Sabtu, 15 Maret 2014

LA PRIMAVERA 2 (bagian 7)

Nicco sudah boleh pulang karena keadaannya sudah sehat. Ia tidak lagi memakai kursi roda. Tapi dadanya tetap diperban dan dia tetap tinggal di rumah sakit itu menemani Natale.
Pagi itu Natale sedang duduk di atas kursi roda sesudah sarapan di taman belakang rumah sakit. Ia ditemani seorang perawat. Dari belakang Natale, muncullah Nicco. Dia member isyarat kepada perawat untuk pergi. Ia lalu berlutut di samping natale.
“hai, selamat pagi, sayang”
“eh, hai. Selamat pagi”
“bagaimana keadaanmu?”
“sudah lebih baik, makasih” jawab Natale dengan agak canggung.
Nicco lalu mendorong kursi roda Natale keliling taman. Tak ada kata yang terucap. Saling diam. Lalu…
“Natale…”
“m-ya?”
“e-aku ingin minta maaf kepadamu. Aku yang telah menyebabkan engkau seperti ini. Aku yang telah menyebabkan kita kehilangan anak kita. Maaf…”
Tiba-tiba Nicco sudah berlutut di depan Natale. Natale jadi bingung sendiri.
“Nicco, jangan begitu. Aku…”
“Natale, aku mencintaimu, sayang”
Nicco membelai rambut Natale dan menciumnya.
“aku bukan suami yang baik untukmu. Aku telah menyia-nyiakanmu”
“lupakan dulu hal itu. Yang penting kita berdua selamat. Aku hanya ingin segera pulang”
“kata dokter besok kamu sudah boleh pulang. Kamu suka?”
“tentu saja”
Malamnya, Nicco sudah tidur di sofa panjang yang ada diruangan Natale. Sedangkan Natale masih terjaga di pembaringannya. Ia hanya melamun menatap langit hitam pekat diluar.
“entah, aku tak tahu bagaimana perasaanku saat ini. Nicco, dia sekarang baik kepadaku padahal kemarin… dan ternyata aku sekarang menjadi menantu oleh orang yang membunuh mama. Aku bingung. Apa yang akan terjadi seandainya papa tahu dia mempunyai hubungan dengan Auletta Rossa lagi? Apakah akan kuteruskan hubungan ini?”
Esoknya bangun tidur, Natale tidak mendapati Nicco ada diruangannya.
“suster, dimana suamiku?”
“dia tadi hanya pergi sebentar katanya. Tapi, maaf, saya tidak tahu kemana”
Tiba-tiba pintu terbuka.
“selamat pagi, Natale. Ini bunga untukmu”
“thank you, Thomas”
“bagaimana keadaanmu?”
“baik, hari ini aku sudah boleh pulang”
“untung hari ini aku datang. Kalau tidak, kita tak mungkin bisa bertemu lagi. Karena sudah ada Nicco diantara kita”
“sudahlah…”
“mulai sekarang kau sudah menjadi milik Nicco lagi. Dia sudah kembali kepadamu. Dan aku juga mau pamit kepadamu bahwa sore ini aku harus kembali ke Amerika. Aku gagal memenjarakan suamimu. Aku belum punya cukup bukti. Aku tahu kamu senang, kan?”
“tentu”
“sekarang aku harus bersiap-siap. Aku tak mau ketinggalan pesawatku”
“ya, sampai jumpa”
Thomas keluar dari ruangan Natale. Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Disitulah dia berpapasan dengan Nicco.
“hai, maaf, aku tadi menemui istrimu. Aku pamit aku harus pulang”
“ya, trimakasih kemarin kau menolong kami”
“jaga dia. Dia perempuan dan seorang istri yang baik”
“tentu”
Thomas melangkah meninggalkan Nicco dengan tatapan penuh rasa cemburu.
Nicco mendekati Natale yang masih terbaring.
"hai, sayang. aku tadi berpapasan dengan Thomas. Sepertinya dia menyukaimu, ya?"
"ah, hanya perasan kamu saja. Dia orang yang baik, kok"
"ya, kalau tidak ada dia, entah apa yang terjadi dengan kita. Bagaimana keadaanmu?"
"baik"
"aku tadi baru saja menemui dokter. Kau boleh pulang sekarang. Aku sudah menelpon sopir agar menjemput kita segera. Kita harus bersiap-siap sekarang. Kamu senang?"
"iya, thanx"

Suster membantu Natale duduk di kursi roda. Karena luka diperut Natale belum sembuh total. Tiba-tiba telepon genggam Nicco bordering.
“ya, ok. Tunggu saja di lobi”
“dari siapa?”
“dari Luigi. Dia sudah sampai. Ayo, kita pulang sekarang”
Nicco mendorong kursi roda Natale. Dengan hati-hati Nicco membantu Natale naik mobil. Sebentar saja mobil sudah melaju di keramaian jalan ibukota.
“mau kemana kita? Kita tidak pulang ke rumah kita?”
“di rumah kita sepi. Hanya ada kita berdua. Jadi untuk sementara waktu, kita akan tinggal di rumah yang di Roma. Disana banyak orang yang akan menjagamu, sayang”
“maksudmu? Rumah besar yang dulu itu?”
“iya, kenapa?”
“aku tidak ingin kesana. Aku mau pulang ke rumah kita”
“tidak apa-apa. Tak ada yang perlu ditakutkan. Aku bukanlah penjahat yang dulu menculikmu. Tapi sekarang aku adalah suami kamu. Kau tak perlu takut dengan suamimu sendiri kan? Ayolah, Natale…”
Natale hanya diam sewaktu Nicco memeluknya. Natale masih trauma untuk memasuki dan tinggal di rumah besar itu lagi. Mobil mulai memasuki gerbang besar dan tinggi itu. Natale makin gelisah.
“Nicco, kita pulang ke rumah kita saja, ya?”
“aku menyayangimu, Natale. Itulah kenapa aku membawamu kesini”
Nicco menggenggam tangan Natale. Natale hanya menunduk. 

Sesampainya di lobi, Nicco kembali membantu Natale duduk kembali di kursi rodanya. Beberapa pengawal membantu membereskan barang-barang Natale. Mereka segera memasuki lobi menuju ruang tengah yang juga luas itu. Di ujungruangan terdapat perapian yang diatasnya terpajang berbagai macam perhiasan danfoto-foto. Nampak seorang pria berpakaian formal duduk di salah satu sofa yangsedang menerima telpon. Ia segera mematikan sambungan telpon dan bangkit dari sofa begitu mengetahui kehadiran Nicco dan Natale.
“kalian sudah tiba rupanya. Natale, selamat datang di rumah dan keluarga Auletta Rossa. Kuharap kau menyukainya. Maaf, kalau kami tidakmenyambutmu sejak dulu. Namun sekarang, kau adalah nyonya di rumah ini. Kau seorang nyonya Auletta Rossa”
Natale menatap Nicco. Nicola mendekati mereka.
“dia papaku. Kau pernah bertemu dengannya, dulu, waktu itu”
“ya, aku masih ingat”
“maaf, Natale. Aku yang memaksa Nicco agar membawamu kerumah ini, bukan ke rumah Nicco. Maksudku, kalau kamu tinggal disini, akan ada yang merawat dan menjagamu. Setelah kamu sembuh, terserah kamu mau tinggal dimana”
Nicola menyuruh seorang pelayan membawa pergi Natale. Natale menatap cemas ke arah Nicco, tapi Nicco hanya tersenyum dan mengangguk.
Pelayan itu membawa Natale ke sebuah kamar yang megah dan mewah.
“besar dan indah sekali kamar ini”
“iya, tuan Nicola sendiri yang menyuruh saya untuk menyiapkan kamar ini untuk nyonya. Kata tuan Nicola, sekarang saya adalah pelayan pribadi nyonya. Nama saya Emma”
“kamar siapa ini dulunya?”
“saya tidak tahu, nyonya. Selama saya bekerja disini selama10 tahun, kamar ini selalu kosong, tak ada yang menempati. Hanya saja selalu saya bersihkan setiap hari”
“tolong antar aku ke balkon itu”
“baik, nyonya”
Emma mendorong kursi roda Natale ke balkon yang besar itu. Balkon itu menghadap ke halaman samping dan depan yang terhampar rumput hijau yang luas dan sebuah kolam renang di tengahnya.
“indah sekali pemandangan dari sini. Emma, apa yang kauketahui tentang keluarga Auletta Rossa?”
“maaf, nyonya, saya tidak tahu apa-apa tentang mereka. Saya hanya pelayan disini. Tuan Nicola jarang disini, lebih banyak di Milan, juga tuan muda Nicco”
“mereka tidak pernah bicara apapun?”
Emma menggeleng. Terdengar suara pintu kamar dibuka. Tanpa diperintah, Emma segera keluar dari kamar itu begitu mengetahui yang dating adalah Nicco.
“kamu suka kamar ini?”
“ya, indah dan luas sekali. Kata Emma, kamar ini selalu kosong, ya?”
“ya, tidak hanya kamar ini. Rumah ini juga jarang ditempati.Kami lebih sering di Milan. Kalau kamu mau, kita bisa menetap disini”
“entahlah, lihat saja nanti”
“aku sudah menyuruh beberapa orang agar mengambil barang-barangmu di rumah kita untuk segera dibawa kemari”
“bukannya kita hanya sementara saja disini?”
“kita lihat saja nanti. Kalau urusanku cepat selesai, kita bisa segera kembali ke rumah kita”
“urusan apa?”
“sudahlah, kau tidak perlu tahu semua urusanku. Aku hanya tidak mau kamu terbebani dengan pikiran yang macam-macam”
“aku istrimu, Nicco. Aku juga berhak tahu”
“sudahlah, lupakan saja pembicaraan ini! Ok?”
Natale hanya terdiam. Terus terang, sejak dia mengetahui siapa Nicco yang sebenarnya, dia sering dilanda ketakutan. Takut dengan masa lalu di awal pertemuan mereka dulu.
Nicco menggeser sebuah lukisan besar yang tergantung didinding ruangan itu. Ternyata dibaliknya ada sebuah brankas. Nicco memencet beberapa angka kombinasi dan terbukalah brankas itu. Masih dengan kursi rodanya,Natale mendekati Nicco. Nicco mengeluarkan 3 pucuk senjata. Memeriksa satu per satu, memastikan bahwa semua senjata itu telah terisi semua dengan pelurunya. Menyelipkan 2 senjata di kanan dan kiri pinggangnya, sedang yangsatunya masih tergenggam di tangannya. Ia menatap Natale.
“aku tahu kamu pasti bertanya-tanya. Mengapa aku membawa senjata sebanyak ini. Tapi aku memerlukan ini semua agar urusanku lancar. Kau di rumah saja. Kau tinggal bilang apa keperluanmu pada pelayan itu. Aku juga sudah menyuruh beberapa orang untuk menjagamu disini. Jadi, kau tidak perlukhawatir. Aku pergi dulu,sayang”
Nicco mencium Natale dan keluar dari kamar itu. Natale segera ke balkon yang bisa melihat halaman depan. Ia melihat beberapa anak buah Nicco dan beberapa mobil sudah siap di lobi. Ia menduga, mereka semua pasti menunggu Nicco. Dan benar saja, begitu Nicco sudah masuk di salah satu mobil,iring-iringan empat mobil itu bergerak keluar. Natale hanya bisa diam dan menangis sedih.
"ada apa, nyonya?"
"eh, aku..."
"saya tahu. nyonya pasti sedih ditinggal tuan muda Nicco. Baru saja pulang dari rumah sakit tapi sudah ditinggal pergi"
"kamu tahu kemana mereka pergi?"
"saya tidak tahu, nyonya. Tapi, maaf, tadi saya mendengar secara tidak sengaja waktu tuan muda Nicco berbincang dengan tuan Nicola. sepertinya mau balas dendam, gitu"
"balas dendam? kepada siapa?"
"Valentino sepertinya, nyonya"
"Val?" Natale bergumam lirih. 
"o, ya, nyonya. Nyonya sudah ditunggu tuan Nicola untuk makan siang di bawah. Kita kesana sekarang?"
"dia tidak ikut Nicco?"
"tidak, karena sore ini tuan Nicola sudah harus kembali ke Milan lagi"
"emh... baiklah, bawa aku kesana"
Di ruang makan, di ujung meja yang panjang, sudah menanti Nicola. Dia segera berdiri begitu tahu ada Natale.
"aku sudah menunggumu, Natale"
Dengan canggung, Natale duduk di dekat Nicola.
"kata Nicco kau menyukai kamarmu?"
"iya, trimakasih"
"kau boleh tinggal selamanya disana, semau kamu. Hanya Nicco yang kupunyai dan sekarang kau istri dia. Jadi, kau juga berhak atas rumah ini juga. Bagaimana luka-lukamu?"
"sudah agak baikan walau kadang masih nyeri. Tapi dokter membawakan resep obat penghilang nyeri"
"kuharap kau segera sembuh. Karena aku punya hadiah untukmu"
"hadiah? Dalam rangka apa?"
"bulan madu kalian. Aku belum memberikan hadiah pernikahan untuk kalian kan? Hadiahnya, kemanapun kalian ingin pergi, aku yang akan mengurusnya. Itu juga sebagai permintaan maafku kepadamu. Karena dulu aku menentang pernikahan ini. Tapi, Nicco orangnya nekad. Dan juga, permintaan maaf atas kejadian di masa lalu. Aku tahu ini tidak bisa mengembalikan masa lalu, tapi setidaknya..."
"...sudahlah, trimakasih kau memberikan hadiah itu kepada kami. Memang ibuku tidak bisa kembali lagi. Semua sudah berlalu. Aku senang kalian bisa menerimaku walau aku tidak tahu bagaimana reaksi papa jika dia tahu tentang ini semua. Apakah Nicco sudah tahu tentang hadiah ini?"
"belum, aku baru bicara kepadamu"
"baiklah, kalau dia nanti pulang, akan kutanyakan kepadanya kemana kami akan berlibur. O ya, Nicco tadi pergi kemana?"
"dia nekad untuk balas dendam kepada Valentino d'Alema itu. Aku sudah menasehatinya agar jangan melakukan hal itu. Tapi, kau sudah tahu tentang sifat dia kan?"
"ya, terus terang aku sangat khawatir akan keselamatannya. Aku juga tahu bagaimana sifat Val. kulihat dia tadi membawa beberapa pucuk senjata. Aku khawatir sekali"
"tapi, tak ada yang bisa kita lakukan juga selain menunggunya pulang"
"ya"
"aku nanti sore akan segera kembali ke Milan. Emma itu pelayan pribadimu sekarang. Kalau ada perlu, katakan saja padanya. Nicco juga sudah menempatkan beberapa orangnya untuk menjagamu disini selama dia pergi. Kau tak keberatan?"
"jujur, aku masih asing dengan kehidupan seperti ini. Tapi, mungkin aku harus membiasakannya"
"pasti. Apa kau akan memberitahu Petra tentang semua ini?"
"entah, aku tidak tahu. Aku belum memikirkannya"
"semuanya terserah kamu"
"ya, thanx"

Sorenya Natale dan Emma mengantar Nicola sampai lobi. 
"jaga dirimu baik-baik. Emma, jaga dan rawat Natale"
"iya, Tuan"
"cepat sembuh, ya. Aku ingin segera menimang cucu dari Nicco. Aku mengandalkanmu, Natale"
Natale hanya tersenyum diatas kursi rodanya. Seorang sopir mengantar Nicola ke bandara.
"Emma, bawa aku berkeliling rumah ini. Taman di halaman samping itu, sepertinya aku ingin kesana"
"baik, Nyonya"
Emma membawa Natale ke taman samping rumah. Mereka berhenti di tepi kolam ikan kecil. 
"mmm... Emma, sebenarnya ada yang ingin kutanyakan kepadamu"
"silakan, Nyonya"
"apa yang kau ketahui tentang Nicco? Jujur, walaupun aku istrinya, tapi aku tak tahu tentang dia. Dia tidak pernah menceritakan apapun kepadaku"
"kalau itu, saya tidak tahu, Nyonya, maaf. Seperti yang saya bilang, mereka jarang tinggal disini dan kalaupun pas disini, kami tidak pernah saling bicara. Saya hanya pelayan. Saya melayani mereka kalau saya diperlukan saja"
"apa Nicco pernah datang kesini dengan orang lain? Laki-laki ataupun perempuan, misalnya?"
"dulu sering kesini dengan perempuan yang berbeda-beda kalau tidak ada tuan Nicola. Tapi itu dulu, Nyonya. Sudah hampir setahun tidak pernah lagi"
"kekasihnya?"
"saya rasa... iya, Nyonya. Soalnya mereka mesra sekali"
"berarti kalau ada papanya, dia tidak seperti itu?"
"Nyonya, walaupun tuan muda Nicco seperti itu, tapi dia tetap tunduk dan patuh pada tuan Nicola. walau kadang dia berontak juga kepada tuan Nicola"
"sebenarnya aku takut masuk ke keluarga Auletta Rossa ini. Terlalu banyak mereka berurusan dengan carabinieri. Kau tahu maksudku kan? Aku ingin hidup tenang. Bukan hidup seperti ini yang kuinginkan"
"Nyonya tidak mencintai tuan muda Nicco?"
"entahlah, itupun aku tidak bisa menjawabnya. Aku bingung dengan perasaanku sendiri"
"sepertinya tuan muda Nicco sangat mencintai Nyonya, menurut saya sih"
"menurutmu begitu? Kenapa?"
"karena setiap kali saya melihat, tuan muda Nicco sangat menyayangi Nyonya"
Natale hanya terdiam.
"maaf, kalau saya salah ucap, Nyonya"
"bawa aku ke kamar. Aku ingin istirahat, Emma"
Emma membawa Natale ke kamar bak istana itu. Setelah membantu Natale berbaring dan menyelimutinya, dia keluar dari kamar itu. Natale kemudian menelpon Petra dengan telpon yang ada diatas meja kecil samping ranjangnya.
"apa kabar, pa?"
"Natale? kabar papa baik. Bagaimana denganmu?"
"saya baik-baik saja, pa"
"kamu sebenarnya ada dimana? sudah sering papa telpon ke rumahmu tapi tak pernah ada jawaban. Kau pun sekarang tak pernah kemari. Makanya waktu papa ke Indonesia selama 3 bulan kemarin, papa tidak bisa pamit kepadamu"
"papa kesana? Natale ingin kesana, pa, kapan-kapan"
"iya, kesanalah dengan Nicco. Aku yakin dia belum pernah kesana"
"pa, Natale kangen sama papa. Pingin ketemu papa. Pingin nginap di rumah papa"
"kau bisa datang kesini kapan-kapan. Ada apa, Natale?"
"maksudnya?"
"aku tahu kau tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Aku tahu betul kamu, Natale. Ada apa? Sedang ada masalah dengan Nicco?"
"tidak, pa. Hanya kangen saja dengan papa"
"baiklah, Kalau kau belum bisa bercerita. Papa tidak memaksamu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu. Papa sangat menyayangimu, Natale. Kau masih bisa mengandalkan papa"
"makasih, pa. Telponnya Natale tutup dulu ya. Dalam waktu dekat, Natale akan mengunjungi papa. Bye!"
"bye"

 Di rumah besar bak istana itu, Natale sendirian. Ia lebih sering berdiam diri di balkon samping. Untuk makan pun dia lebih sering di kamar. Ia juga belajar berjalan walau terkadang perutnya masih sakit. Ia pun masih mengkonsumsi obat dari dokter. Ia hanya ditemani oleh Emma, sedangkan orang-orang yang ditugaskan Nicco selalu berjaga di bawah.
"sudah 3 hari Nicco belum p
ulang. Terus terang aku mengkhawatirkan keselamatannya"
"jangan khawatir, nyonya. Saya percaya, tuan muda Nicco akan baik-baik saja. Sudah sering hal seperti ini terjadi, dan tidak pernah ada hal-hal yang tak diinginkan"
Natale menatap Emma sesaat, lalu mengalihkan pandangannya ke taman halaman samping rumah. Emma melanjutkan pekerjaannya membereskan kamar yang besar dan mewah itu. Ia berhenti begitu ada seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Iia kaget.
"oh, tuan?"
Nicco menyuruh Emma untuk keluar dari kamar itu. Dengan tergesa-gesa, Emma segera membereskan peralatannya dan segera keluar. Nicco melangkah mendekati Natale yang masih berdiri melamun di balkon itu sambil menatap matahari yang sudah mulai condong ke arah barat dan memeluk Natale dari belakang. Natale kaget dan membalikkan badannya.
"Nicco?" 
"kenapa? tak suka aku sudah pulang?"
Natale segera memeluk Nicco dengan erat, "aku sangat mencemaskanmu. Sudah tiga hari kau tidak pulang. Tidak juga ada kabar"
"kau mencemaskan aku? Kenapa?"
"kenapa? Kau suamiku!"
"iya iya"
"dari mana saja kamu?"
"aku ada pertemuan dengan mantan kekasihmu itu, Valentino d'Alema"
"terus, apa yang terjadi diantara kalian?"
"dia telah membuat kita seperti ini, maka aku juga harus membuat dia menderita seperti keinginanku, sekehendak hatiku"
"apa yang telah kau lakukan padanya?"
"tunggu, tunggu. Kenapa kau mencemaskan dia? Kau masih menyukainya? Mencintainya?"
"bukan begitu, aku hanya sekedar bertanya saja"
"ini, aku ada hadiah untukmu"
Nicco mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya, meraih tangan Natale dan meletakkan sesuatu itu ke tangan Natale. Natale memperhatikan dengan seksama sesuatu itu. Begitu tahu yang ada di genggamannya adalah sebuah jari manis yang masih dilingkari dengan sebuah cincin yang sudah amat ia kenal, ia kaget, menjerit dan membuang jari manusia itu. Dengan terhuyung-huyung Natale memegangi perutnya yang tiba-tiba sakit itu.
"Natale, kenapa kamu? Duduklah dulu"
Natale segera duduk. Setelah tenang...
"perutmu masih sakit? Kamu masih minum obat 'kan?"
"i-iya"
"kamu suka dengan hadiah itu?"
"apa yang kau lakukan padanya? Aku tahu dari cincin itu. Itu milik Val kan?"
"ya, sungguh ingin tahu? Dia telah kuhabisi"
"maksudmu?"
"aku bunuh, tapi sebelum aku membuangnya, Kuambil itu sebagai hadiah untukmu. Dia yang telah mempersulit dirinya sendiri dengan mulai ikut campur ke dalam urusanku"
"kau bisa ditangkap polisi, Nicco"
"tak ada yang tahu. Dan nyatanya, sampai sekarang mereka tidak bisa menangkapku. Juga detektif yang mencintaimu itu"
Natale menatap Nicco.
"kau tidak perlu kaget dan bertanya dari mana aku tahu kalau Thomas Griffith itu mencintaimu"
Natale menunduk.
"sebenarnya aku juga bisa membereskan si detektif itu karena telah berani mencintaimu. Tapi setelah kupikir-pikir, dia telah menyelamatkan kita. Makanya kubiarkan dia kembali ke negaranya setelah berpamitan denganmu di rumah sakit waktu itu"
"Nicco, apa selamanya kau akan hidup spt itu?"
"kenapa? Kau tak perlu khawatir. Yang penting aku mencintaimu dan memberimu segalanya. Setelah kamu tahu siapa aku, aku ingin tahu tentang perasaanmu kepadaku. Apakah kau masih mencintaiku? Jawablah yang jujur"
"mmm... entahlah" Natale bingung.
"aku sudah tahu jawabannya. Baiklah, kau tetap mencintai Nick, ya?"
"bukan begitu. Ini tiba-tiba sekali. Selama ini aku mencintai Nick, tapi ternyata muncul kamu. Aku masih bingung. Aku belum bisa menjawabnya"
"tidak apa-apa. Aku tetap akan menunggu jawabanmu"
Nicco mencium Natale yang masih tertunduk. Dia mengeluarkan beberapa senjatanya dari dalam bajunya dan menyimpannya kembali di balik lukisan.

Paginya Natale masih terlelap di balik selimut tebalnya. Sedangkan Nicco sedang menikmati kopi panas buatan Emma sambil membaca koran pagi. Tubuhnya sudah nampak segar sehabis mandi dan hanya dibalut kimono panjang.
"maaf, tuan. Saya mau membersihkan kamar ini"
"ya," sahut Nicco cuek.
"Nicco, kau sudah bangun? Kenapa tidak membangunkanku?"
"kulihat nyenyak sekali tidurmu. Aku tak mau mengganggumu. Kau sudah bisa berjalan, lukamu sudah membaik?"
"ya, aku terus belajar berjalan. Malas juga bila harus duduk di kursi roda terus dan tergantung dengan orang lain"
Nicco memberikan kopi Natale.
"thanx"
"obatmu masih?"
"sudah hampir habis. Mungkin besok sore sudah habis"
"kuantar kau nanti ke dokter. Tidak perlu diantar Luigi"
"kenapa?"
"kau tidak suka?"
"bukan, aku senang kau yang mengantarkan aku"
"mandilah dulu lalu kita sarapan"
Nicco lalu keluar dari kamarnya dan pergi ke lantai bawah.
"selamat pagi, tuan"
"Luigi, siapkan mobil untukku. Nanti biar aku saja yang mengantar istriku ke dokter"
"baik, tuan"
Setelah sarapan dan menyiapkan segala sesuatunya, mereka segera menuju mobil. Natale duluan yang masuk ke mobil. Ttak lama kemudian, Nicco sudah duduk di sampingnya. Ia meletakkan senjatanya di laci depan.
"kita hanya akan ke rumah sakit, Nicco"
"kemanapun aku pergi, Natale"
Natale hanya terdiam tak berani membantah. Sebentar saja mereka sudah berada di jalanan ibukota yang ramai. Setelah periksa ke dokter, Nicco membawa Natale ke rumah mereka yang ditepi danau. 
"kita akan pindah kesini lagi?"
"belum"
"lalu? Mengapa kita kesini?"
"aku hanya ingin berdua denganmu. Di tepi danau ini. Kamu disini sebentar ya, kuambilkan minum untukmu"
Natale terdiam sendirian sambil melihat bangau yang sedang berenang di tepian danau itu. Sebentar kemudian, Nicco sudah kembali dengan membawa dua cangkir susu coklat panas.
"hari ini agak dingin. Jadi kubuatkan susu coklat panas untukmu"
"trimakasih, Nicco"
"hei, ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?"
"ah, tidak ada apa-apa. Hanya saja, beberapa hari belakangan ini, aku selalu memikirkanmu"
"kenapa?"
"entah, aku tidak tahu dengan perasaanku ini. Setelah tahu yang sebenarnya, itu berarti kau adalah orang baru di hidupku. Tapi, aku mencintaimu, Nicco. Aku tak tahu alasannya. Bukankah aku seharusnya membencimu?"
"trimakasih, Natale. Dari dulu, waktu aku menculikmu, aku sudah mencintaimu. Makanya, aku nekad. Kulakukan segala cara agar bisa mendapatkanmu. Tentang kejadian yang kemarin, aku minta maaf. Aku tak tahu mengapa aku berbuat demikian kepadamu sampai kita kehilangan calon anak kita. Maafkan aku, Natale"
"sudahlah, aku tak mau mengingat hal itu lagi. Aku mencintaimu, Nicco"
Natale menyandarkan kapalanya di bahu Nicco dan Nicco pun merangkulnya sambil mengecup kening Natale.
"waktu kamu pergi, papamu ingin memberikan hadiah kepada kita sebagai hadiah pernikahan kita"
"o ya? Apa hadiahnya?"
"kita bebas mau kemana saja untuk berbulan madu. Kita tinggal bilang saja kepadanya. Nanti papamu yang akan menyediakan tiket, hotel dan sebagainya"
"memangnya kau mau kemana?"
"aku baru mau bertanya tentang itu kepadamu"
"aku terserah kamu saja, yang penting kamu senang. Pilihlah, nanti aku yang akan bilang ke papa"
"sebenarnya aku ingin ke Indonesia. Sudah lama aku tak kesana. Ingin bertemu dengan keluarga besar mama disana"
"boleh, lagipula aku juga belum pernah ke Asia. Aku juga ingin berkenalan dengan keluarga besar mamamu"
"tapi, apa tidak terlalu jauh?"
"kita tanya dokter dulu tentang kesehatanmu. Kalau tidak apa-apa untuk melakukan perjalanan jauh, tidak mengapa kan?"
"kamu mau?"
"mengapa tidak?"
"thanx, Nicco"
"sepertinya hari akan hujan. Mendung sekali hari ini. Kita masuk dulu"
"apa kita tidak pulang saja?"
"tidak untuk hari ini. Aku ingin kita bermalam disini. Baru besok kita pulang. Kamu keberatan?"
"enggak"
Natale tersenyum lebar. Mereka segera beranjak dari tempat itu dan masuk ke rumah mungil mereka.
Setiba di balkon kamar mereka yang di lantai dua, hujan turun dengan lebatnya. Natale membereskan kamar itu karena sudah agak lama tidak ditempati. Sedangkan Nicco meraih ponselnya yang di atas meja dan menelpon Nicola, papanya.
"hallo, iya, pa. Natale bilang papa akan memberikan kami hadiah pernikahan? Iya, kami sudah memilih tempat untuk menghabiskan waktu bulan madu kami yang tertunda. Iya kan, Natale? Natale ingin ke Indonesia. Lagipula saya juga belum pernah kesana. Tidak apa-apa? Papa akan mengurus semuanya? Baiklah, kabari kami kalau sudah siap semuanya. Thanx, pa"
"bagaimana?"
"papa tidak berkeberatan kita ke Indonesia. Kamu suka?"
"thanx. I love you, Nicco"
Telepon di kamar itu berdering. Natale yang mengangkatnya.
"hallo, papa?"
"apa kabar, sayang?"
"baik, bagaimana dengan papa?"
"baik, aku merindukanmu"
"Natale juga, kapan-kapan kesana. Oya, pa. Dalam waktu dekat Natale akan ke Indonesia"
"dengan siapa?"
"Nicco, dia juga belum pernah kesana"
"dia yang mengajakmu? Apa perlu kubantu mengurus segala sesuatunya?"
"oh, eh... Tidak usah, pa. Sudah ada yang mengurus kok"
"salam saja untuk keluarga mama kamu yang disana. Kalau masih ada waktu, sekalian mampir ke Yogyakarta"
"tentu"
"o, ya. Papa harus pergi sekarang, mau ke rumah nenek. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menelpon papa"
"iya, pa. Thanx, bye!"
Natale mendekati Nicco yang masih berdiri di balkon melihat hujan yang turun dengan derasnya.
"itu tadi papa. Nicco, kamu kenapa?"
"aku hanya bingung. Bisakah kita menyembunyikan semua ini dari papamu selamanya?"
"dulu papamu menentang kita seperti itu. Tapi nyatanya?"
"itu beda, Natale. Kalianlah pihak yang kehilangan karena ulah kami. Menurutku, biarlah tetap seperti ini selamanya. Jadi, dia tak kan pernah membenciku. Dan akan tetap seperti itu selamanya"
"terserahlah, kalau itu jalan terbaik bagi kita"
Nicco memeluk natale dengan erat.
"aku hanya tidak mau kehilanganmu lagi. Cukup sekali aku kehilanganmu kemarin"

petra del pierro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar