Jumat, 30 Oktober 2015

MY SAKURA (bagian 16)



Sewaktu di Jepang, Yamada Kei membawa Harumi pergi ke tempat-tempat yang memang belum pernah di kunjungi oleh Harumi. Harumi kelihatan bahagia sekali. Mereka melakukan perjalanan itu hanya berdua saja. Terkadang mereka menginap di sebuah hotel kecil di sebuah desa yang jauh dari perkotaan.
Siang itu mereka berkendara menuju Hakone. Sebuah kota di Distrik Ashigarashimo di Kanagawa Prefecture, sekitar beberapa jam berkendara dari Tokyo.
“aku akan mengajakmu ke Danau Ashi. Kau juga pasti akan menyukainya”
“kemanapun kau akan membawaku, aku pasti akan menyukainya, Kei”
Tak lama kemudian mereka sudah sampai di Hakone.
“ceritakan tentang kota ini kepadaku. Aku yakin kau juga pasti tahu tentang sejarah kota ini”
“mengapa kau bisa berpikiran seperti itu?”
“karena setiap tempat yang kita kunjungi, kau pasti tahu tentang latar belakang sejarahnya”
“baiklah. Di danau Ashi ada Shinto Shrine, yaitu Hakone Gongen yang menunjukkan periode Heian. Selama perang Gempei, Minamoto No Yoritomo berdoa disana untuk kemenangannya melawan musuh-musuhnya, setelah kekalahannya pada pertempuran Ishibashiyama yang berjuang di negara tetangga Manazuru. Setelah bergabung dengan Sagami, mereka ada di bawah kendali Hojo dari klan Odawara selama periode Sengoku. Setelah dimulainya periode Edo, Hakone-juku menjadi stasiun di jalan raya Tokaido yang menghubungkan Edo dengan Kyoto. Disana juga terdapat pos pemeriksaan resmi pada rute yang dikenal dengan Hakone Checkpoint, yang menjadi pembatas dengan wilayah Kanto. Di bawah Keshogunan Tokugawa, semua wisatawan yang memasuki dan meninggalkan Edo sepanjang Tokaido harus berhenti disini. Perjalanan dan bagasi mereka diperiksa untuk menegakkan hokum yang membatasi perjalanan para perempuan dan juga senjata. Setelah awal Restorasi Meiji, Hakone menjadi bagian dari Ashigara Perfecture setelah itu menjadi bagian dari Ashigarashimo District di Kanagawa Perfecture pada Agustus 1876. Hakone mencapai status kota pada 1889. Itu saja yang aku tahu. Hei, mengapa kau menatapku seperti itu?”
“aku bangga sekali kepadamu, Kei”
“sudahlah. Ayo kita ke Shrine itu”

Hakone Gongen
 
Hakone Ropeway

Mereka melihat keindahan danau Ashi yang tenang dan sunyi itu di bawah Shrine yang ada di pinggir danau. Mereka juga menghabiskan waktu dengan menaiki Hakone Ropeway yang bisa menikmati keindahan Hakone dari atas. Mereka menginap di Hotel Green Plaza Hakone, yang juga terdapat pemandian air panas.

Hotel Green Plaza Hakone
 
Malam itu…
“kau mau kemana, Kei?”
“aku ingin melihat sekeliling hotel. Apakah kau mau ikut?”
“tidak, aku di kamar saja. kalau kau menemukan sesuatu yang bagus apapun itu, bawakanlah untukku?”
“apa itu?”
“terserah kau yang menurutmu bagus”
“baiklah, akan kubawakan yang paling bagus untukmu, apapun itu”
Setelah mencium Harumi, Kei segera keluar dari kamarnya. Ia hanya berjalan berkeliling di seputar hotel itu menikmati suasana malam. Nampak ramai sekali pengunjung malam itu. Menikmati keindahan alam dengan latar belakang gunung Fuji di belakangnya.
Setelah puas berkeliling, ia kembali ke kamarnya. Suasana kamarnya gelap tanpa lampu.
“Harumi?”
Berkali-kali ia memanggil tapi Harumi tidak juga menyahut. Ia mencari Harumi ke toilet dan menyalakan lampu yang ada di dalam toilet. Ia melihat Harumi ada di bathup. Tidak sedang berendam, tapi… tewas! Dengan terus menatap Harumi, perlahan Kei mendekati bathup itu. Ia sendiri tak tahu apa yang ada di pikirannya dan apa yang harus dilakukannya. Ia hanya bisa memeluk Harumi dalam diam beberapa saat lamanya.
Yamada masih diam dan merasa syok di kursi kamarnya sementara beberapa polisi yang ada di sekitarnya sedang mengevakuasi Harumi. Ponselnya berdering dan ia pun segera mengangkatnya.
“Kei-chan! Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Kei-chan?”
“ehm… a-aku…”
Kei tidak melanjutkan kalimatnya. Pikirannya masih kalut.
“baiklah, kau tunggu disana. Aku dan Ryuu akan kesana secepatnya”
Seorang polisi mendekatinya.
“maaf, siapa nama anda, tuan?”
Yamada hanya diam.
“bagaimana? Apakah ia sudah bisa diajak bicara?”
“sepertinya belum bisa. Kupikir ia masih syok dengan kejadian ini”
“baik, kita tunggu kedatangan keluarganya yang lain saja”

Yamada Ryuu mengurus jenazah Harumi untuk dibawa kembali ke Tokyo. Sedangkan Yamada Yasuo mengajak Kei duduk di lobi hotel. Namun Kei masih tetap bungkam.
“Kei-chan… “
Yasuo berusaha untuk mengajak Kei untuk bicara. Namun sepertinya sia-sia. Kei tetap diam. Lalu datanglah Ryuu.
“bagaimana keadaan Kei?”
Yasuo hanya menggeleng.
“apakah kau sudah mengurus semuanya?”
“ya, sebentar lagi kita bisa pulang. Aku hanya ingin tahu saja kejadian yang sesungguhnya”
“aku juga. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa selama ia masih diam”
“sepertinya ini bukan kecelakaan. Dia tidak tenggelam di bathup”
“maksudmu?”
“ditenggelamkan”
“maksudmu… ini kasus pembunuhan?”
“aku menduga seperti itu”
“tapi, siapa? Apakah Kei mempunyai musuh disini?”
“perlahan kita akan menanyakan hal itu kepadanya. Ia masih syok. Dan sebaiknya kita jangan bertanya banyak dulu kepadanya. Kita tunggu waktu yang tepat sampai ia tenang”
Mereka segera kembali ke Tokyo malam itu juga.

Upacara pemakaman dilangsungkan. Para petinggi Yamada Group datang dari semua kantor cabang yang ada di seluruh dunia untuk mengucapkan bela sungkawa.
Emily masih melamun di mejanya sehingga ia tak tahu kalau Ryunosuke sudah ada di hadapannya.
“kau melamun lagi, sayang”
“eh, kau?”
“ada apa?”
“aku hanya masih memikirkan boss kita itu. Kasihan sekali istrinya meninggal padahal sedang mengandung. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat kalau aku jadi dia. Bagaimana perasaannya saat ini?”
“ya, kau benar”
Ryunosuke duduk di kursi di depan meja Emily.
“kau terlihat suntuk sekali, Emily. Apakah pekerjaanmu banyak?”
“hhh… ya. Aku harus mengurus semuanya sendirian. Sekolahku pun… entahlah…”
“dan kemungkinan Yamada Kei akan lama berada disana”
“untuk sementara aku membantu Mr. Malkovich. Ia yang mengurus semuanya selama Yamada belum kembali”
Emily kembali merenung.
“ayo, ikut aku” Ryunosuke menarik tangan Emily supaya berdiri.
“kemana?”
“ini sudah jam istirahat. Lebih baik kita keluar sebentar menghirup udara segar. Sepertinya kau perlu itu”
Dengan agak malas, Emily mengikuti langkah Ryunosuke.

Sudah seminggu lebih sejak upacara pemakaman Harumi. Selama itu pula Kei lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Seperti sore itu, ia hanya duduk diam di balkon kamarnya yang ada di lantai 2.
“hai”
“oh… kau, Oji-san. Kau mengagetkanku”
“akhir-akhir ini kau sering melamun. Apakah kau masih memikirkan Harumi?”
“terus terang… ya”
“aku ikut berduka cita, Kei-kun. Tapi kau tidak boleh selamanya seperti ini. Hidupmu harus terus berlanjut dengan atau tanpanya. Waktu tidak akan menunggumu”
“aku tahu. Selama ini aku sudah mulai belajar untuk sayang kepadanya. Dan aku sudah bisa melakukan hal itu ketika tahu kalau dia sedang hamil anakku. Tapi…”
“aku tahu, pasti ada hikmah di balik semua ini. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya”
“dia istri yang baik. Aku menyesal karena belum bisa untuk mencintainya sampai dengan hari ini. Tapi kau tahu? Aku sangat sayang kepadanya”
“aku tahu”
“dia tidak pernah menuntut yang macam-macam. Andai waktu bisa diputar…”
Ryuu merengkuh bahu Kei.
“oya, Oji-san. Apakah kau tahu orang yang bernama Shin Koyamada?”
“tidak. Mendengar nama itu saja baru sekali ini. Ada apa dengannya?”
“sepertinya dia yang harus bertanggungjawab atas kematian Harumi”
“darimana kau tahu?”
“Kimura Takeo yang memberitahuku. Ia bilang bahwa aku harus berhati-hati dengan orang yang bernama Shin Koyamada. Karena ia ingin mengacaukan hidupku. Entah apa maksudnya. Jadi, aku pikir ini pasti ada hubungannya dengan nama itu”
“apakah Kimura Takeo memberitahukan hal ini saat kau masih berada di Manhattan?”
“tidak. Apakah kau ingat sewaktu aku datang terlambat untuk acara makan malam kita? Aku sebenarnya bertemu dengannya di Tokyo Tower. Dia yang menyuruhku untuk berhati-hati dengan orang yang bernama Shin Koyamada”
Ryuu berdiri dan menatap tajam kepada Kei.
“mengapa kau tidak memberitahuku kalau kau bertemu dengannya disini?”
“a-ada apa, Oji-san?”
“jangan sekali-kali kau melakukan hal itu lagi, Kei-kun!”
“maksudmu?”
“aku tidak mau kau bertemu dengannya lagi apapun alasannya! Ini demi keselamatanmu juga!”
“tapi kau bilang… kalau kau tak mengenalnya. Aku benar, kan? Sebenarnya ada apa ini? Apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui disini?”
“hhh… lupakan saja pembicaraan kita ini”
“apakah… ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, Oji-san?” Kei bertanya dengan hati-hati.
Ryuu hanya menatap Kei lalu segera meninggalkan kamar Kei. Kei hanya bisa menatap Ryuu sampai menghilang di luar pintu kamarnya.

Sore itu, Kei menemui papanya yang sedang berada di ruang makan.
“kau mau kemana, Kei-kun?”
“nanti malam aku harus segera kembali ke Amerika”
“mengapa tiba-tiba sekali? Ada apa ini? Mengapa kau tidak memberitahuku terlebih dahulu?”
“tidak ada apa-apa, pa. Kalau aku disini terus, pasti aku akan semakin teringat dengan istriku. Lagipula, disana banyak sekali pekerjaan yang menantiku. Jadi, aku tidak mau membuang-buang waktuku”
“kapan kau akan ke bandara?”
“sekarang”
“aku akan mengantarmu”
“tidak perlu. Aku diantar sopir”
“apakah kau sudah berpamitan dengan pamanmu?”
“belum. Sampaikan saja salamku untuknya”
“apa yang terjadi denganmu, Kei-kun? Tidak biasanya kau seperti ini”
“tidak ada apa-apa, pa. Aku pergi dulu”
Hanya dengan membawa sekotak kopor kecil, Kei segera ke bandara dengan diantar sopir. Di ruang tunggu bandara, ia hanya duduk seorang diri. Masih menimang-nimang kartu nama dari Kimura Takeo.
“Kimura Takeo… Kimura Kei…?” gumam Kei.
Ia segera beranjak dari duduknya menuju pintu pesawat karena sebentar lagi pesawat sudah mau take off.

Pagi itu Emily sudah berada di meja kerjanya. Ia sengaja datang lebih awal karena banyak sekali pekerjaan yang harus ia kerjakan di pagi itu. Ia terkejut sewaktu seseorang menyapanya.
“selamat pagi, Ms. Grey”
Ia mendongak, ternyata Yamada Kei yang baru saja berlalu dari hadapannya dan dengan langkah yang cepat seperti biasanya, menghilang di balik pintu kantornya. Emily segera mengikuti Yamada ke dalam kantornya.
“eh, selamat pagi, Yamada”
Kei duduk di kursinya.
“bawakan kesini beberapa pekerjaanmu selama kutinggal pergi. Aku tidak mau tertinggal apapun disini. Juga bawakan jadwalku untuk seminggu ke depan. Bagaimana, apakah ada masalah selama aku tidak ada? Apakah semuanya sudah beres dengan Mr. Malkovich? Juga apakah nanti siang ada jadwal?”
Kei memberondong Emily dengan banyak pertanyaan yang membuat Emily tergagap.
“baiklah, tunggu sebentar. Kuambilkan laporan-laporan yang belum kau periksa selama kau pergi. Juga tentang jadwal yang mungkin bisa kau hadiri”
Emily segera mengambil setumpuk kertas-kertas yang ada di mejanya dan meletakkannya di meja Kei.
“apakah ini sudah semuanya?”
“ya. Sebenarnya siang ini aku akan menemani Mr. Malkovich untuk menemui seorang klien. Tapi kalau kau sudah disini…”
“siapa klien kita?”
“dia Mr. McHoward. Sebenarnya ia juga ingin sekali bertemu denganmu langsung. Tapi kemarin kukatakan kepadanya kalau tak bisa karena kau masih di Jepang dan Mr. Malkovich yang akan menemuinya”
“jam berapa nanti?”
“setelah jam makan siang di ruang meeting lantai 3”
“baiklah, nanti biar aku saja yang akan menemuinya”
“bagaimana dengan pertemuan untuk seminggu ke depan? Aku sudah membuat jadwal itu untuk Mr. Malkovich, maaf. Itu karena aku tidak tahu kapan kau akan datang”
“untuk hari ini dan selanjutnya, aku yang akan hadir. Biar Mr. Malkovich mengurus hal yang lainnya seperti biasa. Sekarang kau boleh pergi, Ms. Grey. Ada apa lagi?”
“ehmm… aku turut berduka cita. Maaf, kemarin aku tidak bisa kesana”
“tidak apa-apa, aku mengerti. Ya, trimakasih”
Emily segera kembali ke mejanya meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Setelah makan siang, ia menemani Yamada untuk bertemu Mr. McHoward.
Hari-hari selanjutnya, Emily semakin sibuk dengan pekerjaannya mendampingi Yamada kemanapun Yamada pergi. Ia semakin jarang untuk bisa bertemu dengan Ryunosuke. Untuk sekolahnya? Ia pun sudah jarang berangkat seperti Yamada. Terkadang di akhir pekan pun mereka tetap masuk kerja. Emily semakin akrab dan dekat dengan Yamada tanpa canggung lagi. Beberapa kali Ryunosuke memergoki mereka sedang berdua.
Sore itu, Ryunosuke sedang berada di dekat Central Park sepulang kerja dan besok adalah akhir pekan. Ia melihat Emily duduk di salah satu bangku duduk sendirian. Terlihat ia menelpon seseorang. Senyumnya langsung terkembang begitu Yamada datang menghampiri. Ryunosuke segera bersembunyi di balik pohon yang besar.
“maaf, aku datang terlambat”
“tidak apa-apa. Bisakah kita berangkat sekarang?”
“tentu, ayo”
Emily segera masuk ke mobil Yamada dan sebentar saja mereka sudah meninggalkan Central Park. Yamada mengarahkan mobilnya ke New Jersey. Setelah melewati Newark dan Long Branch, sampailah mereka di Allaire State Park.


“mengapa kau membawaku ke tempat ini?”
“kau tidak suka? Maaf, tapi aku tidak tahu apa kesukaanmu”
“bukan begitu. Tentu saja aku suka”
Yamada mengajak Emily untuk mengikuti jalan setapak yang masuk ke dalam hutan yang rimbun dan indah itu. Ada beberapa pondok disana. Namun Emily menghentikan langkahnya.
“ada apa, Ms. Grey?”
“apakah… disana ada ular?”
“tentu saja ada. Mengapa?”
“hah?! Tidak, tidak. Aku tidak mau masuk. Kalau kau mau masuk, aku akan menunggumu di mobil saja, Yamada”
“kau masih ingat dengan kejadian di Rahway River itu, kan? Dan aku menolongmu, kan?”
“iya sih, tapi…”
“ayolah. Setelah minggu-minggu kemarin kita bekerja tanpa libur, aku ingin mengajakmu kesini. Aku ingin mengucapkan banyak terimakasih kepadamu dengan membawamu kesini. Kau jangan salah sangka”
“memangnya aku berprasangka apa kepadamu, ha?!”
“yah… siapa tahu kau berprasangka kalau aku menyukaimu dengan membawamu kesini, padahal ini hanya terimakasihku kepadamu”
“mengapa kau berpikiran seperti itu?”
“lupakan, ayo!”
Yamada melangkahkan kakinya dengan cepat menyusuri jalan setapak itu. Nampak ada sungai kecil yang membelah hutan itu dan juga jembatan kecil di atasnya. Buru-buru Emily berlari kecil di belakang Yamada yang berjalan dengan cepat seperti biasanya.
Mereka tiba di sebuah danau kecil dimana pinggir danau tersebut banyak tenda-tenda didirikan. Ternyata banyak yang sedang berkemah di sekitar danau kecil itu.
“bisakah kita istirahat sebentar?”
Mereka lalu duduk di bangku di tepi danau. Mengamati orang-orang yang sedang berkemah.
“apakah kau tertarik untuk berkemah seperti mereka?”
“ya, sepertinya menyenangkan”
“kalau kau mau, kita bisa berkemah disini seperti mereka”
“eh, tidak. Tidak perlu, trimakasih”
“mengapa? Apakah kau ada janji dengan kekasihmu itu?”
Emily hanya menatap Yamada.
“maaf, itu bukan urusanku, ya?”
Yamada beranjak dari duduknya dan berdiri di tepi danau sambil memandangi air danau yang tenang itu. Emily hanya menatap punggung Yamada dari belakang.
“andai…” gumam Emily sambil masih terus melamun.
“hai, Ms. Grey. Kau mendengarku? Emily!”
Emily gelagapan karena ternyata Yamada sudah ada di depannya.
“eh, ada apa?”
“kau melamun?”
“ehm… a-aku…”
“apa yang kau lamunkan?”
Emily hanya menatap Yamada yang kembali duduk di sampingnya.
“bisakah kita pulang sekarang saja?”
“kenapa?”
“aku tidak mau kemalaman di jalan. Hari sudah gelap, Yamada”
“baik, kalau itu maumu. Ayo!”
Mereka segera menyusuri jalan setapak untuk kembali ke mobil mereka di parkiran. Hari memang sudah selepas senja. Yamada segera menjalankan mobilnya untuk kembali ke Manhattan. Mereka melewati jalanan yang sepi yang di kanan dan kiri hanya hutan. Hanya ada beberapa rumah dan motel kecil di sekitar sana.
“ada apa, Yamada? Mengapa kita berhenti disini?”
“entahlah. Tunggu sebentar, biar kulihat dulu”
Yamada keluar dari mobilnya dan mengecek mesin mobilnya.
“sepertinya kita harus menelpon bengkel terdekat”
Emily ikut keluar dan berdiri di samping Yamada.
“bengkel terdekat? Lihatlah apa yang ada di sekitar kita. Hutan, Yamada!”
“hei, aku minta maaf. Bukan maksudku ingin kejadian seperti ini”
Emily melipat kedua tangannya di depan dadanya dan bersandar di kap mobil yang mogok itu. Suasana sekitar sangat gelap. Yamada menelpon bengkel langganannya, tapi tidak juga diangkat.
“kemungkinan besar mereka sudah tutup, Yamada. Kau tidak melihat sudah jam berapa ini? Dan kita tak bisa berbuat apa-apa di malam-malam seperti ini in the middle of nowhere. Kita jauh dari mana-mana!”
Yamada menyimpan kembali ponselnya dan mendekati Emily.
“ada apa denganmu?”
“maksudmu?”
“sedari tadi seolah-olah kau hanya menyalahkanku terus. Kau memang tidak pernah berubah!”
Yamada berjalan meninggalkan Emily seorang diri.
“hei, Yamada! Kau mau kemana?”
Emily berlari kecil mengikuti Yamada yang sudah berjalan dengan cepatnya.
“kita cari motel terdekat, itu pun kalau kau mau ikut denganku. Kalau tidak mau, kau bisa menunggu sampai besok pagi di mobilku itu”
Dengan menggerutu dan terpaksa, Emily berjalan di belakang Yamada. Emily sempat berpikir kalau peristiwa ini mengingatkan akan kejadian di Rahway River dulu. Dimana ia harus mengikuti Yamada di tengah malam in the middle of nowhere.
Sudah cukup jauh juga mereka berjalan dan tak ada satu mobil pun yang bisa mereka tumpangi. Yamada menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Ia melihat Emily cukup jauh di belakangnya, tidak mengikutinya tapi hanya duduk di pinggir jalan. Yamada menghela nafas dan berjalan lagi ke tempat Emily duduk.
“apa yang kau lakukan disini?”
“aku capek sekali. Tidak bolehkah aku istirahat?”
“mengapa kau tidak memberitahuku? Bagaimana kalau ada orang jahat disini?”
“kau sendiri? Kau berjalan seolah-olah kau berjalan sendirian tanpa ada orang di belakangmu!”
“hhh… oke, oke”
“dan aku tidak bisa mengikuti jalanmu yang terlalu cepat itu”
“di belokan yang depan itu ada motel yang… yah, tidak terlalu besar. Tapi lumayan untuk istirahat. Apakah kau masih lelah?”
Emily hanya menatap Yamada yang mengulurkan tangannya. Lalu Emily menyambut uluran tangan Yamada dan segera berdiri.
“ayolah, kita selesaikan hal ini. Semoga kita cepat sampai di motel itu dan berharap mereka masih punya kamar kosong”
Emily berdiri dan berjalan meninggalkan Yamada. Buru-buru Yamada segera menyusul Emily. Dan untunglah, di belokan jalan depan memang ada sebuah motel kecil dan sederhana.
“kau tunggu disini dulu”
Yamada menyuruh Emily untuk duduk di kursi depan resepsion sedangkan ia memencet bel yang ada di atas meja resepsion itu. Seorang pria tua muncul dari dalam.
“ada yang bisa kubantu, anak muda?”
“ya, kami butuh kamar untuk malam ini saja. Kami butuh 2 kamar”
“owh, this is your luckiest day. Kami hanya punya 1 kamar saja”
“baiklah, kami ambil itu”
Emily segera beranjak dari duduknya.
“apa kamu bilang? 1 kamar dan kau akan mengambilnya?”
“ya, kenapa? Itu sudah cukup kalau untuk sekedar bermalam saja. Besok pagi kita sudah cek-out”
“tidak! Kita tidak akan menginap disini. Kita akan cari penginapan yang lainnya saja!”
“ini sudah larut malam, Ms. Grey. Kau tidak tahu ini sudah jam berapa? Kita juga tidak tahu diluar sana dimana letak penginapan terdekat”
“terserah, yang jelas aku akan mencarinya sendiri!”
Emily bejalan ke pintu lalu…
“Emily!”
Emily mengurungkan niatnya untuk keluar dari penginapan itu. Ia berhenti dan menoleh. Yamada mendekati Emily.
“kau tahu maksudku, kan?!”
Emily melihat Yamada menahan amarahnya. Baru sekali itu ia melihat tatapan marah Yamada.
“apa kau pikir aku akan berbuat yang tidak-tidak terhadapmu, ha?! Ini kulakukan karena aku tidak mau terjadi apa-apa denganmu! Apakah kau mengerti, Ms. Grey?”
Yamada kembali ke meja resepsion.
“aku ambil kamar yang tadi”
Setelah membereskan administrasi dan membayar lunas, pemilik penginapan segera memberikan kunci kamar kepada Yamada dan memberitahu letak kamarnya.
“ayo, Ms. Grey”
Dengan langkah gontai, Emily berjalan di belakang Yamada. Kamar peginapan itu tidak terlalu luas.
“kau bisa membersihkan badanmu di kamar mandi itu”
Emily segera mandi. Ia merasa segar setelah lumayan jauh ia berjalan kaki. Ia segera duduk di tempat tidur yang tidak begitu besar itu.
“kau sudah selesai?”
“ehm… yah, aku sudah selesai”
Gantian Yamada yang mandi. Hanya butuh waktu sebentar untuknya untuk mandi. Setelah itu…
“kalau kau sudah ngantuk, tidurlah dulu, Ms. Grey”
“kau?”
“aku belum mengantuk”
Yamada segera menonton TV yang tidak begitu besar di kamar itu. Dengan agak ragu, Emily mendekati Yamada yang sedang duduk di ujung tempat tidur.
“Yamada… emmm…”
“mengapa kau tidak juga tidur?”
“eh, aku… aku hanya ingin minta maaf kepadamu. Maaf, aku tadi terlalu egois. Aku marah-marah kepadamu”
“bukankah sejak dulu kau juga bertingkah seperti itu terhadapku?” ucap Yamada tanpa menoleh kepada Emily.
“maksudku… aku sungguh-sungguh minta maaf atas kejadian tadi”
Barulah Yamada menoleh kepada Emily,”tidak apa-apa” lalu melanjutkan keasyikannya menonton TV.
Emily hanya tertawa kecil dan itu membuat Yamada menatapnya lagi.
“ada apa? Apakah ada yang lucu?”
“kau jadi mengingatkanku akan masa kecil kita. Aku selalu saja mem-bully-mu. Tanpa pernah tahu kalau di masa yang akan datang, kau akan lebih sukses daripada aku. Bahkan aku yang menjadi bawahanmu. Aku selalu saja menyalahkanmu, dalam hal apapun. Dan karena kau hanya diam saja, itu semakin membuatku bersemangat untuk terus manjahilimu”
“mengapa?”
“maaf, tapi itu membuatku semakin gemas terhadapmu, karena kau orangnya pendiam. Aku puas kalau sudah menjahilimu”
“kalau sekarang?”
“aku tidak mau kau pecat, Yamada”
Yamada hanya tersenyum kecil.
“itu semua masa lalu, Ms. Grey” Yamada lalu menatap Emily.
“mengapa kau menatapku seperti itu? Ada apa, Yamada?” Emily bertanya dengan hati-hati dan gugup.
Cukup lama Yamada menatap Emily. Ia kemudian berdiri dan menuju pintu dengan tiba-tiba dan itu semua membuat Emily semakin bertambah bingung.
“tidurlah!”
“kau mau kemana?”
“aku akan mencoba ke bertanya kepada pemilik penginapan ini. Siapa tahu ia punya minuman hangat. Kalau kau mau, aku akan memesankan untukmu juga. Apakah kau mau?”
“eh, ya… thanx”
Yamada menghilang di balik pintu. Emily masih menatap pintu yang tertutup rapat itu.
“hhh… Yamada…” gumam Emily.
Emily membaringkan tubuhnya yang terasa penat di atas tempat tidur sederhana itu dan memejamkan matanya.
Pintu kamar dibuka dari luar. Ternyata Yamada yang datang dengan membawa 2 gelas yang berisi kopi hangat dan meletakkannya di meja kecil samping tempat tidur.
“Ms. Grey…”
Ternyata Emily sudah tertidur. Ia segera menyelimuti tubuh Emily dengan selimut yang ada di dekatnya. Ia lalu duduk kembali di ujung ranjang sambil melihat TV dan menikmati segelas kopi hangat di malam yang dingin itu.

Pagi yang sangat cerah. Matahari bersinar dengan indahnya. Suara burung pun terdengar di sekitar penginapan yang dikelilingi oleh hutan itu. Emily terbangun.
“Yamada?”
Ia mencari Yamada yang teryata tidur di ujung kakinya, meringkuk. Emily berdiri dan menyelimuti Yamada. Beberapa saat lamanya ia hanya bisa memandangi Yamada yang sedang tertidur dengan pulasnya itu.
Setelah mandi, ia melihat Yamada masih tidur dan ia tak berani untuk mengusiknya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
“hallo, Ryunosuke? Ada apa?”
“kemana saja kau semalam, Emily? Aku ke rumahmu tapi kau tak ada. Semalam kau tak pulang, ya? Dimana kamu sekarang? Terus terang saja, aku sangat mengkhawatirkanmu, Emily”
“eh, aku… aku menginap di  rumah temanku. Kau tak perlu khawatir. Aku sudah mau pulang kok. Ada apa, Ryunosuke?”
“apakah hari ini kau lembur lagi?”
“sepertinya tidak, kenapa?”
“aku ingin mengajakmu keluar. Sudah lama juga kita tidak bersama lagi”
“maafkan aku. Akhir-akhir ini aku sibuk sekali”
“tidak apa-apa. Aku mengerti. Jadi, bagaimana? Apakah kita bisa keluar bersama sore ini?”
“ya, tentu. Dimana kita bisa bertemu?”
“tidak, aku akan menjemputmu di rumahmu nanti sore”
“baiklah, aku akan menunggumu”
“thanx. I love you, Emily”
“I love you, too”
Emily menyimpan kembali ponselnya di dalam tasnya.
“itu tadi Ryunosuke, ya?”
Emily terkejut karena ternyata Yamada sudah ada di belakangnya.
“eh, kau mengagetkanku, Yamada. Iya, itu tadi Ryunosuke”
“kau mencintainya?”
“t-tentu saja” jawab Emily dengan gugup.
“dia seharusnya bersyukur bisa mendapatkanmu”
Yamada segera meninggalkan Emily yang masih terbengong. Setelah selesai mandi, Yamada mendekati Emily.
“bisa kita pergi sekarang?”
“bagaimana kita akan pulang?”
“aku sudah menelpon sopirku yang sedang di luar kota agar segera kesini membawakan mobil untuk kita. Aku juga ada sedikit keperluan di Upper Manhattan”
“maaf, bukannya aku tidak mau. Tapi, aku sudah ada janji dengan Ryunosuke sore ini”
“oh… maaf. Baiklah, aku akan mengantarmu pulang dulu saja”
“ya, trimakasih”
Mereka segera menunggu sopir Yamada di depan penginapan sambil menikmati sarapan mereka. Tapi sampai mereka selesai sarapan, sopir Yamada belum juga muncul.
“mungkin sopirmu tersesat”
“tidak mungkin. Dia tahu tentang wilayah ini”
“bisakah kau telpon?”
“tadi aku sudah mencoba menelponnya tapi tidak diangkat. Kita tunggu saja dulu”
Cukup lama mereka menunggu.
“sepertinya kau tidak tenang. Apa yang kau pikirkan, Ms. Grey?”
“ah… tidak ada apa-apa. Jangan risaukan soal aku”
Tak lama kemudian sopir Yamada datang dengan temannya yang juga membawa mobil sendiri.
“maaf, Yamada-san. Kami terlambat menjemputmu”
“tidak apa-apa. Kau nanti pulang dengan temanmu itu. Tolong kau urus juga mobilku yang mogok itu. Ini kuncinya”
“tentu, Yamada-san”
“ayo, Ms. Grey. Kita pulang sekarang”
Sementara sopir dan rekannya mengurus mobil yang semalam mogok, Yamada segera pulang menuju Manhattan dengan Emily. Sepanjang perjalanan pulang, Emily lebih banyak diam.

Mobil Yamada berhenti di depan rumah Emily. Nampak Ryunosuke sedang duduk sendirian di teras rumah Emily.
“sepertinya Ryunosuke sudah menunggumu, Ms. Grey”
Emily keluar dari mobil Yamada. Ryunosuke pun menghampirinya.
“maaf, Ryunosuke. Aku terlambat”
“kau… bersama Yamada-san? Kukira kau menginap di rumah temanmu”
“eh… i-itu…”
“ya, dia memang menginap di rumah temannya. Dia tadi bercerita kepadaku. Kami hanya berpapasan saja di jalan. Lalu ia kuantar pulang sekalian”
Emily menatap Yamada yang sedang bicara kepada Ryunosuke.
“benar begitu, Ms. Grey?” Yamada menatap Emily.
“owh… trimakasih kau sudah mengantar Emily pulang, Yamada-san”
“ya, sama-sama. Aku harus pergi sekarang. Masih ada pekerjaan yang harus kulakukan. Bye”
Mobil Yamada perlahan meninggalkan rumah Emily. Ryunosuke merengkuh bahu Emily.
“dia orang yang baik. Dimana kalian tadi bertemu?”
“eh… itu… tak jauh dari sini. Oya, kemana kau akan mengajakku?”
“aku sudah bosan ke Central Park. Aku sekarang hanya ingin berdua saja denganmu. Aku akan membuatkanmu masakan yang enak. Apakah kau mau?”
“tentu saja”
Mereka segera masuk ke rumah Emily dan menuju dapur. Ryunosuke mempersiapkan bahan-bahan yang ada di dalam kulkas. Sedangkan Emily menuju kamarnya yang ada di atas. Setelah mandi, ia segera menuju dapur kembali.
“sepertinya makananmu sudah matang, Ryunosuke”
“tunggu sebentar lagi”
Emily duduk di kursi pantry.
“kau sibuk sekali akhir-akhir ini, Emily. Apa kau tidak lelah?”
“bukankah menjadi seorang sekretaris sudah menjadi impianku?”
“iy-ya, aku tahu. Tapi kau tetap harus memperhatikan kondisi kesehatanmu. Aku tak mau kau jatuh sakit karena kelelahan. Bahkan di akhir pekan saja kau masih bekerja. Kapan waktu untuk dirimu sendiri?”
“trimakasih sudah mengingatkanku”
“aku cemburu kepada temanmu itu”
“siapa?”
“siapa lagi kalau bukan boss besarmu itu, Yamada Kei”
“mengapa?”
“dia lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu daripada aku”
“kami bersama karena urusan pekerjaan, bukan yang lainnya”
“aku tahu, tapi tetap saja aku cemburu. Takutnya dia bisa saja jatuh cinta kepadamu”
Emily segera menatap Ryunosuke.
“dia sekarang orang yang bebas, bebas menentukan pendamping hidupnya lagi. Kau tahu maksudku, kan? Dan aku takut kalau lama-lama kau juga akan jatuh cinta kepadanya karena seringnya kalian bertemu”
“kau berpikir sampai sejauh itu?”
“tentu saja. Aku takut sekali kehilanganmu, Emily. Aku sangat mencintaimu”
Emily hanya terdiam sewaktu Ryunosuke memeluknya.
“kau tak takut masakanmu nanti gosong?”
“ah, iya!”
Buru-buru Ryunosuke mengangkat masakannya dan menaruhnya di piring.
“ini untukmu dan ini untukku. Masih ada lebih kalau kau ingin lagi. Kuharap kau menyukainya”
“ya, aku menyukainya”
Mereka makan di sofa ruang tengah sambil menonton acara TV favorit mereka. Ryunosuke sepertinya bahagia sekali sore itu. Sedangkan Emily? Ia merasa sangat bersalah kepada Ryunosuke. Karena telah berbohong dan lebih lagi, bohong tentang perasaannya.

Emily Grey

Tidak ada komentar:

Posting Komentar