Sementara
itu di Jepang, tepatnya di daerah yang agak terpencil. Di kaki gunung Daisen,
Tateyama, Chiba, dekat dengan Tateyama Bay. Seorang pemuda dan seorang
perempuan setengah baya sedang berada di pinggir laut, tepatnya di dekat
Sunosaki Lighthouse.
“hari
sudah hampir malam, bu. Bisakah kita pulang sekarang?”
“tunggu
sebentar, siapa tahu ada kapal yang merapat dan kau bisa segera bertemu ayahmu”
“hhh…
dia tidak akan datang hari ini, bu. Besok kita bisa kesini lagi. Siapa tahu
besok dia datang”
“kau
yakin, Shin?”
“tentu.
Kau percaya padaku, kan?”
“ya,
aku percaya”
“bisa
kita pulang sekarang?”
“ya”
Shin
Koyamada segera membawa ibunya pergi dari dekat lampu mercu suar itu. Dengan
berjalan kaki mereka meninggalkan tempat itu karena rumah mereka memang tidak
terlalu jauh dari mercu suar tersebut.
![]() |
Sunosaki Lighthouse |
Sesampainya
di rumah…
“kau
mau kemana?”
“aku
akan keluar sebentar, janji”
Shin
Koyamada segera keluar rumah dengan membawa pedang panjangnya. Rupanya ia hanya
duduk di depan rumahnya. Menikmati kesunyian malam seorang diri sambil
mengamati pedang panjang kesayangannya tersebut.
“Yamada
Yasuo… Yamada Kei… bukan, tapi Kimura Kei…aku akan menghancurkan kalian! Kalian
yang telah membuat ibuku seperti ini! Dan tak ada yang dapat menghalangiku
sekarang ini!”
Malam
menjelang, tapi Yamada belum keluar juga dari kantornya. Ia masih sibuk dengan
komputernya. Ia mendongak begitu Emily berdiri di depannya.
“ya,
ada apa?”
“ehm…
pekerjaanku sudah selesai. Bisakah aku pulang sekarang? Kalau kau sudah tidak
membutuhkanku, tentu saja”
“dengan
siapa kau akan pulang?”
“aku
bisa pulang sendiri”
“tunggu
aku sebentar lagi, aku akan mengantarmu pulang”
“tapi…”
“…
aku akan mengantarmu pulang, Ms. Grey”
“baiklah,
trimakasih. Aku akan menunggumu diluar”
Emily
segera keluar dari kantor Yamada. Ia hanya berdiam diri di mejanya. Tak lama
kemudian, Yamada sudah keluar dari kantornya.
“ayo”
Sambil
menggulung lengan kemeja putihnya, Yamada berjalan cepat menuju lift. Emily
berlari kecil di belakangnya.
“maaf
kalau kau harus pulang malam setiap hari”
“tidak
apa-apa”
“perusahaan
ini semakin maju. Sepertinya aku butuh bantuan orang lain lagi untuk
menjalankan perusahaan ini. Karena kalau tidak, yah… beginilah. Kita pulang
terlambat terus”
“bukankah
masih ada Mr. Malkovich?”
“dia
mengurusi hal yang lainnya. Dan sepertinya aku harus ke Jepang dalam waktu
dekat”
Tak
butuh waktu lama, mereka sudah ada di depan rumah Emily.
“trimakasih
kau sudah mengantarku. Selamat malam, Yamada”
“ya,
selamat malam, Ms. Grey”
Pagi
itu, Emily sudah ada di mejanya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia segera mengambil
dari dalam tasnya. Ia kaget begitu tahu yang menelpon adalah Yamada.
“hallo”
“Ms.
Grey, aku hanya akan memberitahumu kalau hari ini aku tidak datang ke kantor.
Jadi tolong nanti sepulang kerja,
bawakan beberapa dokumen yang sudah ku email kepadamu semalam ke rumahku. Aku…
ada beberapa hal yang harus kuselesaikan”
“ah,
ya. Tentu saja. Apakah ada yang lainnya?”
“sementara
itu dulu. Trimakasih, Ms. Grey”
Emily
segera membuka komputernya. Memeriksa beberapa email yang masuk, yang salah
satunya dikirim oleh Yamada semalam. Ia mencatatnya di kertas dan segera
mempersiapkan beberapa dokumen yang dikehendaki Yamada.
“selamat
pagi, Ms. Grey”
Emily
kaget dan mendongak.
“kau?
Ryunosuke?”
“mengapa?
Kau mengira yang menyapamu Yamada, ya?”
“hhh…
mengapa kau ikut-ikutan memanggilku dengan nama itu?”
“nothing,
aku hanya heran saja mengapa dia memanggilmu dengan nama itu?”
“kita
tidak usah terlalu pusing memikirkan yang bukan urusan kita. Yang penting ia
memanggil masih dengan namaku. Grey juga namaku, kan?”
”iya,
iya. Bagaimana kalau nanti sehabis kerja kita pergi bersama?”
“maafkan
aku, Ryunosuke. Tapi sepulang kerja nanti aku harus ke rumah Yamada. Ia tidak
masuk kantor hari ini, entah mengapa. Dia memesan beberapa dokumen untuk aku
bawa kepadanya nanti”
“hhh…
selalu saja dia, dia dan dia”
“lalu
apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa menolaknya juga, kan?”
“bagaimana
hubunganmu dengannya?”
“maksudmu?”
“maksudku…
kau tahu sendiri, kan? Dulu kau sangat membencinya sampai-sampai kau tak mau
bertemu dengannya. Sekarang kau akrab sekali dengannya. Sebenarnya… banyak
karyawan yang lain menanyakan hal ini kepadaku dan aku tidak bisa menjawabnya.
Mereka berpikir kalau kau dan Yamada..”
“…
aku tidak ada hubungan apapun dengannya, Ryunosuke”
“terus
terang saja aku menjadi khawatir dengan rumor ini. Hampir setiap hari mereka
menanyakan itu”
“kau
tidak tahu, Ryunosuke. Aku sebenarnya mencintai Yamada sedari dulu. Sebelum
mengenalmu” batin Emily kala itu. Namun ia hanya diam membisu.
“lupakan
saja pembicaraan kita ini. Aku tidak mau mengganggu mood kamu hari ini.
Baiklah, aku pergi dulu, Emily. Pekerjaanku juga banyak sekali hari ini”
Emily
hanya bisa melihat kepergian Ryunosuke yang menghilang di balik pintu lift.
“I’m
so sorry,” bisik Emily.
Malam
itu, setelah Emily menyelesaikan pekerjaan untuk hari itu, ia segera memberesi
mejanya. Ia segera turun ke lobi dan memesan taksi menuju rumah Yamada yang
super mewah itu. Taksi berhenti di depan lobi. Dengan agak ragu, Emily memencet
bel yang ada di samping pintu. Baru 2x ia ke rumah Yamada. Yang pertama pada
waktu pesta prom night sewaktu sekolah dulu dan hari ini, tentu saja.
Seorang
lelaki membukakan pintu untuknya.
“ada
yang bisa kubantu?”
“aku
kesini untuk mencari Yamada-san. Aku sudah ada janji dengannya. Aku Emily Grey,
sekretarisnya”
“ah,
ya. Ia sudah menunggumu. Masuklah. Ia menunggumu di lantai atas. Silahkan”
Dengan
agak ragu, ia melangkahkan kakinya memasuki rumah Yamada yang besar. Di
pikirannya berkelebat bayangan sewaktu pesta prom night di malam itu. Sewaktu
akhirnya ia mengetahui siapa Yamada Kei yang sesungguhnya.
Ia
mulai melangkah menaiki tangga dan sampailah ia di ruang keluarga yang besar.
Ia masih ingat betul dengan ruangan itu. Ia melihat ke sekeliling, sepi. Namun
ia mendengar suara di ujung ruang keluarga itu. Ia kesana dengan hati-hati.
Ternyata
sebuah ruangan yang cukup luas juga. Beberapa katana tergantung di tembok kanan
dan kiri. Ia juga melihat Yamada sedang berlatih wushu seorang diri dengan
membawa katana. Emily hanya terpana menyaksikan Yamada begitu mahir dalam
wushu. Rupanya Yamada tak mengetahui akan kehadiran Emily dan masih terus
berlatih.
![]() |
Yamada Kei |
Yamada
memutar-mutarkan katananya dan hampir saja mengenai Emily yang memang ia tak
menyadari akan kehadiran Emily. Emily menjerit, segera saja Yamada menghentikan
aktivitasnya.
“oh…
kau, Ms. Grey. Maaf, aku tidak tahu kalau kau sudah ada disini. Apakah kau
baik-baik saja?”
“ya,
aku tak apa-apa. Hanya terkejut saja”
“sudah
lama?”
“yah…
begitulah. Maaf, aku tadi disuruh masuk oleh entah siapa namanya”
“dia
penjaga rumah ini. Aku sudah mengatakan kepadanya kalau kau datang agar
langsung keatas saja”
Setelah
menyimpan katananya lagi di dinding, mereka segera ke ruang keluarga dan duduk
disana.
“kau
mau minum apa, Ms. Grey?”
“tidak
usah repot-repot, Yamada”
“tidak
apa-apa. Apakah kau mau teh hangat? Akan kubuatkan untukmu”
Setelah
menyeka peluh yang membanjiri tubuhnya dengan handuk kecil, Yamada segera ke
pantry yang ada di dekat ruang keluarga itu. Membuatkan minuman hangat untuknya
dan Emily. Emily berdiri dan melihat-lihat (lagi) foto-foto yang ada di ruangan
yang besar itu. Banyak sekali foto disana. Lebih mirip dengan galeri. Emily
melihat foto mereka sewaktu kecil ada di tempatnya semula sewaktu pertama kali
ia menemukan foto itu. Sudah terbingkai lagi dengan pigura yang cantik. Emily
mengambilnya dan mengamatinya lagi. Yamada mendekatinya.
“setiap
kali kau kesini, mengapa kau tertarik dengan foto itu?”
“eh,
karena… hanya foto ini saja yang aku tahu”
Emily
mengembalikan foto itu ke tempatnya semula.
“apakah
kau juga masih menyimpan foto itu?”
“ya,
ada di kamarku. Oya, aku baru sekali ini melihatmu berlatih wushu. Kau pandai
sekali”
“tentu
saja baru sekali ini kau melihatku, aku tidak berlatih wushu di kantor, kan?”
Emily
hanya tertawa kecil.
“minumanmu
ada di atas meja itu. Maaf, aku tinggal sebentar”
“ya,
trimakasih”
Yamada
segera masuk ke kamarnya. Emily menyeruput minuman hangat buatan Yamada. Ia
memeriksa kembali beberapa dokumen yang ia bawa. Sementara Yamada mandi di
kamarnya.
“maaf,
telah membuatmu menunggu, Ms. Grey”
Yamada
duduk di sofa depan Emily. Ia sudah segar dengan hanya memakai kimono panjang yang
membalut tubuhnya. Rambutnya pun basah sehabis keramas.
“oya,
ini beberapa dokumen yang kau pesan tadi pagi”
“ya,
trimakasih. Sekalian aku akan membawanya ke Jepang. Mereka memerlukan
dokumen-dokumen ini. Dan malam ini aku harus mengoreksi semuanya”
“kapan
kau akan berangkat kesana?”
“mungkin
minggu depan. Kenapa? Apakah kau mau ikut?”
“ah…
tidak, trimakasih”
“ya,
kau benar. Kau bisa mengurusi pekerjaan yang disini sementara aku pergi.
Minumlah minumanmu, Ms. Grey. Nanti keburu dingin”
“ya,
trimakasih. Kau pandai meracik minuman ini”
“ya,
aku terbiasa mengurus segala keperluanku seorang diri”
“mengapa
tidak ada pembantu di rumah sebesar ini?”
“ada,
aku hanya punya 2. Yang 1 pria setengah baya yang kau temui tadi. Yang 1 ada di
belakang. Pekerjaannya hanya memasak tapi itu juga percuma karena aku jarang
makan di rumah. Oya, kalau kau belum makan, aku akan menyuruhnya untuk memasak”
“tidak
perlu,” sahut Emily cepat.
“tidak
apa-apa. Kebetulan ada kamu, aku juga mau makan di rumah sekarang”
Yamada
segera meninggalkan Emily lagi. Emily menjadi salah tingkah. Beberapa kali ia
melihat ke jam tangannya.
“maaf,
apakah kau terburu-buru untuk pulang?”
Yamada
duduk di samping Emily.
“tidak.
Hanya saja… aku belum pernah makan malam di rumahmu”
Yamada
hanya tersenyum dan itu semakin membuat Emily terpesona dengan Yamada.
“aku
sudah mendengar rumor itu”
“rumor
apa?”
“tentang
kita”
“kita?”
“ya,
aku dengar dari seseorang. Bahwa semua karyawanku mengira hubungan kita lebih
dari sekedar atasan dan bawahan, maaf. Apakah kau juga mendengar rumor itu?”
Emily
hanya menundukkan kepalanya.
“maaf,
tapi aku tak mau merusak hubunganmu dengan Ryunosuke hanya gara-gara rumor ini”
“aku
baru mendengarnya pagi tadi,” Emily menundukkan kepalanya.
“siapa
yang memberitahumu?”
“Ryunosuke
yang memberitahuku”
“aku
yakin dia khawatir sekali tentang rumor itu, makanya ia memberitahumu. Aku bisa
melihat ia sangat mencintaimu dan takut sekali kehilangan kamu, Ms. Grey”
“apakah
kau juga melihat bahwa aku juga sangat mencintaimu, Kei?” batin Emily.
“tapi
sepanjang kita memang tidak ada hubungan apa-apa, kita tidak perlu bereaksi
terhadap para karyawanmu, kan?”
“apakah
kau seyakin itu kalau kita memang tidak ada hubungan apa-apa, Ms. Grey?”
“maksudmu?”
Yamada
terdiam beberapa saat lamanya.
“lupakan!
Aku akan mengecek apakah masakan sudah siap. Tolong masukkan data-data di
dokumen ini di komputerku. Ruang kerjaku ada di sebelah sana, kalau kau tidak
keberatan, Ms. Grey”
Bergegas
Yamada meninggalkan Emily yang masih juga terdiam. Ia kemudian bangkit menuju
ruang kerja Yamada dan menghidupkan komputernya. Ia melihat ada sebuah foto
bergambar Yamada Kei dan Harumi sewaktu mereka pulang ke Tokyo di atas meja di
ruang kerja itu. Pikirannya mengembara kemana-mana. Ia lalu buru-buru
mengerjakan apa yang diperintahkan Yamada.
Di
balkon teras belakang, terlihat Yamada sedang telpon dengan seseorang.
“hhh…
aku usahakan secepatnya, pa. Pekerjaan disini banyak sekali. Sepertinya aku
butuh bantuanmu”
“baiklah,
bawa kemari dokumen-dokumen itu. Mungkin dengan disini, kau juga bisa meminta
masukan kepada Ryuu”
“ya,
thanx. Aku akan ke Jepang secepatnya”
Setelah
menutup telponnya, seseorang sudah berdiri di belakangnya.
“ya,
ada apa?”
“makan
malam sudah siap, Tuan”
“ya,
trimakasih. Aku akan kesana sebentar lagi”
Dengan
masih mengenakan kimono panjangnya, ia segera menuju ruang kerjanya.
“Ms.
Grey…”
Langkahnya
terhenti. Ia melihat Emily meletakkan kepalanya di atas meja. Ia menyentuh bahu
Emily dengan hati-hati.
“Ms.
Grey? Emily?”
Ternyata
Emily sudah tertidur dengan pulasnya. Yamada kemudian menggendong Emily menuju
kamarnya.
“Yamada!
Yamada! Dimana ka…”
Yamada
Kei menoleh ke sumber suara. Ternyata Danny Wang sudah ada di hadapannya dengan
mulut yang ternganga lebar.
“hei,
hei… apa yang sedang kau lakukan, Yamada? Siapa dia? Waaahh… Emily? Emily Grey?
Bagaimana bisa kau…?”
Tanpa
menggubris semua pertanyaan Danny, Yamada membaringkan Emily di ranjangnya yang
besar, melepas sepatu Emily lalu menyelimutinya. Setelah itu ia mengajak Danny
keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamarnya lagi.
“hei,
apakah ada yang tidak kuketahui?”
Yamada
hanya diam dan menuju ruang makan. Danny masih saja membuntutinya.
“kau
lapar, kan? Duduk dan makanlah”
“kau
belum bercerita apa-apa kepadaku, Yamada”
“cerita
apa?”
“bagaimana
bisa ia ada di kamarmu?”
“hhh…
aku tadi hanya menyuruhnya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan di ruang
kerjaku. Setelah kulihat, ia sudah tertidur. Dan selanjutnya, seperti yang kau
lihat”
“apakah
kau…”
“apa
yang ada di pikiranmu, Danny?”
“kau
tahu maksudku, kan? Dia sedang ada di kamarmu, tertidur dan…”
“…
aku bukan orang seperti itu, Danny. Ada apa kau kesini?”
“y-yaahh…
kebetulan saja aku sedang ke rumah temanku di sekitar sini. Daripada aku pulang
ke Connecticut malam-malam, lebih baik aku menginap di rumahmu saja”
“ada
apa, Danny?” Yamada bertanya sambil menyantap makan malamnya.
“m-maksudmu?”
“aku
tahu kamu. Sepertinya kau tidak punya teman di sekitar sini”
“eh,
kau tahu ya… ehm… sebenarnya… aku ingin meminjam uang darimu untuk tambahan
biaya kuliahku, kalau kau tidak keberatan tentu saja”
“berapa?”
“y-yah,
setidaknya bisa untuk 6 bulan ke depan”
“besok
pagi akan kutransfer ke rekeningmu”
“serius?
Trimakasih, Yamada. Kalau aku sudah punya uang, pasti akan segera kukembalikan”
“tidak
perlu, kau tidak perlu mengembalikannya. Makanlah dulu”
Dengan
semangatnya Danny segera menyantap makan malam yang ada di hadapannya.
“kau
akan menginap disini, kan?”
“tentu
saja. Besok pagi-pagi sekali aku pulang karena ada kegiatan pagi di kampus.
Bagaimana sekolahmu?”
“sepertinya
kecil kemungkinan untuk kuteruskan lagi. Perusahaan semakin maju dan
pekerjaanku semakin bertambah banyak. Mungkin minggu depan aku akan pulang ke Jepang.
Aku akan meminta papa untuk membantuku. Aku dan Emily sampai pulang malam terus
setiap hari. Terkadang di hari libur pun kami tidak bisa libur”
“bukankah
beberapa pekerjaan bisa kau delegasikan kepada orang kepercayaanmu?”
“ada
beberapa pekerjaan yang sudah kuserahkan kepadanya. Tapi tidak semuanya, kan?”
“bagaimana
pekerjaan Emily? Bukankah ia sudah kau angkat menjadi pegawai tetapmu? Tentunya
kau bisa setiap hari bersamanya terus. Kau bisa mendekatinya lagi, kan?”
Yamada
menatap Danny.
“eh,
maaf. Maksudku… bukankah istrimu…”
“ya,
kau benar. Tapi sebenarnya aku masih tidak enak hati dengan Ryunosuke”
“berarti
keputusan ada di tangan Emily. Kusarankan, sebaiknya kau berterus terang
kepadanya. Terserah nanti ia akan menolakmu atau menerimamu. Yang penting ia
sudah tahu tentang kau, Yamada!”
“hhh…
entahlah. Oya, bagaimana hubunganmu dengan Anna? Kalau aku melihat, sepertinya
sedari dulu Anna tidak begitu menyukaiku”
“hahaha…
ya, sepertinya begitu. Ia pernah bercerita kalau ia kurang begitu suka denganmu
karena tingkahmu yang sok dan sombong di jaman sekolah dulu. Hubungan kami
baik-baik saja”
“oya,
mungkin suatu saat aku butuh bantuanmu. Aku sedang mencari orang yang bernama
Shin Koyamada”
“siapa
dia?”
“aku
juga tidak tahu. Tapi sepertinya ia yang harus bertanggung jawab atas kematian
Harumi. Ilmu beladirinya sangat bagus sekali. Aku kewalahan menghadapinya.
Jadi, mungkin suatu saat aku butuh bantuanmu”
“kapan
pun kau membutuhkanku, Yamada. Aku selalu siap”
Yamada
hanya tersenyum lalu beranjak dari duduknya.
“habiskan
makanmu. Aku sepertinya sudah mengantuk sekali”
“apakah
kau akan tidur dengan Emily?”
“what?!
Tentu saja tidak. Aku akan tidur di sofa itu. Kalau kau mau, kau bisa tidur di
kamar yang ada di bawah. Atau terserah kaulah”
Yamada
merebahkan tubuhnya di salah satu sofa di ruang keluarga itu dan memejamkan
matanya.
Dengan
agak malas, Emily membuka matanya. Ia masih nyaman tiduran di balik selimut
hangat yang tebal dan kasur besar yang empuk. Ia mulai membuka matanya, menatap
langit-langit kamar yang berhiaskan lampu yang indah. Ia melihat ke sekeliling,
melihat sekeliling kamar yang penuh dengan hiasan-hiasan indah dan mahal. Ia
buru-buru bangkit dan duduk. Menatap jendela yang ada di sampingnya. Udara
sejuk menyeruak masuk melalui jendela besar itu. Emily membuang selimutnya dan
segera berdiri.
“dimana
aku ini? Sudah jelas sekali ini bukan kamarku!”
Dengan
agak berlari, Emily segera keluar dari kamar itu. Setelah sampai di luar, ia
berhenti.
“hah?!
Aku tidur di kamar Yamada? Apa yang terjadi? Jam berapa sekarang? Jam 10! Oh,
shit! Aku terlambat masuk kerja!”
Dengan
terburu-buru, Emily mengemasi tasnya yang masih ada di ruang keluarga.
“mengapa
kau terburu-buru, Ms. Grey?”
“kau?”
Emily
melihat Yamada sedang duduk di meja makan sambil menikmati kopi di pagi itu.
Sepertinya Yamada baru saja selesai mandi dan sudah berpakaian rapi.
“eh,
apa yang terjadi denganku? M-mengapa aku bisa tidur di…”
“…
kamarku?”
“i-iya”
“sewaktu
aku akan mengajakmu makan malam, kulihat kau sudah tertidur di ruang kerjaku.
Jadi, kupindahkan saja kau ke dalam kamarku”
“lalu,
kau tidur dimana? Apakah…”
“…
aku tidur di sofa itu. Mengapa?”
“sekarang
sudah jam 10, Yamada. Aku pasti sudah terlambat masuk kerja. Sialan!”
“sepertinya
kau khawatir sekali”
“tentu
saja. Aku masuk kerja jam 8, sekarang sudah jam berapa, ha?!”
“hhh...
kau lupa? Akulah yang berkuasa di perusahaan itu. Duduklah, kita sarapan dulu”
Emily
terdiam. Ia segera bisa menguasai keadaan dan bisa berpikir jernih bahwa orang
yang ada di hadapannyalah yang berkuasa di perusahaan tempat ia bekerja. Dengan
agak ragu, ia perlahan duduk di depan Yamada.
“ehm…
m-maafkan aku”
“tidak
apa-apa”
Mereka
segera sarapan bersama. Hanya ada hening diantara mereka. Setelah selesai makan
pagi…
“kalau
kau mau mandi, kau bisa menggunakan kamar mandi yang ada di kamarku tadi”
“eh,
aku ingin pulang sekarang saja”
“baiklah,
tunggu sebentar”
Yamada
masuk ke kamarnya, mengambil jasnya lalu keluar lagi.
“kalau
kau sudah selesai sarapan, kita bisa berangkat sekarang. Aku akan mengantarmu.
Kita bisa sekalian berangkat kerja”
Mereka
segera menuju rumah Emily.
“silahkan
masuk dulu. Aku akan bersiap-siap sebentar”
Yamada
hanya melihat-lihat ruang keluarga di rumah Emily. Memang, tak seluas rumahnya.
Ia hanya duduk di sofa sambil membaca-baca beberapa buku yang ada di atas meja
di depannya.
“aku
sudah siap”
“sebenarnya…”
“ada
apa?”
“eh,
kita berangkat sekarang saja, Ms. Grey. Kita sudah cukup terlambat. Bukankah
hari ini kita juga ada meeting?
“ya,
kau benar”
Mereka
segera menuju Manhattan di daerah Upper East Side dimana gedung Yamada Group
berada. Sesampainya di lobi, beberapa
orang karyawan yang berada disana mengangguk hormat kepada Yamada dan kelihatan
berbisik-bisik. Itu semua membuat Emily semakin risih.
“kau
tak perlu memperdulikan mereka, Ms. Grey” kata Yamada sambil memencet tombol
pintu lift yang seakan tahu apa yang di pikirkan Emily.
“ya,
thanx”
Sesampainya
di lantai atas, telpon diatas meja Yamada berbunyi dengan nyaringnya. Yamada
segera mngangkatnya.
“ya,
hallo. Ya, betul. Oh, baiklah. Tidak apa-apa. Baik… baik… ya, trimakasih”
Setelah
itu ia menatap Emily.
“sepertinya
meeting nanti siang dibatalkan. Aku akan menemui Mr. Malkovich dulu”
Yamada
segera menuju ruangan Mr. Malkovich yang ada di sebelahnya. Sementara Emily
segera menuju mejanya dan mulai mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda
karena ia berangkat agak siang. Yamada segera menemui Emily lagi di mejanya.
“kemasi
barang-barangmu sekarang. Kita harus segera ke Vernon dengan Mr. Malkovich
juga. Ada pekerjaan mendadak disana”
Yamada
segera masuk ke kantornya lagi. Tak lama kemudian ia sudah keluar dengan
membawa jasnya. Mereka bertiga segera turun ke lobi dan masuk ke dalam mobil
yang sudah disiapkan.
“kita
tidak membawa sopir, Mr. Malkovich?”
“tidak
apa-apa. Aku saja yang menyopir”
Yamada
dan Mr. Malkovich duduk di depan sedangkan Emily sendirian di kursi belakang.
Mr. Malkovich mengarahkan mobilnya menuju Vernon, Astoria. Setelah menyeberangi
East River, sampailah mereka di tempat yang dituju.
Siang
itu, Danny dan Anna sedang makan siang di kantin.
“semalam
aku ke rumahmu tapi kau tak ada”
“mengapa
kau tidak menelponku?”
“biasanya
kalau kau sedang tak ada, berarti kau sedang sibuk. Aku benar, kan?”
“ehm…
yah…”
“sibuk
apa?”
“aku
ke rumah Yamada”
“kau?
Malam-malam seperti itu? Untuk apa kau kesana?”
“hei,
ada apa denganmu? Bisakah kau berhenti membencinya?”
“aku
tidak membencinya. Aku hanya masih sebel saja dengannya. Menurutku dia masih
orang yang sombong dan sok kaya. Ya… memang sih dia kaya. Tapi aku masih
teringat terus tentang kelakuan dia di sekolah dulu. Kalau kau tahu, kau pasti
juga akan bersikap sepertiku”
“itu
semua sudah berlalu, sayang. Kita hidup di hari ini, bukan masa lalu. Ayolah,
kalian sudah sama-sama dewasa”
“ada
apa kau kesana?”
“ada
sedikit urusan dengannya. Oya, sudah lama sepertinya kau tak pulang”
“ya,
aku sibuk sekali akhir-akhir ini. Bukankah kau juga sibuk menghadapi ujian
akhirmu?”
“ya,
juga pertandingan wushu itu. Hhh… tahun ini aku harus bisa mengalahkan Eiji”
“kau
bisa belajar dari Yamada, kan?”
“tidak
bisa semudah itu juga, Anna. Dia orang yang sibuk. Kau juga tahu itu, kan?”
“sudah
lama aku juga tidak telpon Emily. Bagaimana kabar dia sekarang setelah bekerja
dengan si brengsek itu”
“hei,
hei, hei… aku sudah bilang, kan?”
“ups,
sorry. Aku terlalu terbawa perasaan kalau membicarakan sahabatmu itu”
“kalau
begitu, kita tidak perlu membicarakan dia lagi. Sebaiknya kita membicarakan
kita saja”
“apa
yang perlu dibicarakan?”
“kalau
aku sudah wisuda nanti, aku ingin mengenalkanmu kepada orang tuaku”
“apakah
mereka akan datang kesini?”
“tentu
saja, juga adik perempuanku. Mereka pasti akan senang bisa bertemu denganmu.
Mereka tak sabar menunggu saat itu tiba”
“maksudmu…?”
“aku
sudah bercerita banyak tentangmu kepada mereka”
“Danny,
kau membuatku gugup”
“mereka
baik. Kau pasti akan menyukai mereka. Mereka akan datang dari Kuala Lumpur”
“aku
akan dengan senang hati menunggu mereka. Aku mencintaimu, Danny”
Hari
sudah hampir menjelang senja. Nampak Yamada, Emily dan Mr. Malkovich keluar
dari sebuah ruangan.
“oya,
kalian pulanglah terlebih dahulu. Aku nanti akan pulang dengan Mr. Sandersson”
“ya,
biar nanti aku akan mengantar Mr. Malkovich pulang. Sudah lama juga kami tidak
bertemu”
“oh…
baiklah kalau begitu. Aku pulang sekarang. Hari sudah hampir malam. Kami
permisi dulu Mr. Malkovich. Bye, Mr. Sandersson”
Yamada
mengendarai mobilnya menuju Ed Koch Queensboro Bridge. Nampak indah disinari
sinar matahari senja. Beberapa kali Emily melihat Yamada yang mengemudi di sampingnya.
“sepertinya
kau lelah sekali, Yamada”
Yamada
hanya mengusap wajahnya yang letih dengan tangannya.
“kalau
kau lelah, sebaiknya kita beristirahat dahulu. Tak perlu kau paksakan
mengemudi”
Yamada
hanya terdiam. Pandangannya masih menatap lurus ke depan. Emily pun tak berani
buka mulut lagi. Setelah melewati jembatan, Yamada membelokkan mobilnya kembali
menuju tepi East River.
“kita
mau kemana lagi, Yamada? Bukankah jalan pulang kita tidak lewat sini?”
“aku
tahu”
“lalu?”
“aku
hanya ingin duduk di tepi East River saja. Kau keberatan?”
Sekali
lagi Emily hanya terdiam. Yamada memparkir mobilnya di Peter Detmold Park yang
ada di tepi East River. Dari sana, ia dapat memandang Roosevelt Island yang ada
di tengah sungai. Nampak tersirat dengan jelas gurat kelelahan di raut
wajahnya.
![]() |
Peter Detmold Park |
Emily
mendekati Yamada yang sedang bersandar di pagar tepi sungai.
“Yamada…”
“ya?”
“terus
terang aku khawatir sekali denganmu” kata Emily dengan hati-hati.
“mengapa?”
“kau
butuh istirahat, Yamada”
“aku
tidak butuh istirahat, Emily. Tapi KAU”
Emily
terkejut. Ia mundur beberapa langkah.
“mengapa?
Kesinilah. Indah sekali pemandangan di Roosevelt Island itu. Lihatlah!”
Emily
masih terdiam di belakang Yamada sambil terus memandangi Yamada. Tak tahu apa
yang harus diperbuat. Dengan perlahan Emily ikut berdiri di samping Yamada.
Namun ia masih diam membisu.
“apa maksudmu, Yamada?”
“apa?”
“kau
tahu benar apa yang kumaksud”
“hhh…
oke”
Yamada
memegang kedua bahu Emily. Membungkukkan badannya sehingga wajahnya sejajar
dengan wajah Emily.
“aku
mencintaimu, Ms. Grey. Maksudku… Emily, Emily Grey”
“kau
sudah mengatakannya kepadaku waktu itu. Ya, kau mencintaiku. Tapi dulu, sewaktu
kita masih sekolah”
Emily
masih menatap Yamada penuh selidik. Yamada kembali menatap sungai yang ada di
depannya. Diam membisu. Melihat kapal yang berlalu-lalang di depannya. Lalu Yamada
terkejut karena tiba-tiba Emily memeluknya dari belakang sambil menangis.
“h-hei…
ada apa, Ms. Grey?”
Emily
semakin erat memeluk Yamada dari belakang sambil menangis. Seakan sudah
menyingkirkan rasa ego dan malunya di hadapan Yamada. Dengan perlahan, Yamada
melepaskan pelukan Emily dan menatapnya. Emily semakin menundukkan kepalanya
dalam-dalam.
“ada
apa?”
Karena
Emily masih saja menangis, Yamada lalu membimbing Emily untuk duduk di bangku
panjang taman itu. Yamada juga masih terdiam membiarkan Emily menangis
sepuasnya.
“maafkan
aku, Yamada”
Yamada
mengulurkan sapu tangannya kepada Emily.
“trimakasih”
Setelah
bisa menguasai keadaan, Emily terdiam sambil menyandarkan punggungnya ke kursi
taman itu. Sementara hari mulai gelap. Lampu-lampu taman pun sudah mulai di
hidupkan.
“maaf.
Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan diriku, hidupku. Semuanya sudah
kujalani seperti air yang mengalir. Aku tidak pernah berontak, menerima semua
takdirku. Aku pun menerima Ryunosuke Kamiki sebagai calon suamiku. Ya, dia
sudah melamarku. Mungkin dalam waktu dekat kami akan menikah. Tapi, apakah aku
mencintainya? Aku sendiri tidak tahu. Dan kau… kau tak pernah memberiku waktu
ataupun kesempatan untuk mengungkapkan semua perasaanku. Terpaksa aku
memendamnya seorang diri sehingga aku akhirnya menerima lamaran Ryunosuke. Kau
memang tidak tahu apa-apa, Kei. Aku juga tak mau menyalahkanmu. Aku bukan orang
yang egois. Kau benar, kita sudah mempunyai kehidupan kita masing-masing. Tapi
sebelum aku melangkah ke pelaminan, aku hanya ingin kau tahu. Kalau sudah sejak
dari dulu aku mencintaimu dan sangat berharap kau bisa mengatakan hal itu
kepadaku. Tapi ternyata kalimat itu tidak pernah terucap dari mulutmu. Tapi
sekali terucap, semua sudah terlambat. Kita memang tidak ditakdirkan bersama.
Aku sudah menjadi milik Ryunosuke. Dan kuharap, kau juga bisa menemukan wanita
yang tepat untukmu. Aku akan belajar untuk mencintai Ryunosuke. Mungkin memang
benar. Untuk seorang perempuan, lebih baik hidup dengan orang yang mencintai
kita”
Gantian
Yamada yang menundukkan kepalanya. Dengan perlahan, ia merengkuh bahu Emily dan
memeluknya. Ia pun tak tahu mengapa ia bisa melakukan hal itu. Emily pun
terkejut. Yamada dapat mencium bau harum rambut Emily. Ia juga masih bisa
melihat jepit rambut bunga sakura pemberiannya dulu yang masih dipakai Emily
sampai dengan hari itu. Emily merasa nyaman berada di pelukan Yamada, seakan
tak ingin melepaskannya lagi.
“aku
mencintaimu, Kei. Sangat…” bisik Emily di sela-sela sisa isak tangisnya.
Sebuah
mobil melintas. Mobil itu perlahan menurunkan kecepatannya begitu melihat
Yamada dan Emily.
“Emily…?”
bisik si pengendara mobil.
Yamada
lalu berdiri dan bersandar di pagar tepi East River sambil masih terus menatap
Roosevelt Island.
“kau
benar, Ms. Grey. Kita sudah punya kehidupan kita masing-masing”
Cukup
lama mereka hanya bisa saling diam, tenggelam dalam pikiran mereka
masing-masing. Angin malam semakin dingin. Emily merapatkan blazernya, apalagi
waktu itu ia hanya mengenakan rok pendek.
“sebaiknya
kau kuantar pulang sekarang, Ms. Grey”
Tanpa
menunggu Emily, Yamada segera menuju mobilnya dan duduk disana diikuti Emily.
Ia lalu mengarahkan mobilnya menuju rumah Emily yang sudah tidak begitu jauh.
Setelah sampai…
“trimakasih,
Yamada. Selamat malam”
Yamada
menunggu sampai Emily masuk ke rumah. Setelah itu, barulah ia meninggalkan tempat
itu menuju kantornya. Kantor yang sudah mulai sepi, hanya ada beberapa pegawai
yang masih lembur. Di kantornya, ia hanya menatap pemandangan Manhattan di
malam hari yang penuh dengan kelap-kelip lampu berwarna-warni.
“permisi,
Yamada-san. Ini aku buatkan kopi untukmu”
“eh…
kau belum pulang?”
“ya,
masih ada beberapa pegawai yang belum pulang. Saya juga membuatkan kopi untuk
mereka. Yah… setidaknya untuk menemani mereka untuk menyelesaikan pekerjaan
yang menumpuk. Cobalah kopi ini, enak sekali. Ini percobaanku yang terbaru.
Kata pegawai yang lain, racikan kopi yang ini yang paling enak”
Yamada
hanya tersenyum.
“ya,
trimakasih. Letakkan saja di meja itu. Nanti aku akan mencobanya. Trimakasih,
John”
John
segera meninggalkan kantor Yamada. Dengan agak malas, Yamada mulai menghidupkan
komputernya. Memeriksa kembali dokumen-dokumen yang akan ia bawa ke Jepang
nanti.
Pagi
itu di lobi, Ryunosuke bertemu Emily yang juga baru saja tiba.
“selamat
pagi, Emily”
“selamat
pagi, Ryunosuke”
“sepertinya
matamu sembab. Ada apa, Emily?”
“eh…
aku hanya kurang tidur saja semalam. Aku tidak apa-apa”
“jam
berapa kau pulang semalam?”
“sekitar
jam 9”
“maksudmu
jam 9 kau baru keluar dari kantor?”
“i-iya,
kenapa?”
“nothing”
Ryunosuke
hanya tersenyum. Mereka lalu masuk ke lift yang pintunya sudah terbuka itu.
“apakah
kau nanti sepulang kerja ada waktu?”
“maaf,
tapi nanti sudah ada jadwal meeting dengan perusahaan lain jam 7 malam”
“baiklah,
lain kali saja. Kalau kau sudah ada waktu, kabari aku saja. Oke?”
“tentu”
Mereka
berpisah di lantai 5, sedangkan Emily masih menuju lantai paling atas. Begitu
sampai di mejanya, dengan malas ia meletakkan beberapa barangnya ke atas meja
dan menghempaskan dirinya di kursi. Wajahnya terlihat penat. Memang, semalam ia
hanya menangis dan tidak bisa tidur. Dan ia pun semakin terkejut ketika melihat
Yamada sudah berdiri di depan mejanya. Ia segera melihat ke jam tangannya.
Masih pagi-pagi benar.
“eh,
selamat pagi, Yamada-san”
“kalau
ada orang yang mencariku, bilang saja aku sedang sibuk. Batalkan SEMUA meeting
untuk hari ini. Kau mengerti, Ms. Grey?”
“i-iya,
aku mengerti”
Masih
dengan terbengong-bengong, Emily menatap Yamada yang mulai meninggalkan
kantornya. Beberapa karyawan mendekatinya.
“hai,
Emily. Mau kemana boss kita yang satu itu?”
Emily
hanya mengangkat kedua bahunya.
“bukankah
kau sekretarisnya? Seharusnya kau lebih tahu tentang jadwal dia kan?”
“ya,
tapi baru saja dia bilang agar aku membatalkan semua jadwal kerja dia hari ini
entah mengapa”
“eh,
kau sudah dengar gossip itu?”
“gossip
apa?”
“kau
jangan pura-pura tak tahu, Emily. Gossip yang beredar di perusahaan ini. Kalau
kau ada hubungan dengan Yamada-san. Apakah itu benar?”
“hhh…
itu semua tidak benar. Hubungan kami professional”
“tapi
akhir-akhir ini kau sering menghabiskan waktu bersamanya”
“aku
sekretarisnya, Cinthya”
“mmm…
kau benar. Tapi, sepertinya aku melihat ada hal yang lainnya”
“maksudmu?”
“yah…
kau tahu, kan? Dia sekarang pria lajang. Apa kau tak berniat untuk
mendekatinya?”
“aku
sudah ada hubungan dengan Ryunosuke”
“ah,
iya. Maaf… eh, aku dengar kalian dulu teman sekolah ya?”
“iya,
benar”
“bagaimana
dia dulu di sekolah? Pasti banyak ya gadis-gadisnya. Secara dia sangat tampan.
Hahaha… coba kalau aku belum punya suami. Aku dulu sangat ingin punya suami
orang sana”
“sudahlah,
tidak usah membicarakan dia lagi. Pekerjaanku sangat banyak hari ini. Maafkan
aku”
Dengan
agak cemberut, rekan kerja Emily segera menuju mejanya kembali. Sedangkan Emily
segera menyelesaikan pekerjaan dengan rasa malas.
Menjelang
makan siang, Emily pergi ke meja Ryunosuke. Dan jelas itu membuat Ryunosuke
kaget.
“Emily?
Ada apa?”
“ini
sudah jam makan siang. Kau tidak istirahat?”
“terus
terang saja aku kaget. Karena kau biasanya masih sibuk dengan setumpuk
pekerjaanmu yang tidak ada habis-habisnya”
“hari
ini aku sedikit bisa santai. Yamada tidak berangkat hari ini”
“oya?
Kalau begitu bisakah nanti malam kita bertemu?”
“tentu”
“baiklah,
tunggu sebentar”
Malam
itu, Ryunosuke pergi ke rumah Emily. Mereka hanya mengobrol berdua saja di sofa
sambil melihat siaran TV.
“Emily,
sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu”
“apa
itu?”
“sebelumnya
aku ingin minta maaf kepadamu karena…”
Terlihat
keragu-raguan di diri Ryunosuke.
“Ryunosuke?”
Emily menyentuh bahu Ryunosuke.
“maaf,
Emily. Sepertinya… hubungan kita cukup sampai disini saja”
“tapi
mengapa? A-apakah aku ada salah kepadamu?”
“tidak,
kau tidak salah apa-apa. Hanya saja ini demi kebaikan kita berdua, Emily”
“bisakah
kau jelaskan kepadaku dengan sebuah alasan yang bisa kuterima dengan akal?”
“aku
ingin pindah ke kantor cabang yang di London”
“tapi
mengapa?”
“atasanku
menawari aku dan aku menerimanya. Mungkin sekitar sebulan lagi aku akan
berangkat. Kita tidak bisa menjalani hubungan kita dengan ada jarak seperti
itu, kan?”
“apakah…
kau sudah tidak menginginkanku lagi?”
“aku
masih mencintaimu, Emily. Aku sangat menginginkanmu menjadi istriku suatu saat
nanti. Tapi sepertinya kita tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku hanya berharap
semoga kau mendapatkan penggantiku yang jauh melebihi aku dalam hal apapun. Dan
kamu akan mencintainya dengan sepenuh hatimu. Sebenarnya aku berat
meninggalkanmu. Tapi, mungkin ini adalah yang terbaik untuk kita bersama.
Trimakasih, Emily. Karena kau sudah mau untuk menjadi bagian dari hidupku”
Emily
segera berdiri dan berjalan ke dekat meja makan yang ada di dapur. Pikirannya
kalut. Ia sangat berharap hubungannya dengan Ryunosuke Kamiki bisa berjalan
lancar dengan mulai belajar mencintainya. Tapi sekarang? Ryunosuke pun akan
meninggalkannya untuk pergi ke London. Ryunosuke segera mendekati Emily dan
memeluknya. Saat itulah Emily menumpahkan segala rasa yang dirasakannya saat
itu. Ia menangis di pelukan Ryunosuke.
“maafkan
aku, Emily. Pasti ada seseorang di luar sana yang nantinya akan mencintaimu
lebih dari aku”
Emily
tak menjawab. Ia hanya terus menangis dan memeluk Ryunosuke semakin eratnya.
![]() |
Ryunosuke Kamiki |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar