Sabtu, 15 Maret 2014

LA PRIMAVERA 2 (bagian 11)

Sudah berhari-hari Nicco tidak pulang pun memberi kabar. Valent pun dibawa Nicola ke Milan bersama Emma juga. Hanya Natale dan Nick di istana mewah itu. Natale pun menjaga jarak dengan Nick begitu mengetahui kalau Nick masih mencintainya dan bermaksud merebutnya dari Nicco. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan yang ada di bagian belakang dan terpisah dengan istana itu.
Sore itu Natale sedang asik dengan buku favoritnya di perpustakaan itu. Tiba-tiba datanglah Nick yang membawakan secangkir teh hangat untuknya.
“ini, kubawakan minuman hangat untukmu”
“Nick? Darimana kamu tahu aku disini?”
“kebetulan aku tadi melintas di depan perpustakaan ini dan melihatmu”
“trimakasih”
“sebenarnya aku juga mau bertanya kepadamu”
“apa?”
“akhir-akhir ini kau sering menghindariku. Ada apa?”
“tidak ada apa-apa”
“aku yakin bukan itu jawabannya”
“sudahlah, aku hanya tidak ingin ada ribut-ribut antara kau dan Nicco”
“karena dulu kubilang aku masih mencintaimu dan bermaksud ingin merebutmu dari Nicco?”
“seharusnya kau lebih menghormatiku. Aku istri kakakmu”
“ok, dia memang kakakku, hanya lebih tua dia beberapa menit dari aku”
Nick menggenggam tangan Natale.
“selama di Belanda, aku selalu memikirkanmu. Ingin rasanya untuk bisa segera bertemu denganmu.  Menikahimu. Wilma juga menyukaimu. Dia berharap besar kepadamu, agar kau bisa menjadi istriku. Tapi, sepertinya aku belum boleh untuk berbahagia ya? Impianku musnah”
“Nick, aku turut prihatin. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu. Tolong, pahami juga posisi dan kondisiku waktu itu. Kuharap, suatu saat nanti, kau akan menemukan gadis yang lebih segalanya daripada aku. Yang mencintaimu dan mendampingimu selalu. Sedangkan sekarang, aku lebih mencintai suamiku, Nicco. Aku tidak bisa mencintai orang lain. Kami juga sudah mempunyai anak, keponakan kamu sendiri. Kuharap, kau juga bisa menyayangi anakku”
Di saat itulah, pintu perpustakaan dibuka dengan kasar. Nick dan Natale terkejut, secara reflek mereka menoleh ke arah pintu perpustakaan. Mereka segera melepaskan genggaman tangan mereka.
“Nicco?!”
“oh, rupanya benar dugaanku selama ini. Kalian bermain di belakangku. Benar kan firasatku kalau suatu saat, orang yang mengaku saudaraku ini, akan merebut istriku. Dan ternyata istriku masih mencintai mantannya. Benar kan sayang?”
“Nicco, kau salah sangka. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Natale mencintaimu, Nicco. Dia tidak mencintaiku lagi”
“bullshit! Terang saja kau membelanya. Dan satu lagi, aku tidak bertanya kepadamu!”
“ini tidak seperti yang kau duga, Nicco. Hubungan kami sekarang tidak lebih dari sebatas kakak dan adik ipar. Apa kau sudah tidak percaya kepadaku, istrimu sendiri?”
“aku percaya omonganmu, sayang. Tapi sayangnya, sikapmu bertolak belakang dengan omonganmu”
Nicco segera mengeluarkan pistol kesayangannya dari balik bajunya. Natale yang memang sudah mengenal sifat-sifat Nicco segera mengetahui gelagat itu.
“Nicco…”
“kau sudah tahu kan sayang. Kalau pistolku ini selalu terisi penuh. Dan ini sudah lebih dari cukup untuk memusnahkan dia!”
“kumohon, Nicco!”
Nick yang menyadari bahwa dirinya dalam keadaan bahaya, segera melarikan diri. Dengan cepat Nicco mengejarnya  dan menembakkan pistolnya beberapa kali ke arah Nick. Namun, beberapa kali itu pula Nick bisa menghindar. Hingga peluru itu hanya mengenai barang-barang plus kristal yang ada di perpustakaan itu hingga hancur berantakan.
“Nicco, hentikan!”
Natale berusaha menghentikan Nicco, namun Nicco tidak peduli. Peluru terakhirnya pun mengenai lengan Nick. Nick pun jatuh tersungkur. Nicco sepertinya belum puas dengan itu semua. Ia pun segera menghajar Nick tanpa ampun.
Nicco masih terus menghajar Nick yang sudah kepayahan. Wajahnya pun berdarah-darah. Namun, Nicco tidak peduli dan tidak menggubris Natale yang berusaha menghentikan Nicco.
“Nicco! Sudah, hentikan! Ok, kalau kamu sudah tidak mendengarkanku lagi. Aku capek, Nicco. Aku lelah. Lebih baik aku pergi dari kehidupan kalian. Itu lebih baik untuk kita semua!”
Natale bergegasmeninggalkan tempat itu menuju garasi.
“Natale!”
Niccco mengejarnya. Natale segera menyalakan mobilnya.
“hentikan mobilnya, sayang. Natale!”
Natale tetap ngebut. Nicco mengejarnya. Sebelum keluar dari gerbang utama rumah, Nicco berhasil membuka pintu mobil yang memang belum dikunci itu dan masuk ke dalamnya.
“hentikan mobil ini, sayang!”
“tidak! Biarkan aku pergi dari kehidupan kalian! Aku lelah menghadapi sikapmu yang seperti itu!”
Natale tetap tancap gas ke arah luar kota. Tak terasa sampailah mereka di luar pemukiman penduduk. Hanya hutan dan padang rumput di sekitar mereka. Nicco sudah tidak berusaha mengambil alih kendali mobil. Natale juga sudah tenang namun tetap diam menatap lurus ke depan.
“Natale, kau mau kemana? Kita pulang ya. Maafkan aku, sayang”
“aku ingin berpisah darimu”
“what?!”
“kau sudah dengar kan? Kau sudah tidak mempercayai aku, istrimu sendiri. Lalu siapa yang akan kau percayai? Kau selalu menuduhku berselingkuh dengan Nick. Aku ingin pergi. Jadi, keluarlah dari mobil ini”
“Natale, kau tidak tahu apa yang kau katakan. Kau dalam keadaan emosi, Natale”
Tanpa menoleh sedikitpun ke nicco, Natale segera tancap gas. Ngebut. Dan tidak menyadari ada sebuah persimpangan di depannya dan ada sebuah mobil yang akan melewati persimpangan desa yang jauh dari pemukiman itu.
“Natale, awaaasss…!!!”
Terlambat. Natale yang memang sedang dikuasai amarah bisa membanting mobilnya hingga tidak terjadi tumbukan dengan mobil di depannya. Tapi akibatnya, mobilnya keluar jalur dan terguling beberapa kali. Keduanya tidak bergerak.

Luigi segera membawa Nick ke rumah sakit begitu mengetahui Nick terluka parah.
“kita harus ke rumah sakit sekarang, tuan. Saya antar”
Dengan dibantu Luigi, Nick masuk ke dalam mobil Luigi.
“kemana Natale dan Nicco?”
“saya tidak tahu, tuan. Tapi, tadi nyonya bawa mobil dengan ngebut dengan tuan Nicco”
“tolong, jangan beritahukan hal ini kepada papa”
“baik, tuan”

Perlahan Nicco bergerak.
“Natale…”
Natale masih tetap terdiam dengan wajah menunduk di kemudi. Nicco mendongakkan wajah Natale. Pelipis Natale berdarah. Hidungnya pun mengeluarkan darah segar karena membentur kemudi mobil.
Dengan susah payah, Nicco berusaha keluar dari mobil itu dan mengeluarkan Natale. Dia segera membaringkan Natale di rerumputan di pinggir jalan di bawah pohon yang besar itu. Suasana sangat sepi.
“Natale, bangun, sayang”
Perlahan Natale bangun dari pingsannya.
“kamu tak apa-apa?”
“kepalaku pusing sekali”
“kita duduk saja disana dulu”
Nicco membantu Natale berjalan agak masuk ke hutan itu. Mereka beristirahat dibawah pohon besar. Natale menyandarkan kepalanya yang terasa berat ke bahu Nicco. Nicco pun memeluknya.
“kita tidak bisa pulang, Natale. Mobil kita rusak parah”
“maaf”
“lupakan, yang penting kamu selamat”
Natale memeluk kedua kakinya. Udara hari itu terasa dingin.
“kalau tidak salah, dibagasi ada selimut. Biar kuambilkan, kamu tunggu saja disini”
Nicco berlari kecil ke mobilnya untuk mengambil selimut di bagasinya. Tak lama kemudian, ia sudah kembali lagi dan menyelimutkannya di tubuh Natale yang agak menggigil kedinginan.
“maaf…”
“apa?”
“aku minta maaf. Aku selalu berbuat buruk. Kamu juga pasti sudah bosan dengan ini semua. Aku tahu kamu capek dan lelah menghadapi aku. Kurasa… aku bukan orang yang pantas untukmu. Kamu begitu baik. Dan, tentang yang kamu ingin berpisah dariku…”
Natale hanya bisa menatap Nicco lalu menundukkan kepalanya.
“aku akan melepaskanmu kalau itu sudah menjadi kehendakmu. Tekadku sudah bulat. Kalau kau akan kembali kepadanya, atau siapapun yang bisa membuatmu merasa nyaman dan bahagia, aku ikhlas”
“aku…”
“… kau tak perlu ragu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku”
“kau sudah tidak mencintaiku lagi?”
Nicco menatap Natale.
“bukankah aku yang seharusnya bertanya seperti itu?”
“aku hanya capek dengan ini semua. Aku sedih, kau tidak lagi mempercayai aku sebagai istrimu. Kau selalu mencemburui aku dan Nick. Aku mencintainya, dulu. Berapa kali harus kubilang kalau aku tidak mencintai Nick lagi?”
“maaf, aku selalu terbawa emosi. Aku selalu merasa kau masih mencintai Nick”
“aku mencintaimu, Nicco. Tidak yang lainnya. Aku sudah tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Nick. Harus berapa kali juga harus kukatakan kalau aku mencintaimu?”
Natale memegang kepalanya yang terasa berat dan sakit itu.
“kamu sakit?”
“tidak, hanya saja kepalaku terasa berat, pusing. Mungkin karena membentur kemudi tadi”
Nicco beranjak kembali ke mobilnya yang rusak parah dan kembali dengan sebuah telpon genggam di tangannya.
“lihat, aku baru ingat kalau aku menyimpan telpon ini di mobil itu”
Nicco segera menelpon bodyguard-nya.
“Pablo, kau masih di rumah?”
“ya, boss. Ada apa?”
“tolong bawakan mobilku kesini. Mobil yang kami pakai rusak parah”
“siap, boss”
“oya, bagaimana kabar emmm… adikku?”
“tadi Luigi sudah membawanya ke rumah sakit. Untuk orang seukuran Nick, kau menghajarnya terlalu keras, bos”
“biar sajalah. Bawakan mobilku sekarang”
“ya, boss”
Nicco mendekati Natale yang masih meringkuk di bawah pohon besar itu.
“Pablo akan kemari membawakan kita mobil. Kita bisa keluar dari tempat ini. Dan tentang Nick, Luigi sudah membawanya ke rumah sakit. Maaf”
Natale hanya diam. Nicco kembali duduk disampingnya. Cukup lama juga mereka menanti disitu. Nampak mendung tebal diatas sana.
Beberapa mobil berhenti di depan mereka. Pablo keluar dari salah satu mobil dan mendekati Nicco.
“ini mobilmu, boss. Perlu aku bawakan?”
“tidak perlu. Akan kubawa sendiri. Aku dan istriku belum akan pulang. Jadi, tak perlu menunggu kami”
“ada yang lainnya?”
“sementara itu dulu”
“baiklah, kami pulang dulu. Kalau ada apa-apa, telpon kami lagi”
“tentu, thanx”
Pablo dan yang lainnya segera meninggalkan tempat itu.
“ayo, sayang. Apakah kau masih mau pulang bersamaku?”
“tentu, tapi aku ingin pulang ke rumah kita”
“as your wish”
Sewaktu di dalam mobil, Natale menyandarkan kepalanya yang msih terasa berat.
“kamu masih pusing?”
“ya, berat sekali kepalaku”
“kalau tidak salah di depan sana ada klinik. Kita kesana dulu. Agar luka di pelipismu di perban”
Nicco mengarahkan mobilnya ke klinik itu. Sepi. Pasiennya hanya mereka berdua. Tak lama kemudian, terlihat mereka sudah meninggalkan klinik itu.
“sekarang kau ingin kemana?”
“aku ingin pulang ke rumah kita”
Menjelang malam, mereka sudah sampai di rumah mereka yang terletak di tepi danau itu.
“duduklah, kubuatkan minuman hangat untukmu. Malam ini udara sangat dingin sekali. Atau kau ingin ke kamar atas?”
“ya”
Natale segera kekamar mereka yang ada di atas. Ia tiduran di sofa dekat tempat tidurnya. Sunyi sekali malam itu.
“ini, minumlah selagi masih hangat. Lalu tidurlah di ranjang itu”
“thanx”
Natale duduk dan meminumnya.
“sampai kapan kau akan membenci adikmu dan mencurigai kami lagi?”
Nicco menatap Natale yang tertunduk.
“aku berbuat begitu karena aku begitu takut kehilanganmu. Dulu pernah kan kubilang seperti itu?”
“sampai sekarang kau belum juga bisa mempercayai aku? Aku tidak mau menjadi penyebab putusnya hubungan kekeluargaan kalian. Kalau kau mau hidup berdampingan dengan Nick, aku akan kembali kepadamu. Tapi kalau tidak, maaf”
Nicco mendesah.
“sulit bagiku, Natale”
“aku menunggu jawabanmu”
Natale beranjak menuju ranjangnya.
“o ya, teh buatanmu ini enak sekali”
Nicco hanya tersenyum. Sementara Natale tidur, Nicco hanya duduk di balkon kamar memandang danau yang tenang di malam yang dingin itu.
Colloseum

Sinar mentari menyentuh lembut dan hangat di wajah Natale. Dia pun terbangun. Dia mendekati Nicco yang duduk di kursi balkon membelakanginya.
“selamat pagi”
“pagi, sudah bangun kau rupanya”
“semalam kau tidak tidur ya?”
Nicco hanya tersenyum.
“karena semalam kau bilang teh buatanku enak, ini, baru saja kubuatkan lagi untukmu”
“trimakasih”
Natale duduk di samping Nicco.
“ini juga kubuatkan sarapan. Maaf, aku bisanya hanya membuat roti bakar”
Natale tersenyum dan sarapan di samping Nicco.
“ada apa, Nicco? Sepertinya kau tidak pernah melihatku saja”
“aku hanya senang saja melihat wajahmu seperti itu”
“seperti itu yang bagaimana?”
“ya yang seperti itu”
“iy-ya, tapi yang bagaimana?”
“sudahlah, lupakan. Aku nanti akan ke rumah sakit menjenguk Nick”
Natale menghentikan makannya.
“kau akan menghajarnya lagi? Kau akan membunuhnya?”
“kenapa kau berpikiran seperti itu?”
“wajarlah, karena apa yang telah kau lakukan terhadapnya kemarin”
“tidak, aku hanya akan menjenguknya saja. Kau mau ikut?”
“serius?”
“kenapa? Kepalamu masih sakit? Kalau masih sakit, nanti kamu kuantar ke rumah papa, agar kamu ditemani Pablo dan Luigi”
“tidak, aku sudah merasa baikan. Mungkin hanya harus mengganti perban ini saja”
“baiklah, mandilah dulu. Nanti kugantikan perbanmu. Akan kucari obatnya di kotak obat”
“thanx”
Natale menyelesaikan sarapannya dan segera mandi. Setelah selesai mandi, Nicco sudah menunggu Natale untuk mengganti perbannya.
Setelah semuanya selesai, mereka segera pergi ke rumah sakit.
Natale memasuki kamar Nick. Ia melihat Nick sedang tiduran sendirian.
“hai”
“eh, kau?”
“ya, aku datang menjengukmu”
Natale duduk di kursi samping tempat tidur Nick.
“pelipismu kenapa?”
“tidak apa-apa. Hanya kemarin terantuk sesuatu. Lupakan sajalah. Bagaimana keadaanmu?”
“baik, mungkin lusa sudah boleh pulang”
“maaf ya, karena perbuatan Nicco kau jadi seperti ini”
“wajarlah dia menghajarku. Kalau aku di posisi dia,mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Kau sendirian?”
“tidak, sebenarnya ada seseorang yang ingin menemuimu”
“siapa?”
“tunggu sebentar. Dia tadi masih ada urusan diluar sana”
Natale keluar kamar dan kembali masuk dengan Nicco. Nicco yang sudah selesai menelpon segera memasukkan telpon genggamnya ke saku celana jeansnya.
“ini, Nicco ingin bertemu denganmu”
Nick kaget dan berusaha untuk duduk.
Tapi Nicco mencegahnya.
“berbaringlah,  kamu masih sakit”
“tidak apa-apa”
“bagaimana keadaanmu? Maaf, aku  membuatmu seperti ini. Aku menyesal. Aku minta maaf”
“aku baik-baik saja. Lusa aku boleh pulang”
“baguslah”
“setelah keluar dari sini, aku akan kembali ke Belanda. Aku tak akan mengganggu kalian. Maaf, karena aku hubungan kalian jadi bermasalah”
“haruskah kamu pulang ke Belanda?”
“tentu, salam saja untuk papa kalau aku tidak sempat bertemu. Kalau aku disini terus, pasti aku akan semakin merasa bersalah. Kita lanjutkan kehidupan kita masing-masing seperti sebelumnya,seperti tidak terjadi apa-apa diantara kita”
“selain kesini untuk menjengukmu, sebenarnya aku juga ingin minta maaf kepadamu. Atas semuanya. Semua yang terjadi akhir-akhir ini. Semua gara-gara aku. Jadi, aku benar-benar minta maaf kepadamu”
“sudahlah, aku sudah memaafkanmu. Bagaimanapun juga kau adalah kakakku. Bolehkah aku memanggilmu seperti itu? Kalau kau tidak berkeberatan, tentu saja”
“dengan senang hati”
“thanx…”
“sejujurnya,aku senang kalian bisa akrab seperti itu. Aku ingin berkumpul dengan kalian lebih lama. Nick, tidak bisakah kepulanganmu ke Belanda ditunda dulu. Kita bertiga bisa merayakan momen ini”
“kalau Nicco mau, aku bisa mengundurnya. Aku tidak mau ada salah paham lagi”
“tentu saja aku mau, dengan senang hati”
“tapi, aku perlu ketegasan Nicco sekali lagi. Jangan pernah lagi mencurigai kami. Aku memang mencintainya, dulu. Bahkan setelah Natale menjadi istrimu, aku tetap mencintainya. Tapi, setelah semakin lama kuberpikir, aku tidak bisa seperti ini terus. Bahkan belakangan baru kutahu kalau kita bersaudara. Aku makin sadar, aku harus melupakan semua ini. Jadi, tolong, percayalah pada istrimu. Dia sekarang hanya mencintaimu, Nicco”
“ya, aku percaya. Sekarang aku percaya sekali kepadanya. Benar kan Natale?”
“ya, dan kuharap seperti itu seterusnya”
“pasti”
Nicco pun memeluk Natale.

Setelah Nick keluar dari rumah sakit dan sudah sembuh total, mereka bertiga keluar untuk makan malam dengan memakai mobil Nicco. Nicco yang pegang kemudi.
“jadinya kita makan malam dimana? Dari kemarin setiap kali kutanya, kau tidak mau menjawab”
“kau pasti akan segera tahu, Natale”
Nicco mengarahkan mobilnya ke pusat kota, ke arah Colloseum. Disitu ada sebuah restaurant yang pemandangannya langsung menghadap ke Colloseum. Namanya Ristorante Royal Art Café.
“indah sekali, kau belum pernah mengajakku kesini”
“emm-iya. Makanya sekarang kita kesini”
“aku pernah kesini sekali. Jangan salah sangka kalian. Aku kesini dengan teman kampusku”
Nicco dan Natale hanya tersenyum. Mereka bertiga memilih duduk yang berpemandangan langsung ke Colloseum. Seorang pelayan mendekati mereka untuk mencatat pesanan mereka. Setelah selesai, pelayan itu pun segera pergi.
“kalian tahu, aku bahagia sekali malam ini. Ini yang dari dulu kuinginkan. Kalian bisa akur seperti ini”
“maaf, kalau kau harus menunggu lama untuk moment seperti ini. Aku yang salah”
“sudahlah, tidak usah membicarakan hal itu lagi. Kau sering kesini, Nicco?” Nick bertanya.
“emmm… sebaiknya tidak usah membicarakan hal itu deh,” kata Nicco.
“kenapa?” Natale juga ikut menimpali.
“tidak ada apa-apa”
“aku tahu, kau pasti sering kesini dengan mantan-mantanmu ya?”
“sudahlah, sayang”
“tapi benar kan?”
“kamu cemburu?”
“enggak, itu kan masa lalumu. Yang penting sekarang kau disini bersamaku. Benar kan, Nick?”
“iya, aku juga menyukai tempat ini. Bisa langsung memandang ke Colosseum”
Restaurant itu memang terletak di dekat Colosseum. Sangat indah melihat Colosseum di waktu malam yang dihiasi dengan sinar-sinar lampu. Pengunjung pun sudah banyak.
“kalian disini dulu. Aku mau ke toilet”
Nicco pergi meninggalkan Nick dan Natale.
“siapa temanmu yang pernah kau ajak kesini? Kalau hanya teman tidak mungkin sepertinya. Special ya?”
Nick hanya tersenyum.
“ya, dulu di kampus aku menyukai seseorang. Dia cantik, lembut dan pintar”
“aku mengenalnya?”
“tidak, dia kakak kelasku”
“dimana dia sekarang?”
“dia dari Palermo, tapi aku sekarang tak tahu dia dimana”
“apakah dia tahu kalau kau mencintainya?”
Nick hanya tersenyum dan menggeleng.
“kenapa?”
“aku terlalu takut. Dia terlalu sempurna untukku. Jadi… dia hanya kuajak kesini. Aku bodoh ya?”
“tidak juga. Semoga saja suatu saat nanti kau bisa bertemu dengannya”
“lupakan. Itu sudah beberapa tahun yang lalu. Dia mungkin juga sudah lupa kepadaku”
Lalu datanglah Nicco dan langsung duduk di samping Natale. Pelayan pun juga segera datang membawakan pesanan mereka dan mereka menyantapnya sambil mengobrol hangat. Tiba-tiba datanglah seorang gadis yang sudah sangat dikenal Nicco menghampirinya. Ya, Claudia. Claudia menatap dengan heran ke wajah Nick dan Nicco secara bergantian.
“Nicco?”
“kau?”
“tunggu sebentar. Aku bingung”
Nicco menghentikan makannya, menatap Claudia dan Natale dengan gugup. Ia lalu berdiri.
“emmm…  kenalkan, ini Nick, adikku. Dan ini Natale, istriku. Nick, Natale, ini temanku, Claudia”
“oh, ok. Kau sudah bercerita tentang istrimu itu. Tapi, adik? Kau tidak pernah bercerita”
“sebaiknya kita bicara lain kali saja. Kami ada pertemuan penting”
Natale pun berdiri.
“sepertinya kalian akrab sekali. Nicco, kau tidak pernah mengenalkanku kepadanya. Atau paling tidak bercerita tentangnya. Dengar namanya saja baru kali ini”
“ya, kami akrab sekali. Kami juga sering bertemu. Iya kan, Nicco”
“Claudia, maaf, bisa tinggalkan kami?”
“oh, tentu saja. Kutunggu kamu di apartemenku seperti biasa. Sudah lama juga kamu tidak menginap di tempatku. Bye, senang bertemu dengan kalian”
Claudia segera berlalu dari meja Nicco. Nicco dan Nick kembali duduk. Tapi Natale masih tetap berdiri.
“Natale, duduklah. Habiskan makanmu, sayang. Ada apa?”
“ada hubungan apa kau dengannya? Sepertinya lebih dari sekedar teman akrab. Atau… ada sesuatu yang tidak aku tahu selama ini?”
“itu hanya perasaanmu saja, sayang”
“Natale, bukankah ini malam yang kau impikan sejak lama? Jangan biarkan kehadiran wanita itu merusak suasana ini. Siapa tahu dia hanya cemburu denganmu. Ingin membuatmu berang. Kalau kau marah, dia pasti akan bertepuk tangan. Sebab, tujuannya telah berhasil. Coba kalau kau tetap diam, tidak terusik sedikitpun apa kata dia. Aku yakin, dia yang akan marah sendiri. Nicco sekarang sudah percaya kepadamu. Jadi, sekarang percayalah kepada Nicco. Bukan begitu?”
Natale masih terdiam dan menghela nafas panjang, menahan marah. Nick memegang pundak Natale.
“Natale, duduklah”
“aku mau pulang sekarang”
“kita belum selesai, sayang”
“terserah, silakan selesaikan makanmu. Aku hanya ingin pulang, sekarang!”
Bergegas Natale meninggalkan tempat itu.
“Nick, tolong kau antar istriku pulang dulu. Sepertinya dia cemburu, marah kepadaku”
“baiklah”
Nicco menyerahkan kunci mobilnya kepada Nick. Lalu Nick menyusul Natale yang sudah pergi duluan.
Nicco menggebrak meja makannya lalu berdiri.
“ada apa lagi ini?!”
Setelah membayar sejumlah tagihan, Nicco menelpon Pablo agar mengantarkannya sebuah mobil. Nicco menunggu di depan restoran itu. Tak lama kemudian, Pablo sudah datang mengantarkan mobil Nicco. Ia mengarahkan mobilnya ke rumah Claudia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar