Sabtu, 15 Maret 2014

LA PRIMAVERA 2 (bagian 8)

Petra mengantar Natale dan Nicco ke bandara Fiumicino.
"jaga diri baik-baik, sayang. Salam untuk semuanya saja"
"iya, papa minta dibawakan apa dari sana?"
"terserah, yang penting kamu bisa kembali lagi kesini dengan selamat. Nicco, titip putriku, ya"
"tentu, jangan khawatir"
Pesawat lepas landas meninggalkan Roma. Membawa Nicco dan Natale menuju Jakarta, Indonesia.
Setelah perjalanan berjam-jam yang melelahkan, akhirnya tiba juga mereka di bandara Soetta, Jakarta. Di pintu keluar badara ada seorang perempuan memanggil Natale.
"Natale!"
Natale menoleh. Perempuan itu berlari kecil mendekatinya dan memeluknya.
"kau sudah besar, sayang. Aku nenekmu"
"nenek?"
"kau pasti bingung darimana kami tahu kau akan datang? Petra menelpon kami agar kami menjemputmu tanpa sepengetahuanmu"
"ah, papa. Kami rencana akan memberikan kejutan"
"dia sangat mengkhawatirkanmu. Jangan marah padanya"
"iya, apa kabar, nek?"
"baik, bagaimana denganmu?"
"baik, mana kakek?"
"masih ada perlu di kantor. Nenek kesini sendiri"
"nyetir sendiri?"
"iya, ini siapa, Natale?"
"maaf, sampai lupa. Ini yang namanya Nicco, suami Natale"
mereka berjabat tangan.
"waaahhh.... cakepnya... kayak artis dari Hollywood itu lho!"
"ah, nenek ada-ada saja"
"iya, biasanya yang berperan jadi FBI gitu trus bawa-bawa pistol gitu"
Natale hanya melirik ke arah Nicco yang memang tidak mengerti apa yang Natale dan neneknya katakan.
"kita akan terus disini atau mau pulang sekarang, nek?"
"o iya, ayo!"
Mereka segera ke parkiran dan pulang ke rumah neneknya. Disana ternyata pak Pras sudah ada di rumah. Mereka segera makan bersama di ruang makan.
"kamu jarang sekali kesini. Kenapa tidak ikut papamu kalau dia kesini?"
"iya, Natale sibuk di kampus waktu itu. Jadi, baru bisa kesini sekarang"
"kami kemarin juga tidak bisa datang waktu pernikahanmu kemarin. Kerja apa suamimu?" tanya pak Pras.
"eh, emmm... Ada usaha disana"
"tidak kau ajari bahasa mamamu?"
"tidak, dia tidak bisa"
"berapa lama disini?"
"hanya 3 minggu saja. Kami juga akan ke Yogyakarta, nengok keluarga yang disana. Dan juga Nicco ingin sekalian ke Bali. Jadi, tolong kalian beri kabar keluarga yang di Yogya agar menjemput kami di bandara. Saya sudah lupa jalannya"
"tentu, biar adikku yang jemput kalian. Karena hanya dia yang masih menetap di Yogya. Yang lain sudah merantau semua keluar Yogya"
"thanx, kek"
Bu Pras pergi ke dapur mengambil puding.
"ini dulu kesukaan mama kamu. Bisa satu loyang dia habiskan sendiri"
"enak ya?"
"coba saja"
"wanna try? this was my mom's favourite"
Nicco mengambil sepotong.
"it's so delicious, thanx"
"kalian nanti boleh menempati kamar mamamu yang dulu"
"makasih, nek. We can sleep at my mom's bedroom. I like that most 'couse always remind me 'bout my mom"
"can we go there now, couse i have to take a bath now. The weather is not like in Europe, It's very hot here"
"sure. Kakek dan nenek, kami mau permisi ke kamar dulu. Dia mau segera mandi, kegerahan disini"
"ok, silahkan"
Mereka ke kamar tidur Rika.
"it's still the same. That's the bathroom, over there"
Setelah meletakkan barang-barang mereka, Nicco segera mandi. Begitu segar di bawah guyuran air di hari yang cuacanya panas itu. Hanya mengenakan handuk, dia duduk di sofa samping Natale yang sedang menonton televisi.
"cosa ne pensi della mia famiglia? (Bagaimana pendapatmu tentang keluargaku?)"
"sono gentili, mi piace (Mereka ramah, aku menyukainya). Ma se a stabilirsi qui a quanto pare non posso. Caldo qui. Io non sono a conoscenza. (Tapi kalau untuk menetap disini sepertinya aku tidak bisa. Cuacanya panas sekali disini. Aku belum terbiasa)"
"Naturalmente, non sono mai stato qui a lungo (Tentu, aku pun tidak pernah lama disini)"
"Ho notato, anche se non di sangue asiatico, ma non nel corpo che indica che la persona tua asia madre. Ti piace europei originali. No persone che credono di non sapere (Kuperhatikan, walau kamu ada darah Asia, tapi tidak ada di tubuhmu yang menunjukkan kalau mamamu orang Asia. Kau seperti orang Eropa asli. Orang tak ada yang percaya kalau mereka tidak tahu)"
"sì, più dominante rispetto al papa mama, può (ya, lebih dominan papa daripada mama, mungkin)"
"prima io non lo sapevo. Lavare prima. Ti voglio stasera camminiamo intorno Jakarta. Se si desidera che questo giorno sia il mio autista? (dulu aku tak mengetahui itu. Mandilah dulu. Aku ingin nanti malam kita jalan-jalan keliling Jakarta. Kamu mau kan kalau kali ini kamu yang menjadi sopirku?)"
"whatever you want. I'll borrow my grandpa's car"
"thanx"
Malamnya mereka segera meminjam mobil pak Pras.
"Natale, mending kamu bawa sopir saja. Kau kan belum tahu jalanan disini. Kalau tersesat, bagaimana?"
"tinggal telpon kakek. Bye!"
Sebentar saja mereka sudah ada di keramaian jalanan ibukota. 
"solide dopo le strade qui (padat sekali jalanan disini)"
"Così, durante la notte stessa. La città che non dorme mai, come New York (beginilah, siang malam sama saja. Kota yang tak pernah tidur, seperti New York)"
"Dove stiamo andando? (mau kemana kita?)"
"Non lo so, solo la guida in città. Anche io non so nulla. Che cos'è? c'è qualcosa di sbagliato in me? (entah, putar-putar saja. Aku juga tidak tahu apa-apa. Hei, ada apa? Ada yang salah dengan diriku?)"
"Questa è la prima volta che posso vederti felice come questo. Ti amo, Natale (baru kali ini aku bisa melihatmu segembira ini. Aku mencintaimu, Natale"
Nicco mencium Natale.
"hei, ho appena guido. Non mi disturbare prima, ok? (aku baru mengemudi. Jangan mengganggu aku dulu, ok?)"
Mereka keliling Jakarta sampai tengah malam.
Mereka di Jakarta hanya 4 hari. Setelah itu, mereka segera terbang ke Yogyakarta dan menginap di rumah adik bungsu pak Pras yang rumahnya masih dikelilingi sawah yang luas.
"aku suka tinggal disini. Tidak seramai Jakarta," kata Nicco suatu pagi pada Natale.
Pagi itu mereka sedang duduk-duduk di belakang rumah menghadap sawah. Si tuan rumah sedang pergi kondangan.
"aku juga. Dan satu lagi, kita tidak memerlukan senjata disini"
Nicco hanya tersenyum.
"ya, aku tak membawanya. Aku sebenarnya ingin lepas dari itu semua. Tapi tidak bisa. Inilah hidupku"
"kalau ada kemauan pasti bisa. Contohnya papaku"
"dari kecil aku diajarkan untuk membenci keluargamu yang aku tak tahu alasannya. Diajarkan kekerasan secara fisik. Beginilah aku. Sebenarnya aku merindukan sosok seorang ibu. Kau tentu tahu rasanya tumbuh tanpa didikan ibu. Papa tak pernah menjawab jika aku tanya tentang mama. Aku tak tahu"
"ya, aku tahu rasanya. Kapan terakhir kali kau bertanya kepada papamu?"
"waktu aku masih belia. Sejak itu, aku tak berani bertanya lagi"
"kalau mamamu masih hidup?"
"aku akan sangat senang sekali"
"sekali waktu, kau bisa bertanya lagi kepadanya"
"ya. Natale, trimakasih ya"
"untuk apa?"
"hanya kau wanita yang mengerti tentang aku. Aku berhubungan dengan banyak wanita, tapi tak ada yang seperti dirimu"
"karena aku istrimu"
"bukan itu, tapi lebih kepada sifatmu. Kau bukan istriku pun, kau pasti juga akan mengerti tentang aku. Karena itu sifat dasarmu"
Natale hanya tersenyum.
"ayo kita ke tengah sawah itu!"
Natale menyeret tangan Nicco agar Nicco bangkit dari duduknya. Mereka menyusuri pematang sawah menuju tengah sawah. Di tengah sawah itu ada sebuah pohon dan tempat duduk. Mereka duduk disitu. Para petani hanya saling pandang melihat ada 2 orang asing di tengah sawah.
"sepertinya mereka memperhatikan kita"
"kurasa begitu. Mereka tidak pernah melihat ada orang asing di sawah seperti ini di sekitar mereka"
Natale tertawa.
Mereka melewatkan 5 hari di Yogyakarta. Keliling Yogya dan Jawa Tengah dengan ditemani sopir keluarga di Yogya. Setelah itu mereka terbang ke Bali dan berkeliling Bali sampai ke ujung-ujungnya. Barulah mereka kembali ke Roma lagi.


Pagi itu, Natale baru saja bangun dari tidurnya. Ia tidak mendapati Nicco disisinya. Setelah mengenakan kimononya, ia segera ke balkon kamarnya. Ia melihat di kolam renang samping rumah, Nicco sedang berenang sendirian.
“selamat pagi, nyonya”
“pagi, Emma”
“sudah dari tadi tuan berenang terus”
“o ya? Baiklah, bawakan sarapan kami ke sana saja”
“baik, nyonya”
Segera Natale menyusul Nicco. Ia hanya duduk di kursi di tepi kolam renang. Emma membawakan sarapan Natale dan Nicco ke tempat itu.
“trimakasih, Emma”
Setelah berenang bolak-balik beberapa kali, Nicco segera memakai kimononya, mendekati Natale dan duduk di samping Natale.
“selamat pagi, sayang”
“selamat pagi. Pagi-pagi sekali kamu berenang. Tidak dingin?”
“tidak, sudah lama juga aku tidak berenang”
“kamu terlalu sibuk dengan duniamu. Ini sarapanmu”
“thanx. Tadi papa menelponku”
“ada apa?”
“besok aku harus segera ke Milan. Mungkin sekitar seminggu. Ada urusan penting. Kamu sendirian disini. Atau kamu mau ikut?”
“urusan apa?”
“ada bisnis”
“tidak usah. Aku disini saja. Ada Emma juga”
“baiklah. Aku sudah menyuruh Luigi untuk mengurus keperluanku”
Lalu datanglah Luigi.
“maaf, tuan. Semua sudah saya siapkan barang-barang yang tuan perlukan untuk ke Milan besok. Juga tiketnya sudah siap”
“ok, letakkan saja semuanya di bagasi mobil agar tidak ada yang tertinggal. Aku besok pergi di penerbangan pertama, Natale. Yakin kau tidak mau ikut?”
“enggak, pergilah. Aku akhir-akhir ini sering tidak enak badan. Aku tak mau mengganggu urusanmu disana”
“atau mungkin kau bisa ke rumah papamu”
“iya”

Esoknya pagi-pagi sekali, Natale sudah bangun. Ia melihat Nicco sudah rapi.
“selalu saja kamu duluan yang bangun. Dan kau tidak pernah membangunkan aku. Padahal aku ingin sekali mengantarmu sampai bandara”
“tidak perlu, sudah ada Luigi yang mengantar aku”
“sudah sarapan?”
“tidak usah, aku terburu-buru”
Nicco memeluk Natale.
“telpon aku kalau kau sudah sampai Milan. Salam buat papa juga”
“tentu, aku pergi dulu”
Setelah mencium Natale, Nicco buru-buru ke bawah. Sudah ada Luigi yang sudah siap di lobi. Nicco melambaikan tangannya kea rah Natale yang ada di balkon.
“kita berangkat sekarang, tuan?”
“tentu saja. Aku tak mau ketinggalan pesawat”
Tak lama kemudian, mereka sudah tiba di bandara. Sambil menunggu pesawat, Nicco membeli secangkir kopi dan duduk di pojok ruangan. Ia tak tahu kalau ternyata ada perempuan cantik ada di belakangnya.
“Nicco?”
Nicco menoleh dan terkejut.
“kau?”
“ya, masih ingat juga kamu setelah sekian lama kamu pergi dari kehidupanku tanpa pamit”
“e-yah… maaf”
“mau kemana?”
“ke Milan”
“sendiri?”
“ya”
“kebetulan sekali. Aku juga sendiri dan aku juga akan ke Milan”
Claudia duduk di dekat Nicco. Ia memperhatikan tangan Nicco yang sedang memegang kopinya.
“itu… cincin kawin ya?”
“emmm… iya. Maaf, aku tidak memberitahumu. Iya, aku sudah menikah”
“siapa gadis yang beruntung itu? Aku mengenalnya? Karena hampir semua wanita yang dekat denganmu aku kenal”
“tidak, kau tidak mengenalnya”
“bisa kita ketemu di Milan nanti?”
“tentu, kalau urusanku selesai”
“urusan apa?”
“kau tidak perlu tahu. Aku ada bisnis dengan papaku”
“ok, aku tunggu kabar darimu”
“kamu sendiri, ada perlu apa kesana?”
“ada pemotretan disana. Tidak lama. Tapi bisa kuperpanjang sambil menunggu kamu ada waktu untuk aku”
“nanti aku kabari kamu”
Nicco dan Claudia segera memasuki pesawat yang akan membawa mereka ke Milan. Dan ternyata mereka duduk bersebelahan.

“Luigi, antar aku ke rumah papaku”
“baik, nyonya”
Mereka segera menuju rumah Petra. Kebetulan Petra sedang duduk di beranda rumah.
“papa, apa kabar?”
“Natale? Tumben kesini, ada apa?”
“kangen saja sama papa”
“mana Nicco?”
“dia sedang ada perlu di Milan. Jadi daripada bengong sendirian, mending ke rumah papa”
“naik apa kamu tadi?”
“e-saya naik taksi. Taksinya berhenti di ujung sana”
“kamu sudah makan?”
“belum, makanya saya kesini ingin sekali makan siang sama papa di restoran favorit kita. Papa mau?”
“tentu saja”
Mereka segera ke restoran favorit mereka dan memesan makanan.
“Natale kangen sekali sama papa”
“papa juga”
“tapi, papa sepertinya tidak enak badan, ya?”
“tidak, papa tidak apa-apa. Hanya kurang tidur saja”
“pa, jaga kesehatan ya”
“tentu, kamu sendiri juga tidak seperti biasanya”
“maksud papa?”
“wajahmu pucat. Ada apa?”
“tidak tau. Akhir-akhir ini Natale memang sering pusing. Tidak tau kenapa”
“sudah kau periksakan ke dokter?”
“ah, tidak perlu. Hanya pusing biasa saja”
“papa bisa mengantarmu sekarang”
“trimakasih, tapi tidak usah. Nanti juga sembuh sendiri”
“bagaimana hubunganmu dengan Nicco? Sepertinya dia anak yang baik”
“kami baik-baik saja kok pa”
“Natale, papa ingin segera mempunyai cucu. Kalian sudah menikah setahun lebih. Tapi mengapa kamu belum hamil juga?”
“tentu, papa. Secepatnya. Kami pasti akan memberikan cucu yang banyak buat papa. Papa suka?”
“hahahahaha… tentu saja. Papa sudah tidak sabar menunggu hal itu terjadi”
“mudah-mudahan tidak lama lagi ya pa”
“I love you, Natale”
“I love you too, papa”

Tak terasa sudah 5 hari Nicco di Milan. Ia pun teringat dengan Claudia.
“hallo, Claudia?”
“Nicco? Akhirnya ingat juga dirimu. Aku pikir kau sudah lupa dengan janjimu mentang-mentang sudah punya istri”
“enggaklah, aku ingat dengan janjiku. Sebelum aku kembali ke Roma, kita bisa bertemu dulu”
“kau merindukanku?”
“aku tidak akan menjawabnya. Bagaimana?  Kau ada waktu?”
“sebenarnya urusanku sudah selesai kemarin. Tapi aku menunggu telpon darimu. Urusanmu sendiri sudah selesai?”
“tentu saja. Aku akan menjemputmu”
“ok, aku akan siap-siap dulu. Bye”
“bye”
Nicco meletakkan gagang telponnya.
“papa?”
Ternyata Nicola sudah ada di belakang Nicco.
“mau kemana kamu?”
“aku akan menemui Claudia”
“papa ingatkan kamu lagi, Nicco. Kamu sudah menikah. Kamu sudah mempunyai istri. Kamu bukan pria lajang seperti kemarin”
“aku tahu, pa. Tapi tak ada salahnya kan kalau aku akan menemui teman lama”
“teman lama? Papa tahu siapa Claudia, Nicco”
“ok ok, tapi sekarang kami tak ada hubungan apa-apa lagi. Kami bertemu hanya sebatas teman, pa”
“terserahlah, aku sudah mengingatkanmu”
Nicco langsung berlalu dari hadapan Nicola dan menuju basemen apartemen mewah itu. Dengan mengendarai mobilnya, dia menuju ke hotel dimana Claudia menginap. Setelah ke resepsion, ia segera menuju kamar Claudia. Claudia sendiri yang membukakan pintu.
“hai, masuklah. Duduk dulu, mau minum apa?”
“enggak usah”
“aku masih ingat kok minuman kesukaanmu”
Claudia memberikan Nicco segelas kopi dan duduk disamping Nicco.
“apa kabar?”
“baik”
“bagaimana kabar istrimu?”
“juga baik. Aku sudah disini”
“sudah lama kita tidak berbincang seperti ini. Mungkin sekitar setahun lebih. Dan selama itu pula aku merindukanmu”
“mengapa tidak menelponku?”
“bukankah kau sudah tahu, kalau aku memang tidak pernah menelponmu. Kau yang sering menghubungiku”
“ya, maaf”
“aku masih mencintaimu, Nicco. Perlu kau tahu itu”
“aku menghargai perasaanmu. Tapi, maaf. Sekarang aku mencintai istriku”
“aku patut dikasihani ya?”
“tidak juga. Kau bisa mendapatkan seseorang yang lebih segalanya dari aku”
Nicco merangkul Claudia.
“kita tidak bias seperti dulu lagi ya?”
Nicco menatap Claudia, “maksudmu?”
“lupakan. Aku memang masih sangat mengharapkanmu, tapi itu sudah tidak mungkin lagi. Tapi… maukah kau malam ini menginap disini?”
“entahlah. Besok pagi aku sudah harus pulang ke Roma. Aku tidak mau ketinggalan pesawat”
“tidak akan, menginaplah. Besok sore mungkin aku juga harus pergi. Aku harus bersiap-siap lagi untuk ke Paris. Dan entah apakah kita bisa bertemu lagi. Mau kan?”
“baiklah, tapi sekarang aku hanya ingin keluar. Kamu sudah siap?”
“tentu. Thanx, Nicco. Ayo”
Nicco segera menggandeng tangan Claudia keluar dari kamar itu. Claudia hanya menatap Nicco.
“ups, sorry”
Claudia hanya tersenyum. Mereka segera menuju lift ke lobi hotel. Seorang pegawai hotel membawakan mobil Nicco. Sebentar saja mereka sudah berada di jalanan kota Milan.
“mau kemana kita?” tanya Nicco.
“terserah kamu. Kamu yang lebih sering ke Milan kan?”
Nicco mengarahkan mobilnya ke Peck yang terletak di pusat kota. Mereka segera memasuki restaurant itu.
“sepertinya kau sudah sering kesini”
“begitulah”
“dengan siapa? Istri kamu?”
“tidak, kami belum pernah ke Milan sama-sama setelah menikah”
“mantan-mantan kamu?”
“tidak usah membicarakan hal itu, ok?”
“ok ok, maaf”
Mereka segera memesan makanan. Tak lama kemudian, makanan pesanan mereka datang.
“cobalah, kau pasti suka. Aku tahu betul seleramu”
“kau benar, aku menyukainya. Juga dirimu, Nicco”
“sudahlah, makanlah dulu”
“kau masih mencintaiku?”
“perlukah aku menjawabnya?”
“tentu saja, aku bertanya kepadamu”
“aku tidak bisa menjawabnya”
“katakan saja, ya atau tidak”
Nicco meletakkan sendoknya dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Setelah berpikir sejenak…
“ya, aku mencintaimu. Tapi kita tidak bisa seperti dulu lagi. Kuakui, diantara semua wanita yang kukenal sebelum aku mengenal istriku, hanya kamu yang bisa bertahan dengan semua kelakuan burukku. Tapi sekarang, aku lebih mencintai istriku, Claudia. Jadi, bagaimana kalau kita tidak perlu lagi membahas masalah ini lagi”
“aku cemburu, Nicco. Aku cemburu kepada istrimu. Aku yang pertama masuk di kehidupanmu, tapi kenapa dia yang akhirnya kau jadikan nyonya Auletta Rossa?”
“entahlah, tiba-tiba saja aku jatuh hati padanya”
“siapa nama istrimu?”
“Natale, Natale del Pierro”
“maukah kau mengenalkannya kepadaku suatu hari nanti?”
“tidak usah, tidak perlu. Aku harap kamu mengerti”
“tidak apa-apa”
Mereka segera menikmati makan malam mereka sambil mengobrol dengan hangat.
“Nicco, kau jangan minum terlalu banyak”
“tidak mengapa kan? Sekali-sekali. Merayakan pertemuan kita”
“iya, tapi aku tidak mau kamu sampai mabuk seperti yang dulu itu”
“ya, aku ingat. Dan akhirnya kau tinggalkan aku di jalanan”
“dan itu…”
“… tidak akan kau lakukan malam ini. Aku benar kan?”
Claudia hanya tersenyum.
“ayo, kita pulang sekarang. Sepertinya kamu sudah kebanyakan minum. Kamu sudah mabuk”
“o ya? Sudah lama juga aku tidak minum-minum”
“kita lanjutkan nanti di hotel. Aku malu, Nicco”
Dengan dibantu seorang pelayan restaurant, Claudia membawa Nicco yang sudah mabuk berat itu kembali ke hotelnya. Ia yang menyetir. Setelah sampai di kamar, ia membaringkan Nicco di ranjangnya yang besar.
“kamu mau kemana?”
Nicco menahan tangan Claudia yang akan beranjak pergi.
“aku harus ke bawah dulu. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan, tentang pekerjaanku”
Claudia segera meninggalkan Nicco sendirian dan menemui seseorang di lobi hotel.
“ada apa?”
“aku membawakanmu beberapa dokumen tentang pemotretan yang di Paris besok. Harus kau tanda tangani sekarang. Karena malamini aku harus segera kesana”
“baiklah”
Setelah urusan selesai, Claudia segera kembali ke kamarnya.

 
Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar