sangat membencinya sampai-sampai kau tak mau bertemu dengannya. Sekarang kau akrab sekali dengannya. Sebenarnya… banyak karyawan yang lain menanyakan hal ini kepadaku dan aku tidak bisa menjawabnya. Mereka berpikir kalau kau dan Yamada..”
“… aku tidak ada hubungan apapun dengannya, Ryunosuke”
“terus terang saja aku menjadi khawatir dengan rumor ini. Hampir setiap hari mereka menanyakan itu”
“kau tidak tahu, Ryunosuke. Aku sebenarnya mencintai Yamada sedari dulu. Sebelum mengenalmu” batin Emily kala itu. Namun ia hanya diam membisu.
“lupakan saja pembicaraan kita ini. Aku tidak mau mengganggu mood kamu hari ini. Baiklah, aku pergi dulu, Emily. Pekerjaanku juga banyak sekali hari ini”
Emily hanya bisa melihat kepergian Ryunosuke yang menghilang di balik pintu lift.
“I’m so sorry,” bisik Emily.
Malam itu, setelah Emily menyelesaikan pekerjaan untuk hari itu, ia segera memberesi mejanya. Ia segera turun ke lobi dan memesan taksi menuju rumah Yamada yang super mewah itu. Taksi berhenti di depan lobi. Dengan agak ragu, Emily memencet bel yang ada di samping pintu. Baru 2x ia ke rumah Yamada. Yang pertama pada waktu pesta prom night sewaktu sekolah dulu dan hari ini, tentu saja.
Seorang lelaki membukakan pintu untuknya.
“ada yang bisa kubantu?”
“aku kesini untuk mencari Yamada-san. Aku sudah ada janji dengannya. Aku Emily Grey, sekretarisnya”
“ah, ya. Ia sudah menunggumu. Masuklah. Ia menunggumu di lantai atas. Silahkan”
Dengan agak ragu, ia melangkahkan kakinya memasuki rumah Yamada yang besar. Di pikirannya berkelebat bayangan sewaktu pesta prom night di malam itu. Sewaktu akhirnya ia mengetahui siapa Yamada Kei yang sesungguhnya.
Ia mulai melangkah menaiki tangga dan sampailah ia di ruang keluarga yang besar. Ia masih ingat betul dengan ruangan itu. Ia melihat ke sekeliling, sepi. Namun ia mendengar suara di ujung ruang keluarga itu. Ia kesana dengan hati-hati.
Ternyata sebuah ruangan yang cukup luas juga. Beberapa katana tergantung di tembok kanan dan kiri. Ia juga melihat Yamada sedang berlatih wushu seorang diri dengan membawa katana. Emily hanya terpana menyaksikan Yamada begitu mahir dalam wushu. Rupanya Yamada tak mengetahui akan kehadiran Emily dan masih terus berlatih.

Yamada Kei

Yamada memutar-mutarkan katananya dan hampir saja mengenai Emily yang memang ia tak menyadari akan kehadiran Emily. Emily menjerit, segera saja Yamada menghentikan aktivitasnya.
“oh… kau, Ms. Grey. Maaf, aku tidak tahu kalau kau sudah ada disini. Apakah kau baik-baik saja?”
“ya, aku tak apa-apa. Hanya terkejut saja”
“sudah lama?”
“yah… begitulah. Maaf, aku tadi disuruh masuk oleh entah siapa namanya”
“dia penjaga rumah ini. Aku sudah mengatakan kepadanya kalau kau datang agar langsung keatas saja”
Setelah menyimpan katananya lagi di dinding, mereka segera ke ruang keluarga dan duduk disana.
“kau mau minum apa, Ms. Grey?”
“tidak usah repot-repot, Yamada”
“tidak apa-apa. Apakah kau mau teh hangat? Akan kubuatkan untukmu”
Setelah menyeka peluh yang membanjiri tubuhnya dengan handuk kecil, Yamada segera ke pantry yang ada di dekat ruang keluarga itu. Membuatkan minuman hangat untuknya dan Emily. Emily berdiri dan melihat-lihat (lagi) foto-foto yang ada di ruangan yang besar itu. Banyak sekali foto disana. Lebih mirip dengan galeri. Emily melihat foto mereka sewaktu kecil ada di tempatnya semula sewaktu pertama kali ia menemukan foto itu. Sudah terbingkai lagi dengan pigura yang cantik. Emily mengambilnya dan mengamatinya lagi. Yamada mendekatinya.
“setiap kali kau kesini, mengapa kau tertarik dengan foto itu?”
“eh, karena… hanya foto ini saja yang aku tahu”
Emily mengembalikan foto itu ke tempatnya semula.
“apakah kau juga masih menyimpan foto itu?”
“ya, ada di kamarku. Oya, aku baru sekali ini melihatmu berlatih wushu. Kau pandai sekali”
“tentu saja baru sekali ini kau melihatku, aku tidak berlatih wushu di kantor, kan?”
Emily hanya tertawa kecil.
“minumanmu ada di atas meja itu. Maaf, aku tinggal sebentar”
“ya, trimakasih”
Yamada segera masuk ke kamarnya. Emily menyeruput minuman hangat buatan Yamada. Ia memeriksa kembali beberapa dokumen yang ia bawa. Sementara Yamada mandi di kamarnya.
“maaf, telah membuatmu menunggu, Ms. Grey”
Yamada duduk di sofa depan Emily. Ia sudah segar dengan hanya memakai kimono panjang yang membalut tubuhnya. Rambutnya pun basah sehabis keramas.
“oya, ini beberapa dokumen yang kau pesan tadi pagi”
“ya, trimakasih. Sekalian aku akan membawanya ke Jepang. Mereka memerlukan dokumen-dokumen ini. Dan malam ini aku harus mengoreksi semuanya”
“kapan kau akan berangkat kesana?”
“mungkin minggu depan. Kenapa? Apakah kau mau ikut?”
“ah… tidak, trimakasih”
“ya, kau benar. Kau bisa mengurusi pekerjaan yang disini sementara aku pergi. Minumlah minumanmu, Ms. Grey. Nanti keburu dingin”
“ya, trimakasih. Kau pandai meracik minuman ini”
“ya, aku terbiasa mengurus segala keperluanku seorang diri”
“mengapa tidak ada pembantu di rumah sebesar ini?”
“ada, aku hanya punya 2. Yang 1 pria setengah baya yang kau temui tadi. Yang 1 ada di belakang. Pekerjaannya hanya memasak tapi itu juga percuma karena aku jarang makan di rumah. Oya, kalau kau belum makan, aku akan menyuruhnya untuk memasak”
“tidak perlu,” sahut Emily cepat.
“tidak apa-apa. Kebetulan ada kamu, aku juga mau makan di rumah sekarang”
Yamada segera meninggalkan Emily lagi. Emily menjadi salah tingkah. Beberapa kali ia melihat ke jam tangannya.
“maaf, apakah kau terburu-buru untuk pulang?”
Yamada duduk di samping Emily.
“tidak. Hanya saja… aku belum pernah makan malam di rumahmu”
Yamada hanya tersenyum dan itu semakin membuat Emily terpesona dengan Yamada.
“aku sudah mendengar rumor itu”
“rumor apa?”
“tentang kita”
“kita?”
“ya, aku dengar dari seseorang. Bahwa semua karyawanku mengira hubungan kita lebih dari sekedar atasan dan bawahan, maaf. Apakah kau juga mendengar rumor itu?”
Emily hanya menundukkan kepalanya.
“maaf, tapi aku tak mau merusak hubunganmu dengan Ryunosuke hanya gara-gara rumor ini”
“aku baru mendengarnya pagi tadi,” Emily menundukkan kepalanya.
“siapa yang memberitahumu?”
“Ryunosuke yang memberitahuku”
“aku yakin dia khawatir sekali tentang rumor itu, makanya ia memberitahumu. Aku bisa melihat ia sangat mencintaimu dan takut sekali kehilangan kamu, Ms. Grey”
“apakah kau juga melihat bahwa aku juga sangat mencintaimu, Kei?” batin Emily.
“tapi sepanjang kita memang tidak ada hubungan apa-apa, kita tidak perlu bereaksi terhadap para karyawanmu, kan?”
“apakah kau seyakin itu kalau kita memang tidak ada hubungan apa-apa, Ms. Grey?”
“maksudmu?”
Yamada terdiam beberapa saat lamanya.
“lupakan! Aku akan mengecek apakah masakan sudah siap. Tolong masukkan data-data di dokumen ini di komputerku. Ruang kerjaku ada di sebelah sana, kalau kau tidak keberatan, Ms. Grey”
Bergegas Yamada meninggalkan Emily yang masih juga terdiam. Ia kemudian bangkit menuju ruang kerja Yamada dan menghidupkan komputernya. Ia melihat ada sebuah foto bergambar Yamada Kei dan Harumi sewaktu mereka pulang ke Tokyo di atas meja di ruang kerja itu. Pikirannya mengembara kemana-mana. Ia lalu buru-buru mengerjakan apa yang diperintahkan Yamada.
Di balkon teras belakang, terlihat Yamada sedang telpon dengan seseorang.
“hhh… aku usahakan secepatnya, pa. Pekerjaan disini banyak sekali. Sepertinya aku butuh bantuanmu”
“baiklah, bawa kemari dokumen-dokumen itu. Mungkin dengan disini, kau juga bisa meminta masukan kepada Ryuu”
“ya, thanx. Aku akan ke Jepang secepatnya”
Setelah menutup telponnya, seseorang sudah berdiri di belakangnya.
“ya, ada apa?”
“makan malam sudah siap, Tuan”
“ya, trimakasih. Aku akan kesana sebentar lagi”
Dengan masih mengenakan kimono panjangnya, ia segera menuju ruang kerjanya.
“Ms. Grey…”
Langkahnya terhenti. Ia melihat Emily meletakkan kepalanya di atas meja. Ia menyentuh bahu Emily dengan hati-hati.
“Ms. Grey? Emily?”
Ternyata Emily sudah tertidur dengan pulasnya. Yamada kemudian menggendong Emily menuju kamarnya.
“Yamada! Yamada! Dimana ka…”
Yamada Kei menoleh ke sumber suara. Ternyata Danny Wang sudah ada di hadapannya dengan mulut yang ternganga lebar.
“hei, hei… apa yang sedang kau lakukan, Yamada? Siapa dia? Waaahh… Emily? Emily Grey? Bagaimana bisa kau…?”
Tanpa menggubris semua pertanyaan Danny, Yamada membaringkan Emily di ranjangnya yang besar, melepas sepatu Emily lalu menyelimutinya. Setelah itu ia mengajak Danny keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamarnya lagi.
“hei, apakah ada yang tidak kuketahui?”
Yamada hanya diam dan menuju ruang makan. Danny masih saja membuntutinya.
“kau lapar, kan? Duduk dan makanlah”
“kau belum bercerita apa-apa kepadaku, Yamada”
“cerita apa?”
“bagaimana bisa ia ada di kamarmu?”
“hhh… aku tadi hanya menyuruhnya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan di ruang kerjaku. Setelah kulihat, ia sudah tertidur. Dan selanjutnya, seperti yang kau lihat”
“apakah kau…”
“apa yang ada di pikiranmu, Danny?”
“kau tahu maksudku, kan? Dia sedang ada di kamarmu, tertidur dan…”
“… aku bukan orang seperti itu, Danny. Ada apa kau kesini?”
“y-yaahh… kebetulan saja aku sedang ke rumah temanku di sekitar sini. Daripada aku pulang ke Connecticut malam-malam, lebih baik aku menginap di rumahmu saja”
“ada apa, Danny?” Yamada bertanya sambil menyantap makan malamnya.
“m-maksudmu?”
“aku tahu kamu. Sepertinya kau tidak punya teman di sekitar sini”
“eh, kau tahu ya… ehm… sebenarnya… aku ingin meminjam uang darimu untuk tambahan biaya kuliahku, kalau kau tidak keberatan tentu saja”
“berapa?”
“y-yah, setidaknya bisa untuk 6 bulan ke depan”
“besok pagi akan kutransfer ke rekeningmu”
“serius? Trimakasih, Yamada. Kalau aku sudah punya uang, pasti akan segera kukembalikan”
“tidak perlu, kau tidak perlu mengembalikannya. Makanlah dulu”
Dengan semangatnya Danny segera menyantap makan malam yang ada di hadapannya.
“kau akan menginap disini, kan?”
“tentu saja. Besok pagi-pagi sekali aku pulang karena ada kegiatan pagi di kampus. Bagaimana sekolahmu?”
“sepertinya kecil kemungkinan untuk kuteruskan lagi. Perusahaan semakin maju dan pekerjaanku semakin bertambah banyak. Mungkin minggu depan aku akan pulang ke Jepang. Aku akan meminta papa untuk membantuku. Aku dan Emily sampai pulang malam terus setiap hari. Terkadang di hari libur pun kami tidak bisa libur”
“bukankah beberapa pekerjaan bisa kau delegasikan kepada orang kepercayaanmu?”
“ada beberapa pekerjaan yang sudah kuserahkan kepadanya. Tapi tidak semuanya, kan?”
“bagaimana pekerjaan Emily? Bukankah ia sudah kau angkat menjadi pegawai tetapmu? Tentunya kau bisa setiap hari bersamanya terus. Kau bisa mendekatinya lagi, kan?”
Yamada menatap Danny.
“eh, maaf. Maksudku… bukankah istrimu…”
“ya, kau benar. Tapi sebenarnya aku masih tidak enak hati dengan Ryunosuke”
“berarti keputusan ada di tangan Emily. Kusarankan, sebaiknya kau berterus terang kepadanya. Terserah nanti ia akan menolakmu atau menerimamu. Yang penting ia sudah tahu tentang kau, Yamada!”
“hhh… entahlah. Oya, bagaimana hubunganmu dengan Anna? Kalau aku melihat, sepertinya sedari dulu Anna tidak begitu menyukaiku”
“hahaha… ya, sepertinya begitu. Ia pernah bercerita kalau ia kurang begitu suka denganmu karena tingkahmu yang sok dan sombong di jaman sekolah dulu. Hubungan kami baik-baik saja”
“oya, mungkin suatu saat aku butuh bantuanmu. Aku sedang mencari orang yang bernama Shin Koyamada”
“siapa dia?”
“aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya ia yang harus bertanggung jawab atas kematian Harumi. Ilmu beladirinya sangat bagus sekali. Aku kewalahan menghadapinya. Jadi, mungkin suatu saat aku butuh bantuanmu”
“kapan pun kau membutuhkanku, Yamada. Aku selalu siap”
Yamada hanya tersenyum lalu beranjak dari duduknya.
“habiskan makanmu. Aku sepertinya sudah mengantuk sekali”
“apakah kau akan tidur dengan Emily?”
“what?! Tentu saja tidak. Aku akan tidur di sofa itu. Kalau kau mau, kau bisa tidur di kamar yang ada di bawah. Atau terserah kaulah”
Yamada merebahkan tubuhnya di salah satu sofa di ruang keluarga itu dan memejamkan matanya.

Dengan agak malas, Emily membuka matanya. Ia masih nyaman tiduran di balik selimut hangat yang tebal dan kasur besar yang empuk. Ia mulai membuka matanya, menatap langit-langit kamar yang berhiaskan lampu yang indah. Ia melihat ke sekeliling, melihat sekeliling kamar yang penuh dengan hiasan-hiasan indah dan mahal. Ia buru-buru bangkit dan duduk. Menatap jendela yang ada di sampingnya. Udara sejuk menyeruak masuk melalui jendela besar itu. Emily membuang selimutnya dan segera berdiri.
“dimana aku ini? Sudah jelas sekali ini bukan kamarku!”
Dengan agak berlari, Emily segera keluar dari kamar itu. Setelah sampai di luar, ia berhenti.
“hah?! Aku tidur di kamar Yamada? Apa yang terjadi? Jam berapa sekarang? Jam 10! Oh, shit! Aku terlambat masuk kerja!”
Dengan terburu-buru, Emily mengemasi tasnya yang masih ada di ruang keluarga.
“mengapa kau terburu-buru, Ms. Grey?”
“kau?”
Emily melihat Yamada sedang duduk di meja makan sambil menikmati kopi di pagi itu. Sepertinya Yamada baru saja selesai mandi dan sudah berpakaian rapi.
“eh, apa yang terjadi denganku? M-mengapa aku bisa tidur di…”
“… kamarku?”
“i-iya”
“sewaktu aku akan mengajakmu makan malam, kulihat kau sudah tertidur di ruang kerjaku. Jadi, kupindahkan saja kau ke dalam kamarku”
“lalu, kau tidur dimana? Apakah…”
“… aku tidur di sofa itu. Mengapa?”
“sekarang sudah jam 10, Yamada. Aku pasti sudah terlambat masuk kerja. Sialan!”
“sepertinya kau khawatir sekali”
“tentu saja. Aku masuk kerja jam 8, sekarang sudah jam berapa, ha?!”
“hhh... kau lupa? Akulah yang berkuasa di perusahaan itu. Duduklah, kita sarapan dulu”
Emily terdiam. Ia segera bisa menguasai keadaan dan bisa berpikir jernih bahwa orang yang ada di hadapannyalah yang berkuasa di perusahaan tempat ia bekerja. Dengan agak ragu, ia perlahan duduk di depan Yamada.
“ehm… m-maafkan aku”
“tidak apa-apa”
Mereka segera sarapan bersama. Hanya ada hening diantara mereka. Setelah selesai makan pagi…
“kalau kau mau mandi, kau bisa menggunakan kamar mandi yang ada di kamarku tadi”
“eh, aku ingin pulang sekarang saja”
“baiklah, tunggu sebentar”
Yamada masuk ke kamarnya, mengambil jasnya lalu keluar lagi.
“kalau kau sudah selesai sarapan, kita bisa berangkat sekarang. Aku akan mengantarmu. Kita bisa sekalian berangkat kerja”
Mereka segera menuju rumah Emily.
“silahkan masuk dulu. Aku akan bersiap-siap sebentar”
Yamada hanya melihat-lihat ruang keluarga di rumah Emily. Memang, tak seluas rumahnya. Ia hanya duduk di sofa sambil membaca-baca beberapa buku yang ada di atas meja di depannya.
“aku sudah siap”
“sebenarnya…”
“ada apa?”
“eh, kita berangkat sekarang saja, Ms. Grey. Kita sudah cukup terlambat. Bukankah hari ini kita juga ada meeting?
“ya, kau benar”
Mereka segera menuju Manhattan di daerah Upper East Side dimana gedung Yamada Group berada.  Sesampainya di lobi, beberapa orang karyawan yang berada disana mengangguk hormat kepada Yamada dan kelihatan berbisik-bisik. Itu semua membuat Emily semakin risih.
“kau tak perlu memperdulikan mereka, Ms. Grey” kata Yamada sambil memencet tombol pintu lift yang seakan tahu apa yang di pikirkan Emily.
“ya, thanx”
Sesampainya di lantai atas, telpon diatas meja Yamada berbunyi dengan nyaringnya. Yamada segera mngangkatnya.
“ya, hallo. Ya, betul. Oh, baiklah. Tidak apa-apa. Baik… baik… ya, trimakasih”
Setelah itu ia menatap Emily.
“sepertinya meeting nanti siang dibatalkan. Aku akan menemui Mr. Malkovich dulu”
Yamada segera menuju ruangan Mr. Malkovich yang ada di sebelahnya. Sementara Emily segera menuju mejanya dan mulai mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda karena ia berangkat agak siang. Yamada segera menemui Emily lagi di mejanya.
“kemasi barang-barangmu sekarang. Kita harus segera ke Vernon dengan Mr. Malkovich juga. Ada pekerjaan mendadak disana”
Yamada segera masuk ke kantornya lagi. Tak lama kemudian ia sudah keluar dengan membawa jasnya. Mereka bertiga segera turun ke lobi dan masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan.
“kita tidak membawa sopir, Mr. Malkovich?”
“tidak apa-apa. Aku saja yang menyopir”
Yamada dan Mr. Malkovich duduk di depan sedangkan Emily sendirian di kursi belakang. Mr. Malkovich mengarahkan mobilnya menuju Vernon, Astoria. Setelah menyeberangi East River, sampailah mereka di tempat yang dituju.


Siang itu, Danny dan Anna sedang makan siang di kantin.
“semalam aku ke rumahmu tapi kau tak ada”
“mengapa kau tidak menelponku?”
“biasanya kalau kau sedang tak ada, berarti kau sedang sibuk. Aku benar, kan?”
“ehm… yah…”
“sibuk apa?”
“aku ke rumah Yamada”
“kau? Malam-malam seperti itu? Untuk apa kau kesana?”
“hei, ada apa denganmu? Bisakah kau berhenti membencinya?”
“aku tidak membencinya. Aku hanya masih sebel saja dengannya. Menurutku dia masih orang yang sombong dan sok kaya. Ya… memang sih dia kaya. Tapi aku masih teringat terus tentang kelakuan dia di sekolah dulu. Kalau kau tahu, kau pasti juga akan bersikap sepertiku”
“itu semua sudah berlalu, sayang. Kita hidup di hari ini, bukan masa lalu. Ayolah, kalian sudah sama-sama dewasa”
“ada apa kau kesana?”
“ada sedikit urusan dengannya. Oya, sudah lama sepertinya kau tak pulang”
“ya, aku sibuk sekali akhir-akhir ini. Bukankah kau juga sibuk menghadapi ujian akhirmu?”
“ya, juga pertandingan wushu itu. Hhh… tahun ini aku harus bisa mengalahkan Eiji”
“kau bisa belajar dari Yamada, kan?”
“tidak bisa semudah itu juga, Anna. Dia orang yang sibuk. Kau juga tahu itu, kan?”
“sudah lama aku juga tidak telpon Emily. Bagaimana kabar dia sekarang setelah bekerja dengan si brengsek itu”
“hei, hei, hei… aku sudah bilang, kan?”
“ups, sorry. Aku terlalu terbawa perasaan kalau membicarakan sahabatmu itu”
“kalau begitu, kita tidak perlu membicarakan dia lagi. Sebaiknya kita membicarakan kita saja”
“apa yang perlu dibicarakan?”
“kalau aku sudah wisuda nanti, aku ingin mengenalkanmu kepada orang tuaku”
“apakah mereka akan datang kesini?”
“tentu saja, juga adik perempuanku. Mereka pasti akan senang bisa bertemu denganmu. Mereka tak sabar menunggu saat itu tiba”
“maksudmu…?”
“aku sudah bercerita banyak tentangmu kepada mereka”
“Danny, kau membuatku gugup”
“mereka baik. Kau pasti akan menyukai mereka. Mereka akan datang dari Kuala Lumpur”
“aku akan dengan senang hati menunggu mereka. Aku mencintaimu, Danny”

Hari sudah hampir menjelang senja. Nampak Yamada, Emily dan Mr. Malkovich keluar dari sebuah ruangan.
“oya, kalian pulanglah terlebih dahulu. Aku nanti akan pulang dengan Mr. Sandersson”
“ya, biar nanti aku akan mengantar Mr. Malkovich pulang. Sudah lama juga kami tidak bertemu”
“oh… baiklah kalau begitu. Aku pulang sekarang. Hari sudah hampir malam. Kami permisi dulu Mr. Malkovich. Bye, Mr. Sandersson”
Yamada mengendarai mobilnya menuju Ed Koch Queensboro Bridge. Nampak indah disinari sinar matahari senja. Beberapa kali Emily melihat Yamada yang mengemudi di sampingnya.

 
Ed Koch Queensboro Bridge

“sepertinya kau lelah sekali, Yamada”
Yamada hanya mengusap wajahnya yang letih dengan tangannya.
“kalau kau lelah, sebaiknya kita beristirahat dahulu. Tak perlu kau paksakan mengemudi”
Yamada hanya terdiam. Pandangannya masih menatap lurus ke depan. Emily pun tak berani buka mulut lagi. Setelah melewati jembatan, Yamada membelokkan mobilnya kembali menuju tepi East River.
“kita mau kemana lagi, Yamada? Bukankah jalan pulang kita tidak lewat sini?”
“aku tahu”
“lalu?”
“aku hanya ingin duduk di tepi East River saja. Kau keberatan?”
Sekali lagi Emily hanya terdiam. Yamada memparkir mobilnya di Peter Detmold Park yang ada di tepi East River. Dari sana, ia dapat memandang Roosevelt Island yang ada di tengah sungai. Nampak tersirat dengan jelas gurat kelelahan di raut wajahnya.
 
Peter Detmold Park
Peter Detmold Park


Emily mendekati Yamada yang sedang bersandar di pagar tepi sungai.
“Yamada…”
“ya?”
“terus terang aku khawatir sekali denganmu” kata Emily dengan hati-hati.
“mengapa?”
“kau butuh istirahat, Yamada”
“aku tidak butuh istirahat, Emily. Tapi KAU”
Emily terkejut. Ia mundur beberapa langkah.
“mengapa? Kesinilah. Indah sekali pemandangan di Roosevelt Island itu. Lihatlah!”
Emily masih terdiam di belakang Yamada sambil terus memandangi Yamada. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Dengan perlahan Emily ikut berdiri di samping Yamada. Namun ia masih diam membisu.
 “apa maksudmu, Yamada?”
“apa?”
“kau tahu benar apa yang kumaksud”
“hhh… oke”
Yamada memegang kedua bahu Emily. Membungkukkan badannya sehingga wajahnya sejajar dengan wajah Emily.
“aku mencintaimu, Ms. Grey. Maksudku… Emily, Emily Grey”
“kau sudah mengatakannya kepadaku waktu itu. Ya, kau mencintaiku. Tapi dulu, sewaktu kita masih sekolah”
Emily masih menatap Yamada penuh selidik. Yamada kembali menatap sungai yang ada di depannya. Diam membisu. Melihat kapal yang berlalu-lalang di depannya. Lalu Yamada terkejut karena tiba-tiba Emily memeluknya dari belakang sambil menangis.
“h-hei… ada apa, Ms. Grey?”
Emily semakin erat memeluk Yamada dari belakang sambil menangis. Seakan sudah menyingkirkan rasa ego dan malunya di hadapan Yamada. Dengan perlahan, Yamada melepaskan pelukan Emily dan menatapnya. Emily semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“ada apa?”
Karena Emily masih saja menangis, Yamada lalu membimbing Emily untuk duduk di bangku panjang taman itu. Yamada juga masih terdiam membiarkan Emily menangis sepuasnya.
“maafkan aku, Yamada”
Yamada mengulurkan sapu tangannya kepada Emily.
“trimakasih”
Setelah bisa menguasai keadaan, Emily terdiam sambil menyandarkan punggungnya ke kursi taman itu. Sementara hari mulai gelap. Lampu-lampu taman pun sudah mulai di hidupkan.
“maaf. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan diriku, hidupku. Semuanya sudah kujalani seperti air yang mengalir. Aku tidak pernah berontak, menerima semua takdirku. Aku pun menerima Ryunosuke Kamiki sebagai calon suamiku. Ya, dia sudah melamarku. Mungkin dalam waktu dekat kami akan menikah. Tapi, apakah aku mencintainya? Aku sendiri tidak tahu. Dan kau… kau tak pernah memberiku waktu ataupun kesempatan untuk mengungkapkan semua perasaanku. Terpaksa aku memendamnya seorang diri sehingga aku akhirnya menerima lamaran Ryunosuke. Kau memang tidak tahu apa-apa, Kei. Aku juga tak mau menyalahkanmu. Aku bukan orang yang egois. Kau benar, kita sudah mempunyai kehidupan kita masing-masing. Tapi sebelum aku melangkah ke pelaminan, aku hanya ingin kau tahu. Kalau sudah sejak dari dulu aku mencintaimu dan sangat berharap kau bisa mengatakan hal itu kepadaku. Tapi ternyata kalimat itu tidak pernah terucap dari mulutmu. Tapi sekali terucap, semua sudah terlambat. Kita memang tidak ditakdirkan bersama. Aku sudah menjadi milik Ryunosuke. Dan kuharap, kau juga bisa menemukan wanita yang tepat untukmu. Aku akan belajar untuk mencintai Ryunosuke. Mungkin memang benar. Untuk seorang perempuan, lebih baik hidup dengan orang yang mencintai kita”
Gantian Yamada yang menundukkan kepalanya. Dengan perlahan, ia merengkuh bahu Emily dan memeluknya. Ia pun tak tahu mengapa ia bisa melakukan hal itu. Emily pun terkejut. Yamada dapat mencium bau harum rambut Emily. Ia juga masih bisa melihat jepit rambut bunga sakura pemberiannya dulu yang masih dipakai Emily sampai dengan hari itu. Emily merasa nyaman berada di pelukan Yamada, seakan tak ingin melepaskannya lagi.
“aku mencintaimu, Kei. Sangat…” bisik Emily di sela-sela sisa isak tangisnya.
Sebuah mobil melintas. Mobil itu perlahan menurunkan kecepatannya begitu melihat Yamada dan Emily.
“Emily…?” bisik si pengendara mobil.
Lalu dengan cepat menambah kecepatannya lagi meninggalkan Peter Detmold Park.

Roosevelt Island
Yamada lalu berdiri dan bersandar di pagar tepi East River sambil masih terus menatap Roosevelt Island.
“kau benar, Ms. Grey. Kita sudah punya kehidupan kita masing-masing”
Cukup lama mereka hanya bisa saling diam, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Angin malam semakin dingin. Emily merapatkan blazernya, apalagi waktu itu ia hanya mengenakan rok pendek.
“sebaiknya kau kuantar pulang sekarang, Ms. Grey”
Tanpa menunggu Emily, Yamada segera menuju mobilnya dan duduk disana diikuti Emily. Ia lalu mengarahkan mobilnya menuju rumah Emily yang sudah tidak begitu jauh. Setelah sampai…
“trimakasih, Yamada. Selamat malam”
Yamada menunggu sampai Emily masuk ke rumah. Setelah itu, barulah ia meninggalkan tempat itu menuju kantornya. Kantor yang sudah mulai sepi, hanya ada beberapa pegawai yang masih lembur. Di kantornya, ia hanya menatap pemandangan Manhattan di malam hari yang penuh dengan kelap-kelip lampu berwarna-warni.
“permisi, Yamada-san. Ini aku buatkan kopi untukmu”
“eh… kau belum pulang?”
“ya, masih ada beberapa pegawai yang belum pulang. Saya juga membuatkan kopi untuk mereka. Yah… setidaknya untuk menemani mereka untuk menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Cobalah kopi ini, enak sekali. Ini percobaanku yang terbaru. Kata pegawai yang lain, racikan kopi yang ini yang paling enak”
Yamada hanya tersenyum.
“ya, trimakasih. Letakkan saja di meja itu. Nanti aku akan mencobanya. Trimakasih, John”
John segera meninggalkan kantor Yamada. Dengan agak malas, Yamada mulai menghidupkan komputernya. Memeriksa kembali dokumen-dokumen yang akan ia bawa ke Jepang nanti.

Pagi itu di lobi, Ryunosuke bertemu Emily yang juga baru saja tiba.
“selamat pagi, Emily”
“selamat pagi, Ryunosuke”
“sepertinya matamu sembab. Ada apa, Emily?”
“eh… aku hanya kurang tidur saja semalam. Aku tidak apa-apa”
“jam berapa kau pulang semalam?”
“sekitar jam 9”
“maksudmu jam 9 kau baru keluar dari kantor?”
“i-iya, kenapa?”
“nothing”
Ryunosuke hanya tersenyum. Mereka lalu masuk ke lift yang pintunya sudah terbuka itu.
“apakah kau nanti sepulang kerja ada waktu?”
“maaf, tapi nanti sudah ada jadwal meeting dengan perusahaan lain jam 7 malam”
“baiklah, lain kali saja. Kalau kau sudah ada waktu, kabari aku saja. Oke?”
“tentu”
Mereka berpisah di lantai 5, sedangkan Emily masih menuju lantai paling atas. Begitu sampai di mejanya, dengan malas ia meletakkan beberapa barangnya ke atas meja dan menghempaskan dirinya di kursi. Wajahnya terlihat penat. Memang, semalam ia hanya menangis dan tidak bisa tidur. Dan ia pun semakin terkejut ketika melihat Yamada sudah berdiri di depan mejanya. Ia segera melihat ke jam tangannya. Masih pagi-pagi benar.
“eh, selamat pagi, Yamada-san”
“kalau ada orang yang mencariku, bilang saja aku sedang sibuk. Batalkan SEMUA meeting untuk hari ini. Kau mengerti, Ms. Grey?”
“i-iya, aku mengerti”
Masih dengan terbengong-bengong, Emily menatap Yamada yang mulai meninggalkan kantornya. Beberapa karyawan mendekatinya.
“hai, Emily. Mau kemana boss kita yang satu itu?”
Emily hanya mengangkat kedua bahunya.
“bukankah kau sekretarisnya? Seharusnya kau lebih tahu tentang jadwal dia kan?”
“ya, tapi baru saja dia bilang agar aku membatalkan semua jadwal kerja dia hari ini entah mengapa”
“eh, kau sudah dengar gossip itu?”
“gossip apa?”
“kau jangan pura-pura tak tahu, Emily. Gossip yang beredar di perusahaan ini. Kalau kau ada hubungan dengan Yamada-san. Apakah itu benar?”
“hhh… itu semua tidak benar. Hubungan kami professional”
“tapi akhir-akhir ini kau sering menghabiskan waktu bersamanya”
“aku sekretarisnya, Cinthya”
“mmm… kau benar. Tapi, sepertinya aku melihat ada hal yang lainnya”
“maksudmu?”
“yah… kau tahu, kan? Dia sekarang pria lajang. Apa kau tak berniat untuk mendekatinya?”
“aku sudah ada hubungan dengan Ryunosuke”
“ah, iya. Maaf… eh, aku dengar kalian dulu teman sekolah ya?”
“iya, benar”
“bagaimana dia dulu di sekolah? Pasti banyak ya gadis-gadisnya. Secara dia sangat tampan. Hahaha… coba kalau aku belum punya suami. Aku dulu sangat ingin punya suami orang sana”
“sudahlah, tidak usah membicarakan dia lagi. Pekerjaanku sangat banyak hari ini. Maafkan aku”
Dengan agak cemberut, rekan kerja Emily segera menuju mejanya kembali. Sedangkan Emily segera menyelesaikan pekerjaan dengan rasa malas.
Menjelang makan siang, Emily pergi ke meja Ryunosuke. Dan jelas itu membuat Ryunosuke kaget.
“Emily? Ada apa?”
“ini sudah jam makan siang. Kau tidak istirahat?”
“terus terang saja aku kaget. Karena kau biasanya masih sibuk dengan setumpuk pekerjaanmu yang tidak ada habis-habisnya”
“hari ini aku sedikit bisa santai. Yamada tidak berangkat hari ini”
“oya? Kalau begitu bisakah nanti malam kita bertemu?”
“tentu”
“baiklah, tunggu sebentar”

Malam itu, Ryunosuke pergi ke rumah Emily. Mereka hanya mengobrol berdua saja di sofa sambil melihat siaran TV.
“Emily, sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu”
“apa itu?”
“sebelumnya aku ingin minta maaf kepadamu karena…”
Terlihat keragu-raguan di diri Ryunosuke.
“Ryunosuke?” Emily menyentuh bahu Ryunosuke.
“maaf, Emily. Sepertinya… hubungan kita cukup sampai disini saja”
“tapi mengapa? A-apakah aku ada salah kepadamu?”
“tidak, kau tidak salah apa-apa. Hanya saja ini demi kebaikan kita berdua, Emily”
“bisakah kau jelaskan kepadaku dengan sebuah alasan yang bisa kuterima dengan akal?”
“aku ingin pindah ke kantor cabang yang di London”
“tapi mengapa?”
“atasanku menawari aku dan aku menerimanya. Mungkin sekitar sebulan lagi aku akan berangkat. Kita tidak bisa menjalani hubungan kita dengan ada jarak seperti itu, kan?”
“apakah… kau sudah tidak menginginkanku lagi?”
“aku masih mencintaimu, Emily. Aku sangat menginginkanmu menjadi istriku suatu saat nanti. Tapi sepertinya kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku hanya berharap semoga kau mendapatkan penggantiku yang jauh melebihi aku dalam hal apapun. Dan kamu akan mencintainya dengan sepenuh hatimu. Sebenarnya aku berat meninggalkanmu. Tapi, mungkin ini adalah yang terbaik untuk kita bersama. Trimakasih, Emily. Karena kau sudah mau untuk menjadi bagian dari hidupku”
Emily segera berdiri dan berjalan ke dekat meja makan yang ada di dapur. Pikirannya kalut. Ia sangat berharap hubungannya dengan Ryunosuke Kamiki bisa berjalan lancar dengan mulai belajar mencintainya. Tapi sekarang? Ryunosuke pun akan meninggalkannya untuk pergi ke London. Ryunosuke segera mendekati Emily dan memeluknya. Saat itulah Emily menumpahkan segala rasa yang dirasakannya saat itu. Ia menangis di pelukan Ryunosuke.
“maafkan aku, Emily. Pasti ada seseorang di luar sana yang nantinya akan mencintaimu lebih dari aku”
Emily tak menjawab. Ia hanya terus menangis dan memeluk Ryunosuke semakin eratnya.

Ryunosuke Kamiki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar