Kamis, 02 Juli 2015

MY SAKURA (bagian 3)



Pagi harinya, dengan terburu-buru Emily mencium papa dan mamanya.
“kau tidak sarapan dulu, Emily?”
“aku terburu-buru, ma”
Dengan setengah berlari Emily menuju jalan depan rumah.
“maaf, Anna. Aku agak terlambat”
Mereka berdua segera berjalan kaki menuju sekolah yang memang tidak terlalu jauh itu.
“tidak biasanya kamu terlambat”
“entahlah, semalam aku tidak bisa tidur nyenyak”
“ada yang kau pikirkan?”
“aku memikirkan perbincangan kita kemarin”
“yang mana?”
“aku memikirkan teman Jepangku, Yamada Kei”
“hei, ada apa ini? Kau merindukannya, ya?”
“entahlah. Aku tidak pernah memikirkan dia. Tapi setelah perbincangan kita yang kemarin itu, entahlah. Aku jadi teringat terus dengannya”
“hmmm… itu tandanya kau merindukannya,” sahut Anna sembari tertawa lebar dan itu membuat Emily cemberut.
“sekarang katakanlah kepadaku. Bagaimana rupa teman Jepangmu itu?”
“mmm… dia manis sekali, pendiam dan penyendiri. Dia tidak mempunyai teman dekat di sekolah dan aku selalu saja mengganggu dia. Tapi sebelum aku pindah kesini, aku sempat meminta maaf kepadanya dan akhirnya dia memberiku jepit rambut sakura ini. Hhh… andai aku bisa bertemu dengannya lagi. Kalau kita sudah kenal dekat, ternyata dia anak yang menyenangkan. Sayang, aku terlambat menyadarinya”
“kau bicara seperti itu seolah-olah kau jatuh cinta kepadanya. Apakah aku benar?”
“aku mengenalnya sewaktu kami masih kecil, Anna. Aku tidak tahu kehidupan dia sekarang. Mana bisa aku jatuh cinta kepada orang yang tidak aku kenal”
“ok, kalau begitu anggap saja teman baru kita yang dari Jepang nanti sebagai pengganti teman Jepangmu itu. Bagaimana?”
“tidak bisa, tidak ada yang bisa menggantikan Yamada Kei. Kau paham?”
“ok, we’ll see”
Tak terasa mereka sudah sampai di sekolah mereka. Dan tanpa menunggu lama, bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi. Semua murid di kelas Emily segera duduk di bangkunya masing-masing. Lalu masuklah Mrs. Andersson.
“selamat pagi, anak-anak”
“selamat pagi, Mrs. Andersson”
Mrs. Andersson merapikan buku-bukunya yang akan dipakai untuk mengajar di atas mejanya.
“Anna, kau bilang hari ini ada teman baru. Mana?” bisik Emily.
Anna hanya megangkat kedua bahunya.
“sebelum kita memulai pelajaran kali ini, aku ingin memperkenalkan teman baru untuk kalian. Masuklah”
Pintu kelas dibuka dari luar. Lalu masuklah “teman baru” itu dan berdiri di depan kelas.
“ini teman baru untuk kalian. Silahkan memperkenalkan dirimu”
“namaku Yamada Kei”
Seisi kelas pun gaduh, tak terkecuali Anna dan Emily.
“Emily, namanya Yamada Kei! Apakah dia teman Jepangmu itu?”
“entahlah, sudah lama kami tak bertemu”
“tolong semuanya diam dan tenang. Biarkan Yamada bicara terlebih dahulu”
“trimakasih, Mrs. Andersson. Namaku Yamada Kei. Aku dari Jepang dan harus pindah kesini karena mengikuti orangtuaku. Mohon bantuannya,” ucap Yamada Kei sambil membungkukkan badannya.
“thank you, Yamada Kei. Sekarang duduklah di bangku yang masih kosong itu. Kita lanjutkan pelajaran kita yang kemarin”
“perhatikan baik-baik, Emily. Dia teman Jepangmu atau bukan?”
“hhh… aku tidak tahu, Anna. Kita lihat saja nanti”
“what?! Dia duduk sebangku dengan Christy!”
“terus? Ada masalah dengan itu?”
“kau sudah tahu tabiat Christy, kan?”
“Ms. Carter, Ms. Grey! Ada masalah apa dengan kalian? Kita sedang belajar disini!”
Anna dan Emily segera terdiam mendapat teguran dari ibu guru mereka.
“hai, namaku Christy Steward. Panggil saja dengan Christy. Senang berkenalan denganmu”
Yamada Kei juga mengulurkan tangannya sambil tersenyum,”aku Yamada Kei”
“nanti pas istirahat, aku akan mengantarmu berkeliling sekolah kita ini. Apakah kau mau?”
“ya, trimakasih”
Bel istirahat yang dinanti-nanti pun berbunyi nyaring. Semua murid mengerubungi meja Christy dan Kei. Semua ingin berkenalan dengan Kei dan itu membuatnya gugup. Buru-buru Christy menarik tangan Kei dan keluar kelas meninggalkan mereka semua.
“mereka teman-temanmu juga, kan?”
“biar saja. Ayo, akan kutunjukkan sekolah kita. Aku harap kau betah disini”
Christy dan Kei berjalan-jalan di sekitar sekolah yang memang mempunyai halaman yang luas dan rindang.
“sekolahmu bagus”
“sekarang sudah menjadi sekolahmu juga, kan? Apakah kau menyukainya?”
“ya, tentu saja. Trimakasih sudah membawaku berkeliling”
Mereka segera pergi ke kantin dan memesan minuman.
“apakah ini pertama kalinya kau kesini? Maksudku Amerika”
“ya”
“tapi bahasamu sudah bagus sekali”
“trimakasih. Aku masih harus belajar lebih banyak lagi”
“nanti malam ada pesta di rumah temanku. Apakah kau mau pergi denganku?”
“ini hari pertamaku disini”
“lalu?”
“maaf, aku belum bisa. Mungkin lain kali saja”
“yah, sayang sekali. Baiklah, tidak apa-apa. Lain kali kita bisa pergi bersama-sama”
Sementara di pojok kantin…
“Emily, kau tidak marah teman Jepangmu itu dimonopoli sama Christy?”
“hei, tunggu dulu. Sampai saat ini aku belum tahu siapa dia. Bisa jadi dia orang lain yang kebetulan saja namanya sama”
“kau bisa bertanya kepadanya”
“tentu, kalau ada waktu yang tepat. Seperti yang kau lihat. Dia didampingi si cewek jutek itu terus. Bagaimana bisa aku mendekati dia, iya ‘kan?”
Seharian itu, Christy terus saja mendampingi Yamada Kei. Dan itu membuat Kei tidak enak hati. Untunglah, bel tanda pulang sekolah berbunyi.
 “bisakah kita pulang bersama, Yamada?”
“maaf, aku sudah ada yang menjemput. Trimakasih kau sudah menemani aku hari ini, Christy. Aku permisi dulu”
Yamada Kei buru-buru pergi keluar kelas sambil menelpon seseorang dengan ponselnya dan menuju depan sekolah. Di saat yang sama, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Ia membuka pintu belakang.
“Yamada! Tunggu!”
Yamada Kei mengurungkan niatnya untuk masuk ke mobil begitu ada yang memanggilnya. Ia menoleh, ternyata Emily sudah berdiri di hadapannya dengan nafas yang terengah-engah. Yamada Kei hanya menatap Emily.
“maaf, kalau aku mengganggumu. Aku hanya ingin sekedar bertanya saja kepadamu”
Yamada Kei melepaskan tasnya dan melemparkannya ke dalam mobil.
“aku terburu-buru, maaf”
“t-tapi…”
Emily tidak melanjutkan ucapannya karena Yamada Kei sudah masuk ke mobilnya dan meninggalkan tempat itu.
“sialan kau, Yamadaaa…!!”
Emily mengambil batu kecil yang ada di sampingnya dan melemparkannya ke mobil Yamada Kei dan… mengenai kaca belakang mobil itu. Mendadak mobil itu berhenti dan Yamada Kei pun keluar. Emily hanya melongo tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia hanya menatap Anna yang ada di sampingnya.
“sebenarnya apa masalahmu?”
“e… a-aku ‘kan hanya ingin bertanya saja kepadamu”
“kau tahu, aku juga punya hak untuk tidak menjawab pertanyaanmu”
“kau belum mendengar apa yang ingin kutanyakan. Mengapa kau langsung pergi meninggalkan aku?”
Yamada Kei hanya menatap tajam kepada Emily.
“sudahlah, kita pulang saja. Sepertinya dia bukan teman Jepangmu itu. Dia begitu sombong dan angkuh. Aku yakin temanmu bukan orang yang seperti dia”
“oke, apa yang ingin kau tanyakan?”
“aku dulu pernah bersekolah di Jepang sewaktu aku kecil, aku Emily Grey. Aku punya teman sekelas bernama Yamada Kei. Dia setiap hari diantar dan dijemput oleh pamannya yang bernama Yamada Ryuu. Yang aku ingin tanyakan, apakah itu kau?”
Yamada Kei mendekati Emily sambil melepaskan kacamata hitamnya.
“menurutmu bagaimana?”
“mana aku tahu? Sudah lama sekali kami tidak bertemu. Itulah mengapa aku bertanya kepadamu. Tapi sepertinya benar kata temanku ini. Teman kecilku itu tidak angkuh dan sombong seperti kamu!”
“kalau begitu, aku memang bukanlah orang yang kau maksud”
Yamada Kei meninggalkan Emily menuju mobilnya.
“Yamada, tunggu dulu!”
Yamada Kei sudah duduk kembali di mobilnya dan bermaksud menutup pintu, tapi Emily menahannya.
“ada apa lagi, Ms. Grey?”
“kau belum menjawab pertanyaanku, Mr. Yamada”
“hhh… oke. Apa kau pikir yang mempunyai nama Yamada Kei hanya temanmu itu? Sekarang kau ingat-ingat saja, berapa banyak nama Emily yang pernah kamu dengar dan kamu baca di seluruh dunia ini. Apakah yang mempunyai nama Emily itu hanya kamu saja? Sekarang, apakah kau sudah puas dengan jawabanku, Ms. Grey?”
“ya, sangat puas sekali. Trimakasih”
Dengan geram, Emily membanting pintu mobil Yamada Kei dan mobil itu pun segera meninggalkan Emily. Anna mendekati Emily.
“ayo, kita pulang saja. Untung sekali dia bukan teman Jepangmu itu. Sombong dan angkuh sekali dia. Kalau begitu, dia memang cocoknya dengan Christy! Anak baru saja sudah seperti itu! Hei, ada apa?”
“dia memang sombong dan angkuh. Tapi… sepertinya…. Ah, entahlah. Kita pulang, Anna. Lupakan saja kejadian hari ini. Aku tidak mau mengingatnya lagi”
“apakah kau berpikir kalau dia adalah Yamada Kei yang kau maksud, begitu?”
Emily hanya diam saja dan mempercepat langkahnya. Sepanjang perjalanan itu Emily lebih banyak berdiam diri. Setelah sampai rumah pun dia tidak makan siang. Ia hanya tiduran di ranjangnya sambil masih terus memandangi foto dia dan teman-teman sekolahnya dulu sewaktu masih tinggal di Jepang.
“Yamada Kei… walaupun kamu bersikap seperti itu, tapi sepertinya aku melihat sosok Yamada Kei kecil di dirimu. Hhh… tapi seiring berjalannya waktu, aku pasti akan tahu siapa dirimu sebenarnya”

Bangku yang paling belakang sering kosong. Itulah mengapa Yamada Kei lebih sering duduk di bangku itu. Ia pun lebih suka diam dan menyendiri daripada bergaul dengan teman-teman sekelasnya. Tapi itu tidak membuat Christy menyerah untuk bisa dekat dengan Yamada Kei.
Siang itu, Yamada Kei sedang berada di lokernya ketika Christy mendekatinya.
“hai, Yamada. Bolehkah aku minta tolong kepadamu?”
Kei menghentikan aktivitasnya dan menoleh.
“tadi mobilku mogok di parkiran sekolah. Aku tidak bisa memperbaikinya”
“kau bisa menelpon bengkel terdekat”
“ah, bukan begitu. Maksudku… bolehkah aku menumpang mobilmu? Rumahku jauh sekali dari sini. Kuharap kau mau membantuku. Aku tidak punya seseorang yang bisa kumintai tolong lagi, please…”
“hhh… ayolah”
“ah… trimakasih, Yamada”
Christy girang sekali mendapat tumpangan dari Yamada Kei. Mereka berjalan beriringan di koridor sekolah dan berpapasan dengan Emily di ujung koridor. Christy hanya menatap Emily dengan raut wajah penuh kemenangan. Sedangkan Yamada Kei? Tanpa menoleh sedikitpun!
Mobil yang biasa menjemput Kei berhenti di depan sekolah tepat ketika Christy dan Kei sampai di depan gerbang sekolah. Kei mempersilahkan Christy untuk masuk terlebih dahulu, setelah itu barulah ia duduk di samping Christy. Sang sopir hanya menatap Kei dan Christy dengan heran.
“ada apa?”
“tidak ada apa-apa, tuan. Maaf…”
Dengan gugup sang sopir segera menjalankan mobil itu.
“kita mengantarkan temanku ini pulang terlebih dahulu. Untuk tahu dimana rumahnya, tanyakan saja kepadanya”
“tapi…”
Sang sopir tidak berani melanjutkan kalimatnya. Karena ia melihat tuannya itu sudah menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan memejamkan matanya. Akhirnya ia bertanya kepada Christy sendiri dan Christy pun menjelaskan alamat rumahnya. Christy pun hanya menatap Kei yang sudah tertidur itu. Tak lama kemudian…
“kita sudah sampai, nona”
Ketika mobil berhenti, Kei pun ikut terbangun.
“Yamada, trimakasih atas tumpangannya”
“ya”
“apakah kau mau mampir dulu?”
“tidak, trimakasih. Lain kali saja”
Mobil perlahan meninggalkan rumah Christy dan menuju pusat kota Manhattan. Yamada Kei kembali memejamkan matanya. Setelah tiba di salah satu gedung pencakar langit, mereka berhenti di lobinya.
“kita sudah sampai, tuan”
“ya, trimakasih. Nanti jemput aku jam 7 malam”
“baik, tuan”
Yamada Kei segera memasuki gedung yang megah itu. Dengan naik lift, ia menuju lantai yang paling atas. Begitu pintu lift terbuka, ia keluar dan masuk ke salah satu ruangan yang besar. Mengambil jasnya dan memakainya. Tak lupa ia juga memakai badge-nya.

Yamada Kei

“selamat siang, Mr. Yamada. Apakah perlu saya buatkan kopi?”
“ya. Trimakasih, John. Aku agak ngantuk sekali siang ini”
“itu karena semalam tuan bekerja sampai larut sekali. Akan saya buatkan kopi yang paling enak, tuan”
Yamada Kei hanya tersenyum menuju mejanya yang terletak di dekat sebuah jendela yang besar. Dari jendela besar itu, ia bisa melihat hampir seluruh kota Manhattan. Ia duduk di kursinya yang empuk dan mulai memeriksa beberapa tumpukan kertas-kertas tebal. Ia juga memeriksa beberapa file yang ada di komputernya. Kemudian ia menelpon seseorang dan tak lama kemudian orang yang baru saja ditelponnya sudah duduk di hadapannya.
“aku sudah memeriksa semua pekerjaanmu, Ms. Andrews. Tapi ada satu hal yang tidak aku megerti. Bukankah aku sudah menetapkan nominal yang seharusnya tercantum di beberapa berkas dan file ini? Siapa yang memerintahkanmu untuk mengganti nilai nominal itu?”
“e… itu…”
“aku yang menyuruhnya, Kei-chan”
Nampak Mr. Yamada Yasuo memasuki ruangan itu.
“papa? Kapan papa datang?”
“tadi pagi”
“mengapa tidak memberitahuku terlebih dahulu?”
“kenapa?”
“yah… setidaknya papa tidak perlu menunggu sesiang ini”
“walaupun kau sudah belajar dan kuberi wewenang untuk memimpin perusahaan ini, kau tetap harus menyelesaikan pendidikanmu. Aku tidak mau kau membolos sekolah. Ingat, sekolahmu hanya tinggal setahun saja disini. Bagaimana sekolahmu?”
Kei segera menyuruh sekretarisnya untuk meninggalkan kantornya.
“sebenarnya aku sudah tidak terlalu tertarik untuk menyelesaikan sekolahku, pa. Disini terlalu banyak yang harus aku kerjakan”
“bukankah kau sendiri yang meminta? Aku sudah mengatakannya kepadamu waktu itu. Sebenarnya kau masih sangat muda untuk memimpin sebuah perusahaan. Tapi karena kau keras kepala, akhirnya aku mengijinkanmu untuk belajar. Tapi ingat, semua keputusan tetap ada di tangan papa. Seperti waktu kau complain kepada sekretarismu tadi”
John masuk membawakan 2 buah cangkir kopi untuk Kei dan papanya.
“trimakasih, John. Oya, tolong sekalian infokan kepada Ms. Andrews bahwa aku sedang tak ingin diganggu dengan urusan apapun untuk sementara ini”
“baik, tuan”
John segera keluar dari kantor Kei.
“bagaimana kabar Oji-san, pa?”
“baik. Semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana, apakah kau menyukai Manhattan?”
“aku belum bisa menjawabnya, pa. Aku disini belum lama”
“aku sebenarnya heran saja. Sekolahmu di Jepang sana tinggal setahun. Tapi mengapa kau memutuskan untuk menyelesaikan pendidikanmu yang kurang setahun itu disini?”
Kei mengeluarkan sesuatu dari dalam laci meja kerjanya. Sebuah foto lama.
“untuk ini, pa”
“foto siapa ini?”
Yamada Yasuo mengamati dengan seksama foto itu.
“bukankah ini fotomu dengan teman-teman sekelasmu pada waktu kau masih TK?”
“ya”
“apa hubungannya dengan foto ini?”
“apakah papa masih ingat dengan Emily Grey yang dulu pernah diceritakan oleh Oji-san?”
“kalau tidak salah… apakah dia anak perempuan yang sering mengganggumu di kelas itu?”
“ya, benar. Aku mencari keberadaannya disini”
“kalau itu tujuanmu, mengapa kau tidak memberitahu papa? Kau tidak perlu repot-repot mencarinya. Papa bisa menyewa seorang detektif handal kalau hanya untuk sekedar mencarinya”
 “aku sudah menemukannya”
“oya, dimana dia tinggal?”
“papa pasti akan terkejut. Seperti yang kualami sewaktu aku baru tahu dimana keberadaannya. Dia, Emily Grey, menjadi teman sekelasku, pa”
“apa? Kecil sekali dunia ini”
“tapi aku belum memberitahukan kepadanya tentang siapa aku sebenarnya. Dan papa sebaiknya tidak perlu bertanya mengapa aku melakukan semua ini”
“oke, oke. Kau sudah besar, Kei-chan. Kau sudah tahu mana yang baik dan buruk. Sekarang aku harus pergi untuk bertemu rekan bisnisku. Kau bisa ikut kalau kau mau. Bisa berguna untuk memperluas relasimu”
“baiklah, aku ikut”
Mereka berdua segera turun ke lobi. Disana sudah menanti rekan-rekan bisnis Mr. Yamada Yasuo. Dan ia pun memperkenalkan Yamada Kei kepada mereka. Dan mereka pun kagum kepada Kei. Mereka mengobrol dengan santai di kafe yang ada di lobi gedung itu sampai hari hampir menjelang malam.
Acara belum selesai, tetapi Yamada Kei mohon pamit kepada mereka semua dan kembali lagi ke kantornya yang berada di lantai paling atas. Ia kembali memeriksa beberapa pekerjaan yang tadi sempat tertunda. Ia melihat ke arah jam tangannya, sudah hampir jam 8 malam. Ia kemudian menelpon Ms. Andrews.
“apakah pekerjaan yang kutugaskan kepadamu tadi siang sudah selesai, Ms. Andrews?”
“sudah, Yamada-san. Apa perlu kubawakan sekarang?”
“ya, tolong bawakan kemari”
Ms. Andrews segera masuk ke kantor Kei dan meletakkan setumpuk kertas itu di meja Kei. Ia melihat Yamada Kei masih berada di dekat jendela besar menatap kerlap-kerlip lampu Manhattan di malam hari sambil menelpon seseorang dengan ponselnya. Setelah itu…
“apakah itu sudah semuanya?”
“ya, ini sudah semuanya”
“baiklah, sekarang kau boleh pulang. Hari sudah malam. Sampai bertemu besok, Ms. Andrews”
Setelah Ms. Andrews menghilang dari balik pintu kantornya, Yamada Kei menghempaskan dirinya di kursi kerjanya. Setumpuk kertas dari sekretarisnya hanya dilihatnya saja. Tapi dengan segera ia memeriksa lembar demi lembar tumpukan kertas itu walaupun sudah beberapa kali ia menguap. Terdengar suara ketukan di pintu kantornya.
“ya, masuklah! Oh… kau, John. Kau belum pulang rupanya”
“ini saya buatkan kopi hangat. Sepertinya tuan sudah kelelahan sekali”
“ya, trimakasih. Sebentar lagi juga sudah selesai. Sebaiknya kau juga pulang sekarang”
“ya, selamat malam, tuan”
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Yamada Kei kembali berdiri di dekat jendela besarnya sambil menghabiskan kopi buatan John. Cukup lama ia terdiam. Suasana kantor sudah sangat sunyi dan sepi. Hanya ada beberapa pegawai yang masih bekerja. Lampu-lampu pun sudah hampir semua dimatikan di seluruh lantai. Ya, gedung itu memang milik pribadi keluarga Yamada.
Setelah berdiam diri cukup lama dan menghabiskan kopinya, bergegas ia mengambil jasnya dan memakainya. Tak lupa juga ia mematikan semua lampu di ruang kerjanya. Sambil menunggu pintu lift terbuka, ia hanya melihat ke sekeliling. Ruangan tempat para pegawainya juga sudah gelap dan sunyi. Sesampainya di lobi, ia melihat sopirnya duduk terkantuk-kantuk.
“ayo kita pulang sekarang”
Sopirnya yang sedang mengantuk pun dibuatnya terkejut.
“i-iya, tuan”
Buru-buru ia menyiapkan mobilnya untuk Yamada Kei. Kei hanya menunggunya di depan lobi. Perlahan mobil itu segera meninggalkan tempat itu menuju pinggiran kota Manhattan. Kei sudah terlihat kelelahan sekali. Hampir saja ia sudah bisa memejamkan matanya ketika sopirnya mengerem secara mendadak.
“ada apa ini?”
“m-maaf, tuan. Tiba-tiba ada beberapa pengendara motor menghadang mobil kita”
Dengan memicingkan matanya, Kei melihat ke depan mobilnya. Memang benar ada beberapa pengendara sepeda motor berada di depan mobilnya.
“tanyakan kepada mereka, apa mau mereka sebenarnya”
“s-saya takut, tuan”
Dengan masih merasa kesal karena waktu istirahatnya yang berharga di mobil terganggu, Kei keluar dari mobilnya.
“siapa kalian? Mengapa menghalangi jalanku?”
“apakah kau yang bernama Yamada Kei?”
“ya, benar. Ada urusan apa? Aku tidak merasa mengenal kalian”
Beberapa orang itu mendekati Kei dan mengeluarkan senjata mereka masing-masing.
“hei, hei, hei… tunggu dulu… ada apa ini?”
“kau tak perlu tahu siapa kami. Tapi yang jelas, kami harus memberimu pelajaran”
Sopir Kei turun dari mobil dengan ketakutan. Diam-diam dia mengeluarkan ponselnya berniat untuk mencari bantuan. Tapi dengan cepat, salah seorang penghadang itu melemparkan tongkatnya hingga mengenai tangan sopir Kei. Hingga ponselnya pun terlempar jauh.
“sepertinya kau pandai juga menggunakan tongkatmu itu. Majulah, aku ingin mencoba kemampuanmu”
“sombong sekali kau. Cepat, serang dia!”
Kei melepas jas dan badge-nya lalu melemparkannya ke arah sopirnya. Kei dengan mudahnya hanya menghindari serangan para berandalan itu.
“mengapa kau tidak menyerang? Atau hanya segitu saja kemampuanmu?”
“oke, aku memang sedang tidak ada waktu untuk melayani kalian. Aku ingin menyelesaikan ini secepatnya”
Terjadi perkelahian yang tidak seimbang. Kei yang seorang diri harus melawan 8 berandalan itu. Namun bukan Kei namanya kalau tidak bisa melawan mereka. Berbekal ilmu wushu yang sudah mahir dan terlatih dari Sato Orochi, gurunya, dengan mudah Kei dapat menaklukkan mereka semuanya. Ia mendekati salah seorang berandalan yang sepertinya menjadi ketuanya. Mencekik lehernya dan membantingnya ke depan mobilnya.
“sekarang beritahu aku, siapa yang menyuruh kalian?!”
Karena tetap saja bungkam, dengan tanpa ekspresi Kei mencekik semakin keras.
“dan aku juga tidak segan-segan untuk membunuh kalian!”
Orang yang dicekik Kei sudah sangat kepayahan. Dengan tergopoh-gopoh, sopirnya menghampirinya.
“s-sudah, tuan. Sepertinya ada mobil patroli polisi yang kemari. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini segera. Kalau tidak, urusan kita nanti jadi panjang, tuan”
Yamada Kei mendengar suara mobil patroli polisi yang semakin mendekat.
“ya, kau benar. Aku sedang tak ingin berurusan dengan mereka”
Kei kembali masuk ke mobilnya. Dan dengan tergesa-gesa, sang sopir menjalankan mobilnya. Kei memegang dahinya yang luka dan mengeluarkan darah lumayan banyak. Ia menyekanya dengan tisu yang ada di sampingnya. Ia hanya bisa meringis menahan nyeri.
“dahi tuan berdarah. Apa perlu kita mampir ke rumah sakit sebentar?”
“tidak perlu, kita langsung pulang sekarang”
Kemeja putihnya pun terkena noda darahnya.
Tak lama kemudian, mobilnya sudah mulai memasuki halaman rumah yang luas. Ia turun di lobinya dan masuk ke ruang tengah. Dilihatnya papanya masih duduk disana dan segera bangkit mendekati Kei begitu melihat kemeja Kei penuh dengan bercak darah.
“apa lagi yang sudah kau lakukan, Kei-chan?”
“ada beberapa orang yang menghadang mobilku. Aku tidak tahu siapa mereka. Sudahlah, pa. Aku ingin istirahat sekarang. Aku lelah sekali”
Dengan terhuyung-huyung, Kei naik ke kamarnya. Sebuah kamar tidur yang luas, rapi dan bersih sudah menyambutnya. Ia segera menghempaskan dirinya ke sofa yang berwarna putih bersih itu. Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya.
“ya, masuklah!”
Seorang pelayan membawa sebuah tempat berisi air hangat mendekati Kei.
“saya diperintah ayah tuan untuk membersihkan luka-luka tuan. Dan ini saya juga membuatkan minuman hangat untuk tuan”
“taruh saja di meja itu. Nanti bisa kubersihkan sendiri”
“baik. Permisi, tuan”
Pelayan itu berlalu dari depan Kei. Kei mengambil nampan itu dan membawanya ke dalam toilet. Di depan kaca toiletnya yang besar, ia membersihkan sendiri luka-lukanya. Setelah bersih, barulah luka-lukanya itu ia perban. Ia hanya membasuh mukanya dan mengganti bajunya lalu keluar dari toiletnya. Setelah minum teh hangat, ia pun beranjak tidur. Membaringkan tubuhnya yang sudah sangat lelah dan mengantuk. Tak terasa sudah hampir tengah malam.

Esok paginya, karena terlambat bangun ia pun jadi terlambat masuk sekolah. Pintu kelasnya sudah ditutup. Ia pun mengetuknya dan masuk.
“good morning, Mrs. Andersson”
“oh, rupanya kau, Yamada. Bisa kau jelaskan kepadaku mengapa pagi ini kau datang terlambat? Kenapa pula dahimu itu?”
“eh, itu… sewaktu akan berangkat tadi aku terjatuh. Terpaksa aku harus ke klinik terdekat. Itulah mengapa aku jadi terlambat”
“oke, alasan itu bisa aku terima. Duduklah di bangkumu”
“thank you, Mrs. Andersson”
Mrs. Andersson mengajar matematika. Banyak yang tidak menyukai pelajaran berhitung itu. Setiap kali Mrs. Andersson meminta salah seorang murid untuk mengerjakan soal-soal di depan kelas, tidak ada yang mengangkat tangannya kecuali Yamada Kei.
“mengapa yang bisa dan mengangkat tangan untuk mengerjakan soal-soal ini hanya Yamada saja? Muridku tidak hanya dia. Sekarang aku akan menunjuk saja siapa yang harus mengerjakan soal ini di depan kelas. Kau, Ms. Grey. Majulah. Kerjakan soal-soal ini”
“a-aku?”
“ya, namamu masih Emily Grey, kan?”
Dengan agak ragu-ragu Emily maju untuk mengerjakan soal matematika yang ia tidak bisa itu. Ia pun hanya memandangi soal itu tanpa mengerjakannya sama sekali.
“ada apa, Ms. Grey? Kau kusuruh untuk mengerjakan itu, bukan hanya untuk dilihat saja”
Kei mengangkat tangannya.
“ya, ada apa, Yamada?”
“biarkan aku saja yang mengerjakannya, Mrs. Andersson. Sepertinya Ms. Grey kesulitan mengerjakannya”
“baiklah, duduklah kembali, Ms. Grey. Kuharap kau lebih giat belajar matematika”
Sewaktu berpapasan…
“soal begitu saja kau tidak bisa mengerjakannya, Ms. Grey?”
“kau…”
Emily hanya bisa melotot tanpa bisa berbuat apa-apa.

Sewaktu di kantin…
“sialan benar kau, Yamada!”
“sabar, Emily”
“coba saja kalau kau yang diperlakukan seperti itu. Apakah kau masih saja bisa bersabar, ha?!”
“iy-ya, aku tahu”
“dia telah mempermalukanku! Aku tidak bisa memaafkannya!
Lalu datanglah Christy menghampiri meja Emily dan Anna.
“wah… wah… wah… kasihan sekali kau, Ms. Grey. Kalau aku jadi kau, pasti aku akan malu sekali. Dan aku pasti tidak akan berangkat ke sekolah selama seminggu. Mengerjakan soal begitu saja kau tidak bisa. Kelihatan sekali kalau kau kurang pandai”
“kalau kau bisa, mengapa kau tidak mengangkat tanganmu? Itu juga menjelaskan kalau kau juga tidak bisa, kan?”
“itu sebenarnya…”
“… ada apa ini?”
Tiba-tiba Yamada Kei hadir diantara mereka.
“aku hanya sekedar menyambangi temanku yang tidak pandai berhitung ini”
“apakah kau juga bisa mengerjakannya sampai-sampai kau mengatakan temanmu seperti itu?”
“t-tentu saja aku bisa”
“kalau begitu, aku tantang kau untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Mrs. Andresson tadi. Kutunggu kau di ruangan Mrs. Andersson sepulang sekolah”
“tapi…”
“aku tidak butuh janji. Aku hanya mau bukti”
Kei mendekatkan wajahnya ke wajah Emily sambil tersenyum.
“bukankah begitu, Ms. Grey?”
Kei berlalu dari hadapan para gadis-gadis itu. Anna dan Emily saling tatap lalu tertawa keras-keras.
“kuharap kau bisa mengalahkan Yamada, Christy. Hahaha…. Semoga sukses, ya….”
Anna dan Emily juga meninggalkan Christy dengan masih tertawa-tawa. Sedangkan Christy hanya bisa menahan amarahnya.
“kalau kulihat, sepertinya Yamada tadi membelamu”
“iya, sih. Tapi itu tidak mengubah pendirianku. Aku masih marah dengannya!”
“sampai kapan?”
“sampai dia meminta maaf kepadaku dengan sungguh-sungguh”
Anna hanya tertawa cekikikan.
“kenapa?”
“sepertinya kamu harus marah dengan Yamada selamanya. Karena, orang seperti Yamada tidak akan pernah meminta maaf kepadamu. Baru kenal beberapa hari saja kita sudah tahu sifatnya, kan?”
Emily hanya mendengus kesal sambil naik tangga menuju kelasnya.

Sepulang sekolah Yamada Kei mendatangi meja Christy.
“bagaimana, kau sudah siap?”
“tentu saja”
“tunggu sebentar,” Yamada Kei mendekati Emily dan Anna,”dan aku mau kalian menjadi saksinya. Apakah kalian bersedia?”
“tentu saja,” sahut Anna cepat.
Baru saja mereka akan keluar dari kelas, ponsel Kei berbunyi. Ia mengamati layarnya.
“ada apa, Ms. Andrews?”
“aku hanya mengingatkan saja, kalau siang ini ada pertemuan penting dengan relasi Mr. Yamada Yasuo yang kemarin itu. Semoga anda tidak lupa dan segera kemari secepatnya”
“tapi hari ini aku ada perlu sebentar. Apa tidak bisa diundur atau dijadwal ulang?”
“tidak bisa, karena setelah ini mereka sudah harus kembali ke Jepang lagi”
“baiklah, Ms. Andrews. Aku akan kesana secepatnya”
Yamada Kei mematikan sambungan ponselnya.
“hari ini kau beruntung, Christy. Aku tidak bisa menantangmu hari ini. Aku ada keperluan yang lebih penting. Tapi lain kali, aku pasti akan menantangmu”
Kei berlalu dari hadapan teman-temannya. Mobil jemputannya sudah siap di depan gerbang sekolah.

Suatu siang, Yamada Kei menghabiskan waktu istirahatnya di belakang sekolah. Dimana jarang sekali ada murid yang kesana. Terlihat ia sedang menelpon papanya
“ada apa, Kei-chan?”
“pa, berhentilah memanggilku dengan nama itu”
“kenapa? Sampai kapanpun, kau tetap anak kecil kesayanganku. Ada apa menelponku?”
“mungkin selama sebulan besok aku tidak bisa mengurus pekerjaanku, pa. Karena sebulan ini kami harus pulang sore terus. Persiapan untuk ujian akhir sekolah. Jadi kuharap bulan depan papa bisa kesini untuk kembali mengurus semuanya”
“kau bisa mendelegasikan pekerjaanmu kepada Jammie Malkovich. Dia orang kepercayaanku. Sekali-sekali saja aku kesana, kalau memang benar-benar dibutuhkan”
“Malkovich? Oiya, aku tahu dia. Kami pernah bertemu sekali pada waktu pertama kali aku masuk kantor”
“bagaimana perkembangan perusahaan?”
“sekarang sudah semakin maju, pa. Kadang aku memberikan diskon khusus untuk para buyers. Aku lebih memikirkan hubungan untuk jangka panjang daripada untung besar tapi hanya sekali. Aku juga kadang meminta masukan dari para dewan direksi. Mereka yang lebih berpengalaman daripada aku”
“aku bangga sekali kepadamu, Kei-chan. Tidak sia-sia aku memberimu ijin untuk belajar bekerja disana. Jadi sebelum kau bekerja sungguhan, kau sudah tahu seluk beluk dunia bisnis”
“…dan dunia bisnis itu sungguh kejam, pa”
“hahaha… kau baru tahu rupanya. Seperti kata Sato Orochi, gurumu itu. Kill or to be killed. Apakah kau paham, Kei-chan?”
“sangat paham sekali, pa. Sekarag aku harus masuk kelas dulu. Salam saja untuk semuanya. Bye”
Kei menyelipkan ponselnya ke saku celananya lagi. Ia langsung menoleh ke satu arah begitu ia mendengar seseorang berlari. Ia hanya melihat sekelebat perempuan berambut coklat gelap sebahu berlari menjauh. Ia berjalan ke tempat dimana perempuan tadi bersembunyi. Dan ia menemukan sebuah jepit rambut berhias bunga sakura di tanah. Ia mengambilnya dan hanya tersenyum kecil. Lalu mengantongi jepit rambut itu di saku kemeja putihnya.
Setelah sampai di dalam kelas, ia langsung mendekati meja Emily dan menyerahkan jepit rambut itu.
“kurasa yang punya jepit rambut seperti ini hanya kamu. Ini tadi kutemukan jatuh di halaman belakang sekolah”
Emily terkejut. Ia meraba rambutnya. Dan memang benar, jepitnya hanya tinggal 1.
“iya, benar. Trimakasih, Yamada” jawab Emily dengan gugup.
“tapi lain kali, jangan menguping pembicaraan orang lain lagi. Kau tahu, itu sangat tidak sopan”
Tanpa melihat ke Emily yang wajahnya memerah, Kei segera duduk di bangkunya.

Suatu sore sepulang sekolah, seperti biasa Yamada Kei dijemput sopirnya.
“kita ke kantor dulu. Ada yang harus kukerjakan”
“baik, tuan”
Emily hanya memandang kepergian mobil Yamada Kei. Tapi buru-buru ia segera masuk ke taksi yang sudah disewanya.
“ikuti mobil yang tadi”
Taksi pun membuntuti mobil Kei yang menuju arah pusat kota Manhattan.
“apa yang dia lakukan di Manhattan ini? Bukankah jalan menuju rumahnya sudah terlewati?”
Taksi pun berhenti di pinggir jalan ketika mobil Kei memasuki halaman sebuah gedung pencakar langit. Setelah membayar taksi, Emily pun keluar dan masih tetap mengintip Kei dari jalan. Ia melihat Kei keluar dari mobilnya dengan sudah memakai dasi, jas dan badge yang tergantung di lehernya. Semua orang yang dilewati Kei mengangguk hormat kepadanya. Kei pun sudah menghilang di balik pintu lift. Namun Emily masih bisa melihat Kei yang berada di dalam lift yang menuju lantai paling atas itu. Karena lift terletak di sisi samping pintu utama dan memakai kaca transparan. Namun, begitu Kei keluar dari lift, Emily sudah tidak bisa melihatnya lagi.
Emily hanya membaca papan besar yang ada di gedung itu: YAMADA GROUP.
“siapa sebenarnya dirimu, Kei?” gumam Emily.
Dengan perlahan, Emily berjalan menjauhi gedung dan mencari taksi untuk kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia segera menelpon Anna.
“Anna, sekarang kau harus ke rumahku!”
“ada apa, Emily?”
“aku akan menjelaskan semuanya nanti disini, cepatlah!”
Tak lama kemudian, Anna sudah sampai di kamar Emily.

Anna Carter


“ada apa, Emily? Kuharap berita yang ingin kau sampaikan kepadaku adalah berita yang heboh. Aku sudah mengorbankan waktuku untuk pergi dengan temanku samping rumah”
“sepertinya… aku hampir tahu siapa Yamada sebenarnya”
“darimana kamu tahu?”
“tadi sepulang sekolah aku membuntuti mobilnya”
“what?!”
“mobilnya menuju pusat kota Manhattan, masuk ke salah satu gedung bertingkat tinggi dan semua orang mengangguk hormat kepadanya! Dia pun mengenakan setela jas dan kartu pengenal seperti layaknya seorang boss yang memimpin sebuah perusahaan. Dan gedung itu bernama Yamada Group. Tertulis besar di depan gedung yang megah itu!”
“k-kau yakin?”
“mataku belum rabun, Anna!”
“sebaiknya kita cari tahu perusahaan itu di internet!” ucap Anna cepat.
Tanpa menunggu persetujuan Emily, Anna menghidupkan computer Emily yang ada di sudut kamar dan mengetikkan nama perusahaan yang dimaksud Emily. Loading… Emily buru-buru mengambil kursi lagi dan duduk di samping Anna. Perasaannya berkecamuk.
Di layar computer Emily terpampang profil perusahaan yang dimaksud. Sebuah perusahaan besar dan sukses. Mempunyai cabang di setiap benua dan berkantor pusat di Manhattan. Mulut Anna dan Emily ternganga lebar, mereka hanya bisa saling berpandangan.
Ada beberapa foto para petinggi perusahaan tersebut. Yamada Yasuo dan Yamada Kei berdiri diantara mereka.
“apa maksud ini semua, Anna?” ucap Emily sambil terus menatap layar tanpa berkedip.
“bacalah, Emily. Ternyata Yamada Kei adalah pewaris tunggal perusahaan ini. Semua aset Yamada akan jatuh ke tangan Kei! Dia seorang anak yang kaya raya! Tunggu sebentar, apakah kau pernah melihat ayah teman Jepangmu itu?”
Emily segera memperhatikan dengan seksama wajah Yamada Yasuo.
“aku pernah melihatnya sekali. Tapi itu sudah lama sekali, Anna. Aku tidak bisa mengingatnya. Dan sayangnya, aku tidak tahu namanya juga”
“hhh… sekarang apa tindakanmu?”
“aku tidak akan melakukan apapun. Aku sudah cukup puas dengan informasi ini”
“sebaiknya kita tidak perlu menyebarkan berita ini, Emily”
“ya, kau benar. Ini menjadi rahasia kita berdua. Janji?”
“janji”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar