Seorang pemuda duduk di tepi danau sendirian. Lalu datanglah
seseorang mendekatinya. Orang itu hanya berdiri di belakang bangku kayu panjang
tempat untuk duduk pemuda itu.
“aku sudah datang”
Tak terdengar jawaban apapun.
“katanya ada yang ingin kau bicarakan”
“ya, duduklah”
Orang itu juga ikut duduk di bangku panjang itu agak jauh.
Namun mereka berdua hanya saling melamun. Memandang air danau yang tenang itu.
“bagaimana perasaanmu?” Nicco bertanya.
“maksudmu?”
“setelah mengetahui kalau ternyata kita bersaudara, saudara
kembar”
“entah, aku tidak tahu. Yang pasti, aku bahagia. Ternyata
aku masih mempunyai saudara dan juga papa”
Nicco masih tetap terdiam.
“kamu menyesal ya tahu kejadian yang sesungguhnya?” gantian Nick
yang bertanya.
“aku tidak tahu”
“memang, kita belum akrab. Tapi, kuharap kita bisa seperti
saudara seperti yang lainnya”
Nicco menatap Nick dengan tajam.
“oh, emm… maksudku, kalau kau tak keberatan. Yah, seperti
hubungan saudara umumnya. Mempunyai mama, papa, saudara. Apa itu tak membuatmu
bahagia? Setelah sekian lama kita berpisah. Akhirnya kita berjumpa gara-gara Natale”
Nicco bangkit dari duduknya dan mencengkeram kemeja Nick.
“kamu tidak perlu mengajari aku apa yang harus kulakukan.
Aku tahu apa yang kuperbuat. Dan satu lagi, jangan bawa-bawa nama istriku.
Paham?!”
“sabar, Nicco. Sabar. Maaf, kalau kau tak berkenan. Ok, aku
hanya datang untuk memenuhi undanganmu. Sekarang katakan saja apa yang ingin
kau katakan. Setelah itu, aku akan pergi. Karena sepertinya, kau tidak
menyukaiku”
Nicco duduk kembali di bangkunya dan terdiam. Ia masih
menimang-nimang dan memperhatikan pistol kesayangannya yang sejak tadi di
genggamnya.
“sekarang… kita sudah tahu kalau kita saudara kembar kan?”
“ya”
“aku tidak bisa…”
“apa maksudmu? Ternyata mereka adalah orangtua kita. Nama
keluarga kita sama, darah kita sama, wajah pun kita sama. Kau masih mau
menyangkalnya?”
“bukan itu”
“lalu?”
“dulu, aku tidak tahu kalau kau saudara kembarku. Aku telah
merebut Natale dari tanganmu dengan cara yang tidak adil. Aku memanfaatkan
wajah kita yang sama untuk menikahi Natale waktu kamu pulang ke Belanda. Aku
juga baru tahu, bahwa orang yang membunuh kekasihmu itu adalah musuhku, yang
mengira kau adalah aku. Aku tak tahu harus bilang apa”
“tidak mengapa. Aku sudah melupakan semuanya”
“kamu terpaksa?”
“tidak. Maaf, tapi beberapa waktu yang lalu aku bertemu Natale.
Kami sudah bicara banyak. Dia kini mencintaimu. Nicco, tolong jaga dia dengan
baik. Dia sudah memberimu seorang anak”
“ya, dia baik”
“tentu saja”
“apakah kau sudah
memberitahukan hal ini kepada Natale?”
“belum, kami hanya membicarakan tentang hubungan kami. Dia
bilang, dia kini mencintaimu. Hanya itu. Untuk urusan yang satu ini, kau saja
yang memberitahukan ke dia”
“hhh… aku tak tahu harus bilang apa lagi. Terus terang,
kejadian ini membuatku pusing, bingung, kaget. Entahlah. Sudah berhari-hari aku
meninggalkan istriku. Dia berkali-kali menelponku tapi tidak aku jawab. Aku
tahu dia cemas”
“segeralah pulang. Kasihan Natale”
“satu lagi yang aku ingin tahu. Kau masih mencintainya?”
Nick hanya tersenyum,“pulanglah, aku juga harus pulang.
Karena terus terang, sebenarnya aku tadi ada janji penting dengan temanku”
“baiklah. Salam saja untuk… emmm, mama”
“tentu saja, akan kusampaikan”
Nick meninggalkan tempat itu dengan mobilnya. Sebelum
berlalu, Nick masih menatap Nicco yang masih duduk membelakanginya di tepi
danau itu.
“kau tidak tahu, Nicco. Betapa aku masih mencintai Natale,
istrimu”
Nicco sudah sampai di istananya. Ia menyerahkan kunci
mobilnya kepada Luigi.
“istriku ada?”
“ada, tuan. Sudah beberapa hari ini nyonya tinggal disini”
Nicco segera kekamarnya. Ia melihat Emma sedang menggendong
anaknya. Ia lalu mengambil Valent dari gendongan Emma dan mendekati Natale yang
seperti biasa melamun sedih di balkon. Nicco mencium Natale.
“hallo, sayang”
“Nicco? Kau selalu mengagetkan aku seperti ini. Darimana
saja kau? Aku telpon tidak kau angkat, aku khawatir”
“aku tidak dari mana-mana. Hanya ingin menyendiri dulu”
“kau ada masalah lagi? Dengan para polisi lagi”
“tidak, tidak. Nanti akan kujelaskan. Mana papa?”
“sudah ke Milan lagi tadi pagi. Ceritakan saja sekarang. Kau
jangan membuatku penasaran”
“ini, jaga anakku dulu. Aku mau mandi”
Walaupun sebenarnya masih diliputi rasa heran, banyak
pertanyaan, namun Natale hanya bisa pasrah begitu melihat Nicco menghilang di
balik pintu kamar mandi. Setelah selesai mandi…
“mana anakku?”
“dibawa Emma”
Nicco masih memakai kimononya. Badannya terlihat segar
sehabis mandi dan keramas. Ia duduk di sofa panjang disamping Natale.
“minumlah kopimu selagi panas”
“thanx”
“maukah kau menceritakannya kepadaku?”
“tentu, tapi aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku
bingung, Natale. Kejadian ini membuatku bahagia, tapi sebenarnya aku juga
khawatir”
“kenapa?”
Nicco menatap Natale dengan tajam dan menggenggam tangan Natale.
“aku takut kehilanganmu. Aku merasa… akan ada orang yang
akan mengambilmu dariku”
“siapa orang itu?”
“Nick”
Natale terhenyak.
“mengapa kamu berpikir demikian?”
Nicco bangkit menuju sudut balkon favoritnya.
“Nicco…”
Natale menyentuh pundak Nicco lembut. ia merasa Nicco jauh
berbeda. Ia merasa asing dengan Nicco. Tak biasanya Nicco merasa khawatir
seperti ini.
“sebenarnya…”
Nicco menggantung kalimatnya. Masih ragu dengan apa yang
akan dia katakan.
“kalau kau tidak ingin mengatakannya, atau kau belum siap
untuk memberitahukan sesuatu kepadaku, aku tidak apa-apa kok. Aku tidak
memaksamu”
Nicco mendekati Natale dan menggenggam kedua tangan Natale
sambil menatapnya lekat-lekat.
“sebenarnya… Nick adalah saudaraku. Mmm… lebih tepatnya
saudara kembarku”
Natale melepaskan genggaman tangan Nicco dan mundur beberapa
langkah.
“kau bohong! Aku tidak percaya!”
“aku tidak bohong, Natale”
“jadi, selama ini kau sudah menipuku? Kalian sudah menipuku?
Mengapa kau tak memberitahukan hal ini kepadaku, kenapa baru sekarang?”
“aku juga tidak tahu, sayang. Aku baru tahu hal ini beberapa
hari yang lalu!”
Nicco terduduk di kursinya. Natale perlahan duduk disampingnya.
“maafkan aku, Nicco”
“aku tidak tahu tentang hal ini. Sungguh aku tak tahu. Aku
bingung. Sekarang aku hanya merasa sangat bersalah kepada Nick. Aku telah
merebutmu dari dia dengan cara yang tidak adil. Mungkin…”
“apa?”
“kalau kau ingin kembali kepada Nick…”
“Nicco, kau bicara apa?! Kau suamiku sekarang, aku tidak
peduli yang lainnya. Aku mencintaimu. Bukan karena sudah terlanjur kau menjadi
suamiku. Tapi karena aku memang benar-benar mencintaimu! teganya kau berkata
seperti itu kepadaku!”
“bukan begitu, maksudku…”
“sudahlah!”
Mereka sama-sama terdiam. Tenggelam dengan pikiran mereka
masing-masing.
“Natale, kamu marah?”
“tidak. Dulu aku selalu berpikir kalau kalian adalah satu
orang, orang yang sama. Tapi, aku menyangkalnya. Kalian beda sifat, beda negara.
Trus kupikir kalian saudara kembar. Tapi kau dan Nick sama-sama anak tunggal.
Jadi, kalau sekarang ada kabar seperti ini, aku juga bingung”
“sudahlah, lupakan saja pembicaraan kita ini”
“kau sudah bertemu Nick?”
“ya, juga mamanya. Emm… maksudku mamaku. Aku juga sudah
bicara berdua dengan Nick”
“bagaimana reaksinya?”
“dia sepertinya bahagia sekali masih mempunyai saudara, juga
seorang papa. Tapi, terus terang. Aku masih merasa asing dengan ini semua. Aku
belum terbiasa. Aku terbiasa hidup sendiri selama ini”
“kau akan terbiasa, Nicco. Sejujurnya, aku senang mendengar
kabar ini. Kau masih mempunyai mama. Itu berarti aku juga masih mempunyai mama
kan?”
Nicco tersenyum.
“kemarilah”
Mereka pun saling berpelukan. Sementara hari menjelang
malam.
Suatu pagi, saat sedang sarapan di balkon favorit mereka…
“tadi malam papa menelpon”
“ada apa?”
“hari ini akan datang kesini. Katanya penting. Tapi aku
tidak tahu hal penting apa”
Sebuah mobil berhenti di lobi bawah.
“sepertinya itu papa sudah datang. Kita turun dulu, Nicco”
Setelah menyelesaikan sarapan mereka, mereka turun ke ruang
tengah.
“papa, apa kabar?”
“baik, apa kabarmu, Natale?”
“juga baik. Tumben sekali dadakan seperti ini. Kata Nicco,
ada sesuatu yang penting yang membuat papa kemari”
“ya”
Nicola duduk di sofa diikuti Nicco dan Natale. Emma
membawakan minuman untuk mereka.
“besok malam, aku akan mengadakan acara makan malam istimewa
disini”
“dalam rangka apa, pa?”
“Nicco, ku sudah memberitahukan tentang saudara dan mamamu
ke Natale?”
“iya”
“bagus, kita akan makan malam dengan mereka disini.
Merayakan pertemuan kita lagi, setelah sekian lama kita berpisah”
“papa sudah memberitahu mereka?”
“ya, dan mereka senang sekali dengan undangan ini. Kuharap
kalian juga menyukainya”
“tapi, kenapa papa tidak memberitahu kami dulu?!”
“Nicco? Kamu berkeberatan?”
Mendadak raut muka Nicco berubah dan langsung berdiri.
“Nicco…”
Natale berusaha menenangkan Nicco. Tapi Nicco segera menepis
tangan Natale dan pergi meninggalkan tempat itu dengan mobilnya.
“papa, maafkan Nicco. Mungkin dia belum terbiasa dengan
kehadiran orang lain. Selama ini dia sudah terbiasa hidup seorang diri”
“kau benar. Sampai sekarang aku belum tahu tentang perasaan Nicco”
Nicco melaju dengan cepat di jalanan ibukota yang tidak
begitu padat pagi itu. Ia mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.
“dimana kau sekarang? Dirumah? Aku ke rumahmu sekarang”
Nicco memparkir mobilnya di basement sebuah apartemen yang
ada di pinggir kota Roma. Setelah itu dia langsung naik dan masuk ke sebuah
kamar. Nampaknya dia sudah terbiasa di lingkungan itu. Ia menghempaskan
tubuhnya di sebuah ranjang yang besar.
“ada apa lagi? Ada masalah? Biasanya kau datang kepadaku
kalau lagi ada masalah”
“jangan ganggu aku dulu, Claudia. Aku hanya ingin tidur
sekarang ini”
“baiklah, aku tinggal dulu. Kebetulan aku ada janji dengan
temanku. Tapi kalau kau ingin ditemani, akan kubatalkan janjiku”
“tidak usah, pergilah”
“ok, aku pergi dulu. Aku tidak akan lama kok”
Setelah mencium dan membelai rambut Nicco, Claudia
meninggalkan apartemennya.
Natale masih gelisah di ruang tengah itu.
“Natale, kamu tidak perlu gelisah yang berlebihan seperti
itu”
“tapi, pa. Belakangan inisikap Nicco berubah. Semenjak dia
tahu tentang kenyataan ini saya kira. Dia tidak seperti Nicco yang kukenal”
“dia tidak apa-apa. Dia baik-baik saja. Percayalah. Aku
lebih mengenal dia. Dia tidak akan bertindak bodoh. Mungkin saja dia hanya ke
rumah…”
“rumah siapa, pa?”
“emmm… maksudku rumah temannya”
“teman? Dia punya teman? Saya tidak percaya dia punya teman.
Kalau musuh, iya”
“sudahlah, aku ingin kau dan Emma yang mengatur acara untuk
besok. Kau mau? Aku yakin, Nicco pasti datang”
“baiklah, kuharap dia pulang secepatnya”
![]() |
nicola auletta rossa |
Nicco terbangun dari tidurnya. Ternyata hari sudah sore. Ia
keluar dari kamar Claudia dan menuju ruang tengah. Ia melihat Claudia sedang
membuatkan kopi untuk Nicco dan beberapa makanan kecil.
“eh, hai Nicco. Sudah bangun kau rupanya. Sudah sore, ini
kubuatkan kopi untukmu”
“kenapa tidak membangunkanku”
“aku tidak mau kena damprat kamu lagi. Bukankah tadi kau
bilang ingin tidur dan tak ingin diganggu?”
“ya, maaf”
Nicco menghempaskan tubuhnya di sofa dan meraih remote tv.
Tidak ada acara yang disukainya. Tv pun dimatikan kembali.
“ini, minumlah”
“thanx”
Claudia duduk di samping Nicco. Ia memandang Nicco yang
sedang meminum kopinya.
“katakanlah kepadaku, ada apa? Aku yakin, kau datang kesini
bukan karena merindukanku”
“ya”
“ada masalah?”
Nicco masih tetap terdiam.
“kau bisa berbagi denganku”
“aku tak ingin membicarakannya. Aku hanya ingin kesini saja”
“ada masalah dengan istrimu?”
“tidak, kami baik-baik saja”
“lalu?”
“sudah kubilang kan?”
“ok,ok. Bagaimana kalau kita keluar saja malam ini. Aku ada
undangan pesta dari temanku. Dan aku kebetulan belum ada pasangan. Kamu mau?”
“ok, tak masalah. Aku sedang tak ingin pulang malam ini”
“aku sebenarnya senang kamu kesini. Aku selalu merindukanmu,
Nicco. Dulu aku selalu berkhayal bisa masuk ke kehidupanmu”
“sudahlah…”
“tapi ternyata itu memang hanya khayalan saja”
“Claudia, aku tidak bisa menjanjikan apapun kepadamu.
Hubungan kita hanya seperti ini. Aku tidak bisa menjanjikanmu sebuah
pernikahan. Pun sebagai nyonya Auletta Rossa. Kamu mengerti kan?”
“ya, tapi…”
“… aku tidak ingin membicarakan itu, okey? Aku kesini karena
aku nyaman berada didekatmu”
“kalau begitu, mengapa dulu kau tidak menjadikanku nyonya Auletta
Rossa?”
“aku nyaman di dekatmu. Tapi, itu bukan berarti aku akan
menjadikanmu istriku. Paham, sayang?”
“terserahlah”
“hai, kamu marah ya?”
Nicco mendekati Claudia yang sedang berdiri di balkon
kamarnya dan memeluknya dari samping.
“aku mencintaimu, Nicco”
Nicco hanya terdiam, lalu duduk di kursi yang ada di balkon
itu. Ia menarik tangan Claudia agar duduk di dekatnya.
“maaf, kalau aku melukai hatimu. Tapi aku mencintai istriku.
Dia sudah memberiku seorang anak juga. Kalau berada di dekatmu malah membuatmu
semakin terluka, apa kita tidak perlu bertemu saja?”
“aku tidak akan sanggup, Nicco”
Claudia pun menangis, Nicco merengkuh bahu Claudia.
“maafkan aku”
Natale masih mondar-mandir di kamarnya.
“Nicco,belum juga kelihatan?”
“belum, nyonya. Tapi, tamu yang diundang tuan Nicola sudah
datang”
“sudah datang?”
“iya,kenapa nyonya sepertinya gugup?”
“ah,tidak. Aku turun sekarang”
Natale menuruni tangga yang lebar itu. Ia melihat Nick dan
mamanya, Maria, sedang berbincang dengan Nicola.
“oh, hai Natale. Tamu kita baru saja datang. Kau tentu sudah
mengenal mereka”
“tentu, pa. Hai, Nick. Apa kabar? Mama, apa kabar?”
“kami baik-baik saja. Kamu tambah cantik saja, sayang. Iya
kan Nick?”
Nick yang sedari tadi memandang Natale kaget.
“eh, i-iya, ma. Kami baik-baik saja”
“sepertinya kalian masih canggung. Bukannya kalian dulu satu
kampus?”
“iya, kami satu kampus”
Nick menimpali.
“dan mereka dulu sepasang kekasih. Maklum kalau mereka
canggung, Nicola”
“sudahlah, ma”
“mana Nicco?”
“dia ada urusan sebentar. Kuharap dia bisa datang”
“semoga. Aku ingin bertemu dengan Nicco. Sudah
bertahun-tahun aku tidak memeluknya”
Mereka segera makan malam bersama. Natale dan Nick lebih
banyak diam. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Sesekali Nick
mencuri-curi pandang ke arah Natale. Natale pun menyadari akan hal itu. Ia pun
lebih banyak menunduk.
Setelah selesai, mereka pun berbincang kembali di ruang
tengah.
“kudengar dari mamamu, kau dulu selalu jadi murid teladan
ya, Nick”
“mama terlalu membesar-besarkan saja”
“iya, pa. Nick selalu jadi murid teladan tiap tahun”
“kau dulu kan kekasih Natale. Bagaimana perasaanmu bertemu
lagi dengannya? Kau masih mencintainya?” Nicola bertanya sambil tertawa.
“entah, saya tidak tahu. Hanya saja, bukankah sekarang dia
sudah menjadi istri Nicco? Jadi, saya juga harus menghormatinya”
“aku bangga padamu, Nick. Kamu sopan, baik, pandai lagi.
Tidak seperti Nicco. Tapi, aku juga yang salah bila Nicco tumbuh seperti itu.
Aku tidak bisa mendidik anak seperti mamamu itu”
“oya, bagaimana kabar Wilma?”
“oh, anak itu. Dia sebenarnya ngotot ingin ikut. Tapi tetap
tidak bisa. Dia sedang ujian di sekolah. Lain kali mungkin bisa”
“salam saja dariku untuknya”
“tentu”
Suara mobil berdecit
memekakkan telinga, membuat mereka semua terkejut. Tiba-tiba datanglah Nicco
yang sepertinya agak mabuk.
“darimana saja kamu. Kami sudah menunggumu sejak tadi. Kau
terlambat”
“Nicco? Apa yang terjadi denganmu?”
Natale mendekati Nicco.
“aku tidak apa-apa, Natale. Kau tak perlu khawatir, sayang.
Bagaimana pertemuan kalian? Menyenangkan? Masih bisa kan aku bergabung? Aku
tidak mau kalau istriku diambil orang itu”
“Nicco! Apa yang kau katakan?!”
“benar kan, sayang? Kulihat dari sorot matanya dia masih
mencintaimu”
“kau sedang mabuk, Nicco”
“tidak, pa. Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya”
“Nicco, Nick kan saudaramu. Tidak mungkinlah dia akan
merebut istrimu”
“waktu yang akan membuktikannya. Kita lihat saja nanti”
“Nicco, kita keatas dulu”
Natale mengajak Nicco ke kamar mereka di atas.
“Nicco, sebenarnya apa yang kau inginkan?”
“apa yang kuinginkan? Lebih tepatnya, apa yang kau inginkan.
Kau ingin dekat dengan dia lagi kan?”
“Nicco, aku tidak mengerti denganmu. Apa yang ada di
pikiranmu?”
“apa yang ada di pikiranku? Dia, Nick, akan mengambilmu
dariku”
“teganya kau berpikiran seperti itu kepada adikmu sendiri,
saudara kembarmu!”
“oh, rupanya kau membela dia, ya?”
“sudahlah, aku tak mau bertengkar denganmu gara-gara hal
ini!”
“baik!”
Nicco mengambil sebotol minuman di pantry yang ada di kamar
itu dan menenggaknya.
“Nicco, kau sudah mabuk. Berhentilah! Aku sepertinya sudah
tidak mengenalmu lagi”
“trus, kau mau apa?”
“berhentilah minum”
Niccco yang memang dari awal sudah dikuasai amarah, langsung
membanting botol itu ke lantai dengan keras sampai pecah berantakan. Natale
terkejut. Nicco mendekati Natale dengan pandangan nanar. Natale mundur beberapa
langkah.
“Nicco…”
Nicco mencengkeram kedua bahu Natale.
“kau menyakitiku, Nicco”
Saat itulah Nick datang.
“Nicco! Apa yang kau lakukan? Lepaskan dia!”
“oh, kau mau jadi pahlawan untuknya, ya?”
“aku tidak bermaksud begitu. Tapi kau telah menyakiti Natale.
Kau tidak suka padaku kan? Bukan dia”
“tahu apa kamu. Dan siapa yang menyuruhmu masuk ke kamar
pribadi kami, hah?!”
“ok,ok. Maaf, aku lancang. Aku minta maaf. Karena kehadiran
kami di kehidupan kalian, hubungan kalian jadi seperti ini. Maaf, aku tidak
akan mengusik kalian. Permisi”
“Nick!”
“apa?! Kau mau ikut Nick? Silakan!”
Setelah Nick pergi, Nicco menghempaskan tubuhnya di sofa
kamarnya.
“sebenarnya ada apa, Nicco?”
Natale bertanya dengan hati-hati. Bukan jawaban yang
didapatnya. Hanya hening berkepanjangan.
Suatu pagi, Natale hanya bisa duduk sendiri di taman samping
rumah. Lalu datanglah Nicola. Ia kaget dan segera berdiri.
“papa, ada apa?”
“lihat siapa yang bersamaku?”
“Nick? Mengapa?”
“sudah beberapa hari ini suamimu pergi tanpa ada kabar. Aku
juga harus pergi selama beberapa hari. Jadi, aku meminta Nick untuk menemanimu”
“papa, saya tidak mau ada masalah lagi dengan Nicco. Mengapa
papa membawa Nick lagi?”
“aku ingin Nick menginap disini selama aku pergi, ataupun
selama Nicco belum pulang. Dia bisa menemanimu”
“saya sudah terbiasa sendiri. Lagipula banyak sekali
bodyguard Nicco di rumah ini. Papa tak perlu khawatir”
“tidak, aku tetap mau Nick disini. Kalau Nicco protes, suruh
dia menghadapiku”
“tapi, pa…”
“sudahlah, aku harus pergi sekarang. Aku tidak mau
ketinggalan pesawat. Nick, aku titip Natale selama Nicco belum pulang”
“ya, pa”
Nicola segera meninggalkan tempat itu. Tinggallah Natale dan
Nick. Natale segera duduk kembali di kursinya.
“maaf, aku tidak ingin dirimu dalam kesulitan lagi gara-gara
aku. Aku sudah berusaha menolaknya, tapi papa tetap ingin aku disini. Tapi,
kalau kau mau, aku akan pergi dari sini”
“tidak perlu. Kau juga harus menghormati papamu kan?”
“aku hanya tidak ingin kau dalam masalah lagi”
Nick juga ikut duduk di samping Natale.
“dia selalu mengira kau akan merebutku dari tangan dia. Dia
terlalu mengkhawatirkan hal-hal yang tidak mungkin terjadi”
“begitukah?”
“ya, aneh kan?”
“dan kau percaya?”
“maksudmu?”
“kau percaya kalau aku tidak akan merebutmu kembali?”
“apa maksudmu, Nick? Jangan katakan kalau…”
“bagaimana kalau aku memang mencoba untuk merebutmu kembali
dari tangan Nicco?”
Natale menatap Nick lekat-lekat.
“kamu serius? Kamu sadar apa yang kau ucapkan itu?”
“serius, dan aku sadar. Aku pun tahu konsekuensinya. Aku
bisa saja dibunuh Nicco saat ini juga”
“kau jangan coba-coba bermain api dengan Nicco, Nick. Dia
bisa melakukan apa saja, bahkan membunuhmu kalau perlu. Dia juga tidak peduli
siapa dirimu, aku yakin itu”
“biar saja, aku tak takut kepadanya”
“sepertinya kau percaya diri sekali aku akan menerima dirimu”
“tentu, aku yakin kau masih mencintaiku. Iya kan?”
Natale hanya terdiam dan beranjak pergi dari tempat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar