Sabtu, 15 Maret 2014

LA PRIMAVERA 2 (bagian 9)

“nyonya, makanlah dulu. Nanti nyonya sakit”
“aku tidak lapar, Emma”
“sudah 2 hari ini nyonya enggak makan. Apa perlu saya panggilkan dokter?”
“tidak usah, aku kan tidak sakit. Aku mau tidur sekarang, tinggalkan aku sendirian, Emma”
“baik, nyonya. Kalau ada apa-apa panggil saja saya”
“ya, trimakasih”

Matahari mulai menyingsing. Sinarnya yang hangat mengintip dari balik tirai kamar Claudia. Menyentuh dengan lembut wajah Nicco yang terlelap hingga terbangun.
“wtf! Jam berapa ini?”
Ia melihat ke jam tangannya. Sudah jam 9 pagi. Buru-buru ia bangun. Masih dalam keadaan sempoyongan karena mabuk semalam, ia memakai bajunya. Claudia juga ikut terbangun karena mendengar suara ribut-ribut.
“ada apa?”
“kenapa kamu tidak membangunkanku? Kau tahu jam berapa sekarang?”
“aku juga baru bangun. Memangnya jam berapa sekarang?”
“jam 9. Dan kau tahu jam berapa pesawatku? Jam 09.30, Claudia”
“jadi? Percuma saja kau terburu-buru. Kau tidak akan sampai tepat waktu, sayang”
“aku tetap akan ke bandara sekarang. Aku bisa pakai pesawat yang lain”
“apa tidak bisa nanti sore? Kita sarapan dulu”
“tidak”
Setelah berkemas, Nicco mencium Claudia.
“aku pulang dulu”
“kapan kita bisa bertemu lagi?”
“aku tidak janji. Semoga. Bye”
“Nicco!”
Nicco sudah menghilang di balik pintu. Ia segera pergi ke apartemen Nicola.
“kau menginap di tempat Claudia ya?”
“ya, dan sekarang aku harus segera ke bandara. Aku pulang sekarang”
“aku tahu kamu sudah ketinggalan pesawat”
“sudahlah, pa. Aku pergi dulu”
Dengan naik taksi, Nicco segera ke bandara untuk kembali ke Roma dengan pesawat berikutnya.

Emma baru saja  akan membersihkan kamar Natale,  ketika dilihatnya Natale tergeletak di balkon.
“nyonya! Luigi, tolong telpon dokter!”
“ada apa ini?”
“entahlah, begitu aku masuk nyonya sudah tergeletak disini. Cepatlah!”
Luigi membantu Emma untuk mengangkat Natale ke atas ranjang. Setelah itu barulah Luigi menelpon dokter keluarga.

Begitu sampai di bandara Roma, Nicco tidak menelpon Luigi. Tapi ia langsung naik taksi menuju rumahnya. Begitu sampai di lobi, ia melihat dokter langganannya yang akan masuk ke rumahnya.
“lho, dokter. Ada apa?”
“aku ditelpon pelayanmu. Katanya istrimu sakit”
“sakit? Sakit apa?”
“entahlah, akan kuperiksa dulu”
Dengan terburu-buru, mereka segera ke kamar atas.
“Emma, mengapa kau tidak menelponku kalau istriku sakit?”
“maaf, tuan. Baru hari ini nyonya pingsan seperti ini. Kemarin saya suruh makan tidak mau. Mau saya panggilkan dokter juga tidak mau”
Nicco mendekati Natale. Dokter mulai memeriksa keadaan Natale.
“bagaimana keadaannya?”
“semua normal.  Tapi mungkin untuk lebih jelasnya kita bawa saja ke rumah sakit. Aku bisa mengeceknya lebih detil”
“Natale, kamu sudah sadar?”
“Nicco, kamu sudah pulang. Ada apa ini?”
“justru aku yang harus bertanya kepadamu. Ada apa denganmu? Kamu tadi pingsan. Kamu sakit?”
“aku tidak apa-apa”
“enggak, pokoknya kamu harus aku bawa ke rumah sakit. Aku tidak mau terjadi apa-apa denganmu”
“dari kemarin aku hanya malas makan saja. Mungkin hanya karena itu”
“tidak, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sendiri yang akan mengantarmu kesana”
“tapi kamu baru saja pulang. Apa tidak capek?”
“kau tak perlu mengkhawatirkanku. Kita sedang bicara tentangmu”
Akhirnya Nicco membawa Natale ke rumah sakit. Sembari menunggu hasil lab, mereka duduk di kantin rumah sakit.
“ini, kupesankan makanan untukmu. Makanlah, itu makanan kesukaanmu kan?”
“aku sedang tidak ingin makan, Nicco”
Nicco hanya menatap Natale dengan tajam.
“ok, ok. Aku makan”
Natale segera memakan makanan itu dengan pelan. Seorang suster mendekati mereka.
“maaf, kalian sudah ditunggu dokter di ruangannya”
“baik, terimakasih. Ayo Natale”
Mereka segera memasuki sebuah ruangan.
“duduklah. Hasil lab sudah aku terima”
“hasilnya?”
“Nicco, sebentar lagi kau akan jadi seorang  ayah. Ya, Natale hamil. Selamat ya”
“saya hamil, dokter?”
“istriku kamil?”
“ya”
Nicco dan Natale hanya saling berpandangan. Lalu Nicco memeluk Natale.
“akhirnya, sayang”
“ya, trimakasih, dokter”
“ini resep vitamin untukmu”
“thanx, kami permisi dulu”
Sepanjang koridor rumah sakit, Nicco merangkul Natale terus. Sewaktu di dalam mobil, mereka masih tidak percaya.
“aku tak percaya kita akan punya anak lagi secepat ini. Thanx, Natale”
Natale pun hanya tersenyum.

Di suatu sore di musim gugur, hujan turun tak begitu deras. Natale menghadiri upacara pemakaman Petra, ayahnya, karena sakit jantung.
“papa, Natale kini sendirian, pa. Tak tahu kemana Natale harus berlindung”
“kau masih mempunyai aku, juga papaku”
“tapi, aku sudah tidak mempunyai orangtua lagi. Papa meninggal tanpa tahu bahwa kau adalah seorang Auletta Rossa”
“itu lebih baik buatnya sehingga papamu tidak mempunyai dendam kepadaku”
“kau benar”
Petra dikuburkan disamping Rika. Setelah upacara selesai, Nicco segera membawa Natale masuk ke mobilnya.
“aku tidak mau kau memikirkan macam-macam. Aku tidak mau kamu sakit lagi. Jaga kesehatanmu dan bayi yang kau kandung itu. Ingat, 1 bulan lagi kau akan melahirkan. Jangan sampai masalah ini mengganggu kesehatanmu”
Nicco merangkul Natale dan segera meninggalkan tempat itu.

Suatu malam, kejadian yang dulu pun terulang lagi. Sikap Nicco mulai berubah lagi. Malam itu mereka bertengkar lagi. Seolah Nicco tak peduli kalau saat itu Natale sedang hamil dan sudah hampir melahirkan.
“Nicco, tolong jangan pergi”
“aku harus pergi dan sekali lagi, tidak perlu kau bertanya kemana aku pergi”
Waktu itu hujan mulai turun dengan derasnya diikuti angin yang kencang. Nicco masuk ke mobilnya yang ada di garasi bermaksud untuk pergi. Natale mengejarnya tapi langsung terjatuh di ruang tengah. Ia merasa perutnya amat sakit. Tubuhnya penuh dengan keringat dingin. Emma mendekati Natale. Ia  melihat Natale duduk di lantai sambil bersandar pada sofa.
“nyonya, apa yang terjadi?”
“entahlah, Emma. Sepertinya aku akan melahirkan sekarang”
“ya Tuhan”
“Emma, jangan tinggalkan aku. Aku takut”
Emma nekad menghadang mobil Nicco. Nicco pun marah-marah. Hujan semakin deras.
“Emma, apa yang kau lakukan? Minggir atau kutabrak kamu!”

“tuan, nyonya saat ini akan melahirkan”
“aku tidak peduli! Panggil saja dokter, aku mau pergi!”
“dan tuan akan meninggalkan nyonya melahirkan sendirian? Apa tuan mau kehilangan putra tuan seperti dulu? Ingat tuan, itu adalah darah daging tuan sendiri. Apa tuan akan membiarkannya begitu saja? Saya sungguh tidak percaya jika tuan bisa segitu kejamnya. Saya tidak menyangka pikiran tuan begitu picik dan sempit!”
“diam atau kupecat kamu!”
“Emma! Aku sudah tidak kuat. Jangan tinggalkan aku, Emma”
“iya, nyonya”
Emma segera menelpon rumah sakit agar segera mengirimkan ambulan. Setelah itu, dibantu dengan Luigi, ia menyiapkan air hangat dan menyeka peluh Natale.
“perutku sakit sekali, jangan tinggalkan aku, Emma”
“tentu, nyonya”
Nicco berdiri di depan pintu. Natale wajahnya sangat pucat dan penuh dengan keringat.
“Natale, maafkan aku, sayang”
“tuan, kita harus memindahkan nyonya. Disini dingin”
Nicco segera membaringkan Natale ke sofa.
“bagaimana keadaanmu?”
“aku tidak tahu. Aku sudah tidak kuat”
“tuan, ambulannya sudah ada di lobi”
Beberapa perawat segera memindahkan Natale ke ambulan menuju rumah sakit. Emma dan Nicco ikut serta. Mereka hanya menunggu sampai pintu kamar operasi.
“e… tuan, maaf saya tadi berkata kasar terhadap tuan”
“tidak apa-apa. Aku justru berterimakasih kepadamu, Emma”
Seorang dokter terlihat keluar dari ruangan itu.
“anda suaminya?”
“ya”
“istri anda sudah melahirkan seorang bayi laki-laki”
“thanx”
Setelah dipindahkan ke ruangan biasa, Nicco menemui Natale.
“Natale, maaf. Aku tadi berbuat kasar terhadapmu”
“lupakan. Aku tidak mau hari yang bahagia ini tercoreng dengan hal-hal yang tidak kunginkan”
“aku mencintaimu, Natale”
Tiba-tiba datanglah beberapa polisi dengan membawa secarik kertas.
“maaf, anda tuan Nicco Auletta Rossa?”
“ya”
“kami harus membawa anda ke kantor polisi. Ini surat tugas kami untuk menangkap anda”
“apa salahku? Aku harus didampingi pengacaraku”
“anda bisa menjelaskannya di kantor kami”
“kalian tidak boleh menangkapnya! Kalian tidak bisa menangkap suamiku!”
“tidak apa-apa, Natale. Aku pasti akan baik-baik saja”
Dengan kedua tangannya diborgol ke belakang, Nicco digiring oleh beberapa petugas kepolisian. Emma pun menemani Natale.

Tak terasa sudah seminggu berlalu…
“Emma, tolong jaga anakku. Aku akan menemui Nicco”
“baik, nyonya”
Dengan diantar Luigi, Natale segera ke penjara kota untuk menemui Nicco. Ia menunggu Nicco di sebuah ruangan.
“Natale? Mengapa kamu kesini? Bagaimana dengan bayi kita? Siapa yang menjaganya?”
“ada Emma di rumah. Kau jangan khawatir. Aku merindukanmu, apa kau baik-baik saja disini? Aku terlalu mengkhawatirkanmu”
“ya, aku juga merindukan kalian. Tapi, aku baik-baik saja  disini”
“papamu sudah tahu?”
“sudah, dan papa yang akan mengurus semuanya”
“syukurlah”
Natale memeluk Nicco.

Seorang pemuda yang berambut hitam sebahu keluar dari pesawat di bandara Roma. Setelah naik taksi, ia dan temannya melepas penat dengan duduk-duduk di ruang tengah dengan ditemani minuman.
“sudah dua tahun aku tidak kesini. Aku ingin segera menemui Natale dan menikahinya. Dan dia akan jadi milikku seutuhnya”
“kapan kau akan menemuinya?”
“malam ini”
“kamu tidak lelah?”
“tidak”
Malamnya Nick sudah berdandan rapi dan segera menuju rumah Natale meninggalkan Michael seorang diri. Tapi sesampainya di rumah Natale, rumah itu sepi. Tak ada siapapun. Halaman rumah yang dulu rapi, kini sudah tidak terurus lagi. Ia pun bertanya kepada seseorang yang sedang membuang sampah.
“permisi, apakah anda tahu kemana pemilik rumah ini pergi?”
“maksudmu keluarga del Pierro?”
“iya”
“tuan del Pierro sudah meninggal belum lama ini. Dan putrinya sudah tidak disini lagi. Ia sudah hidup dengan suaminya”
“suaminya? Natale sudah menikah?”
“ya, dan sudah mempunyai seorang anak”
“anak?”
“iya, anda ini siapa?”
“saya teman lama Natale di kampus. Trimakasih”
Nick pulang. Dengan langkah gontai, dia memasuki rumahnya.
“hei, katamu kau akan ke rumah Natale. Dua tahun kalian tidak bertemu,kenapa cepat sekali?”
“Natale sudah menikah dengan orang lain. Aku tidak percaya dia mengkhianati cintaku. Dia pun sudah punya anak”
“aku tak percaya”
“apalagi aku. Tetangganya yang bilang. Aku harus cari tahu dimana dia tinggal”

Sebulan telah berlalu. Setelah melahirkan, Natale pindah ke rumah mungil yang ditepi danau dengan memboyong Emma juga. Pagi itu, telpon berdering.
“hallo,Natale?”
“iya pa. Ada apa?”
“aku ada kabar baik untukmu. Datanglah kesini sekarang juga”
“kabar baik apa?”
“nanti kau akan tahu. Bawa juga Valent”
“tentu, pa. Sekarang saya kesana”
Ia lalu mengajak Emma untuk menyiapkan segala keperluan valent yang akan di bawa. Natale sendiri yang menyetir. Sedangkan Emma duduk di samping Natale sambil memangku Valent. Di tengah perjalanan, Natale berhenti sebentar di sebuah mini market.
“Emma, kamu tunggu di mobil saja ya”
“baik, nyonya”
Ketika sedang mencari-cari barang, seseorang menghampirinya.
“Natale?”
Natale terkejut. Barang-barang yang dibawanya terjatuh semuanya.
“tunggu, katakan yang sebenarnya. Kau…. Nick ataukah Nicco?”
“aku Nick. Sesuai janjiku dua tahun aku pergi dan kini aku datang untuk menikahimu. Nicco? Mmm… kalau tak salah dia orang yang katamu mirip denganku itu kan?”
“maafkan aku, Nick”
“aku tahu kok kamu sudah menikah. Ayo,kita bicara di kafe itu. Jangan sampai mamaku melihatmu”
“dia juga ada disini?”
“ya”
Mereka lalu ke kafe yang ada di samping mini market itu. Mereka hanya memesan dua buah cangkir coklat panas.
“sekarang katakan yang sebenarnya. Mengapa kau mengkhianati cinta kita, Natale? Sudah kubilang aku akan datang untuk menikahimu dua tahun lagi. Tapi?”
“aku akan jujur kepadamu”
“baik”
“waktu kamu pulang ke Belanda,  tak lama kemudian seseorang yang mengaku bernama Nick datang. Kami menikah. Tapi ternyata, dia adalah Nicco. Dia sangat mirip kamu. Aku tidak bisa membedakan kalian. Jadi, suamiku adalah orang yang dulu menculikku. Rupanya dia menggunakan kesempatan waktu kau pulang ke Belanda. Sungguh, aku tak tau”
“lalu, setelah tahu bahwa dia bukan aku?”
“aku tetap mencintainya”
“kau tidak mencintaiku lagi?”
“bukan begitu. Kau jangan memojokkanku,  Nick”
Natale memegangi kepalanya.
“kau sakit?”
“akhir-akhir ini aku memang sering sakit kepala”
“dan kau bawa mobil sendirian?”
“ya”
“mau kemana kamu?”
“ke rumah papa Nicco”
“aku akan mengantarmu”
“tidak usah, kau juga lagi bersama mamamu kan?”
“biar mama pulang dengan Michael”
Nick segera menemui Michael yang masih ada di parkiran depan mini market yang sedang memandangi Nick dan Natale. Setelah itu, Nick mengantar Natale ke mobilnya. Emma terlihat kaget melihat Nick yang memang mirip sekali dengan Nicco. Tapi, Natale dan Nick tak mempedulikan hal itu. Emma segera duduk di belakang dengan Valent.
Setelah sampai di lobi rumah keluarga Auletta Rossa…
“besar juga rumah suamimu. Seperti istana. Dia orang kaya ya?”
“sudahlah. Ini masih milik papanya. Kau mau kuperkenalkan kepadanya?”
“boleh”
Mereka lalu masuk. Waktu sampai di ruang tengah…
“hai, pa. Apa kabar?”
“baik, kamu juga baik-baik saja kan? Mana Valent?”
“mungkin langsung dibawa Emma ke kamar atas”
“Natale,siapa dia?”
“e… ini teman saya, pa. Pa, ini Nick. Nick, ini papaku”
“namaku Nick, Nick Auletta Rossa”
“nama keluarga Nick sama dengan milik papa kan? Suatu kebetulan”
“Nick? Nick Auletta Rossa? Darimana asalmu?”
“saya dari Belanda”
“ibumu bernama Maria?”
“ya,anda kenal?”
“e-ya, kami dulu berteman”
“o ya pa, apa kejutannya?”
“lihatlah, siapa yang ada diatas sana itu”
“siapa?”
Natale naik ke lantai atas. Senyumnya terkembang begitu mengetahui yang ada disitu adalah Nicco.
“Nicco?”
“ya, aku disini”
“aku senang kamu disini. Apakah kamu akan kembali lagi ke penjara itu?”
“tidak, aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi”
Nicco memeluk Natale dengan erat.
Waktu melihat itu semua dari bawah, Nick segera menyadari kalau ia memang sangat mirip dengan Nicco, bagaikan saudara kembar.
“sebaiknya saya pergi dulu”
“tunggu, boleh tahu alamatmu, nak. Aku ingin bertemu dengan ibumu. Sudah lama juga kami tidak bertemu”
“ini nomer telpon ibu saya. Dia pasti sangat senang sekali menerima telpon dari anda”
“sopirku bisa mengantarmu pulang”
“tidak perlu. Sudah ada teman yang akan menjemput saya di depan”
“trimakasih ya”
Tanpa berpamitan dengan Natale, Nick segera meninggalkan rumah itu. Ia dijemput Michael karena Nick tadi menelponnya.
Nicola kembali duduk di ruang tengah di depan perapian. Dia mengambil sebuah foto. Bergambar seorang bocah laki-laki yang berusia sekitar lima tahun.
“anak itu. Apa mungkin dia adalah saudara kembar Nicco? Ya, aku yakin itu. Rupanya Maria tetap memakaikan nama Auletta Rossa untuk Nick. Ini saatnya Nicco untuk tahu bahwa dia masih mempunyai mama dan saudara kembar. Kejadian itu sudah lama sekali”

Suatu hari, Nicola menelpon Maria.
“hallo, bisa bicara dengan Maria?”
“ya, aku sendiri. Siapa ini?”
“aku hanya seorang kawan lama yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu denganmu”
“siapa? Maaf kalau aku lupa”
“aku hanya ingin bertemu denganmu. Kalau kau penasaran, kau pasti akan menemuiku”
“baik. Dimana?”
“di dekat Trevi Fountain”
“baik, aku akan melihatmu dulu. Kalau ternyata aku tidak mengenalmu, maaf, aku langsung pulang”
“silakan, tapi aku yakin kau pasti akan menemuiku”
“kapan?”
“sekarang”
“ok”
Dengan mengendarai sendiri mobilnya, Maria menuju Trevi Fountain. Siang itu tidak begitu ramai. Ia melihat seorang pria berpakaian rapi duduk di bangku panjang. Perlahan Maria mendekatinya dan menepuk pundaknya dari belakang dengan hati-hati. Pria itu menoleh. Maria terkejut dan tak bisa berkata-kata.
“kau? Nicola?”
“ya, apa kabar?”
“e-baik”
“maaf, ditelpon aku tidak langsung berterus terang kepadamu”
“lalu, apa yang kau inginkan?”
“kau masih ingat dengan Nicco?”
“ya, tentu saja. Bagaimana keadaan dia?”
Maria bertanya dengan sangat antusias.
“dia baik-baik saja. Aku pun masih ingat dengan Nick. Mereka anak kita. Mereka saudara kembar. Aku sudah melihat Nick di rumahku”
“tunggu, bagaimana bisa?”
“Nick adalah teman Natale. Dan Natale adalah istri Nicco. Kau pasti sudah tahu siapa Natale itu kan?”
“aku benar-benar bingung disini. Banyak yang tidak kumengerti. Bagaimana bisa Natale itu istri Nicco? Natale akan menjadi istri Nick”
“memang, tapi waktu Nick ke Belanda, Nicco memanfaatkan kesempatan itu. Ia berpura-pura menjadi Nick dan menikahi Natale tanpa pernah tahu kalau Nick adalah saudara kembarnya”
“kasihan Nick. Dia belum bercerita apa-apa kepadaku”
“dan sekarang Nicco dan Natale sudah punya anak”
“aku ingin sekali melihatnya”
“silakan, tapi sebelum itu aku ingin mempertemukan mereka berdua”
“boleh”
“dengan begitu kita bisa bersama lagi”
“tunggu, kita sudah bukan suami istri lagi. Dan aku sudah mempunyai suami yang mencintaiku”
“baik, baik. Yang penting aku ingin antara Nick dan Nicco saling tahu bahwa mereka adalah saudara kembar”
“ya, mereka harus saling tahu. Entah apa yang terjadi bila mereka tahu kalau ternyata mereka bersaudara”
“by the way, kau mendidik Nick dengan baik. Aku bisa melihat dari sikap dan tingkah lakunya waktu dia datang”
“tentu saja, dia selalu menjadi murid teladan setiap tahunnya di kampus. Bagaimana dengan Nicco?”
“kau tahu aku tidak bisa mendidik anak. Dia hanya sampai SMU, tidak mau melanjutkan sekolahnya. Dan tingkahnya pun… yah, begitulah”
“itu karena kau melarangku membawa mereka”
“sudahlah. Aku tidak pernah membayangkan mereka akan bertemu lagi, gara-gara Natale”
“mereka saudara. Apapun yang terjadi, mereka akan bertemu”

Di suatu siang…
“Nick, mama ingin bicara”
“sepertinya penting sekali, ma. Ada apa?”
“mama sudah tahu apa yang terjadi antara dirimu dengan Natale. Mama ikut sedih”
“darimana mama tahu?”
“itu tidak penting. Kamu pasti sedih, ya?”
“sudahlah. Lupakan saja Natale, ma. Dia sudah menikah dengan orang lain”
“suatu saat nanti, kau akan menemukan yang jauh lebih baik dari Natale. Sekarang ikut mama”
“kemana, ma?”
“ke suatu tempat. Nanti kau akan menemukan dirimu sendiri disana”
“maksud mama?”
“sudahlah, ayo!”
Mereka segera pergi ke sebuah taman yang ada di tepi sungai Tiber. Setelah memparkir mobilnya, mereka berdua menuju sebuah bangku panjang yang menghadap sungai Tiber. Nicco dan Nick terkejut.
“mengapa mama mempertemukanku dengan mereka?”
“apa maksud semua ini, pa?”
Nicco menatap tajam ke arah Nick, sedangkan Nick hanya diam saja. Angin siang itu berhembus agak kencang.  Menerbangkan daun-daun kering di musim gugur itu.
“begini, sudah saatnya kalian tahu. Dia dulunya adalah istriku, tapi kami sudah berpisah lama sekali. Dan kalian… adalah anak kami. Kalian saudara kembar”
“itu tak mungkin, pa”
“kau tidak mau menerima kenyataan? Lihatlah, kau bisa melihat wajah kamu sendiri di wajah Nick”
“iya, Nicco. Aku mamamu. Nick, dialah papamu”
“tapi mama bilang…”
“iya, maafkan mama, Nick. Tapi takdir menentukan lain. Sekarang kita bertemu. Dialah papamu, dan Nicco adalah saudaramu. Dia saudara kembarmu”
“betul kata Michael”
“apa katanya?”
“dulu dia pernah bilang kalau saya punya saudara. Dan ternyata benar. Tapi, mengapa waktu itu dia bilang saya punya saudara di Amerika?”
“kita dulu memang tinggal disana. Lalu, waktu kami berpisah, aku pulang ke Italia dengan membawa Nicco. Dan mama kalian pulang ke Belanda dengan membawa Nick”
“kita ternyata bersaudara, Nicco”
Nicco masih terdiam. Tanpa berkata-kata, dia langsung pergi ke parkiran menuju mobilnya.
“Nicco, tunggu!”
Nick mengejar Nicco. Kini mereka sudah saling berhadapan di samping mobil Nicco.
“Nicco, ada apa denganmu? Sekarang kita berdua sudah tahu kalau kita bersaudara”
“iya, aku tahu. Trus apa maumu?”
“maksudmu? Aku tidak tahu maksudmu”
Nicco segera masuk kemobilnya dan meninggalkan tempat itu dengan ngebut.
“Nicco!”
Nicco mengendarai mobilnya dengan ngebut di jalanan. Dia menuju rumah besar bak istananya dan masuk ke kamarnya.
“Nicco? Kau mengagetkanku. Ada apa? Sepertinya kau tadi terburu-buru”
“em… yah”
“kau sepertinya kebingungan”
“hhh… entahlah. Aku pusing, Natale”
Nicco duduk di kursi yang ada di balkon kamarnya.
“mau kuambilkan obat?”
“tidak, trimakasih”
Nicco menuju pantry dan mengambil sebotol minuman.
“kau minum lagi?”
“kenapa? Tidak tiap hari kan?”
“sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Kau membuatku khawatir, Nicco”
Nicco segera mengambil pistol kesayangannya dari balik lukisan dan menyelipkannya di balik bajunya.
“aku pergi dulu. Jaga dirimu dan anak kita baik-baik”
“kau mau kemana?”
“entah, aku tidak akan lama. Janji”
Setelah mencium Natale, Nicco pergi lagi entah kemana.

 
Claudia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar