Tanaka
Harumi berdiri di depan kamar Yamada Kei. Agak ragu-ragu untuk mengetuk pintu
kamarnya. Akhirnya dengan penuh keberanian, Tanaka mengetuk pintu perlahan.
“Yamada!
Yamada!”
Namun
yang dibangunkan tidak juga membuka pintunya.
“aku
akan masuk!”
Dengan
perlahan, Tanaka membuka pintu kamar Yamada yang besar. Di ujung ruangan,
terlihat Yamada masih tertidur dengan pulasnya di bawah selimutnya yang tebal.
Ia menyentuh pundak Yamada.
“Yamada,
bangun!”
Dengan
ragu, ia membuka selimut yang menutupi kepala Yamada. Yamada terkejut dan
cepat-cepat duduk.
“ada
apa?”
“oh…
m-maaf. Aku tadi mengetuk pintu kamarmu tidak ada jawaban. Jadi… aku terpaksa
kesini karena ini sudah hampir jam 8 pagi”
Tanaka
cepat-cepat juga berdiri di samping tempat tidur Yamada.
“oh…
shit! Aku pasti terlambat, Tanaka!”
Buru-buru
Yamada pergi ke kamar mandi. Sebentar saja ia sudah keluar lagi.
“bisakah
kau menolongku? Aku yakin sekarang bis sekolah sudah menuju New Jersey. Bisakah
kau mengantarku kesana?”
“t-tapi
aku tidak tahu jalan dan…”
“…
ayo, cepat!”
Yamada
menyeret tangan Tanaka menuju garasi.
“maaf,
aku memaksamu karena sopirku sedang tidak ada. Kau mengantarku ke New Jersey,
setelah itu bawalah mobilku ini pulang. Aku akan memberimu peta untuk sampai ke
Manhattan lagi”
“bagaimana
kalau aku tersesat?”
“kau
bisa menelponku atau bertanya pada polisi. Bagaimana?”
“I’ll
try”
“thank
you, Tanaka”
Dengan
mengebut, Yamada Kei menjalankan mobilnya. Ia juga menelpon ponsel Mrs.
Andersson.
“hallo”
“maaf,
Mrs. Andersson. Aku datang terlambat. Apakah bisnya sudah berangkat?”
“ya,
dimana kamu? Sebentar lagi kami sudah akan berangkat”
“bagaimana
kalau aku langsung menuju kesana saja?”
“itu
terserah kamu, Yamada. Yang jelas kami tidak akan menunggumu. Semua sudah tepat
waktu hadir disini. Paham?”
“iya,
Mrs. Andersson. Thank you”
Setelah
mematikan sambungan telponnya, Yamada menambah kecepatan mobilnya. Tanaka
sampai kaget dan berpegangan dengan erat. Angin pagi itu mengibarkan rambut
Tanaka yang sebahu karena Yamada memakai mobil yang kap terbuka.
“maaf,
Tanaka. Aku harus cepat-cepat. Mrs. Andersson orangnya tidak bisa ditolerir”
Tanaka
Harumi hanya tersenyum menutupi rasa takutnya sambil masih terus berpegangan
yang erat.
Semua
siswa tingkat akhir sudah memasuki bis-bis yang disiapkan.
“siapa
lagi yang belum hadir, Mrs. Andersson?” wakil kepala sekolah, Mr. Paul
bertanya.
“sepertinya
hanya Yamada”
“tumben
dia terlambat”
“tapi
dia tadi sudah menelponku. Katanya dia akan langsung menuju kesana”
“baiklah.
Sepertinya kita harus berangkat sekarang juga. Agar acara kita terlaksana
semuanya”
“ya,
kau benar. Ayo!”
Mobil
Yamada berhasil mengejar bis sekolah yang baru melintas di Hudson River. Bis
sekolah ada di sisinya.
“lihat,
Emily! Bukankah itu Yamada?”
“dengan
siapa dia?”
“pacarnya,
mungkin?”
“dia
punya pacar? Kalau memang iya, pacarnya harus orang yang sabar sekali
menghadapi orang seperti Yamada”
“tapi,
kenapa dia tidak ikut kita naik bis ini?”
“mana
mau dia duduk dengan kita?”
Emily
menatap Yamada yang waktu itu juga sedang menatapnya. Lalu dengan cepat Yamada
segera menambah kecepatan laju mobilnya melintasi Hudson River menuju Jersey
City.
![]() |
Brooklyn Bridge over Hudson River |
“bukankah
itu tadi teman-teman sekolahmu”
“ya”
“mengapa
kita tidak berhenti disini saja? Kau bisa naik bis itu dari sini”
“tidak”
“mengapa?”
Yamada
hanya menatap Tanaka.
“oh,
m-maaf…”
Setelah
melewati Newark Bay, Newark dan Mapplewood, sampailah mereka di South Mountain
Reservation. Yamada Kei memparkir mobilnya di Brookside Dr dekat Hawk Hill. Di
tempat itu terdapat padang rumput yang agak luas dan dekat dengan Rahway River.
Yamada
menggambarkan peta untuk Tanaka.
“ini
peta untukmu pulang. Kau bisa menelponku atau bertanya kepada polisi apabila
kau tersesat”
“aku
belum punya surat ijin untuk mengemudi disini”
“kau
bisa mengendarai mobil ini, kan?”
“bisa”
“itu
sudah cukup. Kalau kau ditilang, telpon aku segera. Aku yang akan mengurus
semuanya”
“apakah
aku boleh pulang sekarang?”
“ya.
Trimakasih banyak, Tanaka”
“sama-sama.
Kau juga sudah banyak menolongku disini. Bye!”
Tanaka
segera mengendarai mobil Yamada meninggalkan tempat itu bersamaan dengan bis
sekolah yang segera datang ke tempat itu juga. Semua siswa turun. Suasana yang
tadinya sepi berubah menjadi ramai sekali. Para guru pembimbing mengarahkan
semua murid. Mereka diharuskan membuat tenda dengan tenda yang memang sudah
disiapkan oleh pihak sekolah. Masing-masing tenda diisi oleh 3 orang.
Menjelang
siang, tenda sudah selesai didirikan, rapi berjajar. Makan siang pun sudah
siap. Mereka antri dengan tertib.
“aku
dengar nanti ada acara masuk ke hutan menyusuri Rahway River. Kalau boleh tidak
ikut, aku mending tidak ikut, ah!”
“kau
pasti takut. Iya, kan?”
“tentu
saja! Kalau siang sih masih mending! Katanya itu dimulai nanti sore sampai
menjelang tengah malam. Satu grup terdiri dari 2 orang”
“apakah
kita boleh menentukan dengan siapa kita segrup?”
“sepertinya
tidak, karena memakai system undian”
“hhh…
semoga aku tidak satu grup dengan Christy”
“sepertinya
memang tidak akan ada yang mau dengan dia, kecuali terpaksa”
Emily
hanya tersenyum sembari menghabiskan sisa makan siangnya. Setelah selesai makan
siang, mereka semua berkumpul di pinggir lapangan yang agak teduh. Mr. Paul
yang kali ini memberikan arahan.
![]() |
Rahway River |
“perhatian
untuk semuanya! Sore ini kita akan mengadakan acara. Acara ini menelusuri hutan
juga menyusuri Rahway River. Satu grup terdiri dari 2 orang. Kalian tidak bisa
memilih dengan siapa kalian akan memasuki hutan di samping kita ini. Karena
kami akan mengundi siapa pasangan kalian”
Suasana
menjadi heboh. Mereka mengira-ngira siapa yang akan menjadi partner mereka
nantinya.
“apakah
boleh request dengan teman sebangku?”
“tidak,
tidak ada pasangan perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
Kami akan mengundi nama perempuan dan nama laki-laki”
“mengapa
harus seperti itu?” timpal murid yang lain.
“kita
tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di dalam hutan sana, kan?”
Wajah-wajah
murid perempuan tersirat kecemasan.
“memangnya
di hutan sana akan ada apa?”
“kami
telah memilihkan rute yang paling aman. Tapi untuk berjaga-jaga tidak ada
salahnya, kan? Ada pertanyaan lagi? Kalau tidak ada, silahkan untuk mengambil
nomor undiannya”
Mereka
semua mengambil nomor undian secara tertib.
“kau
nomer berapa, Anna?”
“nomor
5, siapa ya kira-kira laki-laki yang juga memegang nomor 5?”
“aku
nomor 30. Itu berarti aku masuk ke hutan sana urutan terakhir. Haduuuhhh…
kenapa juga sih mereka mengadakan acara seperti ini? Apakah tidak ada acara
prom night?”
“apakah
ada yang belum mendapatkan pasangan?!” teriak Mr. Paul.
“eh…
aku tidak tahu siapa yang menjadi pasanganku”
“berapa
nomormu, Emily?” wakil kepala sekolah bertanya.
“nomor
30”
Tiba-tiba
Yamada Kei mendekati Emily dan menyerahkan kertas undiannya.
“aku
juga nomor 30, kau berpasangan denganku”
“what?!”
“ada
apa, Emily?”
“eee…
t-tidak ada apa-apa, Mr. Paul. Hanya saja… bisakah bertukar pasangan?”
“dan
jawabku tetap: TIDAK!”
“hhh…”
“mengapa
kau ingin bertukar pasangan, Ms. Grey? Apakah kau tidak menyukaiku?”
“b-bukan
seperti itu. Hanya saja…”
“…
sudahlah. Kita selesaikan saja permainan ini segera. Bukankah begitu, Mr.
Paul?”
“betul,
Yamada. Sekarang kalian sudah mendapatkan pasangan masing-masing. Silakan untuk
para Pembina membagikan petunjuk rute yang harus dilewati”
Para
Pembina membagikan kertas yang berisi rute perjalanan yang harus dilewati para
siswa plus memborgol tangan mereka.
“hei,
apa-apaan ini? Mengapa kami harus diborgol seperti ini?” Yamada bertanya.
“ya,
aku juga nggak mau diborgol seperti ini” sahut Emily.
“itu
merupakan tantangan dan salah satu rintangan yang harus kalian hadapi. Kalau
kalian sudah sampai di garis finish, kalian akan diberi kuncinya untuk membuka
borgol itu. Jadi, kalian harus menyelesaikan tantangan ini”
Ponsel
Yamada kembali berbunyi. Ia mengambil dari saku celananya dan berjalan ke
pinggir lapangan. Otomatis Emily mengikutinya. Yamada menatap Emily namun Emily
hanya mengangkat kedua bahunya sambil menunjuk borgol di antara mereka.
“ada
apa lagi, Ms. Andrews? Oh, maaf. Aku baru ingat. Besok siang aku tidak bisa
karena sepertinya acara ini sampai besok malam. Baiklah, tolong di re-schedule.
Trimakasih, Ms. Andrews”
Yamada
kembali menyimpan ponselnya dan menatap Emily.
“ada
apa?”
“tidak
ada apa-apa. Yang lain sudah bersiap untuk masuk ke hutan sana. Kita juga harus
bersiap-siap, kan? Aku tak mau menyerah di tengah jalan, karena itu artinya aku
harus terborgol denganmu terus”
“begitu
juga denganku, Ms. Grey”
Dengan
cepat Yamada menuju tengah lapangan dan itu membuat Emily hampir terjatuh.
“hei,
bisakah kau pelan-pelan saja?”
Matahari
sudah agak condong ke barat. Karena mendapatkan nomor 30, Emily dan Yamada pun
mendapat urutan terakhir. Tibalah giliran mereka untuk memasuki hutan itu.
Mereka menyusuri Rahway River sesuai peta petunjuk. Di dalam suasana sudah agak
gelap. Mereka juga dilengkapi dengan senter.
“hei,
ada apa denganmu?”
“aku
takut sekali, Yamada”
“apa
yang perlu ditakuti? Di hutan ini tidak ada apa-apa. Kita hanya perlu mencari
rute yang benar agar kita bisa sampai ke garis finish, Ms. Grey. Jangan
dengarkan apa kata wakil kepala sekolah itu”
“tapi
tetap saja hutan yang gelap ini membuatku takut. Sekarang aku merasa beruntung
tangan kita diborgol. Kalau tidak, kau pasti akan meninggalkanku sendirian. Aku
benar, kan?”
“mengapa
kau bisa berkata seperti itu?”
“karena
sepertinya dari dulu kau tidak menyukaiku”
“kau
tahu, Ms. Grey. Aku bukan pria seperti itu. Kau sudah dengar apa kata wakil
kepala sekolah kita tadi, kan? Kita dibuat berpasang-pasangan agar bisa menjaga
murid yang perempuan. Itu berarti kau sudah dititipkan kepadaku. Dan aku tidak
akan pernah mengecewakan seseorang yang sudah mempercayakan sesuatu hal
kepadaku”
Emily
hanya terus menatap Yamada.
“ada
apa lagi?”
“eh…
t-tidak. Ayo, kita jalan lagi”
“ya,
kau benar. Kita sudah tertinggal jauh”
Mereka
semakin ke dalam hutan itu. Malam menjelang.
“Yamada,
bisakah kita beristirahat dulu?”
“kita
akan semakin jauh tertinggal, Ms. Grey”
Terpaksa
Emily mengikuti langkah kaki Yamada yang cepat itu. Mendadak kakinya sangat
sakit sekali.
“t-tunggu
dulu, Yamada. Kakiku sakit sekali”
“baiklah,
kita istirahat dulu disini”
“b-bukan
itu maksudku. Kakiku benar-benar sakit sekali. Aku tak tahu mengapa”
Langkah
kaki Emily semakin lambat walaupun ia berusaha untuk tetap berjalan di belakang
Yamada. Ia memegang tangan Yamada semakin erat agar tidak terjatuh. Karena
sudah tak kuat, ia pun ambruk.
“Ms.
Grey! Oh, shit!”
Di
keremangan malam, di bawah sinar lampu senter, wajah Emily terlihat pucat.
Peluh membanjiri wajahnya. Dengan cepat Yamada segera memeriksa kaki Emily yang
katanya tadi sakit.
“hhh…
ular. Kakinya dipatuk ular. Ular yang sepertinya agak berbisa”
Ia
berusaha mengobati luka-luka kaki Emily. Namun terhalang dengan borgol di
tangan mereka. Ia segera melepas jepit rambut Emily yang berhiaskan bunga
sakura itu. Ia berusaha membuka borgolnya dengan jepit itu dan berhasil!
Dengan
cepat ia berusaha mengeluarkan bisa ular itu sebisanya dan mengikat betis Emily
agar bisa ular itu tidak menyebar. Ia melihat Emily menggigil, demam. Ia
melihat ke sekitar…
“semoga
ada beberapa tanaman obat disini”
Yamada
mencari beberapa tanaman obat yang ada di sekitarnya dengan senter dibantu
cahaya bulan yang remang-remang. Untunglah ada. Setelah menghaluskan beberapa
daun itu dengan batu, menempelkannya di betis Emily dan membalutnya dengan sapu
tangannya, ia segera menghempaskan tubuhnya di samping Emily. Sambil bersandar
di pohon yang besar, ia menyeka peluh di dahinya. Ia mencoba memakai ponselnya,
namun ternyata tidak ada sinyal di daerah itu.
“kau
sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?”
Nampak
Emily masih menahan sakitnya.
“aku
sulit sekali untuk bernafas…”
Yamada
segera melonggarkan syal Emily dan menyelimuti tubuh Emily yang menggigil
dengan jaketnya.
“tunggu
sebentar”
Dengan
sedikit berlari, Yamada menuju Rahway River yang agak jauh di belakangnya. Ia
mengambil air sungai dengan botolnya karena persediaan air minum mereka sudah
habis. Begitu sampai kembali di tempat Emily, ia segera meminumkannya ke Emily.
Ia membantu Emily untuk bersandar di pohon yang besar itu.
“minumlah,
Ms. Grey”
Dengan
agak kesusahan, Emily meminum air itu sedikit demi sedikit. Kondisinya semakin
melemah.
“apakah...
aku akan mati?”
“dengar
aku, Emily! Aku janji, kau akan kukeluarkan dari hutan ini dengan selamat”
“Yamada…
aku sudah tidak kuat lagi”
“kau
harus bertahan, Emily!”
Sebisa
mungkin, Yamada menghangatkan tubuh Emily yang semakin menggigil dengan memeluknya. Akhirnya
Emily pun bisa tertidur bersandar di bahu Yamada. Yamada hanya menatap wajah
Emily sambil terus terjaga sembari tangannya merengkuh bahu Emily. Karena malam
semakin larut, Yamada pun tak dapat menahan kantuknya lagi. Ia juga ikut tertidur
di samping Emily.
Matahari
pagi bersinar dengan cerahnya. Yamada terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia pun
baru menyadari kalau dia tidak berada di kamarnya yang nyaman, namun ada di
tengah hutan. Ia segera teringat dengan Emily. Emily masih memejamkan matanya
dengan rapat. Setelah membasuh mukanya di sungai, ia kembali mendekati Emily.
Dengan sekuat tenaga, ia menggendong Emily di punggungnya berusaha mencari
jalan keluar. Setelah berputar-putar tak tentu arah, tibalah ia di sebuah jalan
raya yang masih sepi. Ia segera menghentikan sebuah mobil patroli polisi.
“hei,
apa yang terjadi denganmu?”
“aku
dan temanku ini tersesat. Bisakah kau menghubungi guru kami yang berkemah di
dekat lapangan Rahway River?”
“apakah…
sebentar”
Polisi
itu membuka buku catatan kecilnya.
“apakah
kau bernama Yamada Kei dan temanmu itu Emily Grey?”
“ya,
benar”
“baik,
tunggu sebentar”
“bisakah
lebih cepat?! Temanku ini harus segera dibawa ke rumah sakit, ia dipatuk ular
berbisa”
“baik,
baik”
Salah
satu polisi kembali ke lapangan tempat teman-teman yang lain berkemah sambil
memanggil mobil ambulan. Sedangkan polisi yang satunya ikut menunggui Emily
bersama Yamada.
“kapan
temanmu ini digigit ular?”
“semalam,
tapi aku sudah berusaha untuk menghambat bisa ular itu agar tidak menyebar. Tapi
tetap dia harus mendapat perawatan medis”
“sebentar
lagi ambulan pasti akan segera tiba disini. Semalam ada yang melaporkan ke kami
kalau mereka kehilangan dua orang murid di hutan sana”
“ya,
itu kami”
Tak
berapa lama kemudian, ambulan dan para guru sudah datang ke tempat itu.
“apa
yang terjadi, Yamada?”
“Ms.
Grey digigit ular. Kami tidak sempat melanjutkan rute kami”
“bagaimana
keadaannya?”
“sudah
lebih baik. Tapi kusarankan agar dia secepatnya dibawa ke rumah sakit agar bisa
mendapatkan perawatan medis”
“trimakasih,
Yamada”
“you’re
welcome, Mrs. Andersson”
Mobil
ambulan pun tiba tak lama kemudian. Anna bermaksud untuk ikut ke dalam mobil
ambulan ketika Yamada mendekatinya.
“kau
akan ikut temanmu itu ke rumah sakit, kan?”
“iya,
apakah kau juga akan ikut?”
“tidak,
hanya saja tolong berikan jepit rambut ini kepadanya. Semalam aku meminjamnya
sebentar. Thanx…”
Belum
sempat Anna berkomentar, Yamada sudah berlalu dari hadapan Anna. Anna segera
masuk ke mobil ambulan dan segera meninggalkan tempat itu menuju rumah sakit.
“bolehkah aku pulang sekarang, Mrs.
Andersson?”
“tidak,
kau harus tetap mengikuti acara ini seperti yang lain sampai nanti sore.
Bukankah kau tidak apa-apa? Ayo, ikutlah bersamaku kesana lagi”
Dengan
malas Yamada menumpang mobil Mrs. Andersson menuju tempat perkemahan lagi.
Begitu sampai, murid-murid yang lain mengerumuni Yamada karena ingin tahu
dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Namun Yamada hanya diam saja.
“sudah,
sudah! Ayo, kita lanjutkan acara kita lagi. Nanti akan ada pengumuman dari
wakil kepala sekolah” teriak Mrs. Andersson.
Emily
segera dibawa ke UGD rumah sakit New Jersey. Anna menunggunya di depan pintu
dengan seorang pendamping.
“hai,
aku Anna, Anna Carter. Aku teman Emily. Kalau boleh tahu, siapa namamu?”
“namaku
Ryunosuke Kamiki, aku hanya pendamping di acara ini”
“sepertinya…
kau bukan orang sini, ya?”
“ehmm…
bisa dikatakan seperti itu. Tapi, aku sudah warga negara sini”
“kalau
boleh tahu, kau dari negara mana?”
“Jepang.
Tapi aku lahir, besar dan tinggal disini. Begitu juga dengan orang tuaku”
“oh,
begitu. Berarti setelah selesai acara ini…”
“…
aku pulang dan melanjutkan pekerjaanku”
“apa
pekerjaanmu? Maaf, aku terlalu banyak bertanya, ya?”
“tidak
apa-apa. Aku bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan. Yah, daripada menganggur”
“ya,
kau benar. Setelah lulus kuliah, aku juga ingin langsung bekerja. Atau… kuliah
sekalian bekerja kalau bisa”
“kau
pasti bisa jika berusaha”
“thanx…”
“oya,
aku juga punya teman sekelas yang juga berasal dari Jepang. Kurasa dia masih
warga sana. Karena dia baru setahun disini. Dia yang semalam hilang dengan
temanku ini”
“oh,
begitu. Aku belum mengenalnya”
“menurutku
dia orang yang baik. Tapi dia membungkusnya dengan kesombongan. Dia tidak
pernah mau bergaul dengan kami, selalu menyendiri. Tapi tetap aku harus
berterimakasih kepadanya. Gara-gara dia Emily jadi selamat”
Disaat
itulah dokter keluar dari dalam UGD.
“dokter,
bagaimana keadaan Emily?”
“dia
sudah tidak apa-apa. Dia hanya butuh istirahat saja. Beruntung racunnya sudah
dikeluarkan dengan segera”
“apakah
dia sudah bisa dijenguk?”
“bisa,
tapi kami harus memindahkannya ke ruang perawatan”
“ya,
trimakasih”
![]() |
Ryunosuke Kamiki |
Setelah
Emily dipindahkan ke ruang perawatan, Anna dan Ryunosuke segera menemui Emily
yang waktu itu masih tertidur.
“apakah
kau sudah mengabari keluarganya?”
“ya,
mungkin sebentar lagi keluarganya datang”
“Emily,
bagaimana keadaanmu, sayang?” tiba-tiba mama Emily datang menyeruak.
“oh,
Mrs. Grey?”
“trimakasih,
Anna. Kau sudah menjaga Emily”
“Emily
baik-baik saja. Semoga cepat boleh pulang ke rumah”
“ya,
kau benar. Dan ini…”
“…ini
pendamping kami di acara ini”
“namaku
Ryunosuke Kamiki” sambil mengangguk hormat kepada Mrs. Grey. Mrs. Grey pun
mengangguk hormat juga kepada Ryunosuke.
“Ryunosuke
ini juga orang Jepang seperti anda. Tapi juga sudah menjadi warga sini”
“oya?
Senang bertemu denganmu, Ryunosuke. Emily, kau sudah bangun?”
“mama?”
“iya,
bagaimana keadaanmu?”
“keadaanku?
Eh, aku baik-baik saja. Aku tidak apa-apa”
“syukurlah…”
“dimana
papa, ma?”
“papamu
harus keluar kota tadi pagi. Aku kaget sewaktu ditelpon Anna kalau kau
dilarikan ke rumah sakit karena dipatuk ular di hutan itu. Aku langsung kesini
secepatnya”
“kata
dokter, beruntung racun itu langsung bisa dikeluarkan. Entah apa yang terjadi
jika tidak. Kau harus berterimakasih kepada Yamada. Dia yang ada di sampingmu
saat itu”
“ya,
aku akan berterimakasih kepadanya, Anna”
“tadi
sebelum kau dibawa kesini, Yamada menitipkan ini. Dia minta agar aku
menyerahkan ini kepadamu”
“jepit
rambutku?”
“katanya
semalam waktu kau pingsan dia meminjam ini darimu”
“untuk
apa?”
“entahlah.
Yang penting kau segera lekas sembuh, Emily”
“I
hope so”
“oya,
aku juga ada berita untukmu”
“apa?”
“bukankah
kau menanti-nantikan prom night? Tadi pagi sudah diumumkan akan diadakan acara
itu. Dan kau tahu dimana kita akan mengadakan acara prom night?”
“dimana?”
“di
rumah Yamada Kei!”
“apa?!”
“apa?!
T-tunggu dulu, mengapa acara itu akan dilangsungkan di rumahku? Mengapa kalian
tidak memberitahuku ataupun meminta ijin terlebih dahulu kepadaku?”
“mengapa
kami harus meminta ijin? Papamu sendiri yang menelpon kepala sekolah dan
meminta agar acara prom night dilakukan di rumahmu. Dan satu lagi, papamu yang
menanggung semua biaya untuk itu”
Dengan
kesal Yamada kembali ke tendanya dan menelpon papanya.
“ya,
hallo”
“aku
hanya ingin meminta penjelasan dari papa sekarang juga!”
“penjelasan
tentang apa?”
“apa
benar papa menelpon pihak sekolah dan mengusulkan agar acara prom night
dilaksanakan di rumah kita?”
“ya,
memangnya ada masalah dengan itu?”
“mengapa
papa tidak memberitahuku? Aku baru saja diberitahu oleh para guru tentang hal
ini”
“apakah
kau keberatan, Kei-chan?”
“aku
sebenarnya tidak mau kehidupan pribadiku terusik”
“aku
sudah bilang kepada mereka bahwa tempat yang bisa dipakai hanyalah lantai satu
dan halaman rumah. Mereka tidak akan naik ke lantai dua, Kei-chan”
“itu
sama saja, pa. Mengapa papa melakukan hal ini?”
“ini
sebagai rasa trimakasihku kepada mereka dan juga karena aku senang sekali kau
bisa menjadi juara umum dengan nilai yang sangat mengagumkan. Apakah aku tidak
boleh untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka?”
“but,
it’s too much, papa!”
Sore
itu Yamada sedang naik mobilnya dengan Tanaka. Mereka baru saja selesai
mengurus apartemen yang diinginkan Tanaka.
“kau
yakin ingin mengambil apartemen yang tadi?”
“memangnya
ada apa?”
“maksudku…
itu terlalu di daerah pinggiran. Bukan di pusat kota”
“sudah
beberapa minggu aku disini. Dan aku tahu, kota ini padat sekali. Aku ingin
hidup di pinggiran saja. Kalau kau tentu saja tidak perlu hidup di pinggiran
kota lagi. Walaupun kau tinggal di dekat pusat kota, tapi suasana rumahmu
sangat nyaman dan berhalaman luas”
“ya,
kau bisa datang ke rumahku kapan saja kau mau. Ingat, disini aku bertanggung
jawab penuh atas dirimu. Kalau dirimu ada apa-apa, pasti nanti aku yang
dimintai pertanggungjawaban oleh keluargaku dan keluargamu”
“trimakasih,
Yamada. Oya, katanya pesta prom night sekolahmu akan diadakan di rumahmu.
Benarkah itu?”
“hhh…
sebenarnya aku tidak menyetujui hal itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Papa yang
membuat keputusan ini tanpa melibatkan aku”
“mengapa
kau tidak suka? Bukankah kau seharusnya senang banyak temanmu yang akan datang
ke rumahmu?”
“aku
tidak suka privasiku terganggu, itu saja!”
“lalu,
siapa nanti yang akan menyiapkan pesta itu di rumahmu?”
“entahlah,
sepertinya dari pihak sekolah. Nanti mereka akan datang untuk melihat-lihat.
Dan untuk keperluan lainnya, papa sudah mentransfer sejumlah dana kepada
mereka”
“kalau
begitu, kita harus cepat-cepat pulang. Takutnya mereka sudah tiba di rumahmu”
“ya,
kau benar”
Sebentar
saja mereka sudah masuk ke halaman rumah Yamada yang luas. Mereka melihat ada
sebuah mobil terparkir di depan lobi.
“mobil
siapa ini?”
“mungkin
mobil dari pihak sekolahmu”
Setelah
mereka ke ruang tengah…
“oh,
rupanya kalian sudah tiba disini. Maaf, aku baru saja datang, Mr. Paul”
“tidak
apa-apa. Kami juga baru saja tiba. Perkenalkan, ini Ryunosuke Kamiki. Dia yang
akan mempersiapkan acara untuk besok. Jadi, kubawa kesini untuk melihat-lihat
agar bisa mengira-ngira yang diperlukan untuk besok”
“namaku
Yamada Kei, senang bertemu denganmu”
“dia
juga menjadi pendamping di acara kita kemarin kalau kau ingat”
“maaf,
aku tidak begitu ingat. Oya, silahkan kalau kalian ingin melihat-lihat
sekarang. Akan kutunjukkan beberapa ruang yang mungkin bisa dipakai”
Yamada
segera memperlihatkan beberapa bagian rumahnya yang ada kemungkinan akan di
pakai untuk acara prom night. Juga halaman yang mengitari rumah itu. Mereka
mendiskusikan berbagai hal. Walaupun Yamada tidak menyetujui rumahnya akan
dipakai untuk acara itu, namun dia bersikap professional. Membantu pihak
sekolah menjawab berbagai pertanyaan tentang seluk beluk rumahnya.
“sepertinya
kita harus memusatkan acara di ruang tengah ini. Ruang tengah ini luas sekali.
Sedangkan halaman hanya kita pakai sebagai tambahan saja. Bisa disebut sebagai
garden party” ucap Ryunosuke.
“ya,
aku setuju denganmu. Berarti kita sudah harus menghias ruangan ini secepatnya.
Aku mengandalkanmu dan juga tim-mu. Aku dan Mrs. Andersson akan mempersiapkan
hal yang lainnya di sekolah. Bagaimana menurutmu, Yamada?”
“bagus
juga. Apapun yang kalian putuskan, aku ikut saja. Tugasku disini hanya
menyiapkan tempat dan segala sesuatunya. Untuk urusan detilnya, kalian yang
lebih tahu daripada aku”
“baiklah,
kalau begitu sepertinya cukup untuk hari ini. Kalau aku ada perlu sesuatu
denganmu aku akan menelponmu, Yamada. Kami permisi dulu”
“tentu
saja, Mr. Paul. Sampai jumpa Ryunosuke”
Setelah
tamunya pergi, Yamada segera ke ruang keluarga di lantai atas. Ia melihat
Tanaka sedang duduk disana. Ia lalu duduk di depan Tanaka.
“aku
salut kepadamu, Yamada”
“mengapa?”
“walaupun
kau sebenarnya menentang acara ini diadakan disini, kau tetap menyambut mereka
dengan ramah”
“kita
harus bersikap professional, Tanaka”
“maaf,
aku tadi mendengar yang satunya bernama Ryunosuke Kamiki. Sepertinya dia warga
Jepang seperti kita”
“sepertinya
begitu. Tapi aku juga tidak bertanya lebih jauh dia sudah warga Amerika atau
belum. Itu bukan urusan kita, kan?”
Emily
sedang berbincang dengan Anna di kamarnya.
“hei,
bukankah cara prom night sudah dekat? Apakah kau sudah menyiapkan bajumu,
Anna?”
“tentu
saja, aku akan memakai gaun terbaikku. Jangan katakan kalau kau belum
mempersiapkan segalanya, Emily!”
“sudah,
semuanya!”
“bolehkah
aku melihatnya?”
“tunggu
sebentar”
Emily
mengambil gaun dan sepatunya dari dalam lemarinya.
“bagaimana
pendapatmu?”
“waaahh…
bagus sekali. Simple, tapi aku suka. Siapa yang mendesainnya?”
“mamaku,
tentu saja. Oya, dengan siapa kau akan pergi kesana?”
“entahlah.
Kalau kamu?”
“sebenarnya…
Mark sudah memintaku untuk pergi dengannya. Tapi aku belum menjawabnya”
“kalian
masih saja saling diam. Inilah saatnya kalian harus gencatan senjata barang
sebentar. Toh, sebentar lagi kita akan berpisah. Entah kapan kita semua bisa
bersama lagi. Kau tidak mau mempunyai memory yang buruk di akhir sekolah, kan?”
“ada
benarnya juga, sih. Itu bisa kupikirkan nanti”
“aku
tidak sabar menanti acara itu tiba. Eh, bukankah kau belum bertemu Yamada?”
“memangnya
kenapa?”
“kau
bilang kau ingin mengucapkan trimakasih kepadanya karena sudah menyelamatkan
nyawamu”
“iya
juga. Aduuhh… aku harus bicara apa dengannya nanti? Secara dia tidak begitu
menyukaiku”
“sebenarnya,
apa yang terjadi dengan kalian di malam itu di tengah hutan?” Anna berkata
sambil tertawa-tawa.
“apa
yang ada di pikiranmu, Anna?”
“tak
ada, aku hanya bertanya saja kepadamu”
“aku
tidak begitu ingat. Yang kutahu kakiku sakit trus aku tidak ingat apa-apa lagi.
Samar-samar aku mendengar dia memanggilku agak keras. Biasanya dia memanggilku
dengan Ms. Grey. Tapi waktu itu dia memanggilku Emily berulang kali dengan nada
cemas”
“begitukah…?”
“iya.
Ah, kau mengingatkanku tentang sesuatu. Aku harus mengembalikan sapu tangannya
yang dipakai untuk membalut lukaku kemarin”
“kau
juga belum mengembalikannya?”
“setelah
kejadian itu aku belum pernah bertemu dengannya, Anna!”
“semua
teman menjengukmu di rumah sakit itu. Apakah dia tidak menjengukmu?”
Emily
hanya menggeleng.
“hhh…
teman seperti apa dia?”
“sudahlah,
walaupun dia tidak menjengukku tapi dia sudah menyelamatkan nyawaku. Itu yang
lebih penting. Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar saja. Aku suntuk di
rumah terus”
“baiklah,
ayo!”
Setelah
memakai sweater dan topi rajutnya, Emily segera mengikuti Anna yang sudah
terlebih dahulu turun dan menyiapkan mobilnya.
![]() |
Emily Grey |
Malam
itu…
“Emily!
Kau sudah dijemput, sayang”
“iya,
pa! Tunggu sebentar!”
Setelah
merapikan bajunya di depan cermin, ia buru-buru turun. Di ruang tamu sudah ada
Mark yang menjemputnya untuk pergi ke acara prom night.
“kau
cantik sekali, Emily”
“thanx,
Mark. Ma, pa, aku pergi dulu”
“ya,
hati-hati. Kau juga, Mark”
“ya,
tentu”
Mark
membukakan pintu mobil untuk Emily. Setelah itu, mobil Mark sudah melesat
menuju rumah Yamada di daerah Manhattan.
“kau
sudah tahu rumah Yamada, Mark?”
“belum,
tapi kalau aku melihat ke peta yang dibagikan kemarin sepertinya aku sudah
pernah melewati rumahnya”
“baguslah,
berarti kita tidak akan tersesat”
“tentu
saja tidak, sayang. Kau tahu, Emily. Aku senang kau mau pergi ke acara ini
denganku”
“tunggu
dulu, ini bukan berarti kita akan kembali ke hubungan kita yang dulu, Mark”
“aku
tidak peduli. Yang penting kau mau menjadi pasanganku di acara ini. Trimakasih,
Emily”
Emily
hanya tersenyum.
Mobil
Mark sudah sampai di suatu kawasan elite di Manhattan. Ia masuk ke salah satu
halaman rumah yang luas. Sudah banyak orang yang datang ke acarta prom night
itu.
“sepertinya
ini rumah Yamada”
“aku
seperti bermimpi. Lihatlah! Rumah ini indah dan besar sekali. Kalau Yamada
bukan temanku, mana mungkin aku bisa masuk kesini?”
“sudahlah,
Emily. Ayo, kita masuk”
Ramai
sekali rumah Yamada malam itu. Tidak seperti biasanya yang selalu sunyi dan
sepi. Teman-teman yang lain ada yang berkumpul di ruang tengah maupun di
halaman rumah. Mark dan Emily memilih mengobrol dengan teman-teman mereka di
ruang tengah. Mark mengambilkan Emily segelas minuman.
“trimakasih,
Mark”
Yamada
masih berada di depan komputernya di ruang kerjanya di lantai paling atas
gedung Yamada. Beberapa kali ia melihat ke jam tangannya. Ms. Andrews masuk ke
ruangannya.
“maaf,
Yamada-san. Untuk malam ini sepertinya aku harus pulang lebih awal. Aku merasa
tidak enak badan”
“ya,
tidak apa-apa. Aku juga ada perlu di rumah. Kita lanjutkan besok pagi saja”
Mereka
membereskan pekerjaan mereka. Setelah selesai, mereka sama-sama turun ke lobi.
“apakah
kau mau menumpang mobilku, Ms. Andrews?”
“tidak,
trimakasih. Aku sudah ada yang menjemput”
“baiklah.
Aku pergi dulu. Sampai jumpa”
Yamada
segera pulang menuju rumahnya. Ia lewat pintu gerbang belakang. Orang yang berjaga
disitu segera membuka pintu gerbangnya begitu tahu Yamada yang akan masuk.
Bergegas
Yamada menuju lantai atas ke kamarnya. Melempar jas dan badge-nya ke atas sofa
lalu ke kamar mandi membersihkan tubuhnya yang masih kelelahan setelah seharian
ia berada di kantornya. Suara hingar bingar musik yang diputar di lantai bawah
pun terdengar sampai ke kamarnya.
Sementara
itu di bawah, Emily sedang berdansa dengan Mark. Sedangkan Anna hanya mengobrol
dengan yang lainnya di halaman samping.
“oya,
sepertinya aku malah belum melihat si tuan rumah”
“maksudmu
Yamada?”
“tentu
saja. Bukankah seharusnya dia menyambut kita?”
“huh…
kau seperti tak tahu tentang dia saja, Anna. Siapa tahu dia malah melarikan
diri, tidak ikut di acara ini”
“orang
yang aneh…”
“maaf,
Mark. Aku harus ke toilet sebentar”
“ya,
aku tunggu kau disana”
Dengan
agak kebingungan, Emily bertanya kepada salah seorang pelayan yang membawa
senampan penuh minuman.
“maaf,
bisakah kau memberitahuku dimana toiletnya?”
“kau
bisa mengikuti lorong ini, lurus saja. Nanti ada di dekat tangga”
“baiklah,
trimakasih”
Dengan
terburu-buru, Emily segera mengikuti lorong itu. Di ujung lorong ada sebuah
tangga yang indah menuju atas. Ia segera masuk ke toilet yang ada di samping
tangga. Setelah selesai dan merapikan dirinya di depan cermin toilet yang
besar, ia segera keluar. Ketika akan menuju lorong yang akan membawanya kembali
ke ruang tengah, ia berhenti sejenak di tangga yang indah itu. Ia mengaguminya.
Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya menapaki tangga yang indah itu ke atas
dengan perlahan.
Sebentar
saja, ia sudah berada di lantai atas. Lagi-lagi ia takjub dengan ruangan atas
itu. Ruang keluarga yang cukup luas. Di ujung ruangan terdapat perapian dan
beberapa set sofa yang berwarna putih bersih. Sepi. Tak ada seorang pun disitu.
Perlahan
ia melihat-lihat berbagai hiasan meja yang sepertinya mahal. Juga beberapa foto
yang dibingkai dengan indahnya di atas meja. Sedangkan foto-foto yang ada di
dinding berukuran besar. Foto keluarga Yamada dari generasi ke generasi. Juga
beberapa pedang yang di pajang di dinding. Ia juga melihat foto Yamada Kei yang
besar yang tergantung di samping perapian dengan membawa katakana sedang
beraksi.
“siapa
sebenarnya dirimu, Yamada?”
Cukup
lama Emily menatap foto besar Yamada Kei itu. Tiba-tiba tangannya menyenggol
sebuah foto lama yang juga dipigura cantik seperti yang lainnya di atas meja.
Ia mengamatinya sesaat. Mulutnya ternganga lebar, dadanya bergemuruh.
“apa
yang kau lakukan disini, Ms. Grey?”
Sebuah
suara mengagetkannya, apalagi itu ternyata suara Yamada Kei. Ia semakin gugup.
Ia menyembunyikan foto yang dipegangnya di belakang tubuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar