Selasa, 25 Maret 2014

LA PRIMAVERA 2 (bagian 12)

Nick dan Natale sudah ada di depan lobi. Tapi mereka masih saling diam di dalam mobil itu.
“kita sudah sampai, Natale”
Natale hanya mendesah pelan dan keluar dari mobil.
“trimakasih sudah mengantarkan aku pulang”
“Nicco yang memintaku”
“kau lihat sendiri kan? Pasti dia menyusul wanita tadi!”
“bukan begitu, tapi…”
“…sudahlah!”
Natale masuk ke ruang tengah, Nick menyusulnya. Di dengarnya Natale menangis. Natale melemparkan tasnya ke sofa yang ada di ruang tengah itu lalu bermaksud naik ke kamarnya. Nick menahan tangan Natale.
“Natale, kau sudah mendengar perkataanku disana tadi kan?”
“aku dengar, tapi aku yakin kalau mereka merahasiakan sesuatu. Dan kau, tak perlu menghiburku!”
“Natale, dengar dulu. Nicco menyuruhku untuk mengantarmu karena dia tahu kau sedang marah dengannya”
“aku hanya tidak menyangka saja. Teganya dia berbuat seperti ini kepadaku. Salahku apa? Tidak pernah terbersit sedikitpun di pikiranku untuk berpaling darinya. Kenapa? Aku begitu mencintainya, sungguh!”
“iya, aku percaya”
“mengapa? Katakan kepadaku!”
Nick menarik tangan Natale dan memeluknya. Natale pun menangis si pelukan Nick.
“aku mencintainya, Nick. Sangat mencintainya”
“iya, aku percaya, sayang”

Dengan ngebut mengendarai mobilnya, ia menyibak jalanan ibukota menuju tempat tinggal Claudia. Tanpa perlu permisi, ia membuka pintu depan dengan kuncinya. Ya, ia memang mempunyai kunci duplikatnya. Setelah menyalakan lampu, ia menghempaskan dirinya di sofa. Rupanya Claudia belum juga pulang. Ia hanya mondar-mandir dengan gelisah.
Ia pun segera ke dapur mengambil minuman dingin di kulkas dan meminumnya. Ternyata Claudia sudah ada di belakangnya.
“aku mengagetkanmu, ya?”
Nicco  meletakkan gelasnya dia atas meja.
“sudah pulang kau rupanya. Aku sudah menunggumu dari tadi”
“kuharap kali ini kamu kesini karena kau merindukanku”
“sepertinya aku harus mengatakan hal ini kepadamu”
“tentang apa?”
“sebelumnya, apa maksud ucapanmu kepada istriku di restoran tadi?”
“aku cemburu melihat kalian!”
“aku sudah bilang kepadamu berkali-kali! Aku mencintai istriku”
“aku tahu, dan kau pun mencintai aku juga kan? Kau tidak bisa mengelaknya, Nicco”
“setelah kejadian tadi, maaf, kita tidak bisa bertemu lagi. Hubungan kita putus sampai disini”
“tidak! Kau tidak bisa berbuat seenakmu sendiri, Nicco!”
Nicco menampar Claudia dengan keras.
“siapa bilang? Aku bebas berbuat sesukaku!”
“Nicco, kau…”
“kenapa? Kau sudah tahu tentang aku kan? Mengapa kaget?”
Nicco mengeluarkan senjatanya dan menodongkannya ke kepala Claudia.
“aku tidak segan-segan untuk membunuhmu, sayang”
“Nicco, please…”
“kalau sampai terjadi apa-apa dengan istriku, atau hubungan kami rusak gara-gara kamu, tunggu akibatnya. Tak perlu aku mengirim orangku untuk membunuhmu. Tapi, aku sendiri yang akan mencari dan membunuhmu! Dari dulu sudah kuperingatkan, kita bisa berhubungan, tapi  jangan berharap lebih jauh tentang hubungan kita ini”
“maafkan aku, Nicco”
“sudah terlanjur. Aku yakin istriku sudah mengetahui semuanya. Mulai sekarang, kita berpisah!”
“Nicco!”
Nicco pergi meninggalkan rumah Claudia dan pulang. Sampai di lobi, ia melempar kunci mobilnya kepada Luigi. Sampai di ruang tengah, ia melihat Nick dan Natale ada disana. Mereka kaget karena Nicco masuk mendadak dan mereka segera berdiri.
“Nicco?”
Nick mendekati Nicco.
“emmm… istrimu…”
“tinggalkan kami” perintah Nicco.
“ok, Natale, aku pergi dulu”
Di ruang tengah itu tinggallah Nicco dan Natale. Tapi, Natale bergegas ke atas ke kamarnya. Nicco mengejarnya.
“Natale!”
Sewaktu di kamar…
“dengar dulu penjelasanku”
“sepertinya tidak perlu. Sudah jelas sekali semuanya”
“ok, kuakui. Dia dulu kekasihku”
“dulu? Kalau sekarang?”
“Natale, aku tidak mau membicarakan masa laluku lagi”
“tentu saja tidak kalau saja masa lalumu itu kau kubur dalam-dalam. Tapi kau sendiri kan yang membawanya ke masa sekarang?”
“terus apa maumu sekarang?”
“apa posisiku akan tergantikan olehnya?”
“kami masih sering bertemu. Tapi itu tidak berarti dia akan menggantikan posisimu”
“bertemu? Sering? Jadi kalau selama ini kita ada masalah dan berhari-hari kau tidak pulang, kau menginap di tempatnya?”
“ya!”
Nicco menghempaskan tubuhnya ke sofa. Sedang Natale hanya berdiri membelakangi Nicco.
“tak pernah terbersit sedikitpun di pikiranku untuk berpaling darimu. Oke, aku tahu kehidupanmu, tapi tidak dengan yang ini. Kenapa kau tega melakukan hal ini kepadaku? Apa salahku? Kalau kau mencintainya, mengapa dulu kau malah sibuk berpura-pura menjadi Nick dan menikahi aku? Padahal kau tahu kalau aku mencintai Nick dan begitu membencimu, setelah apa yang kau perbuat kepadaku! Atau memang dendammu ke keluargaku belum juga berakhir?”
“bukan begitu, Natale”
“lalu apa?”
Natale mendekati Nicco.
“sekarang, terserah kepadamu. Pilih aku atau wanita itu. Kalau kau memilih wanita itu, aku akan pulang ke Indonesia dengan Valent secepatnya”
“tidak, kau tidak boleh kemana-mana. Kau dan Valent, tempat kalian disini!”
Nicco tiba-tiba beranjak dari duduknya. Ia mengeluarkan pistolnya dan menimang-nimangnya.
“dan tadi aku sudah bertemu dengan Claudia. Kalau sampai hubungan kita terganggu, ataupun sampai hubungan kita berakhir, maka Claudia yang akan mati! Aku sudah bilang hal itu kepadanya. Bukan Pablo dan anak buahnya yang akan menghabisi nyawa Claudia, tapi aku sendiri yang akan membunuhnya!”
“kejam kau, Nicco”
“seperti yang kulakukan pada Val dulu. Tentu kau masih ingat kan? Atau… kau memang ingin hal itu terjadi lagi?”
Natale terduduk di kursinya.
“begitu kau meninggalkan aku, Claudia yang akan mati”
“tapi, bisakah kau berhenti dari semua ini?”
“tidak, ini hidupku. Sudah lama kujalani semua ini. Aku tidak bisa berubah, atau berpura-pura berubah demi orang lain. Bersikap manis seperti Nick. Tidak. Kau istriku, sampai kapanpun, akan tetap seperti itu, selamanya”
Nick hanya terdiam di depan pintu kamar yang sedikit terbuka itu. Perlahan, dia kembali ke kamarnya yang ada di bawah.
Telpon genggam Nicco berdering. Ia mengangkatnya.
“hallo, ya. Ok, segera. Aku tak mau kali ini gagal lagi”
Nicco mengambil pistol yang satunya lagi yang disimpan dibalik lukisan di dalam kamarnya, lalu mendekati Natale yang masih berdiri terpaku di tempatnya.
“aku pergi dulu, sayang. Mungkin untuk beberapa hari. Aku mencintaimu, Natale”
Setelah mencium Natale, Nicco segera ke bawah yang memang sudah ditunggu Pablo dan beberapa anak buah Pablo. Dengan menggunakan beberapa mobil, mereka segera meninggalkan rumah besar itu. Natale dapat melihat itu semua dari balkon kamarnya.

Esok paginya, Natale dan Nick makan pagi berdua di ruang makan. Masih saling berdiam diri. Akhirnya, Nick yang berinisiatif membuka pembicaraan.
“semalam suamimu pergi ya?”
“kamu tahu?”
“tentu saja. Aku belum tidur. Dia pergi dengan para bodyguardnya. Aku tak tahu kemana mereka pergi. Aku hanya mendengar kalau mereka menuju Riserva Naturale Valle dell'Aniene”
“untuk apa mereka menuju tempat sepi itu?”
“entahlah. Aku hanya mendengar saja. Kau tahu, aku tidak kenal dengan para bodyguard Nicco”
“Nicco juga membawa beberapa senjatanya. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi disana”
“bagaimana hubunganmu dengannya?”
“entah. Aku malah takut. Dia bilang, kalau hubungan kami terganggu apalagi putus, maka dia akan membunuh wanita itu. Sekarang kau sudah tahu tentang kakakmu kan? Itulah Nicco. Dia akan melakukan apa saja demi kesenangan dirinya”
“mungkin aku akan melakukan hal yang sama”
“maksudmu?”
“untuk mempertahankan seseorang yang kucintai. Itu berarti dia mencintaimu, Natale. Kalian itu saling mencintai. Hanya saja, dia mencintaimu dengan cara dia. Dia sudah hidup seperti itu sejak kecil. Susah untuk berubah. Misalnya saja aku. Sejak kecil aku hidup seperti ini, tidak bisa kalau aku harus hidup seperti Nicco. Iya kan?”
Natale hanya terdiam sambil menatap Nicco.
“ya, kau benar. Aku harus menerima dia apa adanya ya?”
“tentu saja. Oya, besok aku harus pulang ke Belanda. Kuharap hari ini Nicco sudah pulang”
“tidak bisa diundur lagi ya?”
“sudah berkali-kali mama menyuruhku untuk pulang. Aku tidak enak hati bila harus kuundur lagi. Ada apa?”
“tidak ada apa-apa. Hanya saja… kuharap tahun depan kamu bisa berkunjung kesini lagi untuk menjenguk keponakanmu yang kedua”
“maksudmu? Kamu hamil sekarang ini”
“iya”
“wah, maaf. Aku tidak tahu. Aku ikut senang, Natale. Selamat ya. Valent akan ada adik lagi. Nicco sudah tahu tentang ini?”
“belum, sebenarnya waktu kita bertiga makan malam itu, aku ingin memberinya kabar ini. Tapi…”
“kau bisa menelponnya agar dia bisa pulang secepatnya. Dia pasti akan senang sekali mendapat berita ini. Iya, kan?”
“tidak perlu. Kuberitahu dia kalau dia pulang nanti saja”
“ya, itu terserah kamu. Aku tak akan ikut campur. Oya, kapan Valent kembali ke Roma. Lama sekali dia di Milan”
“papa lebih menyukai Valent disana. Untuk menemaninya disana. Jadi, aku tak tahu kapan dia bisa ke Roma lagi. Mungkin saja, aku yang harus ke Milan”
“itu karena papa kesepian dan Valent merupakan cucu pertamanya”
“kau benar. Oya, aku harus segera ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin”
“aku bisa mengantarmu, kalau kau tidak keberatan”
“dengan senang hati”
Nick lalu mengantarkan Natal e ke rumah sakit dengan mobil yang sudah disiapkan oleh Luigi. Setelah pemeriksaan itu, mereka lalu menemui dokter Salvatore.
“Nicco? Terus terang aku tadi kaget. Tumben kau rapi sekali”
“maaf, dokter. Ini bukan Nicco suamiku. Dia Nick, kembarannya Nicco”
“oh, rupanya Nicco punya saudara kembar. Aku baru tahu”
“iya, karena Nick lebih banyak bermukim di Belanda”
“kalian sangat mirip sekali. Aku tidak bisa membedakan kalian. Mungkin hanya tata cara berpakaian yang bisa membedakan kalian”
Nick dan Natale hanya tersenyum.
“bagaimana keadaan kandunganku, dokter? Baik-baik sajakah?”
“sejauh ini masih baik-baik saja. Tapi, seperti perkiraan awalku. Kehamilanmu ini rentan sekali. Lemah. Kalau kau tidak berhati-hati, kau bisa saja dengan mudah keguguran. Jadi saranku, selama hamil ini, sebisa mungkin, kau harus lebih banyak bedrest. Tidak perlu melakukan perjalanan jauh kalau tidak perlu sekali. Suamimu harus lebih memperhatikanmu. Ingat itu. Aku tahu betul suamimu”
“baiklah, akan kuingat itu”
“kau bisa kesini sebulan lagi atau kalau ada gangguan, telpon saja aku. Seperti biasa, aku hanya akan memberikanmu beberapa resep vitamin.
“tentu saja. Baiklah, kami permisi dulu”
“tentu, salam untuk Nicco. Oya Nick, senang bertemu denganmu”
“tentu, senang bertemu denganmu juga”
Setelah menebus resep vitamin, mereka segara masuk kembali ke mobil.
“Natale, aku akan mengundurkan jadwal kepulanganku lagi”
“kenapa?”
“kau sudah dengar sendiri apa kata dokter kan? Nicco belum juga pulang, yang entah pulangnya kapan. Siapa nanti yang akan menemanimu?”
“ada banyak orang di rumah itu. Kau tidak perlu khawatir, Nick”
“ok, memang banyak orang. Tapi bukan keluargamu sendiri. Kau mengerti maksudku kan?”
“iya, iya. Aku tahu”
“dan satu lagi. Bukankah kata dokter kandunganmu lemah? Aku tidak mau terjadi apa-apa denganmu, Natale”
“kenapa?”
Nick hanya diam dan mulai menjalankan mobilnya pulang. Natale pun tak berani mengganggu Nick yang masih diam seribu bahasa.
“ini caraku mencintaimu, Natale”
Natale menatap Nick yang masih terus menatap ke depan. Karena tak ada reaksi apapun dari Nick, Natale pun juga hanya bisa terdiam. Sesampainya di rumah…
“masuklah ke kamarmu. Kau harus banyak istirahat. Aku akan mengurus tiketku. Juga memberitahu mama kalau aku tidak bisa pulang besok”
“kau tidak harus melakukan hal ini. Aku bukan tanggungjawabmu, Nick”
“tidak apa-apa. Aku pergi dulu”
Nick meninggalkan Natale yang masih diam di lobi rumah. Luigi pun mendekatinya.
“nyonya, tadi tuan Nicco telpon mencari nyonya”
“ada pesan darinya?”
“iya, tuan mengabarkan mungkin pulangnya seminggu lagi kalau tidak ada apa-apa”
“ya, thanx”
Dengan langkah gontai, Natale keatas menuju kamarnya. Ia hanya duduk melamun di balkon kamarnya.

Setelah mengurus tiketnya di bandara, Nick menuju ke kedai kopi Giolitti yang ada di pusat kota Roma, beberapa blok dari Trevi Fountain. Ia menuju salah satu meja dan bertemu seseorang disitu.
“hai, sudah lama, Mike?”
“baru saja. Lama juga kita tidak bertemu”
“ya. Setelah lulus kuliah aku memang jarang kesini. Kamu sendiri malah menetap disini”
“pekerjanku disini. Bagaimana lagi?”
“bagaimana kabar Lara?”
“dia baik-baik saja. Dia belum bisa diajak kesini. Dia masih di Belanda sana. Aku menjenguknya beberapa bulan sekali. Bagaimana kabarmu? Sebenarnya sudah lama aku ingin bertemu denganmu sewaktu kau mengabarkan kepadaku kalau kau memang mempunyai saudara, kembar lagi”
“ya”
Giolitti
“dan sedihnya lagi, Natale menjadi istrinya ya?”
Nick hanya tersenyum getir,”dunia ini kecil sekali kan?”
“kau masih mencintainya ya? Lebih tepatnya, mencintai istri dari kakakmu sendiri”
Lagi-lagi Nick hanya tersenyum getir.
“hei, dari tadi kau hanya senyum-senyum sendiri. Kau tidak menjawab pertanyaanku, sobat”
“buat apa?”
“tanpa mengatakannya pun, aku tahu kau masih mencintai Natale. Kisah yang rumit ya?”
“mungkin kalau dia istrinya orang lain, akan lebih mudah bagiku untuk melupakannya. Tapi, dia sekarang jadi istri Nicco, kakakku sendiri? What the hell? Setiap saat aku masih bisa bertemu dengannya. Sekarang pun aku tinggal serumah dengannya. Parahnya lagi, suaminya sering bepergian”
“kau tidak mencoba merebutnya kembali?”
“kamu gila! Tapi… pernah juga aku mencobanya. Ternyata, Natale sekarang lebih mencintai suaminya. Dan kau tahu akibatnya? Nicco menembaki aku dengn membabi buta. Plus menghajarku”
“wtf! Are you seriously?”
“apa aku pernah berbohong kepadamu?”
“Nicco benar-benar gila!”
“begitulah. Tapi, aku sudah berhasil meyakinkannya kalau diantara aku dan Natale sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Walau sebenarnya aku msih saja sulit untuk melupakannya”
“carilah teman wanita. Pilih salah satu dan jadikan kekasihmu”
“tak semudah itu, Mike”
“kapan kamu pulang?”
“seharusnya besok, tapi terpaksa harus kuundur lagi. Kau jadi mengingatkanku untuk menelpon mama”
“kenapa diundur lagi?”
“hhh… saat ini Natale sedang hamil. Kata dokter, kandungannya lemah. Rentan keguguran”
“oya? Tapi, apa hubungannya denganmu? Itu bukan tanggungjawabmu, kan?”
“memang, tapi Nicco sedang pergi. Dia sendirian. Kasihan dia”
“Natale seharusnya menjadi istrimu. Sayang sekali kalau dia mendapatkan suami seperti Nicco itu”
“sudah takdir kami harus seperti ini”
Sebuah mobil lewat di depan mereka. Nick dan Michael hanya melihatnya sampai mobil itu menghilang di tikungan jalan.
“apakah dia…”
“ya, benar. Dia Nicco”
“gila! Ini benar-benar gila! Kalian sangat mirip sekali. Aku tidak bisa membedakan kalian, Nick”
“ya, begitulah”
Nick hanya menundukkan kepalanya  dan meminum kopinya.
“tapi, apa yang sedang diperbuatnya? Kulihat dia membawa pistol”
“jangan tanyakan hal itu kepadaku. Aku belum lama mengenalnya kan? Itu hidupnya”
“kehidupan apa sebenarnya yang dia jalani? Lalu, orang-orang yang ada di sampingnya tadi siapa?”
“mungkin  anak buahnya, bodyguardnya”
“menurutku, lebih baik kau segera pulang ke Belanda. Jangan pernah kesini lagi. Itu satu-satunya jalan agar kau bisa melupakan Natale. Ingat, dia sudah jadi milik orang lain”
“ya, segera setelah Nicco pulang, aku akan pulang ke Belanda”
“aku dengar, papamu ternyata seorang mafia ya?”
“entah, aku tidak tahu. Dan tidak ingin tahu. Sudahlah, tidak usah membicarakan keluargaku lagi. Aku tidak tahu apa-apa tentang papa ataupun Nicco”
“ok, ok”
“kapan kamu pulang? Kita bisa sama-sama kalau waktumu tepat”
“aku baru ada waktu bulan depan. Bulan ini pekerjaanku masih banyak, tidak bisa kutinggalkan. Salam saja untuk Wilma. Aku rindu sekali padanya”
“tentu akan kusampaikan. Sebenarnya dia memaksa ingin ikut. Tapi bagaimana lagi? Di sekolahnya baru ada ujian”
“kapan-kapan kalau kau kesini, ajaklah Wilma. Tapi ingat,menginap saja di rumahku. Jangan di istana itu”
Nick hanya tersenyum. Michael melihat ke arah jam tangannya.
“Nick, maaf. Aku harus segera kembali ke kantorku. Aku ada jadwal bertemu dengan klien. Kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi. Kalau ada apa-apa, jangan segan-segan untuk menelponku”
“tentu, thanx”
Michael meninggalkan Nick sendirian di kedai kopi itu. Nick segera menelpon mamanya, Maria. Memberitahu kalau dia mengundur jadwal kepulangannya. Setelah itu, dia menelpon Natale.
“Natale, bagaimana keadaanmu?”
“aku baik-baik saja, kenapa?”
“aku hanya khawatir saja dengan keadaanmu, setelah mendengar perkataan dokter tadi”
“kau tak perlu berlebihan seperti itu, Nick. Kalau ada apa-apa,`aku pasti menelponmu”
“suamimu sudah pulang?”
“belum, tadi ada pesan dari Luigi kalau mungkin seminggu lagi dia baru pulang”
“aku sudah mengundurkan jadwal kepulangan kepulanganku. Aku hanya mengkhawatirkan kesehatanmu. Aku sudah bilang ke mama juga”
“Nick, trimakasih ya. Sudah memberiku perhatian melebihi suamiku sendiri”
“ya, kita keluarga. Jadi kau tanggungjawabku juga kalau Nicco tidak ada. Oya, aku nanti mau mapir ke supermarket. Kau mau nitip apa?”
“buah saja, aku sedang ingin makan buah yang segar”
“aku masih ingat dengan buah kesukaanmu. Akan kubelikan apel merah nanti”
“thanx, Nick”
Setelah membayar kopinya, Nick meninggalkan tempat itu menuju sebuah supermarket. Ia memilih barang-barang yang ia butuhkan dan membeli beberapa buah apel. Sewaktu sedang memilih beberapa buah apel, seorang perempuan tak sengaja menabraknya.
“Nicco?”
“maaf, aku bukan Nicco”
“oh, kau pasti yang dibilang kembarannya itu ya?”
“maaf, apakah aku mengenalmu?”
“kamu sudah lupa? Kita bertemu di restoran malam itu. Kau, Nicco dan istrinya itu”
“oh, kau yang bernama Claudia itu ya?”
“ya, apa kabar?”
“baik, kau?”
“aku baik-baik saja. Sendirian?”
“ya, seperti yang kau lihat. Maaf, tapi sepertinya wajahmu familiar sekali”
“tentu saja, kita kan pernah bertemu”
“bukan, maksudku sepertinya aku mengenal sesosok perempuan yang wajahnya mirip sekali denganmu. Kamu punya keluarga atau saudara perempuan yang mirip dirimu?”
“ya, aku punya kakak perempuan. Orang bilang kami seperti kembar padahal bukan”
“masalahnya, aku dulu punya teman di kampus. Wajahnya mirip denganmu”
“kampus? Apakah kau dulu pernah sekolah di Universitas Roma?”
“iya”
“mmm… aku tahu sekarang. Kakakku dulu sekolah disana juga. Apakah namanya Angela?”
“Angela Anthony Gerrardo?” Nick bertanya.
“tentu saja, itu kakakku. Dunia ini kecil ya?”
“bolehkah aku tahu nomor telponnya? Atau dimana dia tinggal sekarang?”
“tentu saja”
Claudia memberikan secarik kertas berisi nomor telpon dan alamat Angela Anthony Gerrardo.
“Claudia, trimakasih banyak ya”
“sama-sama. Aku harus segera pergi. Salam saja untuk Nicco dan istrinya. Maaf tentang perkataanku di restoran malam itu. sampaikan maafku untuk mereka. Kuharap hubungan mereka baik-baik saja”
“tentu, mereka baik-baik saja kok”
“thanx. Bye, Nick”
“bye”
Setelah membayar barang-barang yang dibelinya, Nick segera pulang. Luigi yang memarkirkan kendaraannya. Nick langsung menuju ke lantai atas dan mengetuk pintu kamar Natale.
“masuklah,” sahut Natale dari dalam kamar.
“hai, ini pesananmu”
“trimakasih ya. Kau perhatian sekali. Beli apa kau tadi”
“eh, emmm… aku membeli beberapa boneka. Eits, jangan salah sangka dulu. Itu untuk Wilma. Kalau tidak, dia bisa mendiamkan aku lama sekali”
“beruntung sekali Wilma. Punya kakak sepertimu”
“tidak juga. Aku yang bangga punya adik seperti Wilma. Selalu membuat hari-hariku terasa indah. Oya, mau kubuatkan minuman?”
“kau bisa?”
“tentu, banyak teman-temanku yang suka. Dan kaupun pasti ketagihan”
“boleh”
Nick menuju pantry yang ada di kamar Natale.
“banyak sekali minuman beralkohol disini”
“punya Nicco”
Nick segera membuatkan minuman hangat untuk Natale.
“ini, minumlah. Kuharap kau suka”
“kau sendiri?”
“aku tadi sudah minum dengan temanku”
Nick duduk di samping Natale di balkon kamar Natale yang besar itu dan memandangi Natale.
“ada apa? Ada yang salah dengan diriku?”
“ah, tidak. Lupakan”
“ada apa? Beritahu aku”
“kau masih cantik seperti dulu. Tidak berubah”
“kau berusaha untuk merayuku lagi? Kau tidak kapok dengan perlakuan Nicco kepadamu dulu?”
Nick hanya tersenyum.
“oya, aku tadi bertemu Claudia di supermarket”
“Claudia siapa?”
“wanita yang dulu menemui kita di restoran malam itu”
“oh, wanita simpanannya Nicco itu?”
“kau yang mengatakannya, bukan aku”
“iya, iya. Trus, apa dia bilang?”
“hei, kok kamu sewot begitu?”
“siapa yang tidak sewot, Nick?!”
“oke, oke. Lupakan saja pembicaraan kita ini”
“tidak, lanjutkan saja”
“aku tidak mau kamu sewot lagi”
“tidak, aku janji”
“kamu ingat dengan ceritaku yang aku menyukai kakak kelasku di kampusku dulu?”
“yang kau bawa ke restoran itu? Iya, aku ingat. Ada apa?”
“namanya Angela Anthony Gerrardo. Ternyata dia adalah kakak Claudia”
“what?! Kecil sekali dunia ini. Lalu?”
“dia memberiku nomor telpon dan alamat Angela”
“sudah kau telpon?”
“belum. Tidak semudah itu juga, Natale. Aku butuh waktu”
“untuk apa? Dan sampai kapan?”
“untuk melupakanmu, dan entah sampai kapan”
Keduanya terdiam sejenak.
“istirahatlah. Aku akan ke kamarku”
Nick beranjak dari duduknya dan menuju pintu.
“Nick, trimakasih, ya. Untuk semuanya”

Nick hanya tersenyum dan keluar dari kamar Natale.

Sabtu, 15 Maret 2014

LA PRIMAVERA 2 (bagian 11)

Sudah berhari-hari Nicco tidak pulang pun memberi kabar. Valent pun dibawa Nicola ke Milan bersama Emma juga. Hanya Natale dan Nick di istana mewah itu. Natale pun menjaga jarak dengan Nick begitu mengetahui kalau Nick masih mencintainya dan bermaksud merebutnya dari Nicco. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan yang ada di bagian belakang dan terpisah dengan istana itu.
Sore itu Natale sedang asik dengan buku favoritnya di perpustakaan itu. Tiba-tiba datanglah Nick yang membawakan secangkir teh hangat untuknya.
“ini, kubawakan minuman hangat untukmu”
“Nick? Darimana kamu tahu aku disini?”
“kebetulan aku tadi melintas di depan perpustakaan ini dan melihatmu”
“trimakasih”
“sebenarnya aku juga mau bertanya kepadamu”
“apa?”
“akhir-akhir ini kau sering menghindariku. Ada apa?”
“tidak ada apa-apa”
“aku yakin bukan itu jawabannya”
“sudahlah, aku hanya tidak ingin ada ribut-ribut antara kau dan Nicco”
“karena dulu kubilang aku masih mencintaimu dan bermaksud ingin merebutmu dari Nicco?”
“seharusnya kau lebih menghormatiku. Aku istri kakakmu”
“ok, dia memang kakakku, hanya lebih tua dia beberapa menit dari aku”
Nick menggenggam tangan Natale.
“selama di Belanda, aku selalu memikirkanmu. Ingin rasanya untuk bisa segera bertemu denganmu.  Menikahimu. Wilma juga menyukaimu. Dia berharap besar kepadamu, agar kau bisa menjadi istriku. Tapi, sepertinya aku belum boleh untuk berbahagia ya? Impianku musnah”
“Nick, aku turut prihatin. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu. Tolong, pahami juga posisi dan kondisiku waktu itu. Kuharap, suatu saat nanti, kau akan menemukan gadis yang lebih segalanya daripada aku. Yang mencintaimu dan mendampingimu selalu. Sedangkan sekarang, aku lebih mencintai suamiku, Nicco. Aku tidak bisa mencintai orang lain. Kami juga sudah mempunyai anak, keponakan kamu sendiri. Kuharap, kau juga bisa menyayangi anakku”
Di saat itulah, pintu perpustakaan dibuka dengan kasar. Nick dan Natale terkejut, secara reflek mereka menoleh ke arah pintu perpustakaan. Mereka segera melepaskan genggaman tangan mereka.
“Nicco?!”
“oh, rupanya benar dugaanku selama ini. Kalian bermain di belakangku. Benar kan firasatku kalau suatu saat, orang yang mengaku saudaraku ini, akan merebut istriku. Dan ternyata istriku masih mencintai mantannya. Benar kan sayang?”
“Nicco, kau salah sangka. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Natale mencintaimu, Nicco. Dia tidak mencintaiku lagi”
“bullshit! Terang saja kau membelanya. Dan satu lagi, aku tidak bertanya kepadamu!”
“ini tidak seperti yang kau duga, Nicco. Hubungan kami sekarang tidak lebih dari sebatas kakak dan adik ipar. Apa kau sudah tidak percaya kepadaku, istrimu sendiri?”
“aku percaya omonganmu, sayang. Tapi sayangnya, sikapmu bertolak belakang dengan omonganmu”
Nicco segera mengeluarkan pistol kesayangannya dari balik bajunya. Natale yang memang sudah mengenal sifat-sifat Nicco segera mengetahui gelagat itu.
“Nicco…”
“kau sudah tahu kan sayang. Kalau pistolku ini selalu terisi penuh. Dan ini sudah lebih dari cukup untuk memusnahkan dia!”
“kumohon, Nicco!”
Nick yang menyadari bahwa dirinya dalam keadaan bahaya, segera melarikan diri. Dengan cepat Nicco mengejarnya  dan menembakkan pistolnya beberapa kali ke arah Nick. Namun, beberapa kali itu pula Nick bisa menghindar. Hingga peluru itu hanya mengenai barang-barang plus kristal yang ada di perpustakaan itu hingga hancur berantakan.
“Nicco, hentikan!”
Natale berusaha menghentikan Nicco, namun Nicco tidak peduli. Peluru terakhirnya pun mengenai lengan Nick. Nick pun jatuh tersungkur. Nicco sepertinya belum puas dengan itu semua. Ia pun segera menghajar Nick tanpa ampun.
Nicco masih terus menghajar Nick yang sudah kepayahan. Wajahnya pun berdarah-darah. Namun, Nicco tidak peduli dan tidak menggubris Natale yang berusaha menghentikan Nicco.
“Nicco! Sudah, hentikan! Ok, kalau kamu sudah tidak mendengarkanku lagi. Aku capek, Nicco. Aku lelah. Lebih baik aku pergi dari kehidupan kalian. Itu lebih baik untuk kita semua!”
Natale bergegasmeninggalkan tempat itu menuju garasi.
“Natale!”
Niccco mengejarnya. Natale segera menyalakan mobilnya.
“hentikan mobilnya, sayang. Natale!”
Natale tetap ngebut. Nicco mengejarnya. Sebelum keluar dari gerbang utama rumah, Nicco berhasil membuka pintu mobil yang memang belum dikunci itu dan masuk ke dalamnya.
“hentikan mobil ini, sayang!”
“tidak! Biarkan aku pergi dari kehidupan kalian! Aku lelah menghadapi sikapmu yang seperti itu!”
Natale tetap tancap gas ke arah luar kota. Tak terasa sampailah mereka di luar pemukiman penduduk. Hanya hutan dan padang rumput di sekitar mereka. Nicco sudah tidak berusaha mengambil alih kendali mobil. Natale juga sudah tenang namun tetap diam menatap lurus ke depan.
“Natale, kau mau kemana? Kita pulang ya. Maafkan aku, sayang”
“aku ingin berpisah darimu”
“what?!”
“kau sudah dengar kan? Kau sudah tidak mempercayai aku, istrimu sendiri. Lalu siapa yang akan kau percayai? Kau selalu menuduhku berselingkuh dengan Nick. Aku ingin pergi. Jadi, keluarlah dari mobil ini”
“Natale, kau tidak tahu apa yang kau katakan. Kau dalam keadaan emosi, Natale”
Tanpa menoleh sedikitpun ke nicco, Natale segera tancap gas. Ngebut. Dan tidak menyadari ada sebuah persimpangan di depannya dan ada sebuah mobil yang akan melewati persimpangan desa yang jauh dari pemukiman itu.
“Natale, awaaasss…!!!”
Terlambat. Natale yang memang sedang dikuasai amarah bisa membanting mobilnya hingga tidak terjadi tumbukan dengan mobil di depannya. Tapi akibatnya, mobilnya keluar jalur dan terguling beberapa kali. Keduanya tidak bergerak.

Luigi segera membawa Nick ke rumah sakit begitu mengetahui Nick terluka parah.
“kita harus ke rumah sakit sekarang, tuan. Saya antar”
Dengan dibantu Luigi, Nick masuk ke dalam mobil Luigi.
“kemana Natale dan Nicco?”
“saya tidak tahu, tuan. Tapi, tadi nyonya bawa mobil dengan ngebut dengan tuan Nicco”
“tolong, jangan beritahukan hal ini kepada papa”
“baik, tuan”

Perlahan Nicco bergerak.
“Natale…”
Natale masih tetap terdiam dengan wajah menunduk di kemudi. Nicco mendongakkan wajah Natale. Pelipis Natale berdarah. Hidungnya pun mengeluarkan darah segar karena membentur kemudi mobil.
Dengan susah payah, Nicco berusaha keluar dari mobil itu dan mengeluarkan Natale. Dia segera membaringkan Natale di rerumputan di pinggir jalan di bawah pohon yang besar itu. Suasana sangat sepi.
“Natale, bangun, sayang”
Perlahan Natale bangun dari pingsannya.
“kamu tak apa-apa?”
“kepalaku pusing sekali”
“kita duduk saja disana dulu”
Nicco membantu Natale berjalan agak masuk ke hutan itu. Mereka beristirahat dibawah pohon besar. Natale menyandarkan kepalanya yang terasa berat ke bahu Nicco. Nicco pun memeluknya.
“kita tidak bisa pulang, Natale. Mobil kita rusak parah”
“maaf”
“lupakan, yang penting kamu selamat”
Natale memeluk kedua kakinya. Udara hari itu terasa dingin.
“kalau tidak salah, dibagasi ada selimut. Biar kuambilkan, kamu tunggu saja disini”
Nicco berlari kecil ke mobilnya untuk mengambil selimut di bagasinya. Tak lama kemudian, ia sudah kembali lagi dan menyelimutkannya di tubuh Natale yang agak menggigil kedinginan.
“maaf…”
“apa?”
“aku minta maaf. Aku selalu berbuat buruk. Kamu juga pasti sudah bosan dengan ini semua. Aku tahu kamu capek dan lelah menghadapi aku. Kurasa… aku bukan orang yang pantas untukmu. Kamu begitu baik. Dan, tentang yang kamu ingin berpisah dariku…”
Natale hanya bisa menatap Nicco lalu menundukkan kepalanya.
“aku akan melepaskanmu kalau itu sudah menjadi kehendakmu. Tekadku sudah bulat. Kalau kau akan kembali kepadanya, atau siapapun yang bisa membuatmu merasa nyaman dan bahagia, aku ikhlas”
“aku…”
“… kau tak perlu ragu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku”
“kau sudah tidak mencintaiku lagi?”
Nicco menatap Natale.
“bukankah aku yang seharusnya bertanya seperti itu?”
“aku hanya capek dengan ini semua. Aku sedih, kau tidak lagi mempercayai aku sebagai istrimu. Kau selalu mencemburui aku dan Nick. Aku mencintainya, dulu. Berapa kali harus kubilang kalau aku tidak mencintai Nick lagi?”
“maaf, aku selalu terbawa emosi. Aku selalu merasa kau masih mencintai Nick”
“aku mencintaimu, Nicco. Tidak yang lainnya. Aku sudah tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Nick. Harus berapa kali juga harus kukatakan kalau aku mencintaimu?”
Natale memegang kepalanya yang terasa berat dan sakit itu.
“kamu sakit?”
“tidak, hanya saja kepalaku terasa berat, pusing. Mungkin karena membentur kemudi tadi”
Nicco beranjak kembali ke mobilnya yang rusak parah dan kembali dengan sebuah telpon genggam di tangannya.
“lihat, aku baru ingat kalau aku menyimpan telpon ini di mobil itu”
Nicco segera menelpon bodyguard-nya.
“Pablo, kau masih di rumah?”
“ya, boss. Ada apa?”
“tolong bawakan mobilku kesini. Mobil yang kami pakai rusak parah”
“siap, boss”
“oya, bagaimana kabar emmm… adikku?”
“tadi Luigi sudah membawanya ke rumah sakit. Untuk orang seukuran Nick, kau menghajarnya terlalu keras, bos”
“biar sajalah. Bawakan mobilku sekarang”
“ya, boss”
Nicco mendekati Natale yang masih meringkuk di bawah pohon besar itu.
“Pablo akan kemari membawakan kita mobil. Kita bisa keluar dari tempat ini. Dan tentang Nick, Luigi sudah membawanya ke rumah sakit. Maaf”
Natale hanya diam. Nicco kembali duduk disampingnya. Cukup lama juga mereka menanti disitu. Nampak mendung tebal diatas sana.
Beberapa mobil berhenti di depan mereka. Pablo keluar dari salah satu mobil dan mendekati Nicco.
“ini mobilmu, boss. Perlu aku bawakan?”
“tidak perlu. Akan kubawa sendiri. Aku dan istriku belum akan pulang. Jadi, tak perlu menunggu kami”
“ada yang lainnya?”
“sementara itu dulu”
“baiklah, kami pulang dulu. Kalau ada apa-apa, telpon kami lagi”
“tentu, thanx”
Pablo dan yang lainnya segera meninggalkan tempat itu.
“ayo, sayang. Apakah kau masih mau pulang bersamaku?”
“tentu, tapi aku ingin pulang ke rumah kita”
“as your wish”
Sewaktu di dalam mobil, Natale menyandarkan kepalanya yang msih terasa berat.
“kamu masih pusing?”
“ya, berat sekali kepalaku”
“kalau tidak salah di depan sana ada klinik. Kita kesana dulu. Agar luka di pelipismu di perban”
Nicco mengarahkan mobilnya ke klinik itu. Sepi. Pasiennya hanya mereka berdua. Tak lama kemudian, terlihat mereka sudah meninggalkan klinik itu.
“sekarang kau ingin kemana?”
“aku ingin pulang ke rumah kita”
Menjelang malam, mereka sudah sampai di rumah mereka yang terletak di tepi danau itu.
“duduklah, kubuatkan minuman hangat untukmu. Malam ini udara sangat dingin sekali. Atau kau ingin ke kamar atas?”
“ya”
Natale segera kekamar mereka yang ada di atas. Ia tiduran di sofa dekat tempat tidurnya. Sunyi sekali malam itu.
“ini, minumlah selagi masih hangat. Lalu tidurlah di ranjang itu”
“thanx”
Natale duduk dan meminumnya.
“sampai kapan kau akan membenci adikmu dan mencurigai kami lagi?”
Nicco menatap Natale yang tertunduk.
“aku berbuat begitu karena aku begitu takut kehilanganmu. Dulu pernah kan kubilang seperti itu?”
“sampai sekarang kau belum juga bisa mempercayai aku? Aku tidak mau menjadi penyebab putusnya hubungan kekeluargaan kalian. Kalau kau mau hidup berdampingan dengan Nick, aku akan kembali kepadamu. Tapi kalau tidak, maaf”
Nicco mendesah.
“sulit bagiku, Natale”
“aku menunggu jawabanmu”
Natale beranjak menuju ranjangnya.
“o ya, teh buatanmu ini enak sekali”
Nicco hanya tersenyum. Sementara Natale tidur, Nicco hanya duduk di balkon kamar memandang danau yang tenang di malam yang dingin itu.
Colloseum

Sinar mentari menyentuh lembut dan hangat di wajah Natale. Dia pun terbangun. Dia mendekati Nicco yang duduk di kursi balkon membelakanginya.
“selamat pagi”
“pagi, sudah bangun kau rupanya”
“semalam kau tidak tidur ya?”
Nicco hanya tersenyum.
“karena semalam kau bilang teh buatanku enak, ini, baru saja kubuatkan lagi untukmu”
“trimakasih”
Natale duduk di samping Nicco.
“ini juga kubuatkan sarapan. Maaf, aku bisanya hanya membuat roti bakar”
Natale tersenyum dan sarapan di samping Nicco.
“ada apa, Nicco? Sepertinya kau tidak pernah melihatku saja”
“aku hanya senang saja melihat wajahmu seperti itu”
“seperti itu yang bagaimana?”
“ya yang seperti itu”
“iy-ya, tapi yang bagaimana?”
“sudahlah, lupakan. Aku nanti akan ke rumah sakit menjenguk Nick”
Natale menghentikan makannya.
“kau akan menghajarnya lagi? Kau akan membunuhnya?”
“kenapa kau berpikiran seperti itu?”
“wajarlah, karena apa yang telah kau lakukan terhadapnya kemarin”
“tidak, aku hanya akan menjenguknya saja. Kau mau ikut?”
“serius?”
“kenapa? Kepalamu masih sakit? Kalau masih sakit, nanti kamu kuantar ke rumah papa, agar kamu ditemani Pablo dan Luigi”
“tidak, aku sudah merasa baikan. Mungkin hanya harus mengganti perban ini saja”
“baiklah, mandilah dulu. Nanti kugantikan perbanmu. Akan kucari obatnya di kotak obat”
“thanx”
Natale menyelesaikan sarapannya dan segera mandi. Setelah selesai mandi, Nicco sudah menunggu Natale untuk mengganti perbannya.
Setelah semuanya selesai, mereka segera pergi ke rumah sakit.
Natale memasuki kamar Nick. Ia melihat Nick sedang tiduran sendirian.
“hai”
“eh, kau?”
“ya, aku datang menjengukmu”
Natale duduk di kursi samping tempat tidur Nick.
“pelipismu kenapa?”
“tidak apa-apa. Hanya kemarin terantuk sesuatu. Lupakan sajalah. Bagaimana keadaanmu?”
“baik, mungkin lusa sudah boleh pulang”
“maaf ya, karena perbuatan Nicco kau jadi seperti ini”
“wajarlah dia menghajarku. Kalau aku di posisi dia,mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Kau sendirian?”
“tidak, sebenarnya ada seseorang yang ingin menemuimu”
“siapa?”
“tunggu sebentar. Dia tadi masih ada urusan diluar sana”
Natale keluar kamar dan kembali masuk dengan Nicco. Nicco yang sudah selesai menelpon segera memasukkan telpon genggamnya ke saku celana jeansnya.
“ini, Nicco ingin bertemu denganmu”
Nick kaget dan berusaha untuk duduk.
Tapi Nicco mencegahnya.
“berbaringlah,  kamu masih sakit”
“tidak apa-apa”
“bagaimana keadaanmu? Maaf, aku  membuatmu seperti ini. Aku menyesal. Aku minta maaf”
“aku baik-baik saja. Lusa aku boleh pulang”
“baguslah”
“setelah keluar dari sini, aku akan kembali ke Belanda. Aku tak akan mengganggu kalian. Maaf, karena aku hubungan kalian jadi bermasalah”
“haruskah kamu pulang ke Belanda?”
“tentu, salam saja untuk papa kalau aku tidak sempat bertemu. Kalau aku disini terus, pasti aku akan semakin merasa bersalah. Kita lanjutkan kehidupan kita masing-masing seperti sebelumnya,seperti tidak terjadi apa-apa diantara kita”
“selain kesini untuk menjengukmu, sebenarnya aku juga ingin minta maaf kepadamu. Atas semuanya. Semua yang terjadi akhir-akhir ini. Semua gara-gara aku. Jadi, aku benar-benar minta maaf kepadamu”
“sudahlah, aku sudah memaafkanmu. Bagaimanapun juga kau adalah kakakku. Bolehkah aku memanggilmu seperti itu? Kalau kau tidak berkeberatan, tentu saja”
“dengan senang hati”
“thanx…”
“sejujurnya,aku senang kalian bisa akrab seperti itu. Aku ingin berkumpul dengan kalian lebih lama. Nick, tidak bisakah kepulanganmu ke Belanda ditunda dulu. Kita bertiga bisa merayakan momen ini”
“kalau Nicco mau, aku bisa mengundurnya. Aku tidak mau ada salah paham lagi”
“tentu saja aku mau, dengan senang hati”
“tapi, aku perlu ketegasan Nicco sekali lagi. Jangan pernah lagi mencurigai kami. Aku memang mencintainya, dulu. Bahkan setelah Natale menjadi istrimu, aku tetap mencintainya. Tapi, setelah semakin lama kuberpikir, aku tidak bisa seperti ini terus. Bahkan belakangan baru kutahu kalau kita bersaudara. Aku makin sadar, aku harus melupakan semua ini. Jadi, tolong, percayalah pada istrimu. Dia sekarang hanya mencintaimu, Nicco”
“ya, aku percaya. Sekarang aku percaya sekali kepadanya. Benar kan Natale?”
“ya, dan kuharap seperti itu seterusnya”
“pasti”
Nicco pun memeluk Natale.

Setelah Nick keluar dari rumah sakit dan sudah sembuh total, mereka bertiga keluar untuk makan malam dengan memakai mobil Nicco. Nicco yang pegang kemudi.
“jadinya kita makan malam dimana? Dari kemarin setiap kali kutanya, kau tidak mau menjawab”
“kau pasti akan segera tahu, Natale”
Nicco mengarahkan mobilnya ke pusat kota, ke arah Colloseum. Disitu ada sebuah restaurant yang pemandangannya langsung menghadap ke Colloseum. Namanya Ristorante Royal Art Café.
“indah sekali, kau belum pernah mengajakku kesini”
“emm-iya. Makanya sekarang kita kesini”
“aku pernah kesini sekali. Jangan salah sangka kalian. Aku kesini dengan teman kampusku”
Nicco dan Natale hanya tersenyum. Mereka bertiga memilih duduk yang berpemandangan langsung ke Colloseum. Seorang pelayan mendekati mereka untuk mencatat pesanan mereka. Setelah selesai, pelayan itu pun segera pergi.
“kalian tahu, aku bahagia sekali malam ini. Ini yang dari dulu kuinginkan. Kalian bisa akur seperti ini”
“maaf, kalau kau harus menunggu lama untuk moment seperti ini. Aku yang salah”
“sudahlah, tidak usah membicarakan hal itu lagi. Kau sering kesini, Nicco?” Nick bertanya.
“emmm… sebaiknya tidak usah membicarakan hal itu deh,” kata Nicco.
“kenapa?” Natale juga ikut menimpali.
“tidak ada apa-apa”
“aku tahu, kau pasti sering kesini dengan mantan-mantanmu ya?”
“sudahlah, sayang”
“tapi benar kan?”
“kamu cemburu?”
“enggak, itu kan masa lalumu. Yang penting sekarang kau disini bersamaku. Benar kan, Nick?”
“iya, aku juga menyukai tempat ini. Bisa langsung memandang ke Colosseum”
Restaurant itu memang terletak di dekat Colosseum. Sangat indah melihat Colosseum di waktu malam yang dihiasi dengan sinar-sinar lampu. Pengunjung pun sudah banyak.
“kalian disini dulu. Aku mau ke toilet”
Nicco pergi meninggalkan Nick dan Natale.
“siapa temanmu yang pernah kau ajak kesini? Kalau hanya teman tidak mungkin sepertinya. Special ya?”
Nick hanya tersenyum.
“ya, dulu di kampus aku menyukai seseorang. Dia cantik, lembut dan pintar”
“aku mengenalnya?”
“tidak, dia kakak kelasku”
“dimana dia sekarang?”
“dia dari Palermo, tapi aku sekarang tak tahu dia dimana”
“apakah dia tahu kalau kau mencintainya?”
Nick hanya tersenyum dan menggeleng.
“kenapa?”
“aku terlalu takut. Dia terlalu sempurna untukku. Jadi… dia hanya kuajak kesini. Aku bodoh ya?”
“tidak juga. Semoga saja suatu saat nanti kau bisa bertemu dengannya”
“lupakan. Itu sudah beberapa tahun yang lalu. Dia mungkin juga sudah lupa kepadaku”
Lalu datanglah Nicco dan langsung duduk di samping Natale. Pelayan pun juga segera datang membawakan pesanan mereka dan mereka menyantapnya sambil mengobrol hangat. Tiba-tiba datanglah seorang gadis yang sudah sangat dikenal Nicco menghampirinya. Ya, Claudia. Claudia menatap dengan heran ke wajah Nick dan Nicco secara bergantian.
“Nicco?”
“kau?”
“tunggu sebentar. Aku bingung”
Nicco menghentikan makannya, menatap Claudia dan Natale dengan gugup. Ia lalu berdiri.
“emmm…  kenalkan, ini Nick, adikku. Dan ini Natale, istriku. Nick, Natale, ini temanku, Claudia”
“oh, ok. Kau sudah bercerita tentang istrimu itu. Tapi, adik? Kau tidak pernah bercerita”
“sebaiknya kita bicara lain kali saja. Kami ada pertemuan penting”
Natale pun berdiri.
“sepertinya kalian akrab sekali. Nicco, kau tidak pernah mengenalkanku kepadanya. Atau paling tidak bercerita tentangnya. Dengar namanya saja baru kali ini”
“ya, kami akrab sekali. Kami juga sering bertemu. Iya kan, Nicco”
“Claudia, maaf, bisa tinggalkan kami?”
“oh, tentu saja. Kutunggu kamu di apartemenku seperti biasa. Sudah lama juga kamu tidak menginap di tempatku. Bye, senang bertemu dengan kalian”
Claudia segera berlalu dari meja Nicco. Nicco dan Nick kembali duduk. Tapi Natale masih tetap berdiri.
“Natale, duduklah. Habiskan makanmu, sayang. Ada apa?”
“ada hubungan apa kau dengannya? Sepertinya lebih dari sekedar teman akrab. Atau… ada sesuatu yang tidak aku tahu selama ini?”
“itu hanya perasaanmu saja, sayang”
“Natale, bukankah ini malam yang kau impikan sejak lama? Jangan biarkan kehadiran wanita itu merusak suasana ini. Siapa tahu dia hanya cemburu denganmu. Ingin membuatmu berang. Kalau kau marah, dia pasti akan bertepuk tangan. Sebab, tujuannya telah berhasil. Coba kalau kau tetap diam, tidak terusik sedikitpun apa kata dia. Aku yakin, dia yang akan marah sendiri. Nicco sekarang sudah percaya kepadamu. Jadi, sekarang percayalah kepada Nicco. Bukan begitu?”
Natale masih terdiam dan menghela nafas panjang, menahan marah. Nick memegang pundak Natale.
“Natale, duduklah”
“aku mau pulang sekarang”
“kita belum selesai, sayang”
“terserah, silakan selesaikan makanmu. Aku hanya ingin pulang, sekarang!”
Bergegas Natale meninggalkan tempat itu.
“Nick, tolong kau antar istriku pulang dulu. Sepertinya dia cemburu, marah kepadaku”
“baiklah”
Nicco menyerahkan kunci mobilnya kepada Nick. Lalu Nick menyusul Natale yang sudah pergi duluan.
Nicco menggebrak meja makannya lalu berdiri.
“ada apa lagi ini?!”
Setelah membayar sejumlah tagihan, Nicco menelpon Pablo agar mengantarkannya sebuah mobil. Nicco menunggu di depan restoran itu. Tak lama kemudian, Pablo sudah datang mengantarkan mobil Nicco. Ia mengarahkan mobilnya ke rumah Claudia.


LA PRIMAVERA 2 (bagian 10)

Seorang pemuda duduk di tepi danau sendirian. Lalu datanglah seseorang mendekatinya. Orang itu hanya berdiri di belakang bangku kayu panjang tempat untuk duduk pemuda itu.
“aku sudah datang”
Tak terdengar jawaban apapun.
“katanya ada yang ingin kau bicarakan”
“ya, duduklah”
Orang itu juga ikut duduk di bangku panjang itu agak jauh. Namun mereka berdua hanya saling melamun. Memandang air danau yang tenang itu.
“bagaimana perasaanmu?” Nicco bertanya.
“maksudmu?”
“setelah mengetahui kalau ternyata kita bersaudara, saudara kembar”
“entah, aku tidak tahu. Yang pasti, aku bahagia. Ternyata aku masih mempunyai saudara dan juga papa”
Nicco masih tetap terdiam.
“kamu menyesal ya tahu kejadian yang sesungguhnya?” gantian Nick yang bertanya.
“aku tidak tahu”
“memang, kita belum akrab. Tapi, kuharap kita bisa seperti saudara seperti yang lainnya”
Nicco menatap Nick dengan tajam.
“oh, emm… maksudku, kalau kau tak keberatan. Yah, seperti hubungan saudara umumnya. Mempunyai mama, papa, saudara. Apa itu tak membuatmu bahagia? Setelah sekian lama kita berpisah. Akhirnya kita berjumpa gara-gara Natale”
Nicco bangkit dari duduknya dan mencengkeram kemeja Nick.
“kamu tidak perlu mengajari aku apa yang harus kulakukan. Aku tahu apa yang kuperbuat. Dan satu lagi, jangan bawa-bawa nama istriku. Paham?!”
“sabar, Nicco. Sabar. Maaf, kalau kau tak berkenan. Ok, aku hanya datang untuk memenuhi undanganmu. Sekarang katakan saja apa yang ingin kau katakan. Setelah itu, aku akan pergi. Karena sepertinya, kau tidak menyukaiku”
Nicco duduk kembali di bangkunya dan terdiam. Ia masih menimang-nimang dan memperhatikan pistol kesayangannya yang sejak tadi di genggamnya.
“sekarang… kita sudah tahu kalau kita saudara kembar kan?”
“ya”
“aku tidak bisa…”
“apa maksudmu? Ternyata mereka adalah orangtua kita. Nama keluarga kita sama, darah kita sama, wajah pun kita sama. Kau masih mau menyangkalnya?”
“bukan itu”
“lalu?”
“dulu, aku tidak tahu kalau kau saudara kembarku. Aku telah merebut Natale dari tanganmu dengan cara yang tidak adil. Aku memanfaatkan wajah kita yang sama untuk menikahi Natale waktu kamu pulang ke Belanda. Aku juga baru tahu, bahwa orang yang membunuh kekasihmu itu adalah musuhku, yang mengira kau adalah aku. Aku tak tahu harus bilang apa”
“tidak mengapa. Aku sudah melupakan semuanya”
“kamu terpaksa?”
“tidak. Maaf, tapi beberapa waktu yang lalu aku bertemu Natale. Kami sudah bicara banyak. Dia kini mencintaimu. Nicco, tolong jaga dia dengan baik. Dia sudah memberimu seorang anak”
“ya, dia baik”
 “tentu saja”
 “apakah kau sudah memberitahukan hal ini kepada Natale?”
“belum, kami hanya membicarakan tentang hubungan kami. Dia bilang, dia kini mencintaimu. Hanya itu. Untuk urusan yang satu ini, kau saja yang memberitahukan ke dia”
“hhh… aku tak tahu harus bilang apa lagi. Terus terang, kejadian ini membuatku pusing, bingung, kaget. Entahlah. Sudah berhari-hari aku meninggalkan istriku. Dia berkali-kali menelponku tapi tidak aku jawab. Aku tahu dia cemas”
“segeralah pulang. Kasihan Natale”
“satu lagi yang aku ingin tahu. Kau masih mencintainya?”
Nick hanya tersenyum,“pulanglah, aku juga harus pulang. Karena terus terang, sebenarnya aku tadi ada janji penting dengan temanku”
“baiklah. Salam saja untuk… emmm, mama”
“tentu saja, akan kusampaikan”
Nick meninggalkan tempat itu dengan mobilnya. Sebelum berlalu, Nick masih menatap Nicco yang masih duduk membelakanginya di tepi danau itu.
“kau tidak tahu, Nicco. Betapa aku masih mencintai Natale, istrimu”

Nicco sudah sampai di istananya. Ia menyerahkan kunci mobilnya kepada Luigi.
“istriku ada?”
“ada, tuan. Sudah beberapa hari ini nyonya tinggal disini”
Nicco segera kekamarnya. Ia melihat Emma sedang menggendong anaknya. Ia lalu mengambil Valent dari gendongan Emma dan mendekati Natale yang seperti biasa melamun sedih di balkon. Nicco mencium Natale.
“hallo, sayang”
“Nicco? Kau selalu mengagetkan aku seperti ini. Darimana saja kau? Aku telpon tidak kau angkat, aku khawatir”
“aku tidak dari mana-mana. Hanya ingin menyendiri dulu”
“kau ada masalah lagi? Dengan para polisi lagi”
“tidak, tidak. Nanti akan kujelaskan. Mana papa?”
“sudah ke Milan lagi tadi pagi. Ceritakan saja sekarang. Kau jangan membuatku penasaran”
“ini, jaga anakku dulu. Aku mau mandi”
Walaupun sebenarnya masih diliputi rasa heran, banyak pertanyaan, namun Natale hanya bisa pasrah begitu melihat Nicco menghilang di balik pintu kamar mandi. Setelah selesai mandi…
“mana anakku?”
“dibawa Emma”
Nicco masih memakai kimononya. Badannya terlihat segar sehabis mandi dan keramas. Ia duduk di sofa panjang disamping Natale.
“minumlah kopimu selagi panas”
“thanx”
“maukah kau menceritakannya kepadaku?”
“tentu, tapi aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku bingung, Natale. Kejadian ini membuatku bahagia, tapi sebenarnya aku juga khawatir”
“kenapa?”
Nicco menatap Natale dengan tajam dan menggenggam tangan Natale.
“aku takut kehilanganmu. Aku merasa… akan ada orang yang akan mengambilmu dariku”
“siapa orang itu?”
“Nick”
Natale terhenyak.
“mengapa kamu berpikir demikian?”
Nicco bangkit menuju sudut balkon favoritnya.
“Nicco…”
Natale menyentuh pundak Nicco lembut. ia merasa Nicco jauh berbeda. Ia merasa asing dengan Nicco. Tak biasanya Nicco merasa khawatir seperti ini.
“sebenarnya…”
Nicco menggantung kalimatnya. Masih ragu dengan apa yang akan dia katakan.
“kalau kau tidak ingin mengatakannya, atau kau belum siap untuk memberitahukan sesuatu kepadaku, aku tidak apa-apa kok. Aku tidak memaksamu”
Nicco mendekati Natale dan menggenggam kedua tangan Natale sambil menatapnya lekat-lekat.
“sebenarnya… Nick adalah saudaraku. Mmm… lebih tepatnya saudara kembarku”
Natale melepaskan genggaman tangan Nicco dan mundur beberapa langkah.
“kau bohong! Aku tidak percaya!”
“aku tidak bohong, Natale”
“jadi, selama ini kau sudah menipuku? Kalian sudah menipuku? Mengapa kau tak memberitahukan hal ini kepadaku, kenapa baru sekarang?”
“aku juga tidak tahu, sayang. Aku baru tahu hal ini beberapa hari yang lalu!”
Nicco terduduk di kursinya. Natale perlahan duduk disampingnya.
“maafkan aku, Nicco”
“aku tidak tahu tentang hal ini. Sungguh aku tak tahu. Aku bingung. Sekarang aku hanya merasa sangat bersalah kepada Nick. Aku telah merebutmu dari dia dengan cara yang tidak adil. Mungkin…”
“apa?”
“kalau kau ingin kembali kepada Nick…”
“Nicco, kau bicara apa?! Kau suamiku sekarang, aku tidak peduli yang lainnya. Aku mencintaimu. Bukan karena sudah terlanjur kau menjadi suamiku. Tapi karena aku memang benar-benar mencintaimu! teganya kau berkata seperti itu kepadaku!”
“bukan begitu, maksudku…”
“sudahlah!”
Mereka sama-sama terdiam. Tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing.
“Natale, kamu  marah?”
“tidak. Dulu aku selalu berpikir kalau kalian adalah satu orang, orang yang sama. Tapi, aku menyangkalnya. Kalian beda sifat, beda negara. Trus kupikir kalian saudara kembar. Tapi kau dan Nick sama-sama anak tunggal. Jadi, kalau sekarang ada kabar seperti ini, aku juga bingung”
“sudahlah, lupakan saja pembicaraan kita ini”
“kau sudah bertemu Nick?”
“ya, juga mamanya. Emm… maksudku mamaku. Aku juga sudah bicara berdua dengan Nick”
“bagaimana reaksinya?”
“dia sepertinya bahagia sekali masih mempunyai saudara, juga seorang papa. Tapi, terus terang. Aku masih merasa asing dengan ini semua. Aku belum terbiasa. Aku terbiasa hidup sendiri selama ini”
“kau akan terbiasa, Nicco. Sejujurnya, aku senang mendengar kabar ini. Kau masih mempunyai mama. Itu berarti aku juga masih mempunyai mama kan?”
Nicco tersenyum.
“kemarilah”
Mereka pun saling berpelukan. Sementara hari menjelang malam.

Suatu pagi, saat sedang sarapan di balkon favorit mereka…
“tadi malam papa menelpon”
“ada apa?”
“hari ini akan datang kesini. Katanya penting. Tapi aku tidak tahu hal penting apa”
Sebuah mobil berhenti di lobi bawah.
“sepertinya itu papa sudah datang. Kita turun dulu, Nicco”
Setelah menyelesaikan sarapan mereka, mereka turun ke ruang tengah.
“papa, apa kabar?”
“baik, apa kabarmu, Natale?”
“juga baik. Tumben sekali dadakan seperti ini. Kata Nicco, ada sesuatu yang penting yang membuat papa kemari”
“ya”
Nicola duduk di sofa diikuti Nicco dan Natale. Emma membawakan minuman untuk mereka.
“besok malam, aku akan mengadakan acara makan malam istimewa disini”
“dalam rangka apa, pa?”
“Nicco, ku sudah memberitahukan tentang saudara dan mamamu ke Natale?”
“iya”
“bagus, kita akan makan malam dengan mereka disini. Merayakan pertemuan kita lagi, setelah sekian lama kita berpisah”
“papa sudah memberitahu mereka?”
“ya, dan mereka senang sekali dengan undangan ini. Kuharap kalian juga menyukainya”
“tapi, kenapa papa tidak memberitahu kami dulu?!”
“Nicco? Kamu berkeberatan?”
Mendadak raut muka Nicco berubah dan langsung berdiri.
“Nicco…”
Natale berusaha menenangkan Nicco. Tapi Nicco segera menepis tangan Natale dan pergi meninggalkan tempat itu dengan mobilnya.
“papa, maafkan Nicco. Mungkin dia belum terbiasa dengan kehadiran orang lain. Selama ini dia sudah terbiasa hidup seorang diri”
“kau benar. Sampai sekarang aku belum tahu tentang perasaan Nicco”

Nicco melaju dengan cepat di jalanan ibukota yang tidak begitu padat pagi itu. Ia mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.
“dimana kau sekarang? Dirumah? Aku ke rumahmu sekarang”
Nicco memparkir mobilnya di basement sebuah apartemen yang ada di pinggir kota Roma. Setelah itu dia langsung naik dan masuk ke sebuah kamar. Nampaknya dia sudah terbiasa di lingkungan itu. Ia menghempaskan tubuhnya di sebuah ranjang yang besar.
“ada apa lagi? Ada masalah? Biasanya kau datang kepadaku kalau lagi ada masalah”
“jangan ganggu aku dulu, Claudia. Aku hanya ingin tidur sekarang ini”
“baiklah, aku tinggal dulu. Kebetulan aku ada janji dengan temanku. Tapi kalau kau ingin ditemani, akan kubatalkan janjiku”
“tidak usah, pergilah”
“ok, aku pergi dulu. Aku tidak akan lama kok”
Setelah mencium dan membelai rambut Nicco, Claudia meninggalkan apartemennya.

Natale masih gelisah di ruang tengah itu.
“Natale, kamu tidak perlu gelisah yang berlebihan seperti itu”
“tapi, pa. Belakangan inisikap Nicco berubah. Semenjak dia tahu tentang kenyataan ini saya kira. Dia tidak seperti Nicco yang kukenal”
“dia tidak apa-apa. Dia baik-baik saja. Percayalah. Aku lebih mengenal dia. Dia tidak akan bertindak bodoh. Mungkin saja dia hanya ke rumah…”
“rumah siapa, pa?”
“emmm… maksudku rumah temannya”
“teman? Dia punya teman? Saya tidak percaya dia punya teman. Kalau musuh, iya”
“sudahlah, aku ingin kau dan Emma yang mengatur acara untuk besok. Kau mau? Aku yakin, Nicco pasti datang”
“baiklah, kuharap dia pulang secepatnya”

nicola auletta rossa


Nicco terbangun dari tidurnya. Ternyata hari sudah sore. Ia keluar dari kamar Claudia dan menuju ruang tengah. Ia melihat Claudia sedang membuatkan kopi untuk Nicco dan beberapa makanan kecil.
“eh, hai Nicco. Sudah bangun kau rupanya. Sudah sore, ini kubuatkan kopi untukmu”
“kenapa tidak membangunkanku”
“aku tidak mau kena damprat kamu lagi. Bukankah tadi kau bilang ingin tidur dan tak ingin diganggu?”
“ya, maaf”
Nicco menghempaskan tubuhnya di sofa dan meraih remote tv. Tidak ada acara yang disukainya. Tv pun dimatikan kembali.
“ini, minumlah”
“thanx”
Claudia duduk di samping Nicco. Ia memandang Nicco yang sedang meminum kopinya.
“katakanlah kepadaku, ada apa? Aku yakin, kau datang kesini bukan karena merindukanku”
“ya”
“ada masalah?”
Nicco masih tetap terdiam.
“kau bisa berbagi denganku”
“aku tak ingin membicarakannya. Aku hanya ingin kesini saja”
“ada masalah dengan istrimu?”
“tidak, kami baik-baik saja”
“lalu?”
“sudah kubilang kan?”
“ok,ok. Bagaimana kalau kita keluar saja malam ini. Aku ada undangan pesta dari temanku. Dan aku kebetulan belum ada pasangan. Kamu mau?”
“ok, tak masalah. Aku sedang tak ingin pulang malam ini”
“aku sebenarnya senang kamu kesini. Aku selalu merindukanmu, Nicco. Dulu aku selalu berkhayal bisa masuk ke kehidupanmu”
“sudahlah…”
“tapi ternyata itu memang hanya khayalan saja”
“Claudia, aku tidak bisa menjanjikan apapun kepadamu. Hubungan kita hanya seperti ini. Aku tidak bisa menjanjikanmu sebuah pernikahan. Pun sebagai nyonya Auletta Rossa. Kamu mengerti kan?”
“ya, tapi…”
“… aku tidak ingin membicarakan itu, okey? Aku kesini karena aku nyaman berada didekatmu”
“kalau begitu, mengapa dulu kau tidak menjadikanku nyonya Auletta Rossa?”
“aku nyaman di dekatmu. Tapi, itu bukan berarti aku akan menjadikanmu istriku. Paham, sayang?”
“terserahlah”
“hai, kamu marah ya?”
Nicco mendekati Claudia yang sedang berdiri di balkon kamarnya dan memeluknya dari samping.
“aku mencintaimu, Nicco”
Nicco hanya terdiam, lalu duduk di kursi yang ada di balkon itu. Ia menarik tangan Claudia agar duduk di dekatnya.
“maaf, kalau aku melukai hatimu. Tapi aku mencintai istriku. Dia sudah memberiku seorang anak juga. Kalau berada di dekatmu malah membuatmu semakin terluka, apa kita tidak perlu bertemu saja?”
“aku tidak akan sanggup, Nicco”
Claudia pun menangis, Nicco merengkuh bahu Claudia.
“maafkan aku”

Natale masih mondar-mandir di kamarnya.
“Nicco,belum juga kelihatan?”
“belum, nyonya. Tapi, tamu yang diundang tuan Nicola sudah datang”
“sudah datang?”
“iya,kenapa nyonya sepertinya gugup?”
“ah,tidak. Aku turun sekarang”
Natale menuruni tangga yang lebar itu. Ia melihat Nick dan mamanya, Maria, sedang berbincang dengan Nicola.
“oh, hai Natale. Tamu kita baru saja datang. Kau tentu sudah mengenal mereka”
“tentu, pa. Hai, Nick. Apa kabar? Mama, apa kabar?”
“kami baik-baik saja. Kamu tambah cantik saja, sayang. Iya kan Nick?”
Nick yang sedari tadi memandang Natale kaget.
“eh, i-iya, ma. Kami baik-baik saja”
“sepertinya kalian masih canggung. Bukannya kalian dulu satu kampus?”
“iya, kami satu kampus”
Nick menimpali.
“dan mereka dulu sepasang kekasih. Maklum kalau mereka canggung, Nicola”
“sudahlah, ma”
“mana Nicco?”
“dia ada urusan sebentar. Kuharap dia bisa datang”
“semoga. Aku ingin bertemu dengan Nicco. Sudah bertahun-tahun aku tidak memeluknya”
Mereka segera makan malam bersama. Natale dan Nick lebih banyak diam. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Sesekali Nick mencuri-curi pandang ke arah Natale. Natale pun menyadari akan hal itu. Ia pun lebih banyak menunduk.
Setelah selesai, mereka pun berbincang kembali di ruang tengah.
“kudengar dari mamamu, kau dulu selalu jadi murid teladan ya, Nick”
“mama terlalu membesar-besarkan saja”
“iya, pa. Nick selalu jadi murid teladan tiap tahun”
“kau dulu kan kekasih Natale. Bagaimana perasaanmu bertemu lagi dengannya? Kau masih mencintainya?” Nicola bertanya sambil tertawa.
“entah, saya tidak tahu. Hanya saja, bukankah sekarang dia sudah menjadi istri Nicco? Jadi, saya juga harus menghormatinya”
“aku bangga padamu, Nick. Kamu sopan, baik, pandai lagi. Tidak seperti Nicco. Tapi, aku juga yang salah bila Nicco tumbuh seperti itu. Aku tidak bisa mendidik anak seperti mamamu itu”
“oya, bagaimana kabar Wilma?”
“oh, anak itu. Dia sebenarnya ngotot ingin ikut. Tapi tetap tidak bisa. Dia sedang ujian di sekolah. Lain kali mungkin bisa”
“salam saja dariku untuknya”
“tentu”
Suara mobil  berdecit memekakkan telinga, membuat mereka semua terkejut. Tiba-tiba datanglah Nicco yang sepertinya agak mabuk.
“darimana saja kamu. Kami sudah menunggumu sejak tadi. Kau terlambat”
“Nicco? Apa yang terjadi denganmu?”
Natale mendekati Nicco.
“aku tidak apa-apa, Natale. Kau tak perlu khawatir, sayang. Bagaimana pertemuan kalian? Menyenangkan? Masih bisa kan aku bergabung? Aku tidak mau kalau istriku diambil orang itu”
“Nicco! Apa yang kau katakan?!”
“benar kan, sayang? Kulihat dari sorot matanya dia masih mencintaimu”
“kau sedang mabuk, Nicco”
“tidak, pa. Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya”
“Nicco, Nick kan saudaramu. Tidak mungkinlah dia akan merebut istrimu”
“waktu yang akan membuktikannya. Kita lihat saja nanti”
“Nicco, kita keatas dulu”
Natale mengajak Nicco ke kamar mereka di atas.
“Nicco, sebenarnya apa yang kau inginkan?”
“apa yang kuinginkan? Lebih tepatnya, apa yang kau inginkan. Kau ingin dekat dengan dia lagi kan?”
“Nicco, aku tidak mengerti denganmu. Apa yang ada di pikiranmu?”
“apa yang ada di pikiranku? Dia, Nick, akan mengambilmu dariku”
“teganya kau berpikiran seperti itu kepada adikmu sendiri, saudara kembarmu!”
“oh, rupanya kau membela dia, ya?”
“sudahlah, aku tak mau bertengkar denganmu gara-gara hal ini!”
“baik!”
Nicco mengambil sebotol minuman di pantry yang ada di kamar itu dan menenggaknya.
“Nicco, kau sudah mabuk. Berhentilah! Aku sepertinya sudah tidak mengenalmu lagi”
“trus, kau mau apa?”
“berhentilah minum”
Niccco yang memang dari awal sudah dikuasai amarah, langsung membanting botol itu ke lantai dengan keras sampai pecah berantakan. Natale terkejut. Nicco mendekati Natale dengan pandangan nanar. Natale mundur beberapa langkah.
“Nicco…”
Nicco mencengkeram kedua bahu Natale.
“kau menyakitiku, Nicco”
Saat itulah Nick datang.
“Nicco! Apa yang kau lakukan? Lepaskan dia!”
“oh, kau mau jadi pahlawan untuknya, ya?”
“aku tidak bermaksud begitu. Tapi kau telah menyakiti Natale. Kau tidak suka padaku kan? Bukan dia”
“tahu apa kamu. Dan siapa yang menyuruhmu masuk ke kamar pribadi kami, hah?!”
“ok,ok. Maaf, aku lancang. Aku minta maaf. Karena kehadiran kami di kehidupan kalian, hubungan kalian jadi seperti ini. Maaf, aku tidak akan mengusik kalian. Permisi”
“Nick!”
“apa?! Kau mau ikut Nick? Silakan!”
Setelah Nick pergi, Nicco menghempaskan tubuhnya di sofa kamarnya.
“sebenarnya ada apa, Nicco?”
Natale bertanya dengan hati-hati. Bukan jawaban yang didapatnya. Hanya hening berkepanjangan.

Suatu pagi, Natale hanya bisa duduk sendiri di taman samping rumah. Lalu datanglah Nicola. Ia kaget dan segera berdiri.
“papa, ada apa?”
“lihat siapa yang bersamaku?”
“Nick? Mengapa?”
“sudah beberapa hari ini suamimu pergi tanpa ada kabar. Aku juga harus pergi selama beberapa hari. Jadi, aku meminta Nick untuk menemanimu”
“papa, saya tidak mau ada masalah lagi dengan Nicco. Mengapa papa membawa Nick lagi?”
“aku ingin Nick menginap disini selama aku pergi, ataupun selama Nicco belum pulang. Dia bisa menemanimu”
“saya sudah terbiasa sendiri. Lagipula banyak sekali bodyguard Nicco di rumah ini. Papa tak perlu khawatir”
“tidak, aku tetap mau Nick disini. Kalau Nicco protes, suruh dia menghadapiku”
“tapi, pa…”
“sudahlah, aku harus pergi sekarang. Aku tidak mau ketinggalan pesawat. Nick, aku titip Natale selama Nicco belum pulang”
“ya, pa”
Nicola segera meninggalkan tempat itu. Tinggallah Natale dan Nick. Natale segera duduk kembali di kursinya.
“maaf, aku tidak ingin dirimu dalam kesulitan lagi gara-gara aku. Aku sudah berusaha menolaknya, tapi papa tetap ingin aku disini. Tapi, kalau kau mau, aku akan pergi dari sini”
“tidak perlu. Kau juga harus menghormati papamu kan?”
“aku hanya tidak ingin kau dalam masalah lagi”
Nick juga ikut duduk di samping Natale.
“dia selalu mengira kau akan merebutku dari tangan dia. Dia terlalu mengkhawatirkan hal-hal yang tidak mungkin terjadi”
“begitukah?”
“ya, aneh kan?”
“dan kau percaya?”
“maksudmu?”
“kau percaya kalau aku tidak akan merebutmu kembali?”
“apa maksudmu, Nick? Jangan katakan kalau…”
“bagaimana kalau aku memang mencoba untuk merebutmu kembali dari tangan Nicco?”
Natale menatap Nick lekat-lekat.
“kamu serius? Kamu sadar apa yang kau ucapkan itu?”
“serius, dan aku sadar. Aku pun tahu konsekuensinya. Aku bisa saja dibunuh Nicco saat ini juga”
“kau jangan coba-coba bermain api dengan Nicco, Nick. Dia bisa melakukan apa saja, bahkan membunuhmu kalau perlu. Dia juga tidak peduli siapa dirimu, aku yakin itu”
“biar saja, aku tak takut kepadanya”
“sepertinya kau percaya diri sekali aku akan menerima dirimu”
“tentu, aku yakin kau masih mencintaiku. Iya kan?”

Natale hanya terdiam dan beranjak pergi dari tempat itu.

LA PRIMAVERA 2 (bagian 9)

“nyonya, makanlah dulu. Nanti nyonya sakit”
“aku tidak lapar, Emma”
“sudah 2 hari ini nyonya enggak makan. Apa perlu saya panggilkan dokter?”
“tidak usah, aku kan tidak sakit. Aku mau tidur sekarang, tinggalkan aku sendirian, Emma”
“baik, nyonya. Kalau ada apa-apa panggil saja saya”
“ya, trimakasih”

Matahari mulai menyingsing. Sinarnya yang hangat mengintip dari balik tirai kamar Claudia. Menyentuh dengan lembut wajah Nicco yang terlelap hingga terbangun.
“wtf! Jam berapa ini?”
Ia melihat ke jam tangannya. Sudah jam 9 pagi. Buru-buru ia bangun. Masih dalam keadaan sempoyongan karena mabuk semalam, ia memakai bajunya. Claudia juga ikut terbangun karena mendengar suara ribut-ribut.
“ada apa?”
“kenapa kamu tidak membangunkanku? Kau tahu jam berapa sekarang?”
“aku juga baru bangun. Memangnya jam berapa sekarang?”
“jam 9. Dan kau tahu jam berapa pesawatku? Jam 09.30, Claudia”
“jadi? Percuma saja kau terburu-buru. Kau tidak akan sampai tepat waktu, sayang”
“aku tetap akan ke bandara sekarang. Aku bisa pakai pesawat yang lain”
“apa tidak bisa nanti sore? Kita sarapan dulu”
“tidak”
Setelah berkemas, Nicco mencium Claudia.
“aku pulang dulu”
“kapan kita bisa bertemu lagi?”
“aku tidak janji. Semoga. Bye”
“Nicco!”
Nicco sudah menghilang di balik pintu. Ia segera pergi ke apartemen Nicola.
“kau menginap di tempat Claudia ya?”
“ya, dan sekarang aku harus segera ke bandara. Aku pulang sekarang”
“aku tahu kamu sudah ketinggalan pesawat”
“sudahlah, pa. Aku pergi dulu”
Dengan naik taksi, Nicco segera ke bandara untuk kembali ke Roma dengan pesawat berikutnya.

Emma baru saja  akan membersihkan kamar Natale,  ketika dilihatnya Natale tergeletak di balkon.
“nyonya! Luigi, tolong telpon dokter!”
“ada apa ini?”
“entahlah, begitu aku masuk nyonya sudah tergeletak disini. Cepatlah!”
Luigi membantu Emma untuk mengangkat Natale ke atas ranjang. Setelah itu barulah Luigi menelpon dokter keluarga.

Begitu sampai di bandara Roma, Nicco tidak menelpon Luigi. Tapi ia langsung naik taksi menuju rumahnya. Begitu sampai di lobi, ia melihat dokter langganannya yang akan masuk ke rumahnya.
“lho, dokter. Ada apa?”
“aku ditelpon pelayanmu. Katanya istrimu sakit”
“sakit? Sakit apa?”
“entahlah, akan kuperiksa dulu”
Dengan terburu-buru, mereka segera ke kamar atas.
“Emma, mengapa kau tidak menelponku kalau istriku sakit?”
“maaf, tuan. Baru hari ini nyonya pingsan seperti ini. Kemarin saya suruh makan tidak mau. Mau saya panggilkan dokter juga tidak mau”
Nicco mendekati Natale. Dokter mulai memeriksa keadaan Natale.
“bagaimana keadaannya?”
“semua normal.  Tapi mungkin untuk lebih jelasnya kita bawa saja ke rumah sakit. Aku bisa mengeceknya lebih detil”
“Natale, kamu sudah sadar?”
“Nicco, kamu sudah pulang. Ada apa ini?”
“justru aku yang harus bertanya kepadamu. Ada apa denganmu? Kamu tadi pingsan. Kamu sakit?”
“aku tidak apa-apa”
“enggak, pokoknya kamu harus aku bawa ke rumah sakit. Aku tidak mau terjadi apa-apa denganmu”
“dari kemarin aku hanya malas makan saja. Mungkin hanya karena itu”
“tidak, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sendiri yang akan mengantarmu kesana”
“tapi kamu baru saja pulang. Apa tidak capek?”
“kau tak perlu mengkhawatirkanku. Kita sedang bicara tentangmu”
Akhirnya Nicco membawa Natale ke rumah sakit. Sembari menunggu hasil lab, mereka duduk di kantin rumah sakit.
“ini, kupesankan makanan untukmu. Makanlah, itu makanan kesukaanmu kan?”
“aku sedang tidak ingin makan, Nicco”
Nicco hanya menatap Natale dengan tajam.
“ok, ok. Aku makan”
Natale segera memakan makanan itu dengan pelan. Seorang suster mendekati mereka.
“maaf, kalian sudah ditunggu dokter di ruangannya”
“baik, terimakasih. Ayo Natale”
Mereka segera memasuki sebuah ruangan.
“duduklah. Hasil lab sudah aku terima”
“hasilnya?”
“Nicco, sebentar lagi kau akan jadi seorang  ayah. Ya, Natale hamil. Selamat ya”
“saya hamil, dokter?”
“istriku kamil?”
“ya”
Nicco dan Natale hanya saling berpandangan. Lalu Nicco memeluk Natale.
“akhirnya, sayang”
“ya, trimakasih, dokter”
“ini resep vitamin untukmu”
“thanx, kami permisi dulu”
Sepanjang koridor rumah sakit, Nicco merangkul Natale terus. Sewaktu di dalam mobil, mereka masih tidak percaya.
“aku tak percaya kita akan punya anak lagi secepat ini. Thanx, Natale”
Natale pun hanya tersenyum.

Di suatu sore di musim gugur, hujan turun tak begitu deras. Natale menghadiri upacara pemakaman Petra, ayahnya, karena sakit jantung.
“papa, Natale kini sendirian, pa. Tak tahu kemana Natale harus berlindung”
“kau masih mempunyai aku, juga papaku”
“tapi, aku sudah tidak mempunyai orangtua lagi. Papa meninggal tanpa tahu bahwa kau adalah seorang Auletta Rossa”
“itu lebih baik buatnya sehingga papamu tidak mempunyai dendam kepadaku”
“kau benar”
Petra dikuburkan disamping Rika. Setelah upacara selesai, Nicco segera membawa Natale masuk ke mobilnya.
“aku tidak mau kau memikirkan macam-macam. Aku tidak mau kamu sakit lagi. Jaga kesehatanmu dan bayi yang kau kandung itu. Ingat, 1 bulan lagi kau akan melahirkan. Jangan sampai masalah ini mengganggu kesehatanmu”
Nicco merangkul Natale dan segera meninggalkan tempat itu.

Suatu malam, kejadian yang dulu pun terulang lagi. Sikap Nicco mulai berubah lagi. Malam itu mereka bertengkar lagi. Seolah Nicco tak peduli kalau saat itu Natale sedang hamil dan sudah hampir melahirkan.
“Nicco, tolong jangan pergi”
“aku harus pergi dan sekali lagi, tidak perlu kau bertanya kemana aku pergi”
Waktu itu hujan mulai turun dengan derasnya diikuti angin yang kencang. Nicco masuk ke mobilnya yang ada di garasi bermaksud untuk pergi. Natale mengejarnya tapi langsung terjatuh di ruang tengah. Ia merasa perutnya amat sakit. Tubuhnya penuh dengan keringat dingin. Emma mendekati Natale. Ia  melihat Natale duduk di lantai sambil bersandar pada sofa.
“nyonya, apa yang terjadi?”
“entahlah, Emma. Sepertinya aku akan melahirkan sekarang”
“ya Tuhan”
“Emma, jangan tinggalkan aku. Aku takut”
Emma nekad menghadang mobil Nicco. Nicco pun marah-marah. Hujan semakin deras.
“Emma, apa yang kau lakukan? Minggir atau kutabrak kamu!”

“tuan, nyonya saat ini akan melahirkan”
“aku tidak peduli! Panggil saja dokter, aku mau pergi!”
“dan tuan akan meninggalkan nyonya melahirkan sendirian? Apa tuan mau kehilangan putra tuan seperti dulu? Ingat tuan, itu adalah darah daging tuan sendiri. Apa tuan akan membiarkannya begitu saja? Saya sungguh tidak percaya jika tuan bisa segitu kejamnya. Saya tidak menyangka pikiran tuan begitu picik dan sempit!”
“diam atau kupecat kamu!”
“Emma! Aku sudah tidak kuat. Jangan tinggalkan aku, Emma”
“iya, nyonya”
Emma segera menelpon rumah sakit agar segera mengirimkan ambulan. Setelah itu, dibantu dengan Luigi, ia menyiapkan air hangat dan menyeka peluh Natale.
“perutku sakit sekali, jangan tinggalkan aku, Emma”
“tentu, nyonya”
Nicco berdiri di depan pintu. Natale wajahnya sangat pucat dan penuh dengan keringat.
“Natale, maafkan aku, sayang”
“tuan, kita harus memindahkan nyonya. Disini dingin”
Nicco segera membaringkan Natale ke sofa.
“bagaimana keadaanmu?”
“aku tidak tahu. Aku sudah tidak kuat”
“tuan, ambulannya sudah ada di lobi”
Beberapa perawat segera memindahkan Natale ke ambulan menuju rumah sakit. Emma dan Nicco ikut serta. Mereka hanya menunggu sampai pintu kamar operasi.
“e… tuan, maaf saya tadi berkata kasar terhadap tuan”
“tidak apa-apa. Aku justru berterimakasih kepadamu, Emma”
Seorang dokter terlihat keluar dari ruangan itu.
“anda suaminya?”
“ya”
“istri anda sudah melahirkan seorang bayi laki-laki”
“thanx”
Setelah dipindahkan ke ruangan biasa, Nicco menemui Natale.
“Natale, maaf. Aku tadi berbuat kasar terhadapmu”
“lupakan. Aku tidak mau hari yang bahagia ini tercoreng dengan hal-hal yang tidak kunginkan”
“aku mencintaimu, Natale”
Tiba-tiba datanglah beberapa polisi dengan membawa secarik kertas.
“maaf, anda tuan Nicco Auletta Rossa?”
“ya”
“kami harus membawa anda ke kantor polisi. Ini surat tugas kami untuk menangkap anda”
“apa salahku? Aku harus didampingi pengacaraku”
“anda bisa menjelaskannya di kantor kami”
“kalian tidak boleh menangkapnya! Kalian tidak bisa menangkap suamiku!”
“tidak apa-apa, Natale. Aku pasti akan baik-baik saja”
Dengan kedua tangannya diborgol ke belakang, Nicco digiring oleh beberapa petugas kepolisian. Emma pun menemani Natale.

Tak terasa sudah seminggu berlalu…
“Emma, tolong jaga anakku. Aku akan menemui Nicco”
“baik, nyonya”
Dengan diantar Luigi, Natale segera ke penjara kota untuk menemui Nicco. Ia menunggu Nicco di sebuah ruangan.
“Natale? Mengapa kamu kesini? Bagaimana dengan bayi kita? Siapa yang menjaganya?”
“ada Emma di rumah. Kau jangan khawatir. Aku merindukanmu, apa kau baik-baik saja disini? Aku terlalu mengkhawatirkanmu”
“ya, aku juga merindukan kalian. Tapi, aku baik-baik saja  disini”
“papamu sudah tahu?”
“sudah, dan papa yang akan mengurus semuanya”
“syukurlah”
Natale memeluk Nicco.

Seorang pemuda yang berambut hitam sebahu keluar dari pesawat di bandara Roma. Setelah naik taksi, ia dan temannya melepas penat dengan duduk-duduk di ruang tengah dengan ditemani minuman.
“sudah dua tahun aku tidak kesini. Aku ingin segera menemui Natale dan menikahinya. Dan dia akan jadi milikku seutuhnya”
“kapan kau akan menemuinya?”
“malam ini”
“kamu tidak lelah?”
“tidak”
Malamnya Nick sudah berdandan rapi dan segera menuju rumah Natale meninggalkan Michael seorang diri. Tapi sesampainya di rumah Natale, rumah itu sepi. Tak ada siapapun. Halaman rumah yang dulu rapi, kini sudah tidak terurus lagi. Ia pun bertanya kepada seseorang yang sedang membuang sampah.
“permisi, apakah anda tahu kemana pemilik rumah ini pergi?”
“maksudmu keluarga del Pierro?”
“iya”
“tuan del Pierro sudah meninggal belum lama ini. Dan putrinya sudah tidak disini lagi. Ia sudah hidup dengan suaminya”
“suaminya? Natale sudah menikah?”
“ya, dan sudah mempunyai seorang anak”
“anak?”
“iya, anda ini siapa?”
“saya teman lama Natale di kampus. Trimakasih”
Nick pulang. Dengan langkah gontai, dia memasuki rumahnya.
“hei, katamu kau akan ke rumah Natale. Dua tahun kalian tidak bertemu,kenapa cepat sekali?”
“Natale sudah menikah dengan orang lain. Aku tidak percaya dia mengkhianati cintaku. Dia pun sudah punya anak”
“aku tak percaya”
“apalagi aku. Tetangganya yang bilang. Aku harus cari tahu dimana dia tinggal”

Sebulan telah berlalu. Setelah melahirkan, Natale pindah ke rumah mungil yang ditepi danau dengan memboyong Emma juga. Pagi itu, telpon berdering.
“hallo,Natale?”
“iya pa. Ada apa?”
“aku ada kabar baik untukmu. Datanglah kesini sekarang juga”
“kabar baik apa?”
“nanti kau akan tahu. Bawa juga Valent”
“tentu, pa. Sekarang saya kesana”
Ia lalu mengajak Emma untuk menyiapkan segala keperluan valent yang akan di bawa. Natale sendiri yang menyetir. Sedangkan Emma duduk di samping Natale sambil memangku Valent. Di tengah perjalanan, Natale berhenti sebentar di sebuah mini market.
“Emma, kamu tunggu di mobil saja ya”
“baik, nyonya”
Ketika sedang mencari-cari barang, seseorang menghampirinya.
“Natale?”
Natale terkejut. Barang-barang yang dibawanya terjatuh semuanya.
“tunggu, katakan yang sebenarnya. Kau…. Nick ataukah Nicco?”
“aku Nick. Sesuai janjiku dua tahun aku pergi dan kini aku datang untuk menikahimu. Nicco? Mmm… kalau tak salah dia orang yang katamu mirip denganku itu kan?”
“maafkan aku, Nick”
“aku tahu kok kamu sudah menikah. Ayo,kita bicara di kafe itu. Jangan sampai mamaku melihatmu”
“dia juga ada disini?”
“ya”
Mereka lalu ke kafe yang ada di samping mini market itu. Mereka hanya memesan dua buah cangkir coklat panas.
“sekarang katakan yang sebenarnya. Mengapa kau mengkhianati cinta kita, Natale? Sudah kubilang aku akan datang untuk menikahimu dua tahun lagi. Tapi?”
“aku akan jujur kepadamu”
“baik”
“waktu kamu pulang ke Belanda,  tak lama kemudian seseorang yang mengaku bernama Nick datang. Kami menikah. Tapi ternyata, dia adalah Nicco. Dia sangat mirip kamu. Aku tidak bisa membedakan kalian. Jadi, suamiku adalah orang yang dulu menculikku. Rupanya dia menggunakan kesempatan waktu kau pulang ke Belanda. Sungguh, aku tak tau”
“lalu, setelah tahu bahwa dia bukan aku?”
“aku tetap mencintainya”
“kau tidak mencintaiku lagi?”
“bukan begitu. Kau jangan memojokkanku,  Nick”
Natale memegangi kepalanya.
“kau sakit?”
“akhir-akhir ini aku memang sering sakit kepala”
“dan kau bawa mobil sendirian?”
“ya”
“mau kemana kamu?”
“ke rumah papa Nicco”
“aku akan mengantarmu”
“tidak usah, kau juga lagi bersama mamamu kan?”
“biar mama pulang dengan Michael”
Nick segera menemui Michael yang masih ada di parkiran depan mini market yang sedang memandangi Nick dan Natale. Setelah itu, Nick mengantar Natale ke mobilnya. Emma terlihat kaget melihat Nick yang memang mirip sekali dengan Nicco. Tapi, Natale dan Nick tak mempedulikan hal itu. Emma segera duduk di belakang dengan Valent.
Setelah sampai di lobi rumah keluarga Auletta Rossa…
“besar juga rumah suamimu. Seperti istana. Dia orang kaya ya?”
“sudahlah. Ini masih milik papanya. Kau mau kuperkenalkan kepadanya?”
“boleh”
Mereka lalu masuk. Waktu sampai di ruang tengah…
“hai, pa. Apa kabar?”
“baik, kamu juga baik-baik saja kan? Mana Valent?”
“mungkin langsung dibawa Emma ke kamar atas”
“Natale,siapa dia?”
“e… ini teman saya, pa. Pa, ini Nick. Nick, ini papaku”
“namaku Nick, Nick Auletta Rossa”
“nama keluarga Nick sama dengan milik papa kan? Suatu kebetulan”
“Nick? Nick Auletta Rossa? Darimana asalmu?”
“saya dari Belanda”
“ibumu bernama Maria?”
“ya,anda kenal?”
“e-ya, kami dulu berteman”
“o ya pa, apa kejutannya?”
“lihatlah, siapa yang ada diatas sana itu”
“siapa?”
Natale naik ke lantai atas. Senyumnya terkembang begitu mengetahui yang ada disitu adalah Nicco.
“Nicco?”
“ya, aku disini”
“aku senang kamu disini. Apakah kamu akan kembali lagi ke penjara itu?”
“tidak, aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi”
Nicco memeluk Natale dengan erat.
Waktu melihat itu semua dari bawah, Nick segera menyadari kalau ia memang sangat mirip dengan Nicco, bagaikan saudara kembar.
“sebaiknya saya pergi dulu”
“tunggu, boleh tahu alamatmu, nak. Aku ingin bertemu dengan ibumu. Sudah lama juga kami tidak bertemu”
“ini nomer telpon ibu saya. Dia pasti sangat senang sekali menerima telpon dari anda”
“sopirku bisa mengantarmu pulang”
“tidak perlu. Sudah ada teman yang akan menjemput saya di depan”
“trimakasih ya”
Tanpa berpamitan dengan Natale, Nick segera meninggalkan rumah itu. Ia dijemput Michael karena Nick tadi menelponnya.
Nicola kembali duduk di ruang tengah di depan perapian. Dia mengambil sebuah foto. Bergambar seorang bocah laki-laki yang berusia sekitar lima tahun.
“anak itu. Apa mungkin dia adalah saudara kembar Nicco? Ya, aku yakin itu. Rupanya Maria tetap memakaikan nama Auletta Rossa untuk Nick. Ini saatnya Nicco untuk tahu bahwa dia masih mempunyai mama dan saudara kembar. Kejadian itu sudah lama sekali”

Suatu hari, Nicola menelpon Maria.
“hallo, bisa bicara dengan Maria?”
“ya, aku sendiri. Siapa ini?”
“aku hanya seorang kawan lama yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu denganmu”
“siapa? Maaf kalau aku lupa”
“aku hanya ingin bertemu denganmu. Kalau kau penasaran, kau pasti akan menemuiku”
“baik. Dimana?”
“di dekat Trevi Fountain”
“baik, aku akan melihatmu dulu. Kalau ternyata aku tidak mengenalmu, maaf, aku langsung pulang”
“silakan, tapi aku yakin kau pasti akan menemuiku”
“kapan?”
“sekarang”
“ok”
Dengan mengendarai sendiri mobilnya, Maria menuju Trevi Fountain. Siang itu tidak begitu ramai. Ia melihat seorang pria berpakaian rapi duduk di bangku panjang. Perlahan Maria mendekatinya dan menepuk pundaknya dari belakang dengan hati-hati. Pria itu menoleh. Maria terkejut dan tak bisa berkata-kata.
“kau? Nicola?”
“ya, apa kabar?”
“e-baik”
“maaf, ditelpon aku tidak langsung berterus terang kepadamu”
“lalu, apa yang kau inginkan?”
“kau masih ingat dengan Nicco?”
“ya, tentu saja. Bagaimana keadaan dia?”
Maria bertanya dengan sangat antusias.
“dia baik-baik saja. Aku pun masih ingat dengan Nick. Mereka anak kita. Mereka saudara kembar. Aku sudah melihat Nick di rumahku”
“tunggu, bagaimana bisa?”
“Nick adalah teman Natale. Dan Natale adalah istri Nicco. Kau pasti sudah tahu siapa Natale itu kan?”
“aku benar-benar bingung disini. Banyak yang tidak kumengerti. Bagaimana bisa Natale itu istri Nicco? Natale akan menjadi istri Nick”
“memang, tapi waktu Nick ke Belanda, Nicco memanfaatkan kesempatan itu. Ia berpura-pura menjadi Nick dan menikahi Natale tanpa pernah tahu kalau Nick adalah saudara kembarnya”
“kasihan Nick. Dia belum bercerita apa-apa kepadaku”
“dan sekarang Nicco dan Natale sudah punya anak”
“aku ingin sekali melihatnya”
“silakan, tapi sebelum itu aku ingin mempertemukan mereka berdua”
“boleh”
“dengan begitu kita bisa bersama lagi”
“tunggu, kita sudah bukan suami istri lagi. Dan aku sudah mempunyai suami yang mencintaiku”
“baik, baik. Yang penting aku ingin antara Nick dan Nicco saling tahu bahwa mereka adalah saudara kembar”
“ya, mereka harus saling tahu. Entah apa yang terjadi bila mereka tahu kalau ternyata mereka bersaudara”
“by the way, kau mendidik Nick dengan baik. Aku bisa melihat dari sikap dan tingkah lakunya waktu dia datang”
“tentu saja, dia selalu menjadi murid teladan setiap tahunnya di kampus. Bagaimana dengan Nicco?”
“kau tahu aku tidak bisa mendidik anak. Dia hanya sampai SMU, tidak mau melanjutkan sekolahnya. Dan tingkahnya pun… yah, begitulah”
“itu karena kau melarangku membawa mereka”
“sudahlah. Aku tidak pernah membayangkan mereka akan bertemu lagi, gara-gara Natale”
“mereka saudara. Apapun yang terjadi, mereka akan bertemu”

Di suatu siang…
“Nick, mama ingin bicara”
“sepertinya penting sekali, ma. Ada apa?”
“mama sudah tahu apa yang terjadi antara dirimu dengan Natale. Mama ikut sedih”
“darimana mama tahu?”
“itu tidak penting. Kamu pasti sedih, ya?”
“sudahlah. Lupakan saja Natale, ma. Dia sudah menikah dengan orang lain”
“suatu saat nanti, kau akan menemukan yang jauh lebih baik dari Natale. Sekarang ikut mama”
“kemana, ma?”
“ke suatu tempat. Nanti kau akan menemukan dirimu sendiri disana”
“maksud mama?”
“sudahlah, ayo!”
Mereka segera pergi ke sebuah taman yang ada di tepi sungai Tiber. Setelah memparkir mobilnya, mereka berdua menuju sebuah bangku panjang yang menghadap sungai Tiber. Nicco dan Nick terkejut.
“mengapa mama mempertemukanku dengan mereka?”
“apa maksud semua ini, pa?”
Nicco menatap tajam ke arah Nick, sedangkan Nick hanya diam saja. Angin siang itu berhembus agak kencang.  Menerbangkan daun-daun kering di musim gugur itu.
“begini, sudah saatnya kalian tahu. Dia dulunya adalah istriku, tapi kami sudah berpisah lama sekali. Dan kalian… adalah anak kami. Kalian saudara kembar”
“itu tak mungkin, pa”
“kau tidak mau menerima kenyataan? Lihatlah, kau bisa melihat wajah kamu sendiri di wajah Nick”
“iya, Nicco. Aku mamamu. Nick, dialah papamu”
“tapi mama bilang…”
“iya, maafkan mama, Nick. Tapi takdir menentukan lain. Sekarang kita bertemu. Dialah papamu, dan Nicco adalah saudaramu. Dia saudara kembarmu”
“betul kata Michael”
“apa katanya?”
“dulu dia pernah bilang kalau saya punya saudara. Dan ternyata benar. Tapi, mengapa waktu itu dia bilang saya punya saudara di Amerika?”
“kita dulu memang tinggal disana. Lalu, waktu kami berpisah, aku pulang ke Italia dengan membawa Nicco. Dan mama kalian pulang ke Belanda dengan membawa Nick”
“kita ternyata bersaudara, Nicco”
Nicco masih terdiam. Tanpa berkata-kata, dia langsung pergi ke parkiran menuju mobilnya.
“Nicco, tunggu!”
Nick mengejar Nicco. Kini mereka sudah saling berhadapan di samping mobil Nicco.
“Nicco, ada apa denganmu? Sekarang kita berdua sudah tahu kalau kita bersaudara”
“iya, aku tahu. Trus apa maumu?”
“maksudmu? Aku tidak tahu maksudmu”
Nicco segera masuk kemobilnya dan meninggalkan tempat itu dengan ngebut.
“Nicco!”
Nicco mengendarai mobilnya dengan ngebut di jalanan. Dia menuju rumah besar bak istananya dan masuk ke kamarnya.
“Nicco? Kau mengagetkanku. Ada apa? Sepertinya kau tadi terburu-buru”
“em… yah”
“kau sepertinya kebingungan”
“hhh… entahlah. Aku pusing, Natale”
Nicco duduk di kursi yang ada di balkon kamarnya.
“mau kuambilkan obat?”
“tidak, trimakasih”
Nicco menuju pantry dan mengambil sebotol minuman.
“kau minum lagi?”
“kenapa? Tidak tiap hari kan?”
“sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Kau membuatku khawatir, Nicco”
Nicco segera mengambil pistol kesayangannya dari balik lukisan dan menyelipkannya di balik bajunya.
“aku pergi dulu. Jaga dirimu dan anak kita baik-baik”
“kau mau kemana?”
“entah, aku tidak akan lama. Janji”
Setelah mencium Natale, Nicco pergi lagi entah kemana.

 
Claudia