“rupanya
kalian. Ada apa kesini lagi?”
“seperti
biasa. Kami mencari suamimu, Kimura Takeo. Kau jangan coba-coba menyembunyikan
dia lagi”
“untuk
apa aku menyembunyikan dia? Kami bukan penakut. Sudah kubilang suamiku sedang
pergi berdagang ke kota. Dan aku tidak tahu kapan pulangnya”
“Soijiro,
ajak anak buahmu untuk menggeledah rumahnya! Aku tak mau dia menipuku!”
“baik,
tuan”
“hei,
ada hak apa kalian menggeledah rumahku. Kalian masuk sejengkal saja, pedangku
ini yang akan bicara!”
Perempuan
muda yang bernama Kimura Emi mengambil katana-nya yang ada di sampingnya, yang
selalu terletak di dinding ruangan.
“owh…
berani juga dirimu, Kimura Emi. Kau sungguh jauh berbeda dengan Emi yang dulu
kukenal. Apakah suamimu yag mengajarkanmu bertarung?”
“kau
tidak perlu tahu. Yang jelas selama suamiku pergi, maka akulah yang akan
mempertahankan harta benda kami. Majulah kau, hadapi aku kalau kau berani.
Jangan anak buahmu yang kau suruh!”
“kau
menantangku? Baiklah, majulah kalau kau berani!”
Terjadilah
perkelahian yang tidak seimbang antara Kimura Emi dan Yamada Yasuo. Ya, mereka
dulunya adalah sepasang kekasih. Namun karena tabiat Yamada yang kurang baik,
yang selalu mengandalkan kekuasaannya, Emi memilih mengundurkan diri dan
akhirnya menikah dengan Kimura Takeo, seorang pemuda yang pandai berdagang dan
baik perangainya.
Katana
Kimura Emi berhasil melukai lengan Yamada dan itu membuat Yamada berang.
“rupanya
kau tidak main-main, ya?”
“aku
tidak pernah bermain-main denganmu, Yamada”
Mereka
kembali bertarung. Kimura semakin terdesak. Anaknya yang tadinya tertidur
dengan pulasnya mendadak terbangun dan menangis.
“aku
tidak segan-segan untuk membunuhmu, Kimura Emi”
“…
dan aku akan mati dengan bangga karena mati membela keluargaku!”
Yamada
Yasuo semakin berang dan menyerang Kimura Emi dengan ganasnya. Karena kemampuan
Kimura Emi jauh dibawah Yamada Yasuo, maka dengan mudahnya ia merobohkan Kimura
Emi dengan berhasil menusuk perut Kimura Emi.
“Soijiro,
bawa anak itu! Kita tinggalkan tempat ini!”
“baik,
tuan”
Yamada
Yasuo dan Soijiro segera meninggalkan tempat itu meninggalkan Kimura Emi yang
tergeletak diam tak bergerak sambil membawa anaknya yang menangis dengan
kerasnya.
Malamnya,
seorang pria memasuki sebuah rumah. Ia terkejut, karena tidak biasanya rumahnya
gelap tanpa penerangan. Dengan meraba-raba, ia menyalakan penerangan rumah. Ia
terkejut begitu melihat rumahnya sangat berantakan, apalagi setelah melihat
Kimura Emi yang diam tak bergerak tak jauh darinya.
“Emi!
Emi, apa yang terjadi padamu?! Jawab aku!”
Emi
telah tewas!
Di
sebuah TK yang ada di kota Tokyo, nampak ramai sekali. Semua anak-anak kecil
itu berhamburan keluar mencari penjemputnya masing-masing.
“Kei-kun!”
Seorang
anak laki-laki yang merasa dirinya dipanggil pun menoleh. Ia tersenyum dan
segera memasuki mobil yang menjemputnya.
“hari
ini kita mau kemana lagi, Oji-san?”
“mmm…
sepertinya hari ini kita harus segera langsung pulang”
“kenapa?”
“entahlah,
sepertinya ayahmu mau mengajakmu pergi. Tadi hanya berpesan agar setelah aku menjemputmu,
kita tidak boleh pergi kemana-mana lagi sampai sore seperti kemarin. Hei,
jangan cemberut seperti itu. Bukankah kita masih bisa keluar bersama esok hari”
Anak
lelaki yang dipanggil Kei-kun itu masih saja menunjukkan muka tidak senang.
“seharusnya
kau senang karena ayahmu pulang dan mengajakmu pergi. Apakah kau tidak rindu
dengan ayahmu setelah sekian lama tidak bertemu?”
“aku
tidak suka dengan ayahku!”
“kenapa?
Kau bisa bercerita kepadaku. Bukankah kita berteman?”
“aku
sebenarnya tidak suka ayah pergi kerja jauh-jauh seperti itu dan jarang pulang.
Setiap ada kegiatan di sekolah, ayah tidak pernah bisa datang. Andai aku masih
punya ibu”
“kau
tidak boleh berkata seperti itu. Ayahmu pergi kan untuk bekerja mencari uang,
untuk menunjang kehidupanmu”
“kenapa
harus seperti itu? Bukankah kakek sudah kaya raya? Untuk apa lagi ayah sibuk
bekerja mencari uang? Aku juga tahu, ayah pergi bukan untuk bekerja. Iya, kan?
Aku tahu kalau kau juga mengetahui akan hal itu”
Oji-san
atau Yamada Ryuu hanya menatap Kei-kun. Ia segera menjalankan mobilnya begitu
lampu lalulintas sudah menyala hijau.
“hei,
Oji-san. Mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku?”
“aku
tidak perlu menjawabnya”
Raut
muka Yamada Ryuu berubah dingin. Tetap menatap lurus ke depan tanpa menoleh ke
Kei-kun lagi.
Sesampainya
di rumah yang berhalaman besar, Kei-kun segera berlari masuk tanpa menunggu
Oji-san lagi. Namun begitu sampai di ruang tamu, langkah kecilnya terhenti.
“hai,
Kei-chan. Rupanya kau sudah pulang”
Kei
kecil hanya menatap ayahnya sekilas lalu berlari keatas ke kamarnya.
“Yamada
Kei! Ayah sedang berbicara denganmu!”
Kei
berhenti di tengah tangga lalu turun menuju ayahnya dengan wajah menunduk.
“iya,
ayah”
“ada
apa, Kei? Kau tidak suka bertemu dengan ayah? Kau tidak rindu dengan ayah?”
Kei
masih tetap menunduk lalu memeluk ayahnya sambil menangis.
“aku
sayang ayah. Aku merindukan ayah. Tapi aku juga benci ayah karena tidak pernah
ada disini. Bisakah ayah tinggal disini saja? Mengapa harus bekerja di tempat
yang jauh? Kei juga ingin diantar jemput ayah seperti teman-teman yang lain”
Ayah
Kei jongkok dan menghapus air mata Kei.
“suatu
saat nanti kau akan mengerti. Dan suatu saat nanti, kalau waktunya sudah tiba,
kau pasti akan kubawa serta. Untuk sementara ini, kau disini dulu dengan Oji-san.
Dia yang akan selalu menjagamu dengan baik. Ayah harap kau mengerti”
Kei
kecil mengangguk.
“sekarang,
maukah kau makan siang bersama ayah?”
“iya”
Mereka
berdua segera menuju ruang makan. Banyak hidangan sudah tersaji di meja makan
itu. Semua makanan kesukaan Kei. Kei nampak sangat gembira sekali.
“waaahh…
ini semua buatku, yah?”
“boleh”
“trimakasih,
ayah”
Mereka
berdua segera makan siang dengan lahapnya. Tak berapa lama kemudian, Yamada
Ryuu juga ikut bergabung.
“bagaimana
perkembangan Kei-chan, Ryuu? Bagaimana sekolahnya?”
“dia
selalu jadi murid terbaik. Bukankah begitu, Kei-kun?”
“tentu
saja, ayah. Tidak ada yang bisa menandingi aku. Bahkan Emily bisa aku kalahkan”
“siapa
Emily?”
“dia
teman sekelas Kei-kun. Namanya Emily Grey, ayahnya orang Amerika. Dan sepertinya
Kei-kun menyukainya”
“benarkah
itu, Kei-chan?”
“itu
tidak benar, ayah. Emily selalu mengganggu aku. Bagaimana aku bisa
menyukainya?”
“berarti
itu pertanda dia yang menyukaimu, Kei-chan. Hahaha…”
“ah,
ayah. Yang penting aku sudah bisa mengalahkan Emily”
“itu
yang terpenting. Kau harus jadi orang pandai dan pintar. Karena kau yang akan
kupersiapkan untuk memimpin perusahaan Yamada. Kau suka?”
“iya,
ayah”
“berapa
lama kau disini?” Yamada Ryuu bertanya.
“mungkin
hanya 3 hari. Aku harus kembali ke Amerika lagi karena ada pertemuan penting.
Untuk datang kesini saja aku mencuri-curi waktu senggangku. Aku tak mau
melewatkan tumbuh kembang anak ini. Kau terus kabari aku. Karena dia yang akan
kupersiapkan untuk mewarisi semua asetku. Kemanapun dia pergi, kau harus selalu
ada disampingnya. Kau tahu maksudku, kan?”
“ya,
tentu saja”
Suatu
pagi disekolah…
Yamada
Kei sedang duduk di bangkunya. Kebetulan waktu itu belum ada guru yang memasuki
kelasnya. Lalu datanglah Emily yang langsung duduk di sampingnya.
“hai,
Yamada”
Yamada
Kei hanya menoleh sekilas dan tenggelam lagi dengan keasikannya membaca buku.
Emily segera merebut buku yang baru saja dibacanya itu.
“mengapa
kau terus-menerus menggangguku? Tidak bisakah kau menjauhi aku?”
“itulah
mengapa, sebenarnya aku ingin meminta maaf kepadamu. Selama ini aku selalu saja
mengganggumu, membuatmu tidak nyaman”
“mengapa
tiba-tiba sekali kau berkata seperti itu?”
“minggu
depan aku sudah tidak sekolah disini lagi. Aku akan pindah ke Amerika dengan
kedua orang tuaku. Aku akan sekolah disana. Kau pasti sangat senang mendengar
berita ini. Karena kau tidak ada yang mengganggu lagi. Maafkan aku, Yamada.
Maukah kau menjadi temanku?”
Yamada
Kei hanya menatap Emily seolah tak percaya. Akhirnya ia meyambut uluran tangan
Emily sambil tersenyum.
“benarkah
yang kau katakan itu?”
“tentu
saja. Kau boleh main ke rumahku sepulang sekolah nanti. Suatu saat kalau kau ke
Amerika, kita bisa bertemu kembali. Iya, kan? Bukankah ayahmu juga bekerja
disana?”
“tentu,
aku juga ingin suatu saat nanti bisa kesana”
Suatu
sore yang cerah, dimana bunga sakura sedang bermekaran, dengan diantar Yamada
Ryuu, Yamada Kei pergi ke rumah Emily Grey. Namun ia hanya berdiri di depan
rumah Emily. Emily saat itu sudah duduk di mobilnya yang akan membawanya pergi
ke bandara. Mobil bergerak perlahan dan berhenti tepat di depan Yamada Kei.
Emily menurunkan kaca jendelanya dan melongok keluar.
“Yamada,
aku pergi dulu. Semoga suatu saat kita bisa bertemu kembali”
“tentu
saja, kita pasti akan bertemu kembali. Ini, aku ada hadiah untuk kamu”
“apa
isinya?”
“bisa
kau buka nanti. Bye, Emily”
“bye,
Yamada”
Mobil
perlahan meninggalkan tempat itu. Emily membuka kado dari Yamada Kei. Sebuah
senyum tersungging di mulut kecilnya ketika mengetahui isinya adalah sepasang
jepit rambut yang dihiasi bunga sakura berwarna putih dan ada tulisan yang
berbunyi: semoga kau menyukainya, Emily. Yamada Kei.
Emily
memasukkan sepasang jepit rambut itu kembali ke kotaknya dan memasukkan kotak
itu ke tas kecilnya. Ia lalu mendekap tasnya dengan erat sambil tersenyum.
“apa
isinya, Emily? Sepertinya kau senang sekali”
“ini
rahasia, mama”
Mobil
melaju semakin kencang menuju bandara.
Yamada
Kei masih diam terpaku di tempatnya. Suara Yamada Ryuu mengagetkan lamunannya.
“sampai
kapan kau akan berdiri disini, Kei-kun?”
“kita
pulang sekarang, Oji-san”
Tanpa
menunggu Yamada Ryuu, Yamada Kei langsung masuk ke mobil dan duduk diam disana.
Yamada Ryuu segera duduk disampingnya dan menjalankan mobilnya meninggalkan
tempat itu.
“kamu
sedih?”
“iya,
sekolahku sekarang sepertinya akan sepi sekali”
“suatu
saat kalian pasti bisa bertemu lagi. Ayolah, jangan bersedih begitu. Bagaimana
kalau kita menuju ke suatu tempat. Kau pasti akan menyukainya”
“kemana?”
Yamada
Ryuu hanya tersenyum dan mengarahkan mobilnya ke arah pinggiran kota. Tak
berapa lama kemudian, ia memarkir mobilnya di depan sebuah rumah yang asri dan
berhalaman besar bergaya khas Jepang.
“ini
rumah siapa, Oji-san?”
“ayo,
kita turun dulu. Nanti kau akan kuperkenalkan dengan yang punya rumah”
Setelah
turun dari mobil, mereka langsung menuju belakang rumah. Ternyata di belakang
rumah ada sebuah bangunan besar mirip aula. Nampak beberapa orang belajar wushu
disitu dengan menggunakan tongkat. Mereka mengikuti instruksi seorang laki-laki
yang sudah agak berumur. Sepertinya seorang guru. Yamada Ryuu mengajak Yamada
Kei duduk di kursi di tepi arena melihat latihan beberapa orang itu. Setelah
itu, pelatih itupun menghampiri mereka dan duduk di samping Yamada Ryuu.
“tumben
kamu kemari, Yamada. Ada apa?”
“tidak
ada apa-apa. Aku hanya mengajak anak kecil yang sedang suntuk ini kemari. Siapa
tahu dia berminat dengan wushu. Aku tidak mau dia menjadi anak yang lemah dan
cengeng,” kata Yamada Ryuu sambil melirik Yamada Kei.
“aku
tidak lemah! Aku juga tidak cengeng, Oji-san!”
“owh,
ya. Tentu saja, Kei-kun”
“apakah
dia anak Yamada Yasuo?”
“tentu
saja. Aku yang selama ini menjaganya”
“hai,
namaku Sato Orochi. Dan siapa namamu?”
“namaku
Yamada Kei”
“Kei?
Kuharap kau juga bersifat seperti namamu. Kau bisa menjadi orang yang bijaksana
dan beruntung”
“itu
juga yang selalu dikatakan ayahku”
“jadi…
apakah kau berminat untuk belajar ilmu beladiri disini? Aku yang akan
mengajarimu sampai kau menjadi orang yang kuat, ditakuti oleh semua
musuh-musuhmu”
Yamada
Kei menatap Yamada Ryuu.
“sebenarnya
aku mau sekali. Tapi, apakah ayah akan mengijinkanku?”
“itu
nanti urusanku. Aku yang akan bicara dengan ayahmu. Bagaimana, kau mau?”
“iya,
aku mau sekali, Oji-san!” sahut Yamada Kei dengan bersemangat.
Kini,
hampir setiap hari Yamada Kei selalu mengajak Yamada Ryuu ke rumah Sato Orochi
sepulang sekolah untuk belajar ilmu beladiri, khususnya wushu. Dia nampak
sangat menyukai kegiatan barunya itu. Seperti halnya sore itu. Sato Orochi dan
Yamada Ryuu sedang mengawasi Yamada Kei yang sedang serius berlatih dengan yang
lainnya.
“bagaimana
perkembangan Kei-kun?”
“anak
itu cepat sekali belajar. Aku tidak perlu mengulang beberapa kali agar dia
mengerti. Sepertinya dia berbakat sekali di bidang ini”
“aku
juga sudah bicara dengan ayahnya. Dan Yasuo sepertinya menyukainya. Dia malah
berharap agar Kei-kun menjadi orang yang tangguh. Karena kau juga sudah tahu,
kalau semua aset Yamada Yasuo akan jatuh ke tangan anak itu. Jadi, aku juga
tidak mau dia menjadi anak yang lemah”
“serahkan
saja semua itu kepadaku. Akan kubuat dia menjadi lelaki tangguh yang akan
ditakuti oleh siapa saja. Kalian tidak perlu khawatir. Kau sendiri tidak ikut
berlatih? Sudah lama sekali kau tidak berlatih disini lagi. Aku tidak mau kau
lupa tentang ilmu yang sudah kuajarkan kepadamu”
“kau
bisa mencobaku sekarang”
Sato
Orochi dan Yamada Ryuu berhadapan di gelanggang besar samping aula. Mereka
sudah saling berhadapan dengan masing-masing membawa tongkat. Akhirnya mereka
pun saling serang dengan serunya di gelanggang itu. Murid-murid Sato pun
menghentikan latihan mereka dan berdiri di pinggir arena melihat pertempuran
itu. Mereka bersorak-sorai.
“kamu
bisa, Oji-san!”
![]() |
Yamada Ryuu |
Murid-murid
Sato memberikan semangat kepada guru mereka. Cukup lama juga mereka berlatih
dan tidak ada kelelahan sedikitpun di wajah Yamada Ryuu. Sato menghentikan
serangannya.
“bagaimana?
Mau kita lanjutkan lagi atau berhenti saja sampai disini? Kulihat kau sudah
kelelahan”
“rupanya
kau tidak melupakan ajaran-ajaran yang kusampaikan kepadamu. Dan kau masih
tangguh seperti dulu, tidak berubah”
“walaupun
aku jarang kemari, tapi aku tetap berlatih di rumah. Kau tidak perlu khawatir,
aku tidak akan lupa”
Setelah
hari menjelang malam, Ryuu dan Kei pamit pulang. Di perjalanan…
“aku
sunguh tidak tahu kalau kau ternyata jago wushu, Oji-san”
Yamada
Ryuu hanya tersenyum santai,”semua keluarga Yamada harus bisa ilmu beladiri,
Kei-kun”
“mengapa?”
“yah…
hanya untuk berjaga-jaga saja. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke
depannya, kan?”
“ok,
suatu saat nanti aku pasti bisa mengalahkanmu, Oji-san”
“aku
tidak sabar untuk menunggu saat itu tiba”
Sesampainya
di rumah…
“masuk,
bersihkan badanmu dan segera istirahat. Aku mau pergi sebentar”
“kau
mau pergi kemana?”
“aku
sudah ada janji dengan seseorang”
“baiklah,
tapi jangan lama-lama Oji-san. Aku takut di rumah sendirian”
“tentu
saja, bye!”
Ryuu
mengarahkan mobilnya ke pinggiran kota Tokyo. Setelah memarkir mobilnya, ia
memasuki sebuah kafe yang tidak terlalu ramai. Ia lalu duduk di meja yang ada
di sudut ruangan. Rupanya yang dinanti belum juga tiba. Ia melihat jam
tangannya, masih kurang 10 menit lagi dari waktu yang sudah disepakati. Seorang
perempuan berambut sebahu mendekatinya.
“hai,
maaf aku terlambat”
Ryuu
berdiri,”oh, kau. Duduklah, maaf aku yang terlalu cepat datang”
Mereka
lalu duduk berhadapan. Mereka memesan 2 cangkir kopi.
“kau
tidak memesan makanan?”
“tidak,
trimakasih”
“bagaimana
kabarmu? Sudah lama kita tidak bertemu”
“baik,
juga bagaimana kabarmu?”
“masih
seperti yang dulu. Tugasku masih terus menjaga Kei-kun”
“ah…
iya, bagaimana kabarnya? Tentu sudah besar dia sekarang”
“ya,
sekarang dia sudah mulai menyukai wushu. Kubawa dia ke rumah Sato-san, dan dia
menyukainya”
“bisa
saja suatu saat nanti kau akan dilampauinya”
“mungkin
saja, perkembangannya pesat sekali”
Kopi
pesanan mereka sudah datang. Ryuu hanya diam menatap Eiko.
“kau
masih seperti yang dulu”
“aku
tidak pernah berubah, Ryuu. Kau yang berubah banyak. Tapi aku senang kau bisa
berubah ke arah yang lebih baik”
“ini
semua karena kau. Aku berubah demi kamu”
“tidak,
aku tidak mau kau berubah demi aku. Tapi berubahlah demi kebaikan dirimu
sendiri”
“aku
selalu menunggu kapan kamu akan datang ke Tokyo”
“sekarang
aku sudah disini”
“…
dan setelah itu kau akan pergi lagi”
“tentu
saja. Kebetulan aku ditugaskan kesini jadi kita bisa bertemu. Dan besok aku
sudah harus pergi lagi. Kudengar kau malah akan meninggalkan Jepang mengikuti
kakakmu. Apakah aku benar?”
“belum,
tidak dalam waktu dekat ini. Masih banyak yang harus kuurusi disini. Terutama
menjaga Kei-kun dan… menikah denganmu tentu saja”
“menikah?
Oh, tidak, tidak, Ryuu… aku belum siap utuk menikah denganmu. Bukan itu
tujuanku kesini. Aku juga masih banyak hal yang harus kuselesaikan. Maafkan
aku, maksudku… tidak dalam waktu dekat ini”
“tidak
apa-apa. Aku tidak akan memaksamu”
Eiko
menatap wajah Ryuu.
“ada
apa, Ryuu? Sepertinya kau letih sekali, wajahmu kusut begitu”
“ah…
tidak ada apa-apa. Hanya saja tadi mengantar Kei-kun berlatih, disana aku juga
berlatih dan langsung kesini. Aku tidak sempat membersihkan badanku dan… maaf”
Eiko
hanya tersenyum.
“aku
mencintaimu, Eiko”
Tiba-tiba
ponsel Eiko berdering.
“maaf,
permisi sebentar”
Eiko
terlibat pembicaraan yang cukup serius dan setelah itu…
“Ryuu,
maafkan aku. Aku harus segera kembali ke hotelku. Ada pekerjaan penting yang
harus aku selesaikan malam ini juga sebelum aku besok pagi-pagi sekali
meninggalkan Tokyo”
“begitukah?”
“aku
menyesal sekali. Sudah lama kita tidak bertemu tapi…”
“…
tidak apa-apa. Aku akan mengantarmu”
“sebaiknya
kau langsung pulang saja. Kasihan Kei-kun kalau terlalu lama ditinggal
sendirian”
“tidak
apa-apa, ayolah”
“baiklah,
trimakasih”
Yamada
Ryuu hanya mengantar sampai di lobi hotel.
“semoga
kita bisa bertemu dalam waktu dekat lagi, Eiko”
“ya,
aku pasti akan merindukanmu juga, Ryuu. Bye!”
Setelah
Eiko menghilang di balik pintu lift, barulah Ryuu balik badan meninggalkan
hotel itu. Sesampainya di rumah, ia melihat lampu-lampu belum dinyalakan. Ia
segera ke atas menuju kamar Kei.
“Kei-kun!
Kei-kun!”
Dikamarnya,
nampak Kei-kun meringkuk di sudut tempat tidurnya yang besar.
“hei,
ada apa ini? Mengapa semua lampu tidak kamu hidupkan?”
Kei
langsung memeluk Ryuu dan menangis.
“aku
takut sendirian, Oji-san”
“bukankah
kau sudah belajar wushu? Kalau ada orang jahat, tinggal kau praktekkan ilmumu
itu. Masa’ pendekar penakut dan cengeng seperti ini? Sudahlah, tidurlah yang
nyenyak. Besok kau harus bangun pagi untuk ke sekolah. Aku ada di bawah kalau
kau memerlukanku, ok?”
Setelah
menyelimuti Kei, Ryuu segera ke lantai bawah. Ia berbaring di sofa tanpa bisa
memejamkan matanya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia segera bangkit dan
mengamati layarnya, dari papanya.
“iya,
pa”
“kuharap
kamu besok datang ke rumah. Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu”
“penting?
Tentang apa, pa?”
“kau
besok akan mengetahuinya segera. Kita ada pertemuan dengan keluarga Ito. Kuharap sebelum makan siang kau sudah
sampai disini”
“baiklah,
mungkin setelah menjemput Kei-kun aku akan segera kesana”
“ya,
bawalah Kei-kun. Sudah lama juga aku tidak bertemu dengan anak itu”
“baik,
pa”
Setelah
menjemput Kei, Ryuu segera menuju rumah papanya.
“kita
mau kemana, Oji-san? Bukankah hari ini kita harus berlatih lagi?”
“tidak
untuk hari ini. Kita akan ke rumah kakek. Semalam kakek menelponku kalau kita
harus kesana sepulang kau sekolah”
“pasti
ada hal yang penting kalau kakek sudah bicara seperti itu”
“ya,
aku juga belum tahu hal penting apa yang ingin dibicarakannya”
Tak
lama kemudian, mereka sudah sampai di rumah keluarga besar Yamada. Nampak sebuah
mobil terparkir di halaman depan. Kei hanya mengamatinya.
“ayo,
Kei-kun!”
“iya,
Oji-san”
Kei
berjalan agak cepat di belakang Ryuu. Sesampainya di ruang tengah, ternyata
keluarga Ito sudah berada disana.
“oh…
rupanya yang kita nanti-nantikan sudah datang”
Ryuu
memberikan hormat kepada semuanya lalu duduk di salah satu kursi yang masih
kosong bersama Kei.
“aku
menyukai anakmu, Kazuhiko. Dia seperti ibunya dulu, sangat sopan sekali”
“tentu
saja. Ryuu anak kebanggaanku. Benar ‘kan, Ryuu?”
Hanya
senyum kecil yang tersungging di bibir Ryuu.
“oya,
apakah kau sudah mengenal Akemi? Putri dari sahabatku ini?”
“ya,
kami pernah bertemu sekali”
“…
dan Ryuu sepertinya tidak menyukaiku, waktu itu”
“mungkin
karena dia belum mengenalmu saja, Akemi. Karena kalau sudah mengenalmu, putraku
ini pasti bisa jatuh cinta kepadamu”
“maksud
papa?”
“rupanya
aku harus berterus terang sekarang kepadamu, Ryuu. Sebenarnya, aku ingin
menjodohkanmu dengan Akemi, putri dari sahabatku ini. Kami ingin persahabatan
kami ini bisa sampai kepada hubungan kekeluargaan. Akemi sudah setuju untuk
menikah denganmu. Dan sepertinya aku tidak perlu bertanya kepadamu apakah kau
mau atau tidak. Karena begitu Akemi setuju dengan perjodohan ini, kami sudah
menyiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan kalian yang akan dilangsungkan 6
bulan lagi”
“what??”
“kenapa?
Aku melakukan hal ini karena aku yakin kau pasti akan menerimanya. Kau tidak
pernah berbuat hal yang akan mengecewakanku, Ryuu. Bukankah begitu?”
“ehm…
i-iya, pa. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah mengecewakanmu”
“that’s
my boy!”
“dengan
begitu aku akan lebih tenang dalam mengembangkan usahaku. Karena nantinya akan
jatuh ke tangan Akemi dan Ryuu. Kuharap kau bisa meneruskan bisnisku, Ryuu. Aku
sangat mengandalkanmu”
“tentu
saja anakku ini bisa diandalkan. Ayo, kita makan siang dulu. Kita rayakan hari
penting ini. Sebentar lagi kita akan menjadi satu keluarga”
Semua
nampak gembira sekali kecuali Ryuu yang agak sedikit murung karena dia berusaha
menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Ia duduk di dekat Akemi. Wajah Akemi
berseri-seri, karena memang sedari dulu Akemi menyukai Ryuu semenjak perkenalan
mereka dahulu. Sedangkan Ryuu lebih banyak diam.
Setelah
selesai makan, Yamada dan Ito duduk-duduk berdua di ruang tengah. Sedangkan
Ryuu dan Akemi hanya saling diam di teras samping rumah.
“apakah
kau tidak menyukai perjodohan kita ini, Ryuu? Eh, maaf… Yamada”
“tidak
mengapa kau memanggilku seperti itu”
“baiklah…
Ryuu. Sepertinya kau tidak menyukai perjodohan kita ini. Apakah benar seperti
itu?”
“aku
tidak punya pilihan lain, kan?”
“ya,
aku sudah tahu jawabanmu sekarang. Sebenarnya kalau aku menolak ini semua, maka
perjodohan ini bisa saja langsung gagal. Tapi, aku menyukaimu, Ryuu. Semenjak
perjumpaan pertama kita dulu. Aku tak bisa melupakanmu semenjak hari itu.
Apakah… kau sudah mempunyai kekasih?”
“aku
tidak perlu menjawabnya. Aku tidak suka bercerita tentang diriku kepada orang
yang belum aku kenal, maaf”
“ya,
kita memang belum akrab. Tapi lama-lama kita bisa saling kenal dan akrab
seiring berjalannya waktu. Kuharap sebelum pernikahan kita dilangsungkan, kau
sudah mulai bisa menyukaiku. Karena suka atau tidak suka, kau akan menjadi
suamiku. Dan waktumu hanya 6 bulan saja. Kau paham, Ryuu?”
Akemi
tersenyum kepada Ryuu lalu masuk ke rumah. Ryuu mengikutinya dari belakang.
“ini
dia calon pengantin kita, Ryuu dan Akemi. Bagaimana, kalian sudah saling
kenal?”
“iya,
kami sudah saling akrab. Bukankah begitu, Ryuu?”
“ya,
papa tidak perlu khawatir”
“kami
sudah merancang semuanya. Dari pernikahan kalian sampai dimana kalian akan
berbulan madu”
“benarkah?
Dimana, pa?”
“kalian
akan mengetahuinya segera setelah kalian selesai melangsungkan acara
pernikahan. Hhh… tidak pernah aku merasa sebahagia ini. Kuharap kau bisa
membahagiakan putriku, Ryuu. Dia putriku satu-satunya”
“papa
tidak perlu khawatir. Ryuu pasti akan selalu menyayangiku. Benar ‘kan, Ryuu?”
“ehm…
tentu saja”
Ryuu
nampak begitu canggung ketika Akemi bergelayut manja di lengannya.
“agar
kalian makin akrab, ajaklah Akemi keluar. Kau bisa membawanya keliling Tokyo.
Karena besok dia sudah harus pulang”
“baiklah,
pa. Kei-kun!”
“tidak,
tidak. Kei-kun disini saja bersamaku”
“tapi,
pa…”
“pergilah
berdua saja”
Dengan
agak kecewa Ryuu pun segera menuju mobilnya dan Akemi duduk disebelahnya.
“kemana
kau ingin pergi, Akemi?”
“aku
tidak begitu tahu tentang Tokyo. Jadi, aku ikut kemanapun kau pergi”
Ryuu
segera menjalankan mobilnya dengan perlahan. Hanya ada diam diantara mereka.
Ryuu lalu mengajak Akemi untuk duduk di salah satu bangku di kedai kopi yang
ada di pinggir jalan.
“sedari
tadi kau hanya diam saja. Kalau kau tidak suka, kita bisa pulang saja sekarang”
“tidak,
aku tidak apa-apa. Aku hanya sedang tak ingin bicara banyak, maaf”
Akemi
merangkul Ryuu, sedangkan Ryuu malah asik menikmati kopinya selagi masih panas.
“aku
sudah tidak sabar menunggu hari pernikahan kita. Kau pasti tidak akan menyesal
dengan pertunangan kita ini, aku jamin”
Akemi
mencium Ryuu. Tapi dengan sopan Ryuu menolaknya.
“maaf,
Akemi. Kita ada di tempat umum dan kau belum menjadi istriku”
“dan
aku tidak peduli. Kau calon suamiku”
Tiba-tiba
di depan mereka sudah berdiri seorang gadis cantik yang sudah sangat dikenal
Ryuu.
“Eiko?”
“kau
mengenalnya, Ryuu? Siapa dia? Apakah dia temanmu?”
“e-dia…
dia…”
“kau
bisa memanggilku Eiko, teman lama Ryuu. Kau sendiri?” ucap Eiko sembari
mengulurkan tangannya kepada Akemi tanpa menoleh ataupun menunggu Ryuu untuk
mengenalkan mereka berdua.
Akemi
pun menyambut uluran tangan Eiko,”dan kau bisa memanggilku Akemi, tunangan
Ryuu”
“oya?
Rupanya aku sudah ketinggalan berita. Selamat untuk kalian berdua, ya. Kapan
kalian menikah?”
“rencananya
6 bulan lagi. Kalau kau ada waktu, kau bisa datang. Bukan begitu, Ryuu?”
“aku
usahakan untuk datang. Kabari aku saja, Ryuu tahu nomor telponku. Aku pergi
dulu. Aku tak mau ketinggalan pesawatku seperti pagi tadi”
“oh,
tentu saja, Eiko”
“bye,
Ryuu…”
Tanpa
menunggu jawaban dari Ryuu, Eiko langsung pergi dari hadapan Akemi dan Ryuu.
Ryuu hanya bisa menatap kepergian Eiko tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka
kembali duduk.
“temanmu
cantik sekali. Apakah teman sekolahmu dulu?”
“kita
pulang sekarang”
“tapi,
bukankah kita baru saja…”
Tanpa
menunggu Akemi yang masih bingung, Ryuu bergegas masuk ke mobilnya. Akemi
langsung duduk di sebelah Ryuu. Dengan agak ngebut, mobil Ryuu melesat menuju
rumah papanya.
“kau
sudah pulang, Akemi?”
“iya,
sepertinya Ryuu sedang tidak enak badan jadi kami pulang lebih cepat,” jawab
Akemi sembari melirik Ryuu yang semenjak tadi hanya diam saja.
“Kei-kun,
kita pulang sekarang. Bukankah kau harus latihan lagi”
“tentu
saja, Oji-san!”
“Ryuu…”
“…
maaf, pa. Aku tidak mau Kei tertinggal dari teman-temannya yang lain. Permisi”
Ryuu
segera meninggalkan rumah itu dengan Kei menuju tempat berlatih mereka. Sudah
ramai sekali tempat Sato.
“tidak
biasanya kalian telat”
“aku
ingin bertarung denganmu,” kata Ryuu tiba-tiba begitu datang kepada Sato. Dan
tanpa menunggu jawaban dari Sato, dia segera menuju arena dan sudah siap dengan
pedangnya.
“apa
yang terjadi dengan pamanmu, Kei-kun?”
Kei
hanya mengangkat kedua bahunya tanda tak mengerti. Sato juga tidak mau kalah.
Ia segera mengambil pedangnya dan masuk ke arena tempat dimana Ryuu sudah siap
menantinya. Sato menatap Ryuu.
“ada
apa, Ryuu?”
Ryuu
malah menjawabnya dengan mulai menyerang Sato dengan gencarnya. Tersirat
kemarahan dan kebencian di matanya yang tidak dimengerti oleh Sato. Karena
menyerang dengan diliputi amarah, dengan mudahnya Sato menjatuhkan Ryuu. Ujung
pedang Sato menempel di leher Ryuu yang tergeletak di lantai.
“bangkitlah!
Sudah berapa kali aku memberitahumu, kelemahanmu adalah kalau kau menyerang
lawanmu dalam keadaan seperti itu, kau akan dengan mudahnya dijatuhkan oleh
lawanmu! Kalau kau ingin bicara apa masalahmu…”
“…
aku tidak ada masalah!”
Ryuu
membuang pedangnya yang panjang ke tengah arena dan masuk ke rumah Sato.
“lanjutkan
latihan kalian!” teriak Sato sambil mengikuti Ryuu ke dalam rumah. Ia melihat
Ryuu sedang berdiri di tepi kolam ikan kecil yang ada di tengah rumah. Sato
menepuk pundaknya.
“aku
tahu betul siapa kamu. Aku tahu kalau sekarang kau sedang ada masalah. Kau bisa
bercerita kepadaku. Siapa tahu aku bisa membantumu. Itu pun kalau kau tidak
keberatan”
Ryuu
menatap Sato beberapa saat lamanya. Lalu…
“kau
masih ingat Eiko?”
“kalau
tidak salah dia adalah gadis yang pernah kau ajak kemari itu, kan?”
“ya,
dan aku mencintainya. Aku ingin menikah dengannya”
“lalu
apa masalahnya?”
“tadi
aku diberitahu papa kalau aku akan dijodohkan dengan gadis lain. Mereka sudah
menyiapkan pesta untuk kami yang akan diselenggarakan 6 bulan lagi tanpa pernah
memberitahuku terlebih dahulu”
“mengapa
kau tidak memberitahu mereka tentang Eiko?”
“aku
tahu betul sikap papa dan kakakku andai mereka tahu. Apapun yang menghalangi
keinginan mereka, cepat atau lambat pasti akan mereka singkirkan, termasuk Eiko.
Aku tidak bisa berbuat apapun. Aku terpaksa menyetujui ini semua demi Eiko. Aku
tak mau terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan terhadap Eiko. Kau mengerti
maksudku, kan?”
“ya,
aku juga tahu sikap semua keluarga Yamada. Sepertinya memang tak ada jalan lain
lagi bagimu selain menerimanya. Memang, keluarga besar Yamada selalu
menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan mereka, maaf. Tapi yang aku
heran, mengapa kau tidak mempunyai sifat dan sikap seperti mereka?”
Yamada
Ryuu hanya terdiam.
“menginaplah
disini kalau itu bisa membuatmu lebih tenang”
Ryuu
tidak menjawab dan malah melamun sambil masih memandang kolam ikan itu.
“aku
titip Kei beberapa hari, aku harus pergi”
“kau
akan pergi kemana?”
Ryuu
meraih jaketnya yang teronggok di sudut arena pertempuran tadi dan memakainya.
“kau
mau kemana, Oji-san?
“kau
sementara disini dulu. Aku harus pergi beberapa hari. Tidak akan lama, aku
janji. Setelah itu kau akan kujemput lagi”
Sato
dan Kei hanya bisa menatap mobil Ryuu yang mulai meninggalkan tempat itu dengan
ngebut entah kemana.
Hari
menjelang malam, namun Ryuu masih terus mengendarai mobilnya menembus kepekatan
malam menuju luar kota. Ia meraih ponselnya yang ada di sampingnya, memencet
sebuah nomor dan menunggu. Lama tak ada jawaban, mengulangnya sampai beberapa
kali. Karena tak jua tersambung, ia membanting ponselnya ke kursi yang ada di
sampingnya dan menambah kecepatan mobilnya.
Setelah
mengendarai mobilnya selama 6 jam dan hari menjelang pagi, sampailah ia di
Osaka. Ia memarkir mobilnya dan menuju ke salah satu kamar yang ada di lantai 2
dan mengetuk pintunya. Juga lama tak ada jawaban. Ia pun terduduk di lantai
bersandar pada dinding. Rasa kantuk mulai menyerangnya dan membuatnya tertidur
di koridor apartemen itu. Seseorang menepuk bahunya dan ia pun membuka matanya
yang masih terasa berat itu.
“E-Eiko?”
“apa
yang kau lakukan disini? Kalau kau ingin menemuiku, maaf. Aku sedang
terburu-buru”
“tunggu!”
Ryuu
mencekal lengan Eiko dan Eiko hanya menatap tajam ke arah Ryuu.
“maaf,
Eiko. Aku kesini memang ingin menemuimu. Aku ingin bicara denganmu”
“tentang
apa? Karena kurasa diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, kan?”
“aku
bisa menjelaskannya kepadamu!”
“tak
ada yang perlu dijelaskan. Aku sudah paham dan mengerti sekali. Kau memang
tidak pernah bisa berubah, Ryuu. Aku telah salah menilaimu. Mengapa kau tidak
jujur saja kepadaku di malam itu? Bahwa kau sudah mempunyai tunangan dan
beberapa bulan lagi kalian akan menikah? Ha?!”
Orang-orang
yang melewati koridor itu hanya melihat pertengkaran Ryuu dan Eiko sambil lalu.
“bisakah
kita bicara di dalam saja?”
Eiko
kembali membuka pintu apartemennya dengan malas. Ryuu pun masuk dan duduk di
salah satu kursi, sedangkan Eiko tetap berdiri agak jauh.
“sekarang
jelaskan kepadaku karena aku memang tidak punya waktu yang banyak”
“aku
tidak mengetahui tentang pertunangan ini, sungguh. Baru kemarin aku
mengetahuinya”
“dan
setelah mengetahuinya, kau hanya diam saja menerimanya?! Begitukah?!”
“kau
harus mengerti posisiku, Eiko”
“lalu
siapa yang seharusnya mengerti tentang aku? Kau memang tidak tahu, betapa
sakitnya hatiku kemarin melihatmu mesra dengan tunanganmu itu. Mengapa kau
tidak memperjuangkan hubungan kita? Mengapa kau tidak memberitahu keluargamu
tentang keberadaanku?”
“kalau
pertunangan ini sudah menjadi keputusan keluarga Yamada, maaf. Aku tidak bisa
memberitahukan hubungan kita kepada mereka”
“jadi…
buat apa kau kemari? Hanya untuk memberitahuku saja? Hanya untuk membela dirimu
sendiri agar kau tetap terlihat baik dimataku? Maaf, sekarang pikiranku sudah
berubah tentangmu. Kau pengecut, Ryuu!”
“terserah
apa katamu, Eiko. Yang jelas, aku masih sangat mencintaimu dan masih berharap
kita bisa menikah walaupun itu kecil kemungkinannya. Aku tidak memberitahu
keluargaku tentangmu karena aku tidak mau terjadi apa-apa terhadapmu. Aku paham
kalau kau berbuat seperti ini karena memang kau belum mengerti tentang keluarga
besar Yamada. Memang aku pengecut. Tapi kulakukan ini semua demi dirimu, demi
keselamatanmu”
Ryuu
bangkit dari duduknya dan dengan langkah gontai menuju pintu keluar.
“maafkan
aku, Eiko”
“Ryuu…”
Eiko
berlari memeluk Ryuu dan menangis sejadi-jadinya di dada Ryuu. Ryuu hanya bisa
mencium kepala Eiko, melepaskan pelukan Eiko dan menatap Eiko dalam-dalam.
“kalau
memang kita tidak berjodoh, kuharap kau mendapatkan pengganti yang lebih baik
dariku, yang menyayangimu dan mencintaimu. Karena aku tidak mau melihatmu
menangis lagi”
Ryuu
menghapus airmata Eiko dengan jemarinya dan melangkah keluar dari apartemen
Eiko. Eiko segera menghempaskan dirinya di sofa begitu tubuh Ryuu sudah
menghilang di tikungan koridor apartemen.
Ryuu
mengarahkan mobilnya ke tepi pantai Nishikinohama yang berada tidak jauh dari
apartemen Eiko. Mematikan mesinnya dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi
mobilnya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia hanya mengamati ponselnya dan
membiarkan terus berbunyi begitu tahu Eiko yang menghubunginya.
Setelah
beristirahat beberapa saat lamanya, ia segera memacu mobilnya kembali ke Tokyo.
Ia beristirahat sebentar dengan membeli secangkir kopi dan sepotong roti ketika
ia mampir untuk mengisi bahan bakar. Setelah itu ia kembali melanjutkan
perjalanannya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar