Sewaktu
di Jepang, Yamada Kei membawa Harumi pergi ke tempat-tempat yang memang belum
pernah di kunjungi oleh Harumi. Harumi kelihatan bahagia sekali. Mereka
melakukan perjalanan itu hanya berdua saja. Terkadang mereka menginap di sebuah
hotel kecil di sebuah desa yang jauh dari perkotaan.
Siang
itu mereka berkendara menuju Hakone. Sebuah kota di Distrik Ashigarashimo di
Kanagawa Prefecture, sekitar beberapa jam berkendara dari Tokyo.
“aku
akan mengajakmu ke Danau Ashi. Kau juga pasti akan menyukainya”
“kemanapun
kau akan membawaku, aku pasti akan menyukainya, Kei”
Tak
lama kemudian mereka sudah sampai di Hakone.
“ceritakan
tentang kota ini kepadaku. Aku yakin kau juga pasti tahu tentang sejarah kota
ini”
“mengapa
kau bisa berpikiran seperti itu?”
“karena
setiap tempat yang kita kunjungi, kau pasti tahu tentang latar belakang
sejarahnya”
“baiklah.
Di danau Ashi ada Shinto Shrine, yaitu Hakone Gongen yang menunjukkan periode
Heian. Selama perang Gempei, Minamoto No Yoritomo berdoa disana untuk
kemenangannya melawan musuh-musuhnya, setelah kekalahannya pada pertempuran
Ishibashiyama yang berjuang di negara tetangga Manazuru. Setelah bergabung
dengan Sagami, mereka ada di bawah kendali Hojo dari klan Odawara selama
periode Sengoku. Setelah dimulainya periode Edo, Hakone-juku menjadi stasiun di
jalan raya Tokaido yang menghubungkan Edo dengan Kyoto. Disana juga terdapat
pos pemeriksaan resmi pada rute yang dikenal dengan Hakone Checkpoint, yang
menjadi pembatas dengan wilayah Kanto. Di bawah Keshogunan Tokugawa, semua
wisatawan yang memasuki dan meninggalkan Edo sepanjang Tokaido harus berhenti
disini. Perjalanan dan bagasi mereka diperiksa untuk menegakkan hokum yang
membatasi perjalanan para perempuan dan juga senjata. Setelah awal Restorasi
Meiji, Hakone menjadi bagian dari Ashigara Perfecture setelah itu menjadi
bagian dari Ashigarashimo District di Kanagawa Perfecture pada Agustus 1876.
Hakone mencapai status kota pada 1889. Itu saja yang aku tahu. Hei, mengapa kau
menatapku seperti itu?”
“aku
bangga sekali kepadamu, Kei”
“sudahlah.
Ayo kita ke Shrine itu”
![]() |
Hakone Gongen |
Mereka melihat keindahan danau Ashi yang tenang dan sunyi itu di bawah Shrine yang ada di pinggir danau. Mereka juga menghabiskan waktu dengan menaiki Hakone Ropeway yang bisa menikmati keindahan Hakone dari atas. Mereka menginap di Hotel Green Plaza Hakone, yang juga terdapat pemandian air panas.
![]() |
Hotel Green Plaza Hakone |
Malam
itu…
“kau
mau kemana, Kei?”
“aku
ingin melihat sekeliling hotel. Apakah kau mau ikut?”
“tidak,
aku di kamar saja. kalau kau menemukan sesuatu yang bagus apapun itu,
bawakanlah untukku?”
“apa
itu?”
“terserah
kau yang menurutmu bagus”
“baiklah,
akan kubawakan yang paling bagus untukmu, apapun itu”
Setelah
mencium Harumi, Kei segera keluar dari kamarnya. Ia hanya berjalan berkeliling
di seputar hotel itu menikmati suasana malam. Nampak ramai sekali pengunjung
malam itu. Menikmati keindahan alam dengan latar belakang gunung Fuji di
belakangnya.
Setelah
puas berkeliling, ia kembali ke kamarnya. Suasana kamarnya gelap tanpa lampu.
“Harumi?”
Berkali-kali
ia memanggil tapi Harumi tidak juga menyahut. Ia mencari Harumi ke toilet dan
menyalakan lampu yang ada di dalam toilet. Ia melihat Harumi ada di bathup.
Tidak sedang berendam, tapi… tewas! Dengan terus menatap Harumi, perlahan Kei
mendekati bathup itu. Ia sendiri tak tahu apa yang ada di pikirannya dan apa
yang harus dilakukannya. Ia hanya bisa memeluk Harumi dalam diam beberapa saat
lamanya.
Yamada
masih diam dan merasa syok di kursi kamarnya sementara beberapa polisi yang ada
di sekitarnya sedang mengevakuasi Harumi. Ponselnya berdering dan ia pun segera
mengangkatnya.
“Kei-chan!
Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Kei-chan?”
“ehm…
a-aku…”
Kei
tidak melanjutkan kalimatnya. Pikirannya masih kalut.
“baiklah,
kau tunggu disana. Aku dan Ryuu akan kesana secepatnya”
Seorang
polisi mendekatinya.
“maaf,
siapa nama anda, tuan?”
Yamada
hanya diam.
“bagaimana?
Apakah ia sudah bisa diajak bicara?”
“sepertinya
belum bisa. Kupikir ia masih syok dengan kejadian ini”
“baik,
kita tunggu kedatangan keluarganya yang lain saja”
Yamada
Ryuu mengurus jenazah Harumi untuk dibawa kembali ke Tokyo. Sedangkan Yamada
Yasuo mengajak Kei duduk di lobi hotel. Namun Kei masih tetap bungkam.
“Kei-chan…
“
Yasuo
berusaha untuk mengajak Kei untuk bicara. Namun sepertinya sia-sia. Kei tetap
diam. Lalu datanglah Ryuu.
“bagaimana
keadaan Kei?”
Yasuo
hanya menggeleng.
“apakah
kau sudah mengurus semuanya?”
“ya,
sebentar lagi kita bisa pulang. Aku hanya ingin tahu saja kejadian yang
sesungguhnya”
“aku
juga. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa selama ia masih diam”
“sepertinya
ini bukan kecelakaan. Dia tidak tenggelam di bathup”
“maksudmu?”
“ditenggelamkan”
“maksudmu…
ini kasus pembunuhan?”
“aku
menduga seperti itu”
“tapi,
siapa? Apakah Kei mempunyai musuh disini?”
“perlahan
kita akan menanyakan hal itu kepadanya. Ia masih syok. Dan sebaiknya kita
jangan bertanya banyak dulu kepadanya. Kita tunggu waktu yang tepat sampai ia
tenang”
Mereka
segera kembali ke Tokyo malam itu juga.
Upacara
pemakaman dilangsungkan. Para petinggi Yamada Group datang dari semua kantor
cabang yang ada di seluruh dunia untuk mengucapkan bela sungkawa.
Emily
masih melamun di mejanya sehingga ia tak tahu kalau Ryunosuke sudah ada di
hadapannya.
“kau
melamun lagi, sayang”
“eh,
kau?”
“ada
apa?”
“aku
hanya masih memikirkan boss kita itu. Kasihan sekali istrinya meninggal padahal
sedang mengandung. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat kalau aku jadi dia.
Bagaimana perasaannya saat ini?”
“ya,
kau benar”
Ryunosuke
duduk di kursi di depan meja Emily.
“kau
terlihat suntuk sekali, Emily. Apakah pekerjaanmu banyak?”
“hhh…
ya. Aku harus mengurus semuanya sendirian. Sekolahku pun… entahlah…”
“dan
kemungkinan Yamada Kei akan lama berada disana”
“untuk
sementara aku membantu Mr. Malkovich. Ia yang mengurus semuanya selama Yamada
belum kembali”
Emily
kembali merenung.
“ayo,
ikut aku” Ryunosuke menarik tangan Emily supaya berdiri.
“kemana?”
“ini
sudah jam istirahat. Lebih baik kita keluar sebentar menghirup udara segar.
Sepertinya kau perlu itu”
Dengan
agak malas, Emily mengikuti langkah Ryunosuke.
Sudah
seminggu lebih sejak upacara pemakaman Harumi. Selama itu pula Kei lebih banyak
mengurung diri di kamarnya. Seperti sore itu, ia hanya duduk diam di balkon
kamarnya yang ada di lantai 2.
“hai”
“oh…
kau, Oji-san. Kau mengagetkanku”
“akhir-akhir
ini kau sering melamun. Apakah kau masih memikirkan Harumi?”
“terus
terang… ya”
“aku
ikut berduka cita, Kei-kun. Tapi kau tidak boleh selamanya seperti ini. Hidupmu
harus terus berlanjut dengan atau tanpanya. Waktu tidak akan menunggumu”
“aku
tahu. Selama ini aku sudah mulai belajar untuk sayang kepadanya. Dan aku sudah
bisa melakukan hal itu ketika tahu kalau dia sedang hamil anakku. Tapi…”
“aku
tahu, pasti ada hikmah di balik semua ini. Kita tidak tahu apa yang akan
terjadi ke depannya”
“dia
istri yang baik. Aku menyesal karena belum bisa untuk mencintainya sampai
dengan hari ini. Tapi kau tahu? Aku sangat sayang kepadanya”
“aku
tahu”
“dia
tidak pernah menuntut yang macam-macam. Andai waktu bisa diputar…”
Ryuu
merengkuh bahu Kei.
“oya,
Oji-san. Apakah kau tahu orang yang bernama Shin Koyamada?”
“tidak.
Mendengar nama itu saja baru sekali ini. Ada apa dengannya?”
“sepertinya
dia yang harus bertanggungjawab atas kematian Harumi”
“darimana
kau tahu?”
“Kimura
Takeo yang memberitahuku. Ia bilang bahwa aku harus berhati-hati dengan orang
yang bernama Shin Koyamada. Karena ia ingin mengacaukan hidupku. Entah apa
maksudnya. Jadi, aku pikir ini pasti ada hubungannya dengan nama itu”
“apakah
Kimura Takeo memberitahukan hal ini saat kau masih berada di Manhattan?”
“tidak.
Apakah kau ingat sewaktu aku datang terlambat untuk acara makan malam kita? Aku
sebenarnya bertemu dengannya di Tokyo Tower. Dia yang menyuruhku untuk
berhati-hati dengan orang yang bernama Shin Koyamada”
Ryuu
berdiri dan menatap tajam kepada Kei.
“mengapa
kau tidak memberitahuku kalau kau bertemu dengannya disini?”
“a-ada
apa, Oji-san?”
“jangan
sekali-kali kau melakukan hal itu lagi, Kei-kun!”
“maksudmu?”
“aku
tidak mau kau bertemu dengannya lagi apapun alasannya! Ini demi keselamatanmu
juga!”
“tapi
kau bilang… kalau kau tak mengenalnya. Aku benar, kan? Sebenarnya ada apa ini?
Apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui disini?”
“hhh…
lupakan saja pembicaraan kita ini”
“apakah…
ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, Oji-san?” Kei bertanya dengan
hati-hati.
Ryuu
hanya menatap Kei lalu segera meninggalkan kamar Kei. Kei hanya bisa menatap
Ryuu sampai menghilang di luar pintu kamarnya.
Sore
itu, Kei menemui papanya yang sedang berada di ruang makan.
“kau
mau kemana, Kei-kun?”
“nanti
malam aku harus segera kembali ke Amerika”
“mengapa
tiba-tiba sekali? Ada apa ini? Mengapa kau tidak memberitahuku terlebih
dahulu?”
“tidak
ada apa-apa, pa. Kalau aku disini terus, pasti aku akan semakin teringat dengan
istriku. Lagipula, disana banyak sekali pekerjaan yang menantiku. Jadi, aku
tidak mau membuang-buang waktuku”
“kapan
kau akan ke bandara?”
“sekarang”
“aku
akan mengantarmu”
“tidak
perlu. Aku diantar sopir”
“apakah
kau sudah berpamitan dengan pamanmu?”
“belum.
Sampaikan saja salamku untuknya”
“apa
yang terjadi denganmu, Kei-kun? Tidak biasanya kau seperti ini”
“tidak
ada apa-apa, pa. Aku pergi dulu”
Hanya
dengan membawa sekotak kopor kecil, Kei segera ke bandara dengan diantar sopir.
Di ruang tunggu bandara, ia hanya duduk seorang diri. Masih menimang-nimang
kartu nama dari Kimura Takeo.
“Kimura
Takeo… Kimura Kei…?” gumam Kei.
Ia
segera beranjak dari duduknya menuju pintu pesawat karena sebentar lagi pesawat
sudah mau take off.
Pagi
itu Emily sudah berada di meja kerjanya. Ia sengaja datang lebih awal karena
banyak sekali pekerjaan yang harus ia kerjakan di pagi itu. Ia terkejut sewaktu
seseorang menyapanya.
“selamat
pagi, Ms. Grey”
Ia
mendongak, ternyata Yamada Kei yang baru saja berlalu dari hadapannya dan
dengan langkah yang cepat seperti biasanya, menghilang di balik pintu
kantornya. Emily segera mengikuti Yamada ke dalam kantornya.
“eh,
selamat pagi, Yamada”
Kei
duduk di kursinya.
“bawakan
kesini beberapa pekerjaanmu selama kutinggal pergi. Aku tidak mau tertinggal
apapun disini. Juga bawakan jadwalku untuk seminggu ke depan. Bagaimana, apakah
ada masalah selama aku tidak ada? Apakah semuanya sudah beres dengan Mr.
Malkovich? Juga apakah nanti siang ada jadwal?”
Kei
memberondong Emily dengan banyak pertanyaan yang membuat Emily tergagap.
“baiklah,
tunggu sebentar. Kuambilkan laporan-laporan yang belum kau periksa selama kau
pergi. Juga tentang jadwal yang mungkin bisa kau hadiri”
Emily
segera mengambil setumpuk kertas-kertas yang ada di mejanya dan meletakkannya
di meja Kei.
“apakah
ini sudah semuanya?”
“ya.
Sebenarnya siang ini aku akan menemani Mr. Malkovich untuk menemui seorang
klien. Tapi kalau kau sudah disini…”
“siapa
klien kita?”
“dia
Mr. McHoward. Sebenarnya ia juga ingin sekali bertemu denganmu langsung. Tapi
kemarin kukatakan kepadanya kalau tak bisa karena kau masih di Jepang dan Mr.
Malkovich yang akan menemuinya”
“jam
berapa nanti?”
“setelah
jam makan siang di ruang meeting lantai 3”
“baiklah,
nanti biar aku saja yang akan menemuinya”
“bagaimana
dengan pertemuan untuk seminggu ke depan? Aku sudah membuat jadwal itu untuk
Mr. Malkovich, maaf. Itu karena aku tidak tahu kapan kau akan datang”
“untuk
hari ini dan selanjutnya, aku yang akan hadir. Biar Mr. Malkovich mengurus hal
yang lainnya seperti biasa. Sekarang kau boleh pergi, Ms. Grey. Ada apa lagi?”
“ehmm…
aku turut berduka cita. Maaf, kemarin aku tidak bisa kesana”
“tidak
apa-apa, aku mengerti. Ya, trimakasih”
Emily
segera kembali ke mejanya meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Setelah makan
siang, ia menemani Yamada untuk bertemu Mr. McHoward.
Hari-hari
selanjutnya, Emily semakin sibuk dengan pekerjaannya mendampingi Yamada
kemanapun Yamada pergi. Ia semakin jarang untuk bisa bertemu dengan Ryunosuke.
Untuk sekolahnya? Ia pun sudah jarang berangkat seperti Yamada. Terkadang di
akhir pekan pun mereka tetap masuk kerja. Emily semakin akrab dan dekat dengan
Yamada tanpa canggung lagi. Beberapa kali Ryunosuke memergoki mereka sedang
berdua.
Sore
itu, Ryunosuke sedang berada di dekat Central Park sepulang kerja dan besok
adalah akhir pekan. Ia melihat Emily duduk di salah satu bangku duduk
sendirian. Terlihat ia menelpon seseorang. Senyumnya langsung terkembang begitu
Yamada datang menghampiri. Ryunosuke segera bersembunyi di balik pohon yang
besar.
“maaf,
aku datang terlambat”
“tidak
apa-apa. Bisakah kita berangkat sekarang?”
“tentu,
ayo”
Emily
segera masuk ke mobil Yamada dan sebentar saja mereka sudah meninggalkan
Central Park. Yamada mengarahkan mobilnya ke New Jersey. Setelah melewati
Newark dan Long Branch, sampailah mereka di Allaire State Park.
“mengapa
kau membawaku ke tempat ini?”
“kau
tidak suka? Maaf, tapi aku tidak tahu apa kesukaanmu”
“bukan
begitu. Tentu saja aku suka”
Yamada
mengajak Emily untuk mengikuti jalan setapak yang masuk ke dalam hutan yang
rimbun dan indah itu. Ada beberapa pondok disana. Namun Emily menghentikan
langkahnya.
“ada
apa, Ms. Grey?”
“apakah…
disana ada ular?”
“tentu
saja ada. Mengapa?”
“hah?!
Tidak, tidak. Aku tidak mau masuk. Kalau kau mau masuk, aku akan menunggumu di
mobil saja, Yamada”
“kau
masih ingat dengan kejadian di Rahway River itu, kan? Dan aku menolongmu, kan?”
“iya
sih, tapi…”
“ayolah.
Setelah minggu-minggu kemarin kita bekerja tanpa libur, aku ingin mengajakmu
kesini. Aku ingin mengucapkan banyak terimakasih kepadamu dengan membawamu
kesini. Kau jangan salah sangka”
“memangnya
aku berprasangka apa kepadamu, ha?!”
“yah…
siapa tahu kau berprasangka kalau aku menyukaimu dengan membawamu kesini,
padahal ini hanya terimakasihku kepadamu”
“mengapa
kau berpikiran seperti itu?”
“lupakan,
ayo!”
Yamada
melangkahkan kakinya dengan cepat menyusuri jalan setapak itu. Nampak ada
sungai kecil yang membelah hutan itu dan juga jembatan kecil di atasnya.
Buru-buru Emily berlari kecil di belakang Yamada yang berjalan dengan cepat
seperti biasanya.
Mereka
tiba di sebuah danau kecil dimana pinggir danau tersebut banyak tenda-tenda
didirikan. Ternyata banyak yang sedang berkemah di sekitar danau kecil itu.
“bisakah
kita istirahat sebentar?”
Mereka
lalu duduk di bangku di tepi danau. Mengamati orang-orang yang sedang berkemah.
“apakah
kau tertarik untuk berkemah seperti mereka?”
“ya,
sepertinya menyenangkan”
“kalau
kau mau, kita bisa berkemah disini seperti mereka”
“eh,
tidak. Tidak perlu, trimakasih”
“mengapa?
Apakah kau ada janji dengan kekasihmu itu?”
Emily
hanya menatap Yamada.
“maaf,
itu bukan urusanku, ya?”
Yamada
beranjak dari duduknya dan berdiri di tepi danau sambil memandangi air danau
yang tenang itu. Emily hanya menatap punggung Yamada dari belakang.
“andai…”
gumam Emily sambil masih terus melamun.
“hai,
Ms. Grey. Kau mendengarku? Emily!”
Emily
gelagapan karena ternyata Yamada sudah ada di depannya.
“eh,
ada apa?”
“kau
melamun?”
“ehm…
a-aku…”
“apa
yang kau lamunkan?”
Emily
hanya menatap Yamada yang kembali duduk di sampingnya.
“bisakah
kita pulang sekarang saja?”
“kenapa?”
“aku
tidak mau kemalaman di jalan. Hari sudah gelap, Yamada”
“baik,
kalau itu maumu. Ayo!”
Mereka
segera menyusuri jalan setapak untuk kembali ke mobil mereka di parkiran. Hari
memang sudah selepas senja. Yamada segera menjalankan mobilnya untuk kembali ke
Manhattan. Mereka melewati jalanan yang sepi yang di kanan dan kiri hanya
hutan. Hanya ada beberapa rumah dan motel kecil di sekitar sana.
“ada
apa, Yamada? Mengapa kita berhenti disini?”
“entahlah.
Tunggu sebentar, biar kulihat dulu”
Yamada
keluar dari mobilnya dan mengecek mesin mobilnya.
“sepertinya
kita harus menelpon bengkel terdekat”
Emily
ikut keluar dan berdiri di samping Yamada.
“bengkel
terdekat? Lihatlah apa yang ada di sekitar kita. Hutan, Yamada!”
“hei,
aku minta maaf. Bukan maksudku ingin kejadian seperti ini”
Emily
melipat kedua tangannya di depan dadanya dan bersandar di kap mobil yang mogok
itu. Suasana sekitar sangat gelap. Yamada menelpon bengkel langganannya, tapi
tidak juga diangkat.
“kemungkinan
besar mereka sudah tutup, Yamada. Kau tidak melihat sudah jam berapa ini? Dan
kita tak bisa berbuat apa-apa di malam-malam seperti ini in the middle of
nowhere. Kita jauh dari mana-mana!”
Yamada
menyimpan kembali ponselnya dan mendekati Emily.
“ada
apa denganmu?”
“maksudmu?”
“sedari
tadi seolah-olah kau hanya menyalahkanku terus. Kau memang tidak pernah
berubah!”
Yamada
berjalan meninggalkan Emily seorang diri.
“hei,
Yamada! Kau mau kemana?”
Emily
berlari kecil mengikuti Yamada yang sudah berjalan dengan cepatnya.
“kita
cari motel terdekat, itu pun kalau kau mau ikut denganku. Kalau tidak mau, kau
bisa menunggu sampai besok pagi di mobilku itu”
Dengan
menggerutu dan terpaksa, Emily berjalan di belakang Yamada. Emily sempat
berpikir kalau peristiwa ini mengingatkan akan kejadian di Rahway River dulu.
Dimana ia harus mengikuti Yamada di tengah malam in the middle of nowhere.
Sudah
cukup jauh juga mereka berjalan dan tak ada satu mobil pun yang bisa mereka
tumpangi. Yamada menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Ia melihat
Emily cukup jauh di belakangnya, tidak mengikutinya tapi hanya duduk di pinggir
jalan. Yamada menghela nafas dan berjalan lagi ke tempat Emily duduk.
“apa
yang kau lakukan disini?”
“aku
capek sekali. Tidak bolehkah aku istirahat?”
“mengapa
kau tidak memberitahuku? Bagaimana kalau ada orang jahat disini?”
“kau
sendiri? Kau berjalan seolah-olah kau berjalan sendirian tanpa ada orang di
belakangmu!”
“hhh…
oke, oke”
“dan
aku tidak bisa mengikuti jalanmu yang terlalu cepat itu”
“di
belokan yang depan itu ada motel yang… yah, tidak terlalu besar. Tapi lumayan
untuk istirahat. Apakah kau masih lelah?”
Emily
hanya menatap Yamada yang mengulurkan tangannya. Lalu Emily menyambut uluran
tangan Yamada dan segera berdiri.
“ayolah,
kita selesaikan hal ini. Semoga kita cepat sampai di motel itu dan berharap
mereka masih punya kamar kosong”
Emily
berdiri dan berjalan meninggalkan Yamada. Buru-buru Yamada segera menyusul
Emily. Dan untunglah, di belokan jalan depan memang ada sebuah motel kecil dan
sederhana.
“kau
tunggu disini dulu”
Yamada
menyuruh Emily untuk duduk di kursi depan resepsion sedangkan ia memencet bel
yang ada di atas meja resepsion itu. Seorang pria tua muncul dari dalam.
“ada
yang bisa kubantu, anak muda?”
“ya,
kami butuh kamar untuk malam ini saja. Kami butuh 2 kamar”
“owh,
this is your luckiest day. Kami hanya punya 1 kamar saja”
“baiklah,
kami ambil itu”
Emily
segera beranjak dari duduknya.
“apa
kamu bilang? 1 kamar dan kau akan mengambilnya?”
“ya,
kenapa? Itu sudah cukup kalau untuk sekedar bermalam saja. Besok pagi kita
sudah cek-out”
“tidak!
Kita tidak akan menginap disini. Kita akan cari penginapan yang lainnya saja!”
“ini
sudah larut malam, Ms. Grey. Kau tidak tahu ini sudah jam berapa? Kita juga
tidak tahu diluar sana dimana letak penginapan terdekat”
“terserah,
yang jelas aku akan mencarinya sendiri!”
Emily
bejalan ke pintu lalu…
“Emily!”
Emily
mengurungkan niatnya untuk keluar dari penginapan itu. Ia berhenti dan menoleh.
Yamada mendekati Emily.
“kau
tahu maksudku, kan?!”
Emily
melihat Yamada menahan amarahnya. Baru sekali itu ia melihat tatapan marah Yamada.
“apa
kau pikir aku akan berbuat yang tidak-tidak terhadapmu, ha?! Ini kulakukan
karena aku tidak mau terjadi apa-apa denganmu! Apakah kau mengerti, Ms. Grey?”
Yamada
kembali ke meja resepsion.
“aku
ambil kamar yang tadi”
Setelah
membereskan administrasi dan membayar lunas, pemilik penginapan segera
memberikan kunci kamar kepada Yamada dan memberitahu letak kamarnya.
“ayo,
Ms. Grey”
Dengan
langkah gontai, Emily berjalan di belakang Yamada. Kamar peginapan itu tidak
terlalu luas.
“kau
bisa membersihkan badanmu di kamar mandi itu”
Emily
segera mandi. Ia merasa segar setelah lumayan jauh ia berjalan kaki. Ia segera
duduk di tempat tidur yang tidak begitu besar itu.
“kau
sudah selesai?”
“ehm…
yah, aku sudah selesai”
Gantian
Yamada yang mandi. Hanya butuh waktu sebentar untuknya untuk mandi. Setelah
itu…
“kalau
kau sudah ngantuk, tidurlah dulu, Ms. Grey”
“kau?”
“aku
belum mengantuk”
Yamada
segera menonton TV yang tidak begitu besar di kamar itu. Dengan agak ragu,
Emily mendekati Yamada yang sedang duduk di ujung tempat tidur.
“Yamada…
emmm…”
“mengapa
kau tidak juga tidur?”
“eh,
aku… aku hanya ingin minta maaf kepadamu. Maaf, aku tadi terlalu egois. Aku
marah-marah kepadamu”
“bukankah
sejak dulu kau juga bertingkah seperti itu terhadapku?” ucap Yamada tanpa
menoleh kepada Emily.
“maksudku…
aku sungguh-sungguh minta maaf atas kejadian tadi”
Barulah
Yamada menoleh kepada Emily,”tidak apa-apa” lalu melanjutkan keasyikannya
menonton TV.
Emily
hanya tertawa kecil dan itu membuat Yamada menatapnya lagi.
“ada
apa? Apakah ada yang lucu?”
“kau
jadi mengingatkanku akan masa kecil kita. Aku selalu saja mem-bully-mu. Tanpa
pernah tahu kalau di masa yang akan datang, kau akan lebih sukses daripada aku.
Bahkan aku yang menjadi bawahanmu. Aku selalu saja menyalahkanmu, dalam hal
apapun. Dan karena kau hanya diam saja, itu semakin membuatku bersemangat untuk
terus manjahilimu”
“mengapa?”
“maaf,
tapi itu membuatku semakin gemas terhadapmu, karena kau orangnya pendiam. Aku
puas kalau sudah menjahilimu”
“kalau
sekarang?”
“aku
tidak mau kau pecat, Yamada”
Yamada
hanya tersenyum kecil.
“itu
semua masa lalu, Ms. Grey” Yamada lalu menatap Emily.
“mengapa
kau menatapku seperti itu? Ada apa, Yamada?” Emily bertanya dengan hati-hati
dan gugup.
Cukup
lama Yamada menatap Emily. Ia kemudian berdiri dan menuju pintu dengan
tiba-tiba dan itu semua membuat Emily semakin bertambah bingung.
“tidurlah!”
“kau
mau kemana?”
“aku
akan mencoba ke bertanya kepada pemilik penginapan ini. Siapa tahu ia punya
minuman hangat. Kalau kau mau, aku akan memesankan untukmu juga. Apakah kau
mau?”
“eh,
ya… thanx”
Yamada
menghilang di balik pintu. Emily masih menatap pintu yang tertutup rapat itu.
“hhh…
Yamada…” gumam Emily.
Emily
membaringkan tubuhnya yang terasa penat di atas tempat tidur sederhana itu dan
memejamkan matanya.
Pintu
kamar dibuka dari luar. Ternyata Yamada yang datang dengan membawa 2 gelas yang
berisi kopi hangat dan meletakkannya di meja kecil samping tempat tidur.
“Ms.
Grey…”
Ternyata
Emily sudah tertidur. Ia segera menyelimuti tubuh Emily dengan selimut yang ada
di dekatnya. Ia lalu duduk kembali di ujung ranjang sambil melihat TV dan
menikmati segelas kopi hangat di malam yang dingin itu.
Pagi
yang sangat cerah. Matahari bersinar dengan indahnya. Suara burung pun terdengar
di sekitar penginapan yang dikelilingi oleh hutan itu. Emily terbangun.
“Yamada?”
Ia
mencari Yamada yang teryata tidur di ujung kakinya, meringkuk. Emily berdiri
dan menyelimuti Yamada. Beberapa saat lamanya ia hanya bisa memandangi Yamada
yang sedang tertidur dengan pulasnya itu.
Setelah
mandi, ia melihat Yamada masih tidur dan ia tak berani untuk mengusiknya.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
“hallo,
Ryunosuke? Ada apa?”
“kemana
saja kau semalam, Emily? Aku ke rumahmu tapi kau tak ada. Semalam kau tak pulang,
ya? Dimana kamu sekarang? Terus terang saja, aku sangat mengkhawatirkanmu,
Emily”
“eh,
aku… aku menginap di rumah temanku. Kau
tak perlu khawatir. Aku sudah mau pulang kok. Ada apa, Ryunosuke?”
“apakah
hari ini kau lembur lagi?”
“sepertinya
tidak, kenapa?”
“aku
ingin mengajakmu keluar. Sudah lama juga kita tidak bersama lagi”
“maafkan
aku. Akhir-akhir ini aku sibuk sekali”
“tidak
apa-apa. Aku mengerti. Jadi, bagaimana? Apakah kita bisa keluar bersama sore
ini?”
“ya,
tentu. Dimana kita bisa bertemu?”
“tidak,
aku akan menjemputmu di rumahmu nanti sore”
“baiklah,
aku akan menunggumu”
“thanx.
I love you, Emily”
“I
love you, too”
Emily
menyimpan kembali ponselnya di dalam tasnya.
“itu
tadi Ryunosuke, ya?”
Emily
terkejut karena ternyata Yamada sudah ada di belakangnya.
“eh,
kau mengagetkanku, Yamada. Iya, itu tadi Ryunosuke”
“kau
mencintainya?”
“t-tentu
saja” jawab Emily dengan gugup.
“dia
seharusnya bersyukur bisa mendapatkanmu”
Yamada
segera meninggalkan Emily yang masih terbengong. Setelah selesai mandi, Yamada
mendekati Emily.
“bisa
kita pergi sekarang?”
“bagaimana
kita akan pulang?”
“aku
sudah menelpon sopirku yang sedang di luar kota agar segera kesini membawakan
mobil untuk kita. Aku juga ada sedikit keperluan di Upper Manhattan”
“maaf,
bukannya aku tidak mau. Tapi, aku sudah ada janji dengan Ryunosuke sore ini”
“oh…
maaf. Baiklah, aku akan mengantarmu pulang dulu saja”
“ya,
trimakasih”
Mereka
segera menunggu sopir Yamada di depan penginapan sambil menikmati sarapan
mereka. Tapi sampai mereka selesai sarapan, sopir Yamada belum juga muncul.
“mungkin
sopirmu tersesat”
“tidak
mungkin. Dia tahu tentang wilayah ini”
“bisakah
kau telpon?”
“tadi
aku sudah mencoba menelponnya tapi tidak diangkat. Kita tunggu saja dulu”
Cukup
lama mereka menunggu.
“sepertinya
kau tidak tenang. Apa yang kau pikirkan, Ms. Grey?”
“ah…
tidak ada apa-apa. Jangan risaukan soal aku”
Tak
lama kemudian sopir Yamada datang dengan temannya yang juga membawa mobil
sendiri.
“maaf,
Yamada-san. Kami terlambat menjemputmu”
“tidak
apa-apa. Kau nanti pulang dengan temanmu itu. Tolong kau urus juga mobilku yang
mogok itu. Ini kuncinya”
“tentu,
Yamada-san”
“ayo,
Ms. Grey. Kita pulang sekarang”
Sementara
sopir dan rekannya mengurus mobil yang semalam mogok, Yamada segera pulang
menuju Manhattan dengan Emily. Sepanjang perjalanan pulang, Emily lebih banyak
diam.
Mobil
Yamada berhenti di depan rumah Emily. Nampak Ryunosuke sedang duduk sendirian
di teras rumah Emily.
“sepertinya
Ryunosuke sudah menunggumu, Ms. Grey”
Emily
keluar dari mobil Yamada. Ryunosuke pun menghampirinya.
“maaf,
Ryunosuke. Aku terlambat”
“kau…
bersama Yamada-san? Kukira kau menginap di rumah temanmu”
“eh…
i-itu…”
“ya,
dia memang menginap di rumah temannya. Dia tadi bercerita kepadaku. Kami hanya
berpapasan saja di jalan. Lalu ia kuantar pulang sekalian”
Emily
menatap Yamada yang sedang bicara kepada Ryunosuke.
“benar
begitu, Ms. Grey?” Yamada menatap Emily.
“owh…
trimakasih kau sudah mengantar Emily pulang, Yamada-san”
“ya,
sama-sama. Aku harus pergi sekarang. Masih ada pekerjaan yang harus kulakukan.
Bye”
Mobil
Yamada perlahan meninggalkan rumah Emily. Ryunosuke merengkuh bahu Emily.
“dia
orang yang baik. Dimana kalian tadi bertemu?”
“eh…
itu… tak jauh dari sini. Oya, kemana kau akan mengajakku?”
“aku
sudah bosan ke Central Park. Aku sekarang hanya ingin berdua saja denganmu. Aku
akan membuatkanmu masakan yang enak. Apakah kau mau?”
“tentu
saja”
Mereka
segera masuk ke rumah Emily dan menuju dapur. Ryunosuke mempersiapkan
bahan-bahan yang ada di dalam kulkas. Sedangkan Emily menuju kamarnya yang ada
di atas. Setelah mandi, ia segera menuju dapur kembali.
“sepertinya
makananmu sudah matang, Ryunosuke”
“tunggu
sebentar lagi”
Emily
duduk di kursi pantry.
“kau
sibuk sekali akhir-akhir ini, Emily. Apa kau tidak lelah?”
“bukankah
menjadi seorang sekretaris sudah menjadi impianku?”
“iy-ya,
aku tahu. Tapi kau tetap harus memperhatikan kondisi kesehatanmu. Aku tak mau
kau jatuh sakit karena kelelahan. Bahkan di akhir pekan saja kau masih bekerja.
Kapan waktu untuk dirimu sendiri?”
“trimakasih
sudah mengingatkanku”
“aku
cemburu kepada temanmu itu”
“siapa?”
“siapa
lagi kalau bukan boss besarmu itu, Yamada Kei”
“mengapa?”
“dia
lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu daripada aku”
“kami
bersama karena urusan pekerjaan, bukan yang lainnya”
“aku
tahu, tapi tetap saja aku cemburu. Takutnya dia bisa saja jatuh cinta kepadamu”
Emily
segera menatap Ryunosuke.
“dia
sekarang orang yang bebas, bebas menentukan pendamping hidupnya lagi. Kau tahu
maksudku, kan? Dan aku takut kalau lama-lama kau juga akan jatuh cinta
kepadanya karena seringnya kalian bertemu”
“kau
berpikir sampai sejauh itu?”
“tentu
saja. Aku takut sekali kehilanganmu, Emily. Aku sangat mencintaimu”
Emily
hanya terdiam sewaktu Ryunosuke memeluknya.
“kau
tak takut masakanmu nanti gosong?”
“ah,
iya!”
Buru-buru
Ryunosuke mengangkat masakannya dan menaruhnya di piring.
“ini
untukmu dan ini untukku. Masih ada lebih kalau kau ingin lagi. Kuharap kau
menyukainya”
“ya,
aku menyukainya”
Mereka
makan di sofa ruang tengah sambil menonton acara TV favorit mereka. Ryunosuke
sepertinya bahagia sekali sore itu. Sedangkan Emily? Ia merasa sangat bersalah
kepada Ryunosuke. Karena telah berbohong dan lebih lagi, bohong tentang
perasaannya.
![]() |
Emily Grey |