“sepertinya
di undangan sudah tertera dengan jelas. Bahwa acara hanya diadakan di lantai
bawah dan halaman sekitar rumah”
Yamada
sudah rapi dengan jas dan tuxedonya. Perlahan ia mendekati Emily dengan tatapan
mata yang tajam.
“aku
bisa komplin kepada pihak sekolah. Aku tidak mau rumahku dimasuki orang tanpa
seijinku”
Emily
semakin mundur perlahan.
“apa
yang kau sembunyikan itu, Ms. Grey?”
Jarak
diantara mereka tinggal sejengkal. Yamada menghentikan langkahnya. Sedangkan
Emily juga sudah tidak bisa mundur lagi karena di belakangnya sudah ada tembok.
“bolehkah
aku tahu, apa yang kau sembunyikan dariku itu?”
Emily
menatap Yamada dengan tatapan yang diliputi rasa amarah yang amat sangat.
“kau
tidak bisa bersembunyi dari kedokmu lagi, Yamada”
“apa
maksudmu, Ms. Grey?”
“aku
tidak tahu apa yang ada di pikiranmu selama ini terhadapku. Yang jelas, aku
tidak bisa menerima semua ini. I hate you, Kei! Really hate you!”
Emily
menahan amarahnya. Ia membanting foto yang sedari tadi dipegangnya ke dada
Yamada. Yamada mengamatinya. Sebuah foto lama, foto dirinya sewaktu masih kecil
dengan beberapa teman sekelasnya! Ia kemudian menatap Emily.
“apa
maksud semua ini, Kei?!”
“a-aku…”
“ini,
aku juga mau mengembalikan sapu tanganmu. Trimakasih kau sudah menolongku waktu
itu. Tapi, maaf. Aku tidak bisa menerima semua ini. Aku tidak mau mengenalmu
lagi, Kei!”
“Emily!”
Yamada
mencekal Emily yang akan pergi dari tempat itu. Menghempaskannya ke tembok
lagi.
“ok,
dengar aku dulu, Emily!”
“aku
tidak mau mendengar apapun darimu. Lepaskan aku, Kei!”
Emily
mendorong Yamada dengan keras lalu melarikan diri menuju tangga yang tadi ia
pergunakan untuk naik.
“Emily!”
Yamada
berlari menyusul Emily. Namun baru sampai di tengah tangga, langkahnya sudah
dihadang oleh Mark.
“apa
yang telah kau lakukan terhadap Emily, ha?!”
“a-aku…
kami…”
“…
sudahlah, Mark. Antar aku pulang sekarang!”
“beraninya
kau sama perempuan. Rasakan ini!”
Mark
menghadiahi bogem mentah ke wajah Yamada. Dengan terhuyung-huyung dan berpegangan
pada tangga, Yamada memegang hidungnya yang berdarah lumayan banyak. Sewaktu
pukulan Mark akan mendarat di wajah Yamada lagi, Emily sudah menyeret Mark agar
mengikutinya keluar rumah.
“urusan
kita belum selesai, Yamada!”
“sudahlah,
antar aku pulang sekarang!”
Dengan
terburu-buru, mereka meninggalkan tempat itu. Banyak murid lain yang menyaksika
hal itu. Namun mereka tidak berani berbuat apa-apa. Yamada kembali ke lantai
atas. Lalu membanting foto itu dengan keras ke lantai hingga kacanya pecah
berantakan!
Christy
naik dan mendekati Yamada yang masih terduduk di sofanya.
“apa
yang telah Emily lakukan terhadapmu, Kei?”
Segera
Yamada menatap Christy dengan menahan rasa marah dan bangkit dari duduknya.
“siapa
kau berani-beraninya memanggilku dengan nama itu seolah-olah kau mengenalku?!”
Bergegas
Yamada masuk ke kamarnya dan menutup pintunya dengan keras meninggalkan Christy
seorang diri.
Anna
berlari menyusul Emily yang sudah duduk di samping Mark yang sedang
bersiap-siap meninggalkan tempat itu.
“Emily!
Ada apa? Apa yang telah dilakukan Yamada terhadapmu, ha?!”
“maaf,
untuk saat ini aku belum ingin bercerita. Aku hanya ingin pulang dulu, Anna.
Ayo, Mark!”
“kau
bisa menghubunginya kalau dia sudah tenang, Anna. Maaf, kami pergi dulu”
Anna
hanya bisa memandang kepergian Emily dan Mark.
Di
perjalanan pulang, sikap Emily sudah agak tenang. Namun, dia masih tetap diam
seribu bahasa.
“apakah
kau baik-baik saja?”
“ya,
aku tidak apa-apa”
“kalau
boleh tahu…
“…antar
saja aku pulang secepatnya, Mark”
“baiklah”
Mark
tak berani bertanya apa-apa lagi. Ia segera mengarahkan mobilnya ke rumah
Emily. Begitu tiba, Emily segera turun dari mobil Mark.
“trimakasih
kau sudah mengantarku pulang, Mark”
“ya,
kalau kau butuh sesuatu kau bisa menelponku kapan saja”
“tentu,
selamat malam, Mark”
Begitu
Emily sudah menghilang dari balik pintu depan rumahnya, Mark pun juga segera
meninggalkan tempat itu.
“Emily,
kau sudah pulang. Mengapa cepat sekali?”
“tidak
ada apa-apa, pa. Aku hanya tidak enak badan. Jadi kuminta Mark untuk
mengantarkanku pulang lebih awal”
Untuk
menghindari pertanyaan dari kedua orang tuanya yang masih terus menatapnya
dengan wajah curiga, Emily bergegas ke kamarnya dan menghempaskan dirinya di
tempat tidur.
Esok
paginya, Anna masuk ke kamar Emily. Dilihatnya Emily masih tidur.
“Emily,
bangun”
Emily
menggeliat perlahan dan memicingkan matanya.
“Anna,
ada apa?”
“apakah
kau lupa? Bukankah kita harus ke sekolah? Kita semua harus mengambil
berkas-berkas. Mungkin ini terakhir kalinya kita datang ke sekolah kita”
“haduuuhh…
bisakah kamu saja yang kesana sekalian ambilkan punyaku?”
“tidak
bisa, Emily. Bukankah kita harus tanda tangan juga, jadi tidak bisa diwakilkan”
“jam
berapa sekarang?”
“jam
10 pagi. Untungnya kita diperbolehkan mengambil jam berapa saja asal tidak
lewat jam sekolah”
“baiklah,
tunggu sebentar. Aku akan mandi dulu”
Setelah
semuanya selesai, mereka segera berjalan kaki ke sekolah. Mereka hanya memakai
baju casual. Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di ruangan Mrs. Andersson.
Tanda tangan dan menerima beberapa berkas yang sudah dimasukkan ke dalam tas
masing-masing.
“setelah
ini kita mau kemana, Emily?”
“entahlah.
Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja ke Hudson River? Hari ini sepertinya
cerah”
“baiklah.
Tapi tunggu dulu, aku harus ke toilet dulu!”
Anna
cepat-cepat pergi ke toilet meninggalkan Emily di depan lokernya. Emily segera
membersihkan barang-barang yang ada di lokernya dan dimasukkan ke tas
ranselnya. Di sudut matanya, ia melihat seseorang yang juga sedang ada di loker
tak jauh dari tempatnya berdiri. Suasana koridor sangat sepi. Perlahan ia
menoleh. Deg…!
“K-Kei…”
bisik Emily perlahan.
Dengan
terburu-buru, Emily membereskan sisa barang-barangnya. Belum sempat ia menutup
tasnya, Yamada Kei sudah berdiri di dekatnya.
“apakah
kau sedang terburu-buru, Ms. Grey?”
“i-iya.
Aku menunggu Anna, kami ada keperluan”
“bisakah
kita bicara berdua saja?”
“maaf,
sudah kubilang. Kami terburu-buru”
Bergegas
Emily bermaksud meninggalkan tempat itu. Tapi dengan cepat Yamada
menghadangnya.
“sudah
kubilang, aku ingin bicara denganmu, Ms. Grey” tegas Yamada sekali lagi.
Yamada
hanya menatap tajam kepada Emily sambil tangannya dengan erat mencengkeram
lengan Emily. Yamada akan membuka mulutnya untuk bicara ketika Anna tiba-tiba
sudah ada diantara Emily dan Yamada.
“hei,
ada apa ini?”
“ayo,
Anna. Kita harus pergi cepat-cepat. Aku tidak mau kita terlambat lagi”
Emily
menyeret tangan Anna dan segera keluar dari sekolah mereka. Yamada masih diam
terpaku di tempatnya. Setelah Anna dan Emily tidak terlihat lagi, barulah
Yamada menuju tempat parkir. Ia mengarahkan mobilnya ke pusat kota Manhattan,
ke kantornya.
Emily
dan Anna jalan-jalan berdua di tepi Hudson River.
“sedari
tadi kau hanya diam saja. Ada apa, Emily?”
“aku
sebenarnya ingin bercerita denganmu tentang kejadian di acara prom night malam
itu. Tapi aku bingung, tak tahu aku harus memulai darimana, Anna”
“cerita
apa? Yang tentang pertengkaran kau dan Yamada itu? Sudahlah, dia memang orang
yang brengsek! Kau sudah tahu sendiri tentang sifat dia, kan? Kau seharusnya
sudah terbiasa dengan ini semua. Mengapa sekarang masih juga kau pikirkan?”
“sebenarnya…
Yamada Kei adalah teman kecilku yang dari Jepang yang selama ini kupikirkan”
“what?!
Darimana kamu tahu? Sejak kapan?”
“di
acara prom night itu”
“bagaimana
kamu bisa tahu?”
“aku
tidak sengaja, Anna. Aku hanya penasaran dengan lantai atas rumah Yamada. Aku
naik dan… yah, begitulah. Aku jadi tahu semuanya”
“apa
buktinya kalau dia memang teman Jepangmu?”
“di
ruang keluarga lantai atas itu, aku menemukan foto kami bersama teman sekelas
waktu aku sekolah disana. Kau tahu fotoku sewaktu aku sekolah disana, bukan?
Nah, persis seperti itu. Karena semua murid memang mempunyai foto itu. Jadi aku
yakin, Yamada itu memang teman kecilku. Aku sudah curiga sedari awal. Hanya
saja aku tidak punya bukti apa-apa”
“lalu,
apa langkahmu selanjutnya?”
“aku
masih marah, Anna. Aku tidak mau diperlakukan seperti ini. Dia bersikap
seolah-olah kami orang asing padahal dia mengenalku. Dia bersikap membenciku
dan tidak peduli kepadaku”
“apa
sikap dia begitu kau sudah mengetahui semuanya?”
“dia
ingin bicara berdua denganku. Tapi aku tidak mau. Aku belum bisa memaafkan dia.
Aku terlalu sakit hati dengan sikapnya selama ini. Kei kecil tidak seperti itu
sikapnya. Tapi sekarang…”
“waktu
bisa mengubah seseorang, Emily”
“kau
benar. Sekarang lupakan dia. Toh, kita sudah lulus sekolah. Aku tak akan
bertemu lagi dengannya. Dan aku akan melupakannya”
“kau
tidak ingin berbicara dengannya walau sekali saja? Yah… maksudku, paling tidak
kau akan mengerti alasan dia mengapa selama ini dia menyembunyikan identitasnya
darimu”
“tidak,
aku tidak ingin tahu. Aku berharap tidak akan bertemu lagi dengan Yamada Kei!”
“baiklah
kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Tapi kalau ada apa-apa, kau harus langsung
bercerita kepadaku. Oke?”
“oke!”
Selepas
kerja, Yamada mengendarai mobilnya seorang diri menuju Todt Hill. Ia menyukai
tempat itu dikala ingin sendiri. Hari menjelang senja. Matahari sudah hampir
tenggelam. Setelah memparkir mobilnya, ia menuju pembatas Todt Hill dan
memandang jauh ke depan.
Terlihat
ia sedang menelpon Ms. Andrews.
“bisakah
kau mencarikan tiket untukku lagi, Ms. Andrews?”
“apapun
bisa kulakukan untukmu, Yamada-san”
“siapkan
tiket untuk besok, atau kalau bisa secepatnya. Aku ingin pulang ke Jepang lagi,
mungkin untuk seminggu atau lebih. Atau kalau tidak, carikan tiket untuk
kesananya saja. Untuk pulangnya aku akan mencari sendiri disana”
“bukankah
jadwal untuk minggu ini sudah padat? Maksudku jadwal untuk bertemu dengan
beberapa klien”
“terserah,
tolong uruskan juga hal itu. Kalau bisa di re-schedule, kalau tidak bisa di
cancel saja! Aku ingin pulang secepatnya!”
“b-baiklah,
akan kuusahakan”
“thanx,
Ms. Andrews”
Setelah
mematikan sambungan ponselnya, ia kembali melamun. Ia terkejut ketika pundaknya
ditepuk seseorang dari belakang. Ia menoleh dan menatap tajam kepada seorang
pemuda yang sudah berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang.
“aku
tadi mengikutimu”
“sejak
kapan?”
“begitu
kau naik ke bukit ini. Kebetulan aku melihatmu”
“ada
perlu apa kau mengikutiku?”
“aku
punya urusan denganmu yang belum terselesaikan”
“selama
yang kuingat, aku tidak pernah punya urusan denganmu”
“memang,
tapi sekarang kau punya urusan denganku sejak di acara prom night itu”
“oh,
kalau tidak salah kau yang bernama Mark itu ya. Maaf, aku tidak begitu
mengenalmu. Kita beda kelas. Sekarang kau sudah bertemu denganku. Apa yang kau
inginkan dariku?”
“aku
tidak terima atas perbuatanmu terhadap Emily”
“kupikir
itu urusanku dengan dia, tidak denganmu!”
“tapi
sekarang menjadi urusanku. Emily kekasihku. Apa yang telah kau lakukan
kepadanya hingga dia seperti itu?”
“owh,
dia kekasihmu? Seharusnya kau bisa menjaganya dengan lebih baik lagi”
“kau
meragukan kemampuanku, Yamada”
“tidak,
aku yakin akan kemampuanmu. Nyatanya kau mempunyai banyak pengikut di sekolah.
Tapi, aku ingin mencoba kemampuanmu disini, di luar sekolah. Dimana hanya ada
aku dan kamu. Bahkan tak ada seorangpun anak buahmu yang ada disini yang bisa
kau mintai bantuan”
“kau
memang benar-benar brengsek, Yamada!”
Dengan
cepat Mark menyerang Yamada menggunakan pisau kesayangannya. Namun dengan
entengnya Yamada hanya berkelit.
“kau
harus berhati-hati menggunakan senjata tajam itu, Mark. Itu bisa melukai dirimu
sendiri”
“pisau
kesayanganku ini sudah haus akan darahmu, Yamada”
“oya?
Cobalah kalau kau bisa” jawab Yamada dengan santainya.
Mark
menyerang Yamada dengan gencarnya. Berkali-kali Yamada hanya menghindar saja.
Tapi karena Yamada sudah tidak sabar lagi, gantian ia yang menyerang Mark. Mark
dibuatnya tak berdaya. Mark memang bukan lawan tanding Yamada yang sudah
menguasai wushu sejak ia kecil. Mark roboh, namun Yamada masih tetap menghajar
Mark tanpa ampun. Wajah Mark sudah penuh dengan darah segar. Setelah merasa puas melampiaskan amarahnya,
Yamada berdiri dan menghapus peluh di dahinya.
Hari
sudah semakin larut. Namun Yamada masih menatap lampu kerlap-kerlip di bawah
sana dari puncak Todt Hill. Ia membiarkan Mark yang masih tergeletak kepayahan
di belakangnya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi lagi.
“ya,
Ms. Andrews”
“tiket
untuk besok sudah ada. Aku pilihkan yang jam 18:05, sampai di Narita jam 21:00
waktu setempat. Tiket sudah langsung kukirim ke rumahmu, Yamada-san”
“trimakasih
banyak, Ms. Andrews”
Bergegas
Yamada meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Seorang pria memparkirkan
mobilnya.
“apakah
ada titipan untukku?”
“iya,
ada di meja kerjamu, Yamada-san”
“ya,
trimakasih”
Ia
segera menuju ruang kerjanya di lantai atas di samping ruang keluarga. Ada
sebuah amplop disitu yang isinya tiket dengan tujuan Narita, Tokyo, Jepang. Ia
memasukkan amplop itu ke dalam tas ranselnya. Ya, ia tidak membawa apa-apa.
Hanya sebuah tas ransel. Setelah itu ia membaringkan tubuhnya di ranjangnya
yang besar dan sebentar saja sudah terlelap karena kelelahan.
Baru
saja ia memejamkan matanya, ponselnya berbunyi lagi. Dengan malas dan rasa
ngantuk yang amat sangat, ia mengambil ponselnya yang ia letakkan di samping
bantalnya.
“ya,
siapa ini?”
“Yamada?
Ini aku, Tanaka”
“oh,
kau. Ada apa?”
“maaf,
apakah aku mengganggumu? Sepertinya kau sedang tidur ya tadi?”
“yah…
aku baru saja pulang. Ada apa?”
“bisakah
kau besok mengantarku untuk melihat-lihat Columbia University? Karena kupikir
kau dulu bilang ingin masuk kesana. Jadi, kita bisa sama-sama kesana”
“hhh…
aku tidak bisa, Tanaka. Besok sore aku akan pulang. Mungkin untuk seminggu atau
lebih”
“mengapa
mendadak sekali? Apakah ayahmu yang memintamu untuk pulang?”
“tidak,
aku hanya ingin pulang saja”
“baiklah,
aku akan kesana sendirian. Sekalian ingin menghafalkan jalanan disini. Salam
saja untuk semuanya. Hati-hati, ya. Bye”
Setelah
itu Yamada Kei kembali terlelap.
Siang
itu, Yamada masih berada di kantornya dengan Ms. Andrews.
“ini
sudah jam 2 siang, Yamada-san. Bukankah pesawatmu jam 6 sore?”
“ya,
tunggu sebentar. Aku harus menyelesaikan ini dulu. Sebisa mungkin, kalau tidak
penting sekali aku TIDAK INGIN diganggu disana. Seperti biasa, semua bisa kau
tangani dengan Mr. Malkovich. Dan juga dokumen-dokumen ini sekalian serahkan
kepadanya. Dia nanti sudah tahu. Aku sudah memberitahunya”
“ya,
tentu saja”
Setelah
menyelesaikan semuanya, buru-buru Yamada turun ke lobi. Dengan diantar
sopirnya, ia segera menuju bandara JFK. Ia hanya membawa ransel yang sudah ia
bawa sekalian pada waktu akan ke kantor tadi pagi. Di tengah perjalanan,
ponselnya berbunyi.
“hai,
Yamada”
“oh…
kau, Tanaka. Ada apa?”
“maaf,
aku tidak bisa mengantarmu sore ini. Aku masih di Columbia University”
“tidak
apa-apa. Aku masih dalam perjalanan ke bandara. Kalau ada apa-apa, telpon saja
aku”
“ya,
trimakasih. Have a nice trip, Yamada”
Sampai
di bandara, ia langsung menuju lounge. Duduk di sofa sambil memejamkan matanya
yang terasa lelah dengan ditemani secangkir kopi hangat.
Sore
itu, Emily sedang menghabiskan waktu di Central Park. Duduk sendirian sambil membaca
novel kesukaannya. Banyak orang berlalu-lalang di taman yang ada di pusat kota
Manhattan itu. Seseorang tiba-tiba berhenti di depannya.
“Emily?
Emily Grey?”
Emily
berhenti membaca, mendongak.
“ya?”
“kau
sudah lupa denganku?”
Seorang
pria dengan rambut lurus, bermata sipit dan senyum lebar masih terus menatap
Emily.
“eh,
maaf. Ya, aku lupa. Dimana kita pernah bertemu?”
“di
acara sekolahmu, di Rahway River. Dan juga di acara prom night malam itu. Aku
yang dulu menjagamu di rumah sakit waktu itu”
“ah…
iya, aku ingat. Tapi maaf, aku lupa namamu”
“aku
Ryunosuke Kamiki”
“ah…
ya, benar. Apa kabar?”
“baik.
Bagaimana denganmu?”
“seperti
yang kau lihat. Keadaanku baik-baik saja. Apakah kau sendirian?”
“ya,
aku hanya menghabiskan waktu sepulang kerja. Karena kalau sudah di rumah, aku
sudah malas untuk keluar lagi. Kau juga sendirian?”
“ya,
sebenarnya aku jarang kesini. Hanya saja sore ini aku ingin duduk-duduk santai
saja disini. Dimana tempat kerjamu?”
“di
gedung yang sana itu. Tapi aku hanya bekerja paruh waktu. Yah, lumayanlah
daripada menganggur. Aku harus terus bekerja apa saja untuk membiayai sekolahku
sendiri”
“kau?
Sekolah?”
“ya,
kenapa?”
“tidak
apa-apa. Kau sekolah dimana?”
“Columbia
University. Bagaimana denganmu? Dimana kau akan melanjutkan sekolahmu?”
“entahlah,
aku belum punya bayangan apapun. Oya, di bagian apa pekerjaanmu?”
“maintenance.
Tapi kuharap suatu saat nanti aku akan diangkat sebagai karyawan tetap disana.
Kalau sekarang, mereka belum membutuhkan itu. Makanya aku hanya bekerja paruh
waktu”
“di
gedung yang itu?” Emily menunjuk salah satu gedung tinggi di sebrang jalan.
“iy-ya.
Kau tahu?”
“bukankah…
gedung itu milik keluarga Yamada?”
“ya,
benar. Dia atasanku. Tapi sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengannya.
Tentu saja, karena aku hanya pegawai rendahan. Benar, kan? Hei, mengapa kau
menatapku seperti itu?”
“eh,
t-tidak apa-apa. Oya, dimana tempat tinggalmu?”
“tidak
jauh dari sini. Kau bisa mampir kalau kau ada waktu. Sewaktu kau dirawat di
rumah sakit itu, aku berbincang dengan ibumu. Ternyata ibumu juga berasal dari
Jepang, ya?”
“iya,
tapi papaku dari sini. Makanya kami pindah kesini. Bukankah kamu sendiri juga
berasal dari sana?”
“ya,
tapi aku sudah warga sini. Aku lahir, besar dan tinggal disini. Aku baru sekali
ke Jepang”
“kalau
aku lahir disana dan tinggal disana sampai usiaku sekitar 6 tahun. Setelah itu,
kami belum pernah kesana lagi”
“mungkin
lain kali kita bisa kesana bersama-sama. Aku sama sekali tak tahu apa-apa
tentang Jepang”
“tentu,
pastinya akan menyenangkan sekali”
“oya,
bagaimana kalau kau kutraktir secangkir kopi. Aku tahu ada kedai kopi enak yang
berharga murah di sekitar sini”
Emily
hanya tersenyum melihat kepolosan Ryunosuke.
“oh,
maaf. Mungkin kau tidak terbiasa minum di kedai kopi berharga murah, ya?”
“e-bukan
begitu. Hanya saja aku mulai menyukaimu. Maksudku… kau tampil apa adanya”
“kalau
aku tidak seperti ini, itu bisa menjadi boomerang buatku. Aku mentraktirmu kopi
mahal padahal aku tidak punya uang sebanyak itu. Darimana aku bisa membayarnya.
Iya, kan?”
Emily
tertawa lepas.
“baiklah,
ayo!”
Emily
bangkit dari duduknya diikuti Ryunosuke. Mereka berjalan beriringan menuju
kedai kopi yang di maksud Ryunosuke.
Begitu
tiba di Narita, Yamada segera naik taksi menuju rumah kakeknya, Yamada
Kazuhiko. Ia masuk ke ruang tengah, sepi. Tak ada seorang pun disana. Ia
kembali melangkahkan kakinya ke ruang atas. Disana ia melihat kakeknya dan
papanya sedang berbincang santai.
“Kei-chan?
Kapan kau tiba?”
“baru
saja, pa. Apa kabar?”
“mengapa
kau tidak mengabari kami?”
“bukan
hal yang penting. Apa kabar, kek?”
“seperti
yang kau lihat. Aku masih baik-baik saja. Aku senang kau pulang, Kei”
Kei
duduk di dekat kakeknya.
“aku
tahu”
“tahu
apa, kek?”
“kau
pulang kesini secara tiba-tiba. Bisa jadi kau sedang ada masalah disana. Apakah
aku benar?”
“tidak
juga. Hanya ingin pulang saja, mungkin untuk seminggu atau lebih. Dan aku tidak
ingin diganggu dengan urusan pekerjaan selama aku disini. Karena begitu aku
kembali kesana lagi, kesibukan sudah menantiku”
“ya,
kau harus bisa mengatur waktumu. Ditambah kau harus meneruskan sekolahmu lagi.
Atau… kau mau menyerah, Kei-chan?”
“aku?
Menyerah? Tidak, pa”
“bagaimana
kabar Harumi?”
“dia
baik-baik saja. Dia juga sudah mempunyai apartemen disana. Sepertinya kami akan
meneruskan sekolah di tempat yang sama”
“bagus,
karena kalian akan kami jodohkan”
“what?!”
“kenapa?
Kalian cocok satu sama lain. Bagaimana pendapatmu tentang dia?”
Kei
hanya mendesah panjang. Berita itu akhirnya datang juga, pikirnya. Ia pun sudah
bisa menguasai emosinya.
“dia
baik, pa. Aku juga merasa nyaman berada di dekatnya”
“bagus!
Nanti kalau aku bertemu Tanaka, aku akan mengabarkan berita baik ini. Dia pasti
akan sangat senang sekali”
“maaf,
apakah Tanaka Harumi sudah mengetahui akan hal ini?”
“belum,
tapi aku yakin sekali kalau dia juga akan setuju. Bagaimana denganmu,
Kei-chan?”
“m-maksud
papa tentang perjodohan ini?”
“tentu
saja”
“aku
tidak akan pernah mengecewakan keluarga Yamada. Seperti yang dilakukan Oji-san”
“aku
bangga sekali denganmu, Kei”
“trimakasih,
kek”
Yamada
hanya tersenyum dengan senyum yang agak dipaksakan.
“kau
harus istirahat sekarang, Kei-chan. Kau pastinya lelah sekali”
“iya,
pa. selamat malam”
Kei
menuju kamarnya yang biasa ia pakai kalau ia sedang berkunjung kesana. Masih
seperti terakhir kali ia berkunjung. Tidak ada yang berubah. Ia hanya berbaring
sambil menatap langit-langit kamarnya. Kedua tangannya ia pergunakan sebagai
bantal.
Pikirannya
kalut, penat. Sebenarnya ia ke Jepang hanya untuk menenangkan pikirannya. Tapi
ternyata begitu sampai, ia mendapat kabar itu. Kabar yang sebenarnya sudah bisa
ia prediksi. Namun ia tak menyangka bahwa Tanaka Harumi-lah yang akan menjadi
istrinya kelak.
Tanpa
sarapan, sesudah mandi pagi Yamada Kei menuju rumah Yamada Ryuu.
“selamat
pagi, Oji-san”
“Kei-kun?
Ada kabar apa ini?”
Kei
segera duduk di samping Ryuu di meja makan. Seorang pelayan segera melayaninya
sarapan.
“trimakasih.
Dimana bibi Akemi, Oji-san?”
“sudah
sejak kemarin ia ada di Osaka. Mungkin beberapa hari karena ada urusan
pekerjaan disana. Kau belum menjawab pertanyaanku, Kei-kun”
“tidak
ada apa-apa. Hanya ingin pulang saja. Kalau aku ingin pulang apakah harus
memakai alasan?”
“aku
tahu kamu. Tidak apa-apa kalau kau belum ingin bercerita. Apa rencanamu hari
ini?”
“tidak
tahu. Aku belum ada rencana apapun”
“kalau
begitu, kau ikut aku saja. Aku ada proyek yang harus aku cek hari ini”
“baiklah,
aku ikut”
“selesaikan
dulu sarapanmu. Aku akan bersiap-siap”
Setelah
itu mereka meninjau sebuah proyek yang dibangun oleh perusahaan Yamada cabang
Tokyo. Bangunan yang belum jadi plus berdebu. Namun Kei tetap antusias bertanya
ini itu kepada Ryuu.
Sore
itu selepas jam kerja, Ryuu mengajak Kei duduk di tepi danau Ueno Park. Sambil
minum kopi hangat mereka berbincang santai sambil melihat danau yang tenang di
tengah kota Tokyo yang padat dan sibuk. Banyak orang menghabiskan waktu di
taman itu. Bersama pasangan, teman dan ada pula yang duduk sendirian.
![]() |
Ueno Park, Tokyo |
“berapa
lama kau disini?”
“mungkin
seminggu, bahkan lebih. Kalau aku sudah disana kembali, aku tidak akan bisa
santai seperti ini. Pekerjaan dan sekolahku akan menyita banyak waktuku”
“kau
juga harus memikirkan hidupmu, Kei-kun. Jangan semuanya untuk urusan pekerjaan.
Pekerjaan tidak akan ada habisnya kau urusi”
“untuk
apa memikirkan hidupku, Oji-san? Sudah ada orang lain yang memikirkannya. Aku
tinggal menjalani saja”
“maksudmu?”
“hidupku
sudah diatur oleh keluarga Yamada. Terutama kakek dan papa, seperti dirimu
dulu. So? It’s just waste of time”
“mereka
bicara apa?”
“tentang
perjodohanku”
Ryuu
hanya menghela nafas panjang sambil menyeruput kopinya yang sudah agak dingin.
“kau
setuju dengan itu semua?”
“apa
yang bisa kulakukan? Seperti kau waktu itu”
“tidak,
aku tidak mau kau sepertiku!”
“maksudmu?”
“apakah
kau menyukai gadis lain?”
Kei
hanya terdiam.
“siapa
yang akan dijodohkan denganmu?”
“putri
keluarga Tanaka, Harumi”
“ya,
aku mengenalnya. Ia juga rekan bisnis papamu. Kau sudah mengenalnya?”
“ya,
dia sekarang juga di Manhattan. Dan kemungkinan besar kami juga akan meneruskan
sekolah di tempat yang sama. Aku sudah bisa menebak kalau jalan hidupku akan seperti
ini. Hanya saja… aku tidak tahu kalau dia yang akan menjadi calon istriku” Kei
tersenyum kecut.
“bagaimana
dengan Emily Grey?”
“ah…
sudahlah, Oji-san. Lupakan saja. Aku sudah menerima perjodohan ini. Dia sudah
tahu siapa aku yang sebenarnya dan nampaknya dia marah sekali. Dia tidak mau
bicara ataupun melihatku lagi. Untunglah kami sudah selesai sekolah dan semoga
saja dia tidak meneruskan sekolahnya di Columbia”
“kau
tidak mencoba menjelaskan kepadanya tentang alasanmu?”
“sudah
kucoba, tapi dia tak mau tahu dan tidak ingin tahu. Sebenarnya aku kesini ingin
menenangkan pikiranku. Tapi semalam begitu sampai, papa mengabarkan berita itu
yang membuatku tambah pusing!”
“aku
akan mencoba bicara dengan Yasuo”
“tidak
perlu, trimakasih. Mulai sekarang aku harus membiasakan diri dengan Tanaka
Harumi”
“kalau
itu maumu. Yah… mungkin sibuk dengan pekerjaan bisa membuatmu lupa sejenak
tentang masalah ini”
Hari
sudah mulai senja. Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan.
“sebaiknya
kita pulang sekarang, Kei-kun. Aku akan mengantarmu”
Ryuu
segera mengantar Kei pulang ke rumah utama. Sudah ada Yasuo dan Kazuhiko di
lantai atas.
“ternyata
kau pergi dengan Ryuu, Kei?”
“iya,
kek. Sekalian melihat proyek yang sedang dibangun”
Mereka
segera ikut duduk di ruang keluarga itu.
“tadi
Kei-kun sudah cerita kepadaku. Katanya kalian akan menjodohkannya dengan putri
Tanaka”
“ya,
mereka berdua cocok sekali. Kei-chan juga sudah setuju dengan perjodohan ini.
Tinggal menunggu apa lagi?”
“aku
ingin segera melihat cucu kesayanganku ini menikah. Kuharap dia sudah menikah
sebelum aku mati nanti”
“kakek
jangan berkata begitu. Tentu aku akan menikah secepatnya dengan Tanaka Harumi”
“kau
membuatku bahagia, Kei”
“sepertinya
makan malam sudah siap. Kita lanjutkan obrolan kita disana saja”
Mereka
segera makan malam bersama. Kei lebih banyak diam mendengarkan obrolan papa dan
kakeknya.
Kei
mengisi liburannya di Jepang dengan mengendarai mobilnya seorang diri.
Menyusuri tempat-tempat yang indah dan alami. Terkadang sampai menginap di
sebuah motel sederhana di luar kota. Ia pun mematikan ponselnya karena
liburannya kali ini ia tidak ingin diganggu siapapun, apalagi untuk urusan
pekerjaan.
Suatu
sore, Ryunosuke sedang bersiap akan pulang ketika atasannya memanggilnya.
“apakah
hari ini kau bisa lembur?”
“ya,
tentu saja bisa. Aku tidak ada acara apa-apa hari ini”
“baiklah.
Kau tahu Ms. Andrews, kan?”
“ya,
tentu saja. Dia baik sekali kepadaku”
“baru
saja dia memintaku untuk memperbaiki komputernya yang sedang error. Kalau masih
ada orang, tentu saja. Katanya ada pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini
juga”
“kalau
begitu, aku akan kesana sekarang”
“trimakasih,
Ryunosuke”
Bergegas
Ryunosuke menuju lantai paling atas. Begitu keluar dari lift, ia melihat sekeliling
mencari meja Ms. Andrews. Ruangan yang besar dan masih banyak karyawan yang
belum pulang. Seorang karyawan mendekatinya.
“ada
yang bisa kubantu?”
“aku
mencari meja Ms. Andrews. Katanya komputernya sedang bermasalah”
“owh,
itu. Setelah meja yang paling ujung itu nanti ada ruangan yang agak besar.
Disitulah ruangan Ms. Andrews”
“trimakasih”
Ryunosuke
menuju tempat yang dimaksud. Ia pun menemukan Ms. Andrews di ruangan itu.
“selamat
sore, Ms. Andrews”
“kau,
Ryunosuke?”
“ya,
aku mendapat info kalau komputermu sedang bermasalah”
“ya,
sedari tadi aku hanya sibuk dengan computer ini. Aku tidak tahu apanya yang
salah. Padahal pekerjaanku sangat banyak”
“serahkan
padaku. Aku akan membantumu”
“trimakasih”
Ryunosuke
segera mengecek komputer yang ada di depannya itu. Sampai memeriksa sambungan
kabel yang ada di bawah meja juga.
“sekalian
juga, Ryunosuke”
“ada
apa, Ms. Andrews?”
“aku
ingin memberimu sebuah undangan”
“undangan
apa?”
“sebenarnya…
sebulan lagi aku akan menikah. Jadi, aku bermaksud mengundangmu juga”
“waaahh…
selamat, Ms. Andrews. Aku ikut senang mendengarnya”
Ryunosuke
menerima undangan itu.
“aku
pasti datang. Tapi, berapa lama kau akan cuti?”
“hanya
dua minggu saja. Setelah itu aku akan masuk kerja lagi. Tapi, sebenarnya aku
akan mengundurkan diri. Tapi kita lihat saja nanti”
“yah…
sayang sekali kalau kau harus mengundurkan diri. Posisimu sudah begitu bagus di
perusahaan ini”
“itu
baru rencanaku. Aku tidak tahu bagaimana nanti”
“oya,
siapa lelaki yang beruntung mendapatkanmu?”
“namanya
Michael, dia orang New Jersey. Tidak begitu jauh, bukan?”
“ya,
aku usahakan untuk datang. Oya, ini komputermu sudah jadi. Silakan kau coba
dulu”
“cepat
sekali”
“hanya
ada beberapa kabel yang belum tersambung. Kalau begitu, aku permisi dulu, Ms.
Andrews. Kalau ada apa-apa, kau bisa menghubungiku lagi”
“tentu.
Trimakasih, Ryunosuke”
“sama-sama”
Setelah
lapor kepada atasannya, Ryunosuke segera pamit pulang ke rumahnya setelah yakin
tidak ada pekerjaan untuknya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar