Kamis, 02 Juli 2015

MY SAKURA (bagian 5)



Tanaka Harumi berdiri di depan kamar Yamada Kei. Agak ragu-ragu untuk mengetuk pintu kamarnya. Akhirnya dengan penuh keberanian, Tanaka mengetuk pintu perlahan.
“Yamada! Yamada!”
Namun yang dibangunkan tidak juga membuka pintunya.
“aku akan masuk!”
Dengan perlahan, Tanaka membuka pintu kamar Yamada yang besar. Di ujung ruangan, terlihat Yamada masih tertidur dengan pulasnya di bawah selimutnya yang tebal. Ia menyentuh pundak Yamada.
“Yamada, bangun!”
Dengan ragu, ia membuka selimut yang menutupi kepala Yamada. Yamada terkejut dan cepat-cepat duduk.
“ada apa?”
“oh… m-maaf. Aku tadi mengetuk pintu kamarmu tidak ada jawaban. Jadi… aku terpaksa kesini karena ini sudah hampir jam 8 pagi”
Tanaka cepat-cepat juga berdiri di samping tempat tidur Yamada.
“oh… shit! Aku pasti terlambat, Tanaka!”
Buru-buru Yamada pergi ke kamar mandi. Sebentar saja ia sudah keluar lagi.
“bisakah kau menolongku? Aku yakin sekarang bis sekolah sudah menuju New Jersey. Bisakah kau mengantarku kesana?”
“t-tapi aku tidak tahu jalan dan…”
“… ayo, cepat!”
Yamada menyeret tangan Tanaka menuju garasi.
“maaf, aku memaksamu karena sopirku sedang tidak ada. Kau mengantarku ke New Jersey, setelah itu bawalah mobilku ini pulang. Aku akan memberimu peta untuk sampai ke Manhattan lagi”
“bagaimana kalau aku tersesat?”
“kau bisa menelponku atau bertanya pada polisi. Bagaimana?”
“I’ll try”
“thank you, Tanaka”
Dengan mengebut, Yamada Kei menjalankan mobilnya. Ia juga menelpon ponsel Mrs. Andersson.
“hallo”
“maaf, Mrs. Andersson. Aku datang terlambat. Apakah bisnya sudah berangkat?”
“ya, dimana kamu? Sebentar lagi kami sudah akan berangkat”
“bagaimana kalau aku langsung menuju kesana saja?”
“itu terserah kamu, Yamada. Yang jelas kami tidak akan menunggumu. Semua sudah tepat waktu hadir disini. Paham?”
“iya, Mrs. Andersson. Thank you”
Setelah mematikan sambungan telponnya, Yamada menambah kecepatan mobilnya. Tanaka sampai kaget dan berpegangan dengan erat. Angin pagi itu mengibarkan rambut Tanaka yang sebahu karena Yamada memakai mobil yang kap terbuka.
“maaf, Tanaka. Aku harus cepat-cepat. Mrs. Andersson orangnya tidak bisa ditolerir”
Tanaka Harumi hanya tersenyum menutupi rasa takutnya sambil masih terus berpegangan yang erat.

Semua siswa tingkat akhir sudah memasuki bis-bis yang disiapkan.
“siapa lagi yang belum hadir, Mrs. Andersson?” wakil kepala sekolah, Mr. Paul bertanya.
“sepertinya hanya Yamada”
“tumben dia terlambat”
“tapi dia tadi sudah menelponku. Katanya dia akan langsung menuju kesana”
“baiklah. Sepertinya kita harus berangkat sekarang juga. Agar acara kita terlaksana semuanya”
“ya, kau benar. Ayo!”

Mobil Yamada berhasil mengejar bis sekolah yang baru melintas di Hudson River. Bis sekolah ada di sisinya.
“lihat, Emily! Bukankah itu Yamada?”
“dengan siapa dia?”
“pacarnya, mungkin?”
“dia punya pacar? Kalau memang iya, pacarnya harus orang yang sabar sekali menghadapi orang seperti Yamada”
“tapi, kenapa dia tidak ikut kita naik bis ini?”
“mana mau dia duduk dengan kita?”
Emily menatap Yamada yang waktu itu juga sedang menatapnya. Lalu dengan cepat Yamada segera menambah kecepatan laju mobilnya melintasi Hudson River menuju Jersey City.

Brooklyn Bridge over Hudson River
“bukankah itu tadi teman-teman sekolahmu”
“ya”
“mengapa kita tidak berhenti disini saja? Kau bisa naik bis itu dari sini”
“tidak”
“mengapa?”
Yamada hanya menatap Tanaka.
“oh, m-maaf…”
Setelah melewati Newark Bay, Newark dan Mapplewood, sampailah mereka di South Mountain Reservation. Yamada Kei memparkir mobilnya di Brookside Dr dekat Hawk Hill. Di tempat itu terdapat padang rumput yang agak luas dan dekat dengan Rahway River.
Yamada menggambarkan peta untuk Tanaka.
“ini peta untukmu pulang. Kau bisa menelponku atau bertanya kepada polisi apabila kau tersesat”
“aku belum punya surat ijin untuk mengemudi disini”
“kau bisa mengendarai mobil ini, kan?”
“bisa”
“itu sudah cukup. Kalau kau ditilang, telpon aku segera. Aku yang akan mengurus semuanya”
“apakah aku boleh pulang sekarang?”
“ya. Trimakasih banyak, Tanaka”
“sama-sama. Kau juga sudah banyak menolongku disini. Bye!”
Tanaka segera mengendarai mobil Yamada meninggalkan tempat itu bersamaan dengan bis sekolah yang segera datang ke tempat itu juga. Semua siswa turun. Suasana yang tadinya sepi berubah menjadi ramai sekali. Para guru pembimbing mengarahkan semua murid. Mereka diharuskan membuat tenda dengan tenda yang memang sudah disiapkan oleh pihak sekolah. Masing-masing tenda diisi oleh 3 orang.
Menjelang siang, tenda sudah selesai didirikan, rapi berjajar. Makan siang pun sudah siap. Mereka antri dengan tertib.
“aku dengar nanti ada acara masuk ke hutan menyusuri Rahway River. Kalau boleh tidak ikut, aku mending tidak ikut, ah!”
“kau pasti takut. Iya, kan?”
“tentu saja! Kalau siang sih masih mending! Katanya itu dimulai nanti sore sampai menjelang tengah malam. Satu grup terdiri dari 2 orang”
“apakah kita boleh menentukan dengan siapa kita segrup?”
“sepertinya tidak, karena memakai system undian”
“hhh… semoga aku tidak satu grup dengan Christy”
“sepertinya memang tidak akan ada yang mau dengan dia, kecuali terpaksa”
Emily hanya tersenyum sembari menghabiskan sisa makan siangnya. Setelah selesai makan siang, mereka semua berkumpul di pinggir lapangan yang agak teduh. Mr. Paul yang kali ini memberikan arahan.

Rahway River

“perhatian untuk semuanya! Sore ini kita akan mengadakan acara. Acara ini menelusuri hutan juga menyusuri Rahway River. Satu grup terdiri dari 2 orang. Kalian tidak bisa memilih dengan siapa kalian akan memasuki hutan di samping kita ini. Karena kami akan mengundi siapa pasangan kalian”
Suasana menjadi heboh. Mereka mengira-ngira siapa yang akan menjadi partner mereka nantinya.
“apakah boleh request dengan teman sebangku?”
“tidak, tidak ada pasangan perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Kami akan mengundi nama perempuan dan nama laki-laki”
“mengapa harus seperti itu?” timpal murid yang lain.
“kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di dalam hutan sana, kan?”
Wajah-wajah murid perempuan tersirat kecemasan.
“memangnya di hutan sana akan ada apa?”
“kami telah memilihkan rute yang paling aman. Tapi untuk berjaga-jaga tidak ada salahnya, kan? Ada pertanyaan lagi? Kalau tidak ada, silahkan untuk mengambil nomor undiannya”
Mereka semua mengambil nomor undian secara tertib.
“kau nomer berapa, Anna?”
“nomor 5, siapa ya kira-kira laki-laki yang juga memegang nomor 5?”
“aku nomor 30. Itu berarti aku masuk ke hutan sana urutan terakhir. Haduuuhhh… kenapa juga sih mereka mengadakan acara seperti ini? Apakah tidak ada acara prom night?”
“apakah ada yang belum mendapatkan pasangan?!” teriak Mr. Paul.
“eh… aku tidak tahu siapa yang menjadi pasanganku”
“berapa nomormu, Emily?” wakil kepala sekolah bertanya.
“nomor 30”
Tiba-tiba Yamada Kei mendekati Emily dan menyerahkan kertas undiannya.
“aku juga nomor 30, kau berpasangan denganku”
“what?!”
“ada apa, Emily?”
“eee… t-tidak ada apa-apa, Mr. Paul. Hanya saja… bisakah bertukar pasangan?”
“dan jawabku tetap: TIDAK!”
“hhh…”
“mengapa kau ingin bertukar pasangan, Ms. Grey? Apakah kau tidak menyukaiku?”
“b-bukan seperti itu. Hanya saja…”
“… sudahlah. Kita selesaikan saja permainan ini segera. Bukankah begitu, Mr. Paul?”
“betul, Yamada. Sekarang kalian sudah mendapatkan pasangan masing-masing. Silakan untuk para Pembina membagikan petunjuk rute yang harus dilewati”
Para Pembina membagikan kertas yang berisi rute perjalanan yang harus dilewati para siswa plus memborgol tangan mereka.
“hei, apa-apaan ini? Mengapa kami harus diborgol seperti ini?” Yamada bertanya.
“ya, aku juga nggak mau diborgol seperti ini” sahut Emily.
“itu merupakan tantangan dan salah satu rintangan yang harus kalian hadapi. Kalau kalian sudah sampai di garis finish, kalian akan diberi kuncinya untuk membuka borgol itu. Jadi, kalian harus menyelesaikan tantangan ini”
Ponsel Yamada kembali berbunyi. Ia mengambil dari saku celananya dan berjalan ke pinggir lapangan. Otomatis Emily mengikutinya. Yamada menatap Emily namun Emily hanya mengangkat kedua bahunya sambil menunjuk borgol di antara mereka.
“ada apa lagi, Ms. Andrews? Oh, maaf. Aku baru ingat. Besok siang aku tidak bisa karena sepertinya acara ini sampai besok malam. Baiklah, tolong di re-schedule. Trimakasih, Ms. Andrews”
Yamada kembali menyimpan ponselnya dan menatap Emily.
“ada apa?”
“tidak ada apa-apa. Yang lain sudah bersiap untuk masuk ke hutan sana. Kita juga harus bersiap-siap, kan? Aku tak mau menyerah di tengah jalan, karena itu artinya aku harus terborgol denganmu terus”
“begitu juga denganku, Ms. Grey”
Dengan cepat Yamada menuju tengah lapangan dan itu membuat Emily hampir terjatuh.
“hei, bisakah kau pelan-pelan saja?”
Matahari sudah agak condong ke barat. Karena mendapatkan nomor 30, Emily dan Yamada pun mendapat urutan terakhir. Tibalah giliran mereka untuk memasuki hutan itu. Mereka menyusuri Rahway River sesuai peta petunjuk. Di dalam suasana sudah agak gelap. Mereka juga dilengkapi dengan senter.
“hei, ada apa denganmu?”
“aku takut sekali, Yamada”
“apa yang perlu ditakuti? Di hutan ini tidak ada apa-apa. Kita hanya perlu mencari rute yang benar agar kita bisa sampai ke garis finish, Ms. Grey. Jangan dengarkan apa kata wakil kepala sekolah itu”
“tapi tetap saja hutan yang gelap ini membuatku takut. Sekarang aku merasa beruntung tangan kita diborgol. Kalau tidak, kau pasti akan meninggalkanku sendirian. Aku benar, kan?”
“mengapa kau bisa berkata seperti itu?”
“karena sepertinya dari dulu kau tidak menyukaiku”
“kau tahu, Ms. Grey. Aku bukan pria seperti itu. Kau sudah dengar apa kata wakil kepala sekolah kita tadi, kan? Kita dibuat berpasang-pasangan agar bisa menjaga murid yang perempuan. Itu berarti kau sudah dititipkan kepadaku. Dan aku tidak akan pernah mengecewakan seseorang yang sudah mempercayakan sesuatu hal kepadaku”
Emily hanya terus menatap Yamada.
“ada apa lagi?”
“eh… t-tidak. Ayo, kita jalan lagi”
“ya, kau benar. Kita sudah tertinggal jauh”
Mereka semakin ke dalam hutan itu. Malam menjelang.
“Yamada, bisakah kita beristirahat dulu?”
“kita akan semakin jauh tertinggal, Ms. Grey”
Terpaksa Emily mengikuti langkah kaki Yamada yang cepat itu. Mendadak kakinya sangat sakit sekali.
“t-tunggu dulu, Yamada. Kakiku sakit sekali”
“baiklah, kita istirahat dulu disini”
“b-bukan itu maksudku. Kakiku benar-benar sakit sekali. Aku tak tahu mengapa”
Langkah kaki Emily semakin lambat walaupun ia berusaha untuk tetap berjalan di belakang Yamada. Ia memegang tangan Yamada semakin erat agar tidak terjatuh. Karena sudah tak kuat, ia pun ambruk.
“Ms. Grey! Oh, shit!”
Di keremangan malam, di bawah sinar lampu senter, wajah Emily terlihat pucat. Peluh membanjiri wajahnya. Dengan cepat Yamada segera memeriksa kaki Emily yang katanya tadi sakit.
“hhh… ular. Kakinya dipatuk ular. Ular yang sepertinya agak berbisa”
Ia berusaha mengobati luka-luka kaki Emily. Namun terhalang dengan borgol di tangan mereka. Ia segera melepas jepit rambut Emily yang berhiaskan bunga sakura itu. Ia berusaha membuka borgolnya dengan jepit itu dan berhasil!
Dengan cepat ia berusaha mengeluarkan bisa ular itu sebisanya dan mengikat betis Emily agar bisa ular itu tidak menyebar. Ia melihat Emily menggigil, demam. Ia melihat ke sekitar…
“semoga ada beberapa tanaman obat disini”
Yamada mencari beberapa tanaman obat yang ada di sekitarnya dengan senter dibantu cahaya bulan yang remang-remang. Untunglah ada. Setelah menghaluskan beberapa daun itu dengan batu, menempelkannya di betis Emily dan membalutnya dengan sapu tangannya, ia segera menghempaskan tubuhnya di samping Emily. Sambil bersandar di pohon yang besar, ia menyeka peluh di dahinya. Ia mencoba memakai ponselnya, namun ternyata tidak ada sinyal di daerah itu.
“kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?”
Nampak Emily masih menahan sakitnya.
“aku sulit sekali untuk bernafas…”
Yamada segera melonggarkan syal Emily dan menyelimuti tubuh Emily yang menggigil dengan jaketnya.
“tunggu sebentar”
Dengan sedikit berlari, Yamada menuju Rahway River yang agak jauh di belakangnya. Ia mengambil air sungai dengan botolnya karena persediaan air minum mereka sudah habis. Begitu sampai kembali di tempat Emily, ia segera meminumkannya ke Emily. Ia membantu Emily untuk bersandar di pohon yang besar itu.
“minumlah, Ms. Grey”
Dengan agak kesusahan, Emily meminum air itu sedikit demi sedikit. Kondisinya semakin melemah.
“apakah... aku akan mati?”
“dengar aku, Emily! Aku janji, kau akan kukeluarkan dari hutan ini dengan selamat”
“Yamada… aku sudah tidak kuat lagi”
“kau harus bertahan, Emily!”
Sebisa mungkin, Yamada menghangatkan tubuh Emily yang semakin menggigil dengan memeluknya. Akhirnya Emily pun bisa tertidur bersandar di bahu Yamada. Yamada hanya menatap wajah Emily sambil terus terjaga sembari tangannya merengkuh bahu Emily. Karena malam semakin larut, Yamada pun tak dapat menahan kantuknya lagi. Ia juga ikut tertidur di samping Emily.

Matahari pagi bersinar dengan cerahnya. Yamada terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia pun baru menyadari kalau dia tidak berada di kamarnya yang nyaman, namun ada di tengah hutan. Ia segera teringat dengan Emily. Emily masih memejamkan matanya dengan rapat. Setelah membasuh mukanya di sungai, ia kembali mendekati Emily. Dengan sekuat tenaga, ia menggendong Emily di punggungnya berusaha mencari jalan keluar. Setelah berputar-putar tak tentu arah, tibalah ia di sebuah jalan raya yang masih sepi. Ia segera menghentikan sebuah mobil patroli polisi.
“hei, apa yang terjadi denganmu?”
“aku dan temanku ini tersesat. Bisakah kau menghubungi guru kami yang berkemah di dekat lapangan Rahway River?”
“apakah… sebentar”
Polisi itu membuka buku catatan kecilnya.
“apakah kau bernama Yamada Kei dan temanmu itu Emily Grey?”
“ya, benar”
“baik, tunggu sebentar”
“bisakah lebih cepat?! Temanku ini harus segera dibawa ke rumah sakit, ia dipatuk ular berbisa”
“baik, baik”
Salah satu polisi kembali ke lapangan tempat teman-teman yang lain berkemah sambil memanggil mobil ambulan. Sedangkan polisi yang satunya ikut menunggui Emily bersama Yamada.
“kapan temanmu ini digigit ular?”
“semalam, tapi aku sudah berusaha untuk menghambat bisa ular itu agar tidak menyebar. Tapi tetap dia harus mendapat perawatan medis”
“sebentar lagi ambulan pasti akan segera tiba disini. Semalam ada yang melaporkan ke kami kalau mereka kehilangan dua orang murid di hutan sana”
“ya, itu kami”
Tak berapa lama kemudian, ambulan dan para guru sudah datang ke tempat itu.
“apa yang terjadi, Yamada?”
“Ms. Grey digigit ular. Kami tidak sempat melanjutkan rute kami”
“bagaimana keadaannya?”
“sudah lebih baik. Tapi kusarankan agar dia secepatnya dibawa ke rumah sakit agar bisa mendapatkan perawatan medis”
“trimakasih, Yamada”
“you’re welcome, Mrs. Andersson”

Mobil ambulan pun tiba tak lama kemudian. Anna bermaksud untuk ikut ke dalam mobil ambulan ketika Yamada mendekatinya.
“kau akan ikut temanmu itu ke rumah sakit, kan?”
“iya, apakah kau juga akan ikut?”
“tidak, hanya saja tolong berikan jepit rambut ini kepadanya. Semalam aku meminjamnya sebentar. Thanx…”
Belum sempat Anna berkomentar, Yamada sudah berlalu dari hadapan Anna. Anna segera masuk ke mobil ambulan dan segera meninggalkan tempat itu menuju rumah sakit.
 “bolehkah aku pulang sekarang, Mrs. Andersson?”
“tidak, kau harus tetap mengikuti acara ini seperti yang lain sampai nanti sore. Bukankah kau tidak apa-apa? Ayo, ikutlah bersamaku kesana lagi”
Dengan malas Yamada menumpang mobil Mrs. Andersson menuju tempat perkemahan lagi. Begitu sampai, murid-murid yang lain mengerumuni Yamada karena ingin tahu dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Namun Yamada hanya diam saja.
“sudah, sudah! Ayo, kita lanjutkan acara kita lagi. Nanti akan ada pengumuman dari wakil kepala sekolah” teriak Mrs. Andersson.

Emily segera dibawa ke UGD rumah sakit New Jersey. Anna menunggunya di depan pintu dengan seorang pendamping.
“hai, aku Anna, Anna Carter. Aku teman Emily. Kalau boleh tahu, siapa namamu?”
“namaku Ryunosuke Kamiki, aku hanya pendamping di acara ini”
“sepertinya… kau bukan orang sini, ya?”
“ehmm… bisa dikatakan seperti itu. Tapi, aku sudah warga negara sini”
“kalau boleh tahu, kau dari negara mana?”
“Jepang. Tapi aku lahir, besar dan tinggal disini. Begitu juga dengan orang tuaku”
“oh, begitu. Berarti setelah selesai acara ini…”
“… aku pulang dan melanjutkan pekerjaanku”
“apa pekerjaanmu? Maaf, aku terlalu banyak bertanya, ya?”
“tidak apa-apa. Aku bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan. Yah, daripada menganggur”
“ya, kau benar. Setelah lulus kuliah, aku juga ingin langsung bekerja. Atau… kuliah sekalian bekerja kalau bisa”
“kau pasti bisa jika berusaha”
“thanx…”
“oya, aku juga punya teman sekelas yang juga berasal dari Jepang. Kurasa dia masih warga sana. Karena dia baru setahun disini. Dia yang semalam hilang dengan temanku ini”
“oh, begitu. Aku belum mengenalnya”
“menurutku dia orang yang baik. Tapi dia membungkusnya dengan kesombongan. Dia tidak pernah mau bergaul dengan kami, selalu menyendiri. Tapi tetap aku harus berterimakasih kepadanya. Gara-gara dia Emily jadi selamat”
Disaat itulah dokter keluar dari dalam UGD.
“dokter, bagaimana keadaan Emily?”
“dia sudah tidak apa-apa. Dia hanya butuh istirahat saja. Beruntung racunnya sudah dikeluarkan dengan segera”
“apakah dia sudah bisa dijenguk?”
“bisa, tapi kami harus memindahkannya ke ruang perawatan”
“ya, trimakasih”
Ryunosuke Kamiki

Setelah Emily dipindahkan ke ruang perawatan, Anna dan Ryunosuke segera menemui Emily yang waktu itu masih tertidur.
“apakah kau sudah mengabari keluarganya?”
“ya, mungkin sebentar lagi keluarganya datang”
“Emily, bagaimana keadaanmu, sayang?” tiba-tiba mama Emily datang menyeruak.
“oh, Mrs. Grey?”
“trimakasih, Anna. Kau sudah menjaga Emily”
“Emily baik-baik saja. Semoga cepat boleh pulang ke rumah”
“ya, kau benar. Dan ini…”
“…ini pendamping kami di acara ini”
“namaku Ryunosuke Kamiki” sambil mengangguk hormat kepada Mrs. Grey. Mrs. Grey pun mengangguk hormat juga kepada Ryunosuke.
“Ryunosuke ini juga orang Jepang seperti anda. Tapi juga sudah menjadi warga sini”
“oya? Senang bertemu denganmu, Ryunosuke. Emily, kau sudah bangun?”
“mama?”
“iya, bagaimana keadaanmu?”
“keadaanku? Eh, aku baik-baik saja. Aku tidak apa-apa”
“syukurlah…”
“dimana papa, ma?”
“papamu harus keluar kota tadi pagi. Aku kaget sewaktu ditelpon Anna kalau kau dilarikan ke rumah sakit karena dipatuk ular di hutan itu. Aku langsung kesini secepatnya”
“kata dokter, beruntung racun itu langsung bisa dikeluarkan. Entah apa yang terjadi jika tidak. Kau harus berterimakasih kepada Yamada. Dia yang ada di sampingmu saat itu”
“ya, aku akan berterimakasih kepadanya, Anna”
“tadi sebelum kau dibawa kesini, Yamada menitipkan ini. Dia minta agar aku menyerahkan ini kepadamu”
“jepit rambutku?”
“katanya semalam waktu kau pingsan dia meminjam ini darimu”
“untuk apa?”
“entahlah. Yang penting kau segera lekas sembuh, Emily”
“I hope so”
“oya, aku juga ada berita untukmu”
“apa?”
“bukankah kau menanti-nantikan prom night? Tadi pagi sudah diumumkan akan diadakan acara itu. Dan kau tahu dimana kita akan mengadakan acara prom night?”
“dimana?”
“di rumah Yamada Kei!”
“apa?!”

“apa?! T-tunggu dulu, mengapa acara itu akan dilangsungkan di rumahku? Mengapa kalian tidak memberitahuku ataupun meminta ijin terlebih dahulu kepadaku?”
“mengapa kami harus meminta ijin? Papamu sendiri yang menelpon kepala sekolah dan meminta agar acara prom night dilakukan di rumahmu. Dan satu lagi, papamu yang menanggung semua biaya untuk itu”
Dengan kesal Yamada kembali ke tendanya dan menelpon papanya.
“ya, hallo”
“aku hanya ingin meminta penjelasan dari papa sekarang juga!”
“penjelasan tentang apa?”
“apa benar papa menelpon pihak sekolah dan mengusulkan agar acara prom night dilaksanakan di rumah kita?”
“ya, memangnya ada masalah dengan itu?”
“mengapa papa tidak memberitahuku? Aku baru saja diberitahu oleh para guru tentang hal ini”
“apakah kau keberatan, Kei-chan?”
“aku sebenarnya tidak mau kehidupan pribadiku terusik”
“aku sudah bilang kepada mereka bahwa tempat yang bisa dipakai hanyalah lantai satu dan halaman rumah. Mereka tidak akan naik ke lantai dua, Kei-chan”
“itu sama saja, pa. Mengapa papa melakukan hal ini?”
“ini sebagai rasa trimakasihku kepada mereka dan juga karena aku senang sekali kau bisa menjadi juara umum dengan nilai yang sangat mengagumkan. Apakah aku tidak boleh untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka?”
“but, it’s too much, papa!”
Yamada mematikan ponselnya dengan perasaan kecewa.


Sore itu Yamada sedang naik mobilnya dengan Tanaka. Mereka baru saja selesai mengurus apartemen yang diinginkan Tanaka.
“kau yakin ingin mengambil apartemen yang tadi?”
“memangnya ada apa?”
“maksudku… itu terlalu di daerah pinggiran. Bukan di pusat kota”
“sudah beberapa minggu aku disini. Dan aku tahu, kota ini padat sekali. Aku ingin hidup di pinggiran saja. Kalau kau tentu saja tidak perlu hidup di pinggiran kota lagi. Walaupun kau tinggal di dekat pusat kota, tapi suasana rumahmu sangat nyaman dan berhalaman luas”
“ya, kau bisa datang ke rumahku kapan saja kau mau. Ingat, disini aku bertanggung jawab penuh atas dirimu. Kalau dirimu ada apa-apa, pasti nanti aku yang dimintai pertanggungjawaban oleh keluargaku dan keluargamu”
“trimakasih, Yamada. Oya, katanya pesta prom night sekolahmu akan diadakan di rumahmu. Benarkah itu?”
“hhh… sebenarnya aku tidak menyetujui hal itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Papa yang membuat keputusan ini tanpa melibatkan aku”
“mengapa kau tidak suka? Bukankah kau seharusnya senang banyak temanmu yang akan datang ke rumahmu?”
“aku tidak suka privasiku terganggu, itu saja!”
“lalu, siapa nanti yang akan menyiapkan pesta itu di rumahmu?”
“entahlah, sepertinya dari pihak sekolah. Nanti mereka akan datang untuk melihat-lihat. Dan untuk keperluan lainnya, papa sudah mentransfer sejumlah dana kepada mereka”
“kalau begitu, kita harus cepat-cepat pulang. Takutnya mereka sudah tiba di rumahmu”
“ya, kau benar”
Sebentar saja mereka sudah masuk ke halaman rumah Yamada yang luas. Mereka melihat ada sebuah mobil terparkir di depan lobi.
“mobil siapa ini?”
“mungkin mobil dari pihak sekolahmu”
Setelah mereka ke ruang tengah…
“oh, rupanya kalian sudah tiba disini. Maaf, aku baru saja datang, Mr. Paul”
“tidak apa-apa. Kami juga baru saja tiba. Perkenalkan, ini Ryunosuke Kamiki. Dia yang akan mempersiapkan acara untuk besok. Jadi, kubawa kesini untuk melihat-lihat agar bisa mengira-ngira yang diperlukan untuk besok”
“namaku Yamada Kei, senang bertemu denganmu”
“dia juga menjadi pendamping di acara kita kemarin kalau kau ingat”
“maaf, aku tidak begitu ingat. Oya, silahkan kalau kalian ingin melihat-lihat sekarang. Akan kutunjukkan beberapa ruang yang mungkin bisa dipakai”
Yamada segera memperlihatkan beberapa bagian rumahnya yang ada kemungkinan akan di pakai untuk acara prom night. Juga halaman yang mengitari rumah itu. Mereka mendiskusikan berbagai hal. Walaupun Yamada tidak menyetujui rumahnya akan dipakai untuk acara itu, namun dia bersikap professional. Membantu pihak sekolah menjawab berbagai pertanyaan tentang seluk beluk rumahnya.
“sepertinya kita harus memusatkan acara di ruang tengah ini. Ruang tengah ini luas sekali. Sedangkan halaman hanya kita pakai sebagai tambahan saja. Bisa disebut sebagai garden party” ucap Ryunosuke.
“ya, aku setuju denganmu. Berarti kita sudah harus menghias ruangan ini secepatnya. Aku mengandalkanmu dan juga tim-mu. Aku dan Mrs. Andersson akan mempersiapkan hal yang lainnya di sekolah. Bagaimana menurutmu, Yamada?”
“bagus juga. Apapun yang kalian putuskan, aku ikut saja. Tugasku disini hanya menyiapkan tempat dan segala sesuatunya. Untuk urusan detilnya, kalian yang lebih tahu daripada aku”
“baiklah, kalau begitu sepertinya cukup untuk hari ini. Kalau aku ada perlu sesuatu denganmu aku akan menelponmu, Yamada. Kami permisi dulu”
“tentu saja, Mr. Paul. Sampai jumpa Ryunosuke”
Setelah tamunya pergi, Yamada segera ke ruang keluarga di lantai atas. Ia melihat Tanaka sedang duduk disana. Ia lalu duduk di depan Tanaka.
“aku salut kepadamu, Yamada”
“mengapa?”
“walaupun kau sebenarnya menentang acara ini diadakan disini, kau tetap menyambut mereka dengan ramah”
“kita harus bersikap professional, Tanaka”
“maaf, aku tadi mendengar yang satunya bernama Ryunosuke Kamiki. Sepertinya dia warga Jepang seperti kita”
“sepertinya begitu. Tapi aku juga tidak bertanya lebih jauh dia sudah warga Amerika atau belum. Itu bukan urusan kita, kan?”

Emily sedang berbincang dengan Anna di kamarnya.
“hei, bukankah cara prom night sudah dekat? Apakah kau sudah menyiapkan bajumu, Anna?”
“tentu saja, aku akan memakai gaun terbaikku. Jangan katakan kalau kau belum mempersiapkan segalanya, Emily!”
“sudah, semuanya!”
“bolehkah aku melihatnya?”
“tunggu sebentar”
Emily mengambil gaun dan sepatunya dari dalam lemarinya.
“bagaimana pendapatmu?”
“waaahh… bagus sekali. Simple, tapi aku suka. Siapa yang mendesainnya?”
“mamaku, tentu saja. Oya, dengan siapa kau akan pergi kesana?”
“entahlah. Kalau kamu?”
“sebenarnya… Mark sudah memintaku untuk pergi dengannya. Tapi aku belum menjawabnya”
“kalian masih saja saling diam. Inilah saatnya kalian harus gencatan senjata barang sebentar. Toh, sebentar lagi kita akan berpisah. Entah kapan kita semua bisa bersama lagi. Kau tidak mau mempunyai memory yang buruk di akhir sekolah, kan?”
“ada benarnya juga, sih. Itu bisa kupikirkan nanti”
“aku tidak sabar menanti acara itu tiba. Eh, bukankah kau belum bertemu Yamada?”
“memangnya kenapa?”
“kau bilang kau ingin mengucapkan trimakasih kepadanya karena sudah menyelamatkan nyawamu”
“iya juga. Aduuhh… aku harus bicara apa dengannya nanti? Secara dia tidak begitu menyukaiku”
“sebenarnya, apa yang terjadi dengan kalian di malam itu di tengah hutan?” Anna berkata sambil tertawa-tawa.
“apa yang ada di pikiranmu, Anna?”
“tak ada, aku hanya bertanya saja kepadamu”
“aku tidak begitu ingat. Yang kutahu kakiku sakit trus aku tidak ingat apa-apa lagi. Samar-samar aku mendengar dia memanggilku agak keras. Biasanya dia memanggilku dengan Ms. Grey. Tapi waktu itu dia memanggilku Emily berulang kali dengan nada cemas”
“begitukah…?”
“iya. Ah, kau mengingatkanku tentang sesuatu. Aku harus mengembalikan sapu tangannya yang dipakai untuk membalut lukaku kemarin”
“kau juga belum mengembalikannya?”
“setelah kejadian itu aku belum pernah bertemu dengannya, Anna!”
“semua teman menjengukmu di rumah sakit itu. Apakah dia tidak menjengukmu?”
Emily hanya menggeleng.
“hhh… teman seperti apa dia?”
“sudahlah, walaupun dia tidak menjengukku tapi dia sudah menyelamatkan nyawaku. Itu yang lebih penting. Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar saja. Aku suntuk di rumah terus”
“baiklah, ayo!”
Setelah memakai sweater dan topi rajutnya, Emily segera mengikuti Anna yang sudah terlebih dahulu turun dan menyiapkan mobilnya.

Emily Grey

Malam itu…
“Emily! Kau sudah dijemput, sayang”
“iya, pa! Tunggu sebentar!”
Setelah merapikan bajunya di depan cermin, ia buru-buru turun. Di ruang tamu sudah ada Mark yang menjemputnya untuk pergi ke acara prom night.
“kau cantik sekali, Emily”
“thanx, Mark. Ma, pa, aku pergi dulu”
“ya, hati-hati. Kau juga, Mark”
“ya, tentu”
Mark membukakan pintu mobil untuk Emily. Setelah itu, mobil Mark sudah melesat menuju rumah Yamada di daerah Manhattan.
“kau sudah tahu rumah Yamada, Mark?”
“belum, tapi kalau aku melihat ke peta yang dibagikan kemarin sepertinya aku sudah pernah melewati rumahnya”
“baguslah, berarti kita tidak akan tersesat”
“tentu saja tidak, sayang. Kau tahu, Emily. Aku senang kau mau pergi ke acara ini denganku”
“tunggu dulu, ini bukan berarti kita akan kembali ke hubungan kita yang dulu, Mark”
“aku tidak peduli. Yang penting kau mau menjadi pasanganku di acara ini. Trimakasih, Emily”
Emily hanya tersenyum.
Mobil Mark sudah sampai di suatu kawasan elite di Manhattan. Ia masuk ke salah satu halaman rumah yang luas. Sudah banyak orang yang datang ke acarta prom night itu.
“sepertinya ini rumah Yamada”
“aku seperti bermimpi. Lihatlah! Rumah ini indah dan besar sekali. Kalau Yamada bukan temanku, mana mungkin aku bisa masuk kesini?”
“sudahlah, Emily. Ayo, kita masuk”
Ramai sekali rumah Yamada malam itu. Tidak seperti biasanya yang selalu sunyi dan sepi. Teman-teman yang lain ada yang berkumpul di ruang tengah maupun di halaman rumah. Mark dan Emily memilih mengobrol dengan teman-teman mereka di ruang tengah. Mark mengambilkan Emily segelas minuman.
“trimakasih, Mark”

Yamada masih berada di depan komputernya di ruang kerjanya di lantai paling atas gedung Yamada. Beberapa kali ia melihat ke jam tangannya. Ms. Andrews masuk ke ruangannya.
“maaf, Yamada-san. Untuk malam ini sepertinya aku harus pulang lebih awal. Aku merasa tidak enak badan”
“ya, tidak apa-apa. Aku juga ada perlu di rumah. Kita lanjutkan besok pagi saja”
Mereka membereskan pekerjaan mereka. Setelah selesai, mereka sama-sama turun ke lobi.
“apakah kau mau menumpang mobilku, Ms. Andrews?”
“tidak, trimakasih. Aku sudah ada yang menjemput”
“baiklah. Aku pergi dulu. Sampai jumpa”
Yamada segera pulang menuju rumahnya. Ia lewat pintu gerbang belakang. Orang yang berjaga disitu segera membuka pintu gerbangnya begitu tahu Yamada yang akan masuk.
Bergegas Yamada menuju lantai atas ke kamarnya. Melempar jas dan badge-nya ke atas sofa lalu ke kamar mandi membersihkan tubuhnya yang masih kelelahan setelah seharian ia berada di kantornya. Suara hingar bingar musik yang diputar di lantai bawah pun terdengar sampai ke kamarnya.
Sementara itu di bawah, Emily sedang berdansa dengan Mark. Sedangkan Anna hanya mengobrol dengan yang lainnya di halaman samping.
“oya, sepertinya aku malah belum melihat si tuan rumah”
“maksudmu Yamada?”
“tentu saja. Bukankah seharusnya dia menyambut kita?”
“huh… kau seperti tak tahu tentang dia saja, Anna. Siapa tahu dia malah melarikan diri, tidak ikut di acara ini”
“orang yang aneh…”

“maaf, Mark. Aku harus ke toilet sebentar”
“ya, aku tunggu kau disana”
Dengan agak kebingungan, Emily bertanya kepada salah seorang pelayan yang membawa senampan penuh minuman.
“maaf, bisakah kau memberitahuku dimana toiletnya?”
“kau bisa mengikuti lorong ini, lurus saja. Nanti ada di dekat tangga”
“baiklah, trimakasih”
Dengan terburu-buru, Emily segera mengikuti lorong itu. Di ujung lorong ada sebuah tangga yang indah menuju atas. Ia segera masuk ke toilet yang ada di samping tangga. Setelah selesai dan merapikan dirinya di depan cermin toilet yang besar, ia segera keluar. Ketika akan menuju lorong yang akan membawanya kembali ke ruang tengah, ia berhenti sejenak di tangga yang indah itu. Ia mengaguminya. Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya menapaki tangga yang indah itu ke atas dengan perlahan.
Sebentar saja, ia sudah berada di lantai atas. Lagi-lagi ia takjub dengan ruangan atas itu. Ruang keluarga yang cukup luas. Di ujung ruangan terdapat perapian dan beberapa set sofa yang berwarna putih bersih. Sepi. Tak ada seorang pun disitu.
Perlahan ia melihat-lihat berbagai hiasan meja yang sepertinya mahal. Juga beberapa foto yang dibingkai dengan indahnya di atas meja. Sedangkan foto-foto yang ada di dinding berukuran besar. Foto keluarga Yamada dari generasi ke generasi. Juga beberapa pedang yang di pajang di dinding. Ia juga melihat foto Yamada Kei yang besar yang tergantung di samping perapian dengan membawa katakana sedang beraksi.



“siapa sebenarnya dirimu, Yamada?”
Cukup lama Emily menatap foto besar Yamada Kei itu. Tiba-tiba tangannya menyenggol sebuah foto lama yang juga dipigura cantik seperti yang lainnya di atas meja. Ia mengamatinya sesaat. Mulutnya ternganga lebar, dadanya bergemuruh.
“apa yang kau lakukan disini, Ms. Grey?”
Sebuah suara mengagetkannya, apalagi itu ternyata suara Yamada Kei. Ia semakin gugup. Ia menyembunyikan foto yang dipegangnya di belakang tubuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar