Jumat, 03 Juli 2015

MY SAKURA (bagian 6)



“sepertinya di undangan sudah tertera dengan jelas. Bahwa acara hanya diadakan di lantai bawah dan halaman sekitar rumah”
Yamada sudah rapi dengan jas dan tuxedonya. Perlahan ia mendekati Emily dengan tatapan mata yang tajam.
“aku bisa komplin kepada pihak sekolah. Aku tidak mau rumahku dimasuki orang tanpa seijinku”
Emily semakin mundur perlahan.
“apa yang kau sembunyikan itu, Ms. Grey?”
Jarak diantara mereka tinggal sejengkal. Yamada menghentikan langkahnya. Sedangkan Emily juga sudah tidak bisa mundur lagi karena di belakangnya sudah ada tembok.
“bolehkah aku tahu, apa yang kau sembunyikan dariku itu?”
Emily menatap Yamada dengan tatapan yang diliputi rasa amarah yang amat sangat.
“kau tidak bisa bersembunyi dari kedokmu lagi, Yamada”
“apa maksudmu, Ms. Grey?”
“aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu selama ini terhadapku. Yang jelas, aku tidak bisa menerima semua ini. I hate you, Kei! Really hate you!”
Emily menahan amarahnya. Ia membanting foto yang sedari tadi dipegangnya ke dada Yamada. Yamada mengamatinya. Sebuah foto lama, foto dirinya sewaktu masih kecil dengan beberapa teman sekelasnya! Ia kemudian menatap Emily.
“apa maksud semua ini, Kei?!”
“a-aku…”
“ini, aku juga mau mengembalikan sapu tanganmu. Trimakasih kau sudah menolongku waktu itu. Tapi, maaf. Aku tidak bisa menerima semua ini. Aku tidak mau mengenalmu lagi, Kei!”
“Emily!”
Yamada mencekal Emily yang akan pergi dari tempat itu. Menghempaskannya ke tembok lagi.
“ok, dengar aku dulu, Emily!”
“aku tidak mau mendengar apapun darimu. Lepaskan aku, Kei!”
Emily mendorong Yamada dengan keras lalu melarikan diri menuju tangga yang tadi ia pergunakan untuk naik.
“Emily!”
Yamada berlari menyusul Emily. Namun baru sampai di tengah tangga, langkahnya sudah dihadang oleh Mark.
“apa yang telah kau lakukan terhadap Emily, ha?!”
“a-aku… kami…”
“… sudahlah, Mark. Antar aku pulang sekarang!”
“beraninya kau sama perempuan. Rasakan ini!”
Mark menghadiahi bogem mentah ke wajah Yamada. Dengan terhuyung-huyung dan berpegangan pada tangga, Yamada memegang hidungnya yang berdarah lumayan banyak. Sewaktu pukulan Mark akan mendarat di wajah Yamada lagi, Emily sudah menyeret Mark agar mengikutinya keluar rumah.
“urusan kita belum selesai, Yamada!”
“sudahlah, antar aku pulang sekarang!”
Dengan terburu-buru, mereka meninggalkan tempat itu. Banyak murid lain yang menyaksika hal itu. Namun mereka tidak berani berbuat apa-apa. Yamada kembali ke lantai atas. Lalu membanting foto itu dengan keras ke lantai hingga kacanya pecah berantakan!
Christy naik dan mendekati Yamada yang masih terduduk di sofanya.
“apa yang telah Emily lakukan terhadapmu, Kei?”
Segera Yamada menatap Christy dengan menahan rasa marah dan bangkit dari duduknya.
“siapa kau berani-beraninya memanggilku dengan nama itu seolah-olah kau mengenalku?!”
Bergegas Yamada masuk ke kamarnya dan menutup pintunya dengan keras meninggalkan Christy seorang diri.
Anna berlari menyusul Emily yang sudah duduk di samping Mark yang sedang bersiap-siap meninggalkan tempat itu.
“Emily! Ada apa? Apa yang telah dilakukan Yamada terhadapmu, ha?!”
“maaf, untuk saat ini aku belum ingin bercerita. Aku hanya ingin pulang dulu, Anna. Ayo, Mark!”
“kau bisa menghubunginya kalau dia sudah tenang, Anna. Maaf, kami pergi dulu”
Anna hanya bisa memandang kepergian Emily dan Mark.
Di perjalanan pulang, sikap Emily sudah agak tenang. Namun, dia masih tetap diam seribu bahasa.
“apakah kau baik-baik saja?”
“ya, aku tidak apa-apa”
“kalau boleh tahu…
“…antar saja aku pulang secepatnya, Mark”
“baiklah”
Mark tak berani bertanya apa-apa lagi. Ia segera mengarahkan mobilnya ke rumah Emily. Begitu tiba, Emily segera turun dari mobil Mark.
“trimakasih kau sudah mengantarku pulang, Mark”
“ya, kalau kau butuh sesuatu kau bisa menelponku kapan saja”
“tentu, selamat malam, Mark”
Begitu Emily sudah menghilang dari balik pintu depan rumahnya, Mark pun juga segera meninggalkan tempat itu.
“Emily, kau sudah pulang. Mengapa cepat sekali?”
“tidak ada apa-apa, pa. Aku hanya tidak enak badan. Jadi kuminta Mark untuk mengantarkanku pulang lebih awal”
Untuk menghindari pertanyaan dari kedua orang tuanya yang masih terus menatapnya dengan wajah curiga, Emily bergegas ke kamarnya dan menghempaskan dirinya di tempat tidur.

Esok paginya, Anna masuk ke kamar Emily. Dilihatnya Emily masih tidur.
“Emily, bangun”
Emily menggeliat perlahan dan memicingkan matanya.
“Anna, ada apa?”
“apakah kau lupa? Bukankah kita harus ke sekolah? Kita semua harus mengambil berkas-berkas. Mungkin ini terakhir kalinya kita datang ke sekolah kita”
“haduuuhh… bisakah kamu saja yang kesana sekalian ambilkan punyaku?”
“tidak bisa, Emily. Bukankah kita harus tanda tangan juga, jadi tidak bisa diwakilkan”
“jam berapa sekarang?”
“jam 10 pagi. Untungnya kita diperbolehkan mengambil jam berapa saja asal tidak lewat jam sekolah”
“baiklah, tunggu sebentar. Aku akan mandi dulu”
Setelah semuanya selesai, mereka segera berjalan kaki ke sekolah. Mereka hanya memakai baju casual. Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di ruangan Mrs. Andersson. Tanda tangan dan menerima beberapa berkas yang sudah dimasukkan ke dalam tas masing-masing.
“setelah ini kita mau kemana, Emily?”
“entahlah. Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja ke Hudson River? Hari ini sepertinya cerah”
“baiklah. Tapi tunggu dulu, aku harus ke toilet dulu!”
Anna cepat-cepat pergi ke toilet meninggalkan Emily di depan lokernya. Emily segera membersihkan barang-barang yang ada di lokernya dan dimasukkan ke tas ranselnya. Di sudut matanya, ia melihat seseorang yang juga sedang ada di loker tak jauh dari tempatnya berdiri. Suasana koridor sangat sepi. Perlahan ia menoleh. Deg…!
“K-Kei…” bisik Emily perlahan.
Dengan terburu-buru, Emily membereskan sisa barang-barangnya. Belum sempat ia menutup tasnya, Yamada Kei sudah berdiri di dekatnya.
“apakah kau sedang terburu-buru, Ms. Grey?”
“i-iya. Aku menunggu Anna, kami ada keperluan”
“bisakah kita bicara berdua saja?”
“maaf, sudah kubilang. Kami terburu-buru”
Bergegas Emily bermaksud meninggalkan tempat itu. Tapi dengan cepat Yamada menghadangnya.
“sudah kubilang, aku ingin bicara denganmu, Ms. Grey” tegas Yamada sekali lagi.
Yamada hanya menatap tajam kepada Emily sambil tangannya dengan erat mencengkeram lengan Emily. Yamada akan membuka mulutnya untuk bicara ketika Anna tiba-tiba sudah ada diantara Emily dan Yamada.
“hei, ada apa ini?”
“ayo, Anna. Kita harus pergi cepat-cepat. Aku tidak mau kita terlambat lagi”
Emily menyeret tangan Anna dan segera keluar dari sekolah mereka. Yamada masih diam terpaku di tempatnya. Setelah Anna dan Emily tidak terlihat lagi, barulah Yamada menuju tempat parkir. Ia mengarahkan mobilnya ke pusat kota Manhattan, ke kantornya.

Emily dan Anna jalan-jalan berdua di tepi Hudson River.
“sedari tadi kau hanya diam saja. Ada apa, Emily?”
“aku sebenarnya ingin bercerita denganmu tentang kejadian di acara prom night malam itu. Tapi aku bingung, tak tahu aku harus memulai darimana, Anna”
“cerita apa? Yang tentang pertengkaran kau dan Yamada itu? Sudahlah, dia memang orang yang brengsek! Kau sudah tahu sendiri tentang sifat dia, kan? Kau seharusnya sudah terbiasa dengan ini semua. Mengapa sekarang masih juga kau pikirkan?”
“sebenarnya… Yamada Kei adalah teman kecilku yang dari Jepang yang selama ini kupikirkan”
“what?! Darimana kamu tahu? Sejak kapan?”
“di acara prom night itu”
“bagaimana kamu bisa tahu?”
“aku tidak sengaja, Anna. Aku hanya penasaran dengan lantai atas rumah Yamada. Aku naik dan… yah, begitulah. Aku jadi tahu semuanya”
“apa buktinya kalau dia memang teman Jepangmu?”
“di ruang keluarga lantai atas itu, aku menemukan foto kami bersama teman sekelas waktu aku sekolah disana. Kau tahu fotoku sewaktu aku sekolah disana, bukan? Nah, persis seperti itu. Karena semua murid memang mempunyai foto itu. Jadi aku yakin, Yamada itu memang teman kecilku. Aku sudah curiga sedari awal. Hanya saja aku tidak punya bukti apa-apa”
“lalu, apa langkahmu selanjutnya?”
“aku masih marah, Anna. Aku tidak mau diperlakukan seperti ini. Dia bersikap seolah-olah kami orang asing padahal dia mengenalku. Dia bersikap membenciku dan tidak peduli kepadaku”
“apa sikap dia begitu kau sudah mengetahui semuanya?”
“dia ingin bicara berdua denganku. Tapi aku tidak mau. Aku belum bisa memaafkan dia. Aku terlalu sakit hati dengan sikapnya selama ini. Kei kecil tidak seperti itu sikapnya. Tapi sekarang…”
“waktu bisa mengubah seseorang, Emily”
“kau benar. Sekarang lupakan dia. Toh, kita sudah lulus sekolah. Aku tak akan bertemu lagi dengannya. Dan aku akan melupakannya”
“kau tidak ingin berbicara dengannya walau sekali saja? Yah… maksudku, paling tidak kau akan mengerti alasan dia mengapa selama ini dia menyembunyikan identitasnya darimu”
“tidak, aku tidak ingin tahu. Aku berharap tidak akan bertemu lagi dengan Yamada Kei!”
“baiklah kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Tapi kalau ada apa-apa, kau harus langsung bercerita kepadaku. Oke?”
“oke!”

Selepas kerja, Yamada mengendarai mobilnya seorang diri menuju Todt Hill. Ia menyukai tempat itu dikala ingin sendiri. Hari menjelang senja. Matahari sudah hampir tenggelam. Setelah memparkir mobilnya, ia menuju pembatas Todt Hill dan memandang jauh ke depan.

Todt Hill
Terlihat ia sedang menelpon Ms. Andrews.
“bisakah kau mencarikan tiket untukku lagi, Ms. Andrews?”
“apapun bisa kulakukan untukmu, Yamada-san”
“siapkan tiket untuk besok, atau kalau bisa secepatnya. Aku ingin pulang ke Jepang lagi, mungkin untuk seminggu atau lebih. Atau kalau tidak, carikan tiket untuk kesananya saja. Untuk pulangnya aku akan mencari sendiri disana”
“bukankah jadwal untuk minggu ini sudah padat? Maksudku jadwal untuk bertemu dengan beberapa klien”
“terserah, tolong uruskan juga hal itu. Kalau bisa di re-schedule, kalau tidak bisa di cancel saja! Aku ingin pulang secepatnya!”
“b-baiklah, akan kuusahakan”
“thanx, Ms. Andrews”
Setelah mematikan sambungan ponselnya, ia kembali melamun. Ia terkejut ketika pundaknya ditepuk seseorang dari belakang. Ia menoleh dan menatap tajam kepada seorang pemuda yang sudah berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang.
“aku tadi mengikutimu”
“sejak kapan?”
“begitu kau naik ke bukit ini. Kebetulan aku melihatmu”
“ada perlu apa kau mengikutiku?”
“aku punya urusan denganmu yang belum terselesaikan”
“selama yang kuingat, aku tidak pernah punya urusan denganmu”
“memang, tapi sekarang kau punya urusan denganku sejak di acara prom night itu”
“oh, kalau tidak salah kau yang bernama Mark itu ya. Maaf, aku tidak begitu mengenalmu. Kita beda kelas. Sekarang kau sudah bertemu denganku. Apa yang kau inginkan dariku?”
“aku tidak terima atas perbuatanmu terhadap Emily”
“kupikir itu urusanku dengan dia, tidak denganmu!”
“tapi sekarang menjadi urusanku. Emily kekasihku. Apa yang telah kau lakukan kepadanya hingga dia seperti itu?”
“owh, dia kekasihmu? Seharusnya kau bisa menjaganya dengan lebih baik lagi”
“kau meragukan kemampuanku, Yamada”
“tidak, aku yakin akan kemampuanmu. Nyatanya kau mempunyai banyak pengikut di sekolah. Tapi, aku ingin mencoba kemampuanmu disini, di luar sekolah. Dimana hanya ada aku dan kamu. Bahkan tak ada seorangpun anak buahmu yang ada disini yang bisa kau mintai bantuan”
“kau memang benar-benar brengsek, Yamada!”
Dengan cepat Mark menyerang Yamada menggunakan pisau kesayangannya. Namun dengan entengnya Yamada hanya berkelit.
“kau harus berhati-hati menggunakan senjata tajam itu, Mark. Itu bisa melukai dirimu sendiri”
“pisau kesayanganku ini sudah haus akan darahmu, Yamada”
“oya? Cobalah kalau kau bisa” jawab Yamada dengan santainya.
Mark menyerang Yamada dengan gencarnya. Berkali-kali Yamada hanya menghindar saja. Tapi karena Yamada sudah tidak sabar lagi, gantian ia yang menyerang Mark. Mark dibuatnya tak berdaya. Mark memang bukan lawan tanding Yamada yang sudah menguasai wushu sejak ia kecil. Mark roboh, namun Yamada masih tetap menghajar Mark tanpa ampun. Wajah Mark sudah penuh dengan darah segar.  Setelah merasa puas melampiaskan amarahnya, Yamada berdiri dan menghapus peluh di dahinya.
Hari sudah semakin larut. Namun Yamada masih menatap lampu kerlap-kerlip di bawah sana dari puncak Todt Hill. Ia membiarkan Mark yang masih tergeletak kepayahan di belakangnya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi lagi.
“ya, Ms. Andrews”
“tiket untuk besok sudah ada. Aku pilihkan yang jam 18:05, sampai di Narita jam 21:00 waktu setempat. Tiket sudah langsung kukirim ke rumahmu, Yamada-san”
“trimakasih banyak, Ms. Andrews”
Bergegas Yamada meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Seorang pria memparkirkan mobilnya.
“apakah ada titipan untukku?”
“iya, ada di meja kerjamu, Yamada-san”
“ya, trimakasih”
Ia segera menuju ruang kerjanya di lantai atas di samping ruang keluarga. Ada sebuah amplop disitu yang isinya tiket dengan tujuan Narita, Tokyo, Jepang. Ia memasukkan amplop itu ke dalam tas ranselnya. Ya, ia tidak membawa apa-apa. Hanya sebuah tas ransel. Setelah itu ia membaringkan tubuhnya di ranjangnya yang besar dan sebentar saja sudah terlelap karena kelelahan.
Baru saja ia memejamkan matanya, ponselnya berbunyi lagi. Dengan malas dan rasa ngantuk yang amat sangat, ia mengambil ponselnya yang ia letakkan di samping bantalnya.
“ya, siapa ini?”
“Yamada? Ini aku, Tanaka”
“oh, kau. Ada apa?”
“maaf, apakah aku mengganggumu? Sepertinya kau sedang tidur ya tadi?”
“yah… aku baru saja pulang. Ada apa?”
“bisakah kau besok mengantarku untuk melihat-lihat Columbia University? Karena kupikir kau dulu bilang ingin masuk kesana. Jadi, kita bisa sama-sama kesana”
“hhh… aku tidak bisa, Tanaka. Besok sore aku akan pulang. Mungkin untuk seminggu atau lebih”
“mengapa mendadak sekali? Apakah ayahmu yang memintamu untuk pulang?”
“tidak, aku hanya ingin pulang saja”
“baiklah, aku akan kesana sendirian. Sekalian ingin menghafalkan jalanan disini. Salam saja untuk semuanya. Hati-hati, ya. Bye”
Setelah itu Yamada Kei kembali terlelap.

Siang itu, Yamada masih berada di kantornya dengan Ms. Andrews.
“ini sudah jam 2 siang, Yamada-san. Bukankah pesawatmu jam 6 sore?”
“ya, tunggu sebentar. Aku harus menyelesaikan ini dulu. Sebisa mungkin, kalau tidak penting sekali aku TIDAK INGIN diganggu disana. Seperti biasa, semua bisa kau tangani dengan Mr. Malkovich. Dan juga dokumen-dokumen ini sekalian serahkan kepadanya. Dia nanti sudah tahu. Aku sudah memberitahunya”
“ya, tentu saja”
Setelah menyelesaikan semuanya, buru-buru Yamada turun ke lobi. Dengan diantar sopirnya, ia segera menuju bandara JFK. Ia hanya membawa ransel yang sudah ia bawa sekalian pada waktu akan ke kantor tadi pagi. Di tengah perjalanan, ponselnya berbunyi.
“hai, Yamada”
“oh… kau, Tanaka. Ada apa?”
“maaf, aku tidak bisa mengantarmu sore ini. Aku masih di Columbia University”
“tidak apa-apa. Aku masih dalam perjalanan ke bandara. Kalau ada apa-apa, telpon saja aku”
“ya, trimakasih. Have a nice trip, Yamada”
Sampai di bandara, ia langsung menuju lounge. Duduk di sofa sambil memejamkan matanya yang terasa lelah dengan ditemani secangkir kopi hangat.

Sore itu, Emily sedang menghabiskan waktu di Central Park. Duduk sendirian sambil membaca novel kesukaannya. Banyak orang berlalu-lalang di taman yang ada di pusat kota Manhattan itu. Seseorang tiba-tiba berhenti di depannya.
“Emily? Emily Grey?”
Emily berhenti membaca, mendongak.
“ya?”
“kau sudah lupa denganku?”
Seorang pria dengan rambut lurus, bermata sipit dan senyum lebar masih terus menatap Emily.
“eh, maaf. Ya, aku lupa. Dimana kita pernah bertemu?”
“di acara sekolahmu, di Rahway River. Dan juga di acara prom night malam itu. Aku yang dulu menjagamu di rumah sakit waktu itu”
“ah… iya, aku ingat. Tapi maaf, aku lupa namamu”
“aku Ryunosuke Kamiki”
“ah… ya, benar. Apa kabar?”
“baik. Bagaimana denganmu?”
“seperti yang kau lihat. Keadaanku baik-baik saja. Apakah kau sendirian?”
“ya, aku hanya menghabiskan waktu sepulang kerja. Karena kalau sudah di rumah, aku sudah malas untuk keluar lagi. Kau juga sendirian?”
“ya, sebenarnya aku jarang kesini. Hanya saja sore ini aku ingin duduk-duduk santai saja disini. Dimana tempat kerjamu?”
“di gedung yang sana itu. Tapi aku hanya bekerja paruh waktu. Yah, lumayanlah daripada menganggur. Aku harus terus bekerja apa saja untuk membiayai sekolahku sendiri”
“kau? Sekolah?”
“ya, kenapa?”
“tidak apa-apa. Kau sekolah dimana?”
“Columbia University. Bagaimana denganmu? Dimana kau akan melanjutkan sekolahmu?”
“entahlah, aku belum punya bayangan apapun. Oya, di bagian apa pekerjaanmu?”
“maintenance. Tapi kuharap suatu saat nanti aku akan diangkat sebagai karyawan tetap disana. Kalau sekarang, mereka belum membutuhkan itu. Makanya aku hanya bekerja paruh waktu”

Ryunosuke Kamiki
“di gedung yang itu?” Emily menunjuk salah satu gedung tinggi di sebrang jalan.
“iy-ya. Kau tahu?”
“bukankah… gedung itu milik keluarga Yamada?”
“ya, benar. Dia atasanku. Tapi sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengannya. Tentu saja, karena aku hanya pegawai rendahan. Benar, kan? Hei, mengapa kau menatapku seperti itu?”
“eh, t-tidak apa-apa. Oya, dimana tempat tinggalmu?”
“tidak jauh dari sini. Kau bisa mampir kalau kau ada waktu. Sewaktu kau dirawat di rumah sakit itu, aku berbincang dengan ibumu. Ternyata ibumu juga berasal dari Jepang, ya?”
“iya, tapi papaku dari sini. Makanya kami pindah kesini. Bukankah kamu sendiri juga berasal dari sana?”
“ya, tapi aku sudah warga sini. Aku lahir, besar dan tinggal disini. Aku baru sekali ke Jepang”
“kalau aku lahir disana dan tinggal disana sampai usiaku sekitar 6 tahun. Setelah itu, kami belum pernah kesana lagi”
“mungkin lain kali kita bisa kesana bersama-sama. Aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang Jepang”
“tentu, pastinya akan menyenangkan sekali”
“oya, bagaimana kalau kau kutraktir secangkir kopi. Aku tahu ada kedai kopi enak yang berharga murah di sekitar sini”
Emily hanya tersenyum melihat kepolosan Ryunosuke.
“oh, maaf. Mungkin kau tidak terbiasa minum di kedai kopi berharga murah, ya?”
“e-bukan begitu. Hanya saja aku mulai menyukaimu. Maksudku… kau tampil apa adanya”
“kalau aku tidak seperti ini, itu bisa menjadi boomerang buatku. Aku mentraktirmu kopi mahal padahal aku tidak punya uang sebanyak itu. Darimana aku bisa membayarnya. Iya, kan?”
Emily tertawa lepas.
“baiklah, ayo!”
Emily bangkit dari duduknya diikuti Ryunosuke. Mereka berjalan beriringan menuju kedai kopi yang di maksud Ryunosuke.

Begitu tiba di Narita, Yamada segera naik taksi menuju rumah kakeknya, Yamada Kazuhiko. Ia masuk ke ruang tengah, sepi. Tak ada seorang pun disana. Ia kembali melangkahkan kakinya ke ruang atas. Disana ia melihat kakeknya dan papanya sedang berbincang santai.
“Kei-chan? Kapan kau tiba?”
“baru saja, pa. Apa kabar?”
“mengapa kau tidak mengabari kami?”
“bukan hal yang penting. Apa kabar, kek?”
“seperti yang kau lihat. Aku masih baik-baik saja. Aku senang kau pulang, Kei”
Kei duduk di dekat kakeknya.
“aku tahu”
“tahu apa, kek?”
“kau pulang kesini secara tiba-tiba. Bisa jadi kau sedang ada masalah disana. Apakah aku benar?”
“tidak juga. Hanya ingin pulang saja, mungkin untuk seminggu atau lebih. Dan aku tidak ingin diganggu dengan urusan pekerjaan selama aku disini. Karena begitu aku kembali kesana lagi, kesibukan sudah menantiku”
“ya, kau harus bisa mengatur waktumu. Ditambah kau harus meneruskan sekolahmu lagi. Atau… kau mau menyerah, Kei-chan?”
“aku? Menyerah? Tidak, pa”
“bagaimana kabar Harumi?”
“dia baik-baik saja. Dia juga sudah mempunyai apartemen disana. Sepertinya kami akan meneruskan sekolah di tempat yang sama”
“bagus, karena kalian akan kami jodohkan”
“what?!”
“kenapa? Kalian cocok satu sama lain. Bagaimana pendapatmu tentang dia?”
Kei hanya mendesah panjang. Berita itu akhirnya datang juga, pikirnya. Ia pun sudah bisa menguasai emosinya.
“dia baik, pa. Aku juga merasa nyaman berada di dekatnya”
“bagus! Nanti kalau aku bertemu Tanaka, aku akan mengabarkan berita baik ini. Dia pasti akan sangat senang sekali”
“maaf, apakah Tanaka Harumi sudah mengetahui akan hal ini?”
“belum, tapi aku yakin sekali kalau dia juga akan setuju. Bagaimana denganmu, Kei-chan?”
“m-maksud papa tentang perjodohan ini?”
“tentu saja”
“aku tidak akan pernah mengecewakan keluarga Yamada. Seperti yang dilakukan Oji-san”
“aku bangga sekali denganmu, Kei”
“trimakasih, kek”
Yamada hanya tersenyum dengan senyum yang agak dipaksakan.
“kau harus istirahat sekarang, Kei-chan. Kau pastinya lelah sekali”
“iya, pa. selamat malam”
Kei menuju kamarnya yang biasa ia pakai kalau ia sedang berkunjung kesana. Masih seperti terakhir kali ia berkunjung. Tidak ada yang berubah. Ia hanya berbaring sambil menatap langit-langit kamarnya. Kedua tangannya ia pergunakan sebagai bantal.
Pikirannya kalut, penat. Sebenarnya ia ke Jepang hanya untuk menenangkan pikirannya. Tapi ternyata begitu sampai, ia mendapat kabar itu. Kabar yang sebenarnya sudah bisa ia prediksi. Namun ia tak menyangka bahwa Tanaka Harumi-lah yang akan menjadi istrinya kelak.

Tanpa sarapan, sesudah mandi pagi Yamada Kei menuju rumah Yamada Ryuu.
“selamat pagi, Oji-san”
“Kei-kun? Ada kabar apa ini?”
Kei segera duduk di samping Ryuu di meja makan. Seorang pelayan segera melayaninya sarapan.
“trimakasih. Dimana bibi Akemi, Oji-san?”
“sudah sejak kemarin ia ada di Osaka. Mungkin beberapa hari karena ada urusan pekerjaan disana. Kau belum menjawab pertanyaanku, Kei-kun”
“tidak ada apa-apa. Hanya ingin pulang saja. Kalau aku ingin pulang apakah harus memakai alasan?”
“aku tahu kamu. Tidak apa-apa kalau kau belum ingin bercerita. Apa rencanamu hari ini?”
“tidak tahu. Aku belum ada rencana apapun”
“kalau begitu, kau ikut aku saja. Aku ada proyek yang harus aku cek hari ini”
“baiklah, aku ikut”
“selesaikan dulu sarapanmu. Aku akan bersiap-siap”
Setelah itu mereka meninjau sebuah proyek yang dibangun oleh perusahaan Yamada cabang Tokyo. Bangunan yang belum jadi plus berdebu. Namun Kei tetap antusias bertanya ini itu kepada Ryuu.

Sore itu selepas jam kerja, Ryuu mengajak Kei duduk di tepi danau Ueno Park. Sambil minum kopi hangat mereka berbincang santai sambil melihat danau yang tenang di tengah kota Tokyo yang padat dan sibuk. Banyak orang menghabiskan waktu di taman itu. Bersama pasangan, teman dan ada pula yang duduk sendirian.

Ueno Park, Tokyo

 
“berapa lama kau disini?”
“mungkin seminggu, bahkan lebih. Kalau aku sudah disana kembali, aku tidak akan bisa santai seperti ini. Pekerjaan dan sekolahku akan menyita banyak waktuku”
“kau juga harus memikirkan hidupmu, Kei-kun. Jangan semuanya untuk urusan pekerjaan. Pekerjaan tidak akan ada habisnya kau urusi”
“untuk apa memikirkan hidupku, Oji-san? Sudah ada orang lain yang memikirkannya. Aku tinggal menjalani saja”
“maksudmu?”
“hidupku sudah diatur oleh keluarga Yamada. Terutama kakek dan papa, seperti dirimu dulu. So? It’s just waste of time”
“mereka bicara apa?”
“tentang perjodohanku”
Ryuu hanya menghela nafas panjang sambil menyeruput kopinya yang sudah agak dingin.
“kau setuju dengan itu semua?”
“apa yang bisa kulakukan? Seperti kau waktu itu”
“tidak, aku tidak mau kau sepertiku!”
“maksudmu?”
“apakah kau menyukai gadis lain?”
Kei hanya terdiam.
“siapa yang akan dijodohkan denganmu?”
“putri keluarga Tanaka, Harumi”
“ya, aku mengenalnya. Ia juga rekan bisnis papamu. Kau sudah mengenalnya?”
“ya, dia sekarang juga di Manhattan. Dan kemungkinan besar kami juga akan meneruskan sekolah di tempat yang sama. Aku sudah bisa menebak kalau jalan hidupku akan seperti ini. Hanya saja… aku tidak tahu kalau dia yang akan menjadi calon istriku” Kei tersenyum kecut.
“bagaimana dengan Emily Grey?”
“ah… sudahlah, Oji-san. Lupakan saja. Aku sudah menerima perjodohan ini. Dia sudah tahu siapa aku yang sebenarnya dan nampaknya dia marah sekali. Dia tidak mau bicara ataupun melihatku lagi. Untunglah kami sudah selesai sekolah dan semoga saja dia tidak meneruskan sekolahnya di Columbia”
“kau tidak mencoba menjelaskan kepadanya tentang alasanmu?”
“sudah kucoba, tapi dia tak mau tahu dan tidak ingin tahu. Sebenarnya aku kesini ingin menenangkan pikiranku. Tapi semalam begitu sampai, papa mengabarkan berita itu yang membuatku tambah pusing!”
“aku akan mencoba bicara dengan Yasuo”
“tidak perlu, trimakasih. Mulai sekarang aku harus membiasakan diri dengan Tanaka Harumi”
“kalau itu maumu. Yah… mungkin sibuk dengan pekerjaan bisa membuatmu lupa sejenak tentang masalah ini”
Hari sudah mulai senja. Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan.
“sebaiknya kita pulang sekarang, Kei-kun. Aku akan mengantarmu”
Ryuu segera mengantar Kei pulang ke rumah utama. Sudah ada Yasuo dan Kazuhiko di lantai atas.
“ternyata kau pergi dengan Ryuu, Kei?”
“iya, kek. Sekalian melihat proyek yang sedang dibangun”
Mereka segera ikut duduk di ruang keluarga itu.
“tadi Kei-kun sudah cerita kepadaku. Katanya kalian akan menjodohkannya dengan putri Tanaka”
“ya, mereka berdua cocok sekali. Kei-chan juga sudah setuju dengan perjodohan ini. Tinggal menunggu apa lagi?”
“aku ingin segera melihat cucu kesayanganku ini menikah. Kuharap dia sudah menikah sebelum aku mati nanti”
“kakek jangan berkata begitu. Tentu aku akan menikah secepatnya dengan Tanaka Harumi”
“kau membuatku bahagia, Kei”
“sepertinya makan malam sudah siap. Kita lanjutkan obrolan kita disana saja”
Mereka segera makan malam bersama. Kei lebih banyak diam mendengarkan obrolan papa dan kakeknya.
Kei mengisi liburannya di Jepang dengan mengendarai mobilnya seorang diri. Menyusuri tempat-tempat yang indah dan alami. Terkadang sampai menginap di sebuah motel sederhana di luar kota. Ia pun mematikan ponselnya karena liburannya kali ini ia tidak ingin diganggu siapapun, apalagi untuk urusan pekerjaan.

Suatu sore, Ryunosuke sedang bersiap akan pulang ketika atasannya memanggilnya.
“apakah hari ini kau bisa lembur?”
“ya, tentu saja bisa. Aku tidak ada acara apa-apa hari ini”
“baiklah. Kau tahu Ms. Andrews, kan?”
“ya, tentu saja. Dia baik sekali kepadaku”
“baru saja dia memintaku untuk memperbaiki komputernya yang sedang error. Kalau masih ada orang, tentu saja. Katanya ada pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini juga”
“kalau begitu, aku akan kesana sekarang”
“trimakasih, Ryunosuke”
Bergegas Ryunosuke menuju lantai paling atas. Begitu keluar dari lift, ia melihat sekeliling mencari meja Ms. Andrews. Ruangan yang besar dan masih banyak karyawan yang belum pulang. Seorang karyawan mendekatinya.
“ada yang bisa kubantu?”
“aku mencari meja Ms. Andrews. Katanya komputernya sedang bermasalah”
“owh, itu. Setelah meja yang paling ujung itu nanti ada ruangan yang agak besar. Disitulah ruangan Ms. Andrews”
“trimakasih”
Ryunosuke menuju tempat yang dimaksud. Ia pun menemukan Ms. Andrews di ruangan itu.
“selamat sore, Ms. Andrews”
“kau, Ryunosuke?”
“ya, aku mendapat info kalau komputermu sedang bermasalah”
“ya, sedari tadi aku hanya sibuk dengan computer ini. Aku tidak tahu apanya yang salah. Padahal pekerjaanku sangat banyak”
“serahkan padaku. Aku akan membantumu”
“trimakasih”
Ryunosuke segera mengecek komputer yang ada di depannya itu. Sampai memeriksa sambungan kabel yang ada di bawah meja juga.
“sekalian juga, Ryunosuke”
“ada apa, Ms. Andrews?”
“aku ingin memberimu sebuah undangan”
“undangan apa?”
“sebenarnya… sebulan lagi aku akan menikah. Jadi, aku bermaksud mengundangmu juga”
“waaahh… selamat, Ms. Andrews. Aku ikut senang mendengarnya”
Ryunosuke menerima undangan itu.
“aku pasti datang. Tapi, berapa lama kau akan cuti?”
“hanya dua minggu saja. Setelah itu aku akan masuk kerja lagi. Tapi, sebenarnya aku akan mengundurkan diri. Tapi kita lihat saja nanti”
“yah… sayang sekali kalau kau harus mengundurkan diri. Posisimu sudah begitu bagus di perusahaan ini”
“itu baru rencanaku. Aku tidak tahu bagaimana nanti”
“oya, siapa lelaki yang beruntung mendapatkanmu?”
“namanya Michael, dia orang New Jersey. Tidak begitu jauh, bukan?”
“ya, aku usahakan untuk datang. Oya, ini komputermu sudah jadi. Silakan kau coba dulu”
“cepat sekali”
“hanya ada beberapa kabel yang belum tersambung. Kalau begitu, aku permisi dulu, Ms. Andrews. Kalau ada apa-apa, kau bisa menghubungiku lagi”
“tentu. Trimakasih, Ryunosuke”
“sama-sama”
Setelah lapor kepada atasannya, Ryunosuke segera pamit pulang ke rumahnya setelah yakin tidak ada pekerjaan untuknya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar